Menguatkan Negara
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo[2]
Paper kecil ini saya siapkan atas permintaan Sdr. Iwan Datu Adam sebagai salah satu
pendiri lembaga Isran Noor Center. Lewat
sms saya diminta menjadi salah satu narasumber dalam acara peluncuran buku Presiden SBY dan Kemerdekaan Pers Menuju Indonesia
Negara Kuat karya
Dr. Hinca Pandjaitan, seorang jurnalis, anggota DPP Partai Demokrat Bidang
Komunikasi sekaligus salah satu direktur Isran Noor Center. Sekalipun saya tak mendapatkan kiriman buku lebih awal sebagai dasar eksplorasi, mudah-mudahan
paper ini berkenan dibaca dan didiskusikan oleh peserta lounching buku dan
pengurus lembaga Isran Noor Center yang baru saja dideklarasikan dengan
semangat ’45.
Berdasarkan
survei The
Fund for Peace di Washington DC tentang failed state index, Mei 2012, Indonesia
sebagai salah satu negara dinilai mengarah kedalam status gagal (total indeks 80,6/bahaya). Yang jelas
bukan gagal panen, apalagi sampai gagal ginjal. Peringkat 63 dari 178 negara
menunjukkan posisi kita tak lebih baik dari sebagian negara di gurun Afrika,
bahkan negara-negara tetangga di kawasan asia. Tahun lalu,
Indonesia berada di peringkat ke 64 dari 177 negara. Lazimnya negara yang dikategorikan seperti ini adalah negara dalam
kondisi darurat perang. Tentu saja Indonesia tidak dalam keadaan perang. Fund for Peace mengukurnya dalam 12 indikator yaitu, demographic Pressures, Refugees and IDPs,
Group Crievance, Human Flight, Uneven Development, Poverty and economic
decline, Legitimacy of the state, Public service, Human Rights, Security
Apparatus, Factionalized Elites, External Intervention. Dalam sejumlah
indikator diatas, sebenarnya Indonesia hanya
memperoleh
raport merah pada 3 indikator utama yaitu, demographic
pressure, human rights, dan Group
crievance, dimana
masing-masing nilai indeks kegagalannya yaitu,
7.4, 6.8, dan 7.1.
Terlepas dari itu, dengan pikiran dan kesadaran positif
kita patut berterima kasih guna melakukan intropeksi
sekaligus menunjukkan jalan terang dalam memperbaiki kinerja negara. Bukankah yang
tau penyakit kita hanya dokter melalui diagnosa. Bahkan untuk penyakit tertentu kita sebaiknya
mencari dokter spesialis yang paham dengan penyakit tropis sehingga parameter
yang digunakan lebih presisi terhadap apa yang dituju. Namun demikian
pada sebagian
kita indikator diatas bukan tanpa masalah, sebab
variabel yang digunakan belum tentu sesuai konteks dan realitas Indonesia. Sebagai perbandingan standar miskin 2 USD perhari
di Amerika relatif cukup untuk hidup
bagi rakyat Indonesia. Pada komparasi semacam ini tentu saja kita boleh
berdebat sampai pagi. Dalam perspektif Lockean misalnya,
menekankan bahwa fungsi utama negara adalah penyedia jasa (pelayanan publik).
Negara gagal menurutnya apabila tak kapabel dalam penegakan hukum, melindungi
masyarakat, menjamin hak warga negara dan partisipasi politik, menjamin
keamanan, memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal infrastruktur serta berbagai
fungsi sosial. Pandangan Weberian yang cenderung otoriter meneguhkan bahwa
fungsi utama negara adalah menegakkan monopoli melalui seperangkat alat
kekerasan pada suatu wilayah tertentu. Pada sisi lain, William Easterly dan
Laura Fresh mengemukakan salah satu indikator kegagalan negara yaitu pembuatan
berbagai kebijakan yang membingungkan. Menurut saya, negara gagal adalah
negara yang tak mampu menjalankan fungsi-fungsi dasarnya sebagaimana tertuang
dalam konstitusi. Dalam konteks Indonesia, persoalannya adalah apakah pemerintah
sebagai personifikasi konkrit negara telah mampu menjalankan fungsi utamanya
dalam UUD 45, yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia? Kini
marilah kita lihat keempat aspek penting yang dianggap mempengaruhi
kegagalan Indonesia sebagai suatu negara dewasa ini.
Pertama, tekanan demografis dapat dilihat pada seberapa jauh kemampuan
negara mengendalikan pertumbuhan penduduk dan memproteksi dinamika warga negara
khususnya kaum minoritas dalam mengartikulasikan kepentingan di tengah
mayoritas. Harus diakui
bahwa pasca reformasi, pertumbuhan penduduk
Indonesia mengalami lonjakan diatas kecemasan Robert Maltus. Rata-rata
pertumbuhan pendudukan Indonesia dewasa ini 1,2% pertahun. Perkembangbiakan
penduduk tampaknya tak berimbang dengan ketersediaan lahan yang terus menciut
disebabkan meluasnya birahi sektor swasta dalam bisnis pengembangan pemukiman
penduduk. Dimasa orde baru, pertumbuhan penduduk Indonesia dapat dikendalikan
dengan baik sehingga rezim dimasa itu mendapat apresiasi dunia lewat konsep
trilogi pembangunan[3]. Ketiga konsep pembangunan tersebut di desain dalam rencana
pembangunan lima tahun dan diturunkan dalam realitas pembangunan lima tahun.
Hasilnya, selain stabilitas politik terkendali, pertumbuhan ekonomi tumbuh
diatas asumsi rata-rata, juga pemerataan relatif tercipta. Hasilnya mantan
Presiden Soeharto dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Kedua, tekanan hak
asasi manusia dalam hubungan dengan minoritas
disini bisa dalam berbagai isu, apakah menyangkut idiologi, sosial
budaya, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Dalam
berbagai kasus akhir-akhir ini negara dianggap lalai melindungi kepentingan kelompok
minoritas dalam mempertahankan hak asasi berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Paradoksnya, secara konstitusional negara tidak saja berkewajiban
melindungi kebebasan beragama, sekaligus memiliki domain kuat dalam membatasi
jumlah agama. Disinilah masalahnya, negara dilema menghadapi kekuasaan yang
diberikan konstitusi. Disatu sisi pemberian keleluasaan pada masyarakat
mengakibatkan para pencari Tuhan mencoba menghadirkan Tuhan-Tuhan baru yang
dilembagakan atas nama kebebasan beragama. Negara boleh saja membiarkan, namun
pada saat yang sama mesti berhadapan dengan kelompok yang mengatasnamakan front
pembela kesucian agama tertentu. Sebaliknya,
pembatasan terhadap meluasnya sekte-sekte beragama dalam masyarakat menimbulkan
resistensi yang tak sedikit dari para pegiat hak asasi manusia, termasuk para
pemikir liberal yang selama ini menghendaki agar negara tak perlu turut campur
soal-soal transedental semacam itu.[4]
Puncaknya, negara dianggap melakukan semacam pembiaran
disebabkan sikap
kehati-hatian dalam melihat setiap persoalan.
Sekalipun
terdapat satu dua kasus dibeberapa daerah yang tak dapat digeneralisasi, selama
ini negara sangat terbuka dalam hal perlakuan terhadap kelompok dan kekuatan
minoritas. Ini sekaligus menjawab aspek ketiga yang menjustifikasi bahwa negara gagal
dalam aspek group crievance (protes kelompok minoritas). Ambil contoh dalam bidang agama,
negara telah memberikan keleluasaan hingga atheis dan komunispun terkesan
dipersilahkan tumbuh dalam kerangka konstitusi. [5]
Dampaknya, laju toleransi dan kebebasan
beragama berjalan pesat dari Sabang hingga Merauke. Negara memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran
kepercayaan. Indikasinya dapat dilihat dari pertambahan rumah ibadah kaum
minoritas hingga mencapai lebih dari 100% dalam kurun waktu 10 tahun pasca
reformasi.[6]
Disamping itu, tak ada satupun negara di dunia
ini yang memberikan libur bagi semua penganut agama untuk melakukan ritual
paling suci setiap tahun kecuali Indonesia. Negara benar-benar terlihat
diskretif dan protektif. Karenanya, dalam konteks itu kita tak begitu sepaham jika negara dianggap
intoleran dalam kehidupan beragama.
Pada sudut lain pembatasan terhadap meluasnya aliran kepercayaan oleh negara
bukan tanpa masalah. Semakin represif negara dalam merespon sejumlah kasus,
terkesan berbalik tiga ratus enam puluh derajat dari apa yang sudah saya
simpulkan sebelumnya yaitu negara yang semakin demokratis, kecuali dicaci-maki
sebagai negara berkedok demokratis namun berkelakuan otoriter. Tanpa
mendiskusikan metodologi negara dalam menegakkan konstitusi yang dapat saja
keliru, bukankah dalam konteks ini negara telah berjalan di atas rel
sebagaimana cara pandang Weberian. Bagi kita, fungsi klasik negara yang
direpresentasikan pemerintah tak lain kecuali melindungi warganya melalui mana
dialokasikan sedikit banyak kekuatan sekaligus
menjaga tegaknya konstitusi. Ekses dari pembatasan negara dalam jangka waktu
tertentu bukan mustahil menyuburkan radikalisasi di sudut-sudut wilayah dengan
alasan negara berlaku diskriminatif sekaligus dzholim pada kelompok minoritas. Pada tingkat artikulatif, kaum minoritas dengan sadar melaporkan negara ke
lembaga-lembaga international sebagai aktor yang paling bertanggungjawab dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Persis seperti anak melaporkan kekerasan ibu dan ayah dalam urusan-urusan domestik.
Dalam kondisi ini negara memperoleh reputasi buruk sekalipun persoalan yang
dihadapi bersifat kasuistik dan lazim diberbagai negara, termasuk dibelahan
bumi Amerika dan Eropa yang katanya paling konsisten menjaga hak-hak sipil dan
minoritas. Runyamnya, reputasi buruk tersebut kini berkorelasi kuat terhadap
aspek politik sebagai variabel kedua selain aspek sosial. Menurut pendapat
saya, kriminalisasi dan pelemahan legitimasi negara terjadi disebabkan oleh
lemahnya antisipasi negara dalam mengawal transisi otoritarian ke demokrasi.
Kecemasan semacam ini dirasakan Susan Ackerman (1995) yang mengkuatirkan
transisi justru berbalik menjadi lebih ekstrem kearah totalitarian. Pada aras
implementasi mekanisme demokrasi bergerak dari tak langsung ke mekanisme
langsung penuh euforia nan gegap gempita.
Presiden dan Wapres yang tadinya dipilih lewat legislatif kini
benar-benar berada di tangan rakyat sebagaimana slogan klasik vox populi vox dei. Pada arus
desentralisasi dari central government to
local government berjalan sebagaimana kegelisahan Hidayat (2004), too much and too soon.[7]
Disini negara mengalami semacam shock,
atau kekagaten luar biasa dalam kekacauan horisontal berwujud kriminalisasi
dimana-mana. Contoh paling mudah disaksikan adalah meningkatnya kekerasan lewat
perusakan fasilitas publik termasuk pembakaran kantor-kantor pemerintahan.
Negara seperti dibuat tercengang, bingung dan tak habis pikir mengapa semua itu
bisa terjadi sekonyong-konyong. Legitimasi negara seakan diuji dalam
kehadirannya selama ini yang bersifat formalistik. Apakah secara fungsional
negara hadir? Tampak menurut penilaian sebagian kita negara seakan-akan
absen dalam sejumlah
situasi (no omni presence). Desentralisasi yang bertujuan mempercepat pelayanan publik
memperlihatkan gejala sebaliknya, pelayanan maksimum justru berputar di sekitar
elite di daerah (trickle up effect).
Pelayanan publik berubah menjadi semacam pelayanan individu. Porsi anggaran
yang digelontorkan sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi tak serta merta
menunjukkan tanda-tanda munculnya kesejahteraan rakyat, yang terjadi perilaku
konsumtif lewat pemborosan anggaran dalam bentuk belanja aparatur sebesar
60-70% dari total APBD. [8]
Parahnya, gejala diametral demikian seringkali disempurnakan oleh
ketidaknetralan aparatur
sebagai
pelayan masyarakat. Kasus pengambil-alihan paksa
sejumlah kawasan perkebunan, hutan produksi, tanah pertanian dan pemukiman
penduduk merupakan contoh glambang yang menambah daftar panjang raport merah
negara. Ironisnya, disemua keributan tersebut para elite mengambil kesempatan
bermain setiap lima tahun sekali. Medan konflik semakin bermagnet tatkala
memasuki tahapan krusial pemilihan dan penetapan elite di pusat maupun daerah.
Di penghujung dinamika semacam itu lazim melahirkan
faksionalisasi elite dalam tubuh partai sebagai sumber kepemimpinan lokal dan
nasional. Faksionalisasi tidak saja merugikan partai dalam hal kompetisi tak
sehat berkaitan dengan sumber daya, demikian pula dampak pada masyarakat luas
yang muak mengamati perilaku elit. Ditengah kegenitan tadi negara dengan mudah
dikendalikan pihak luar atas nama berbagai kepentingan. Politik tentu saja
dengan mudah dikendalikan lewat sejumlah regulasi yang menguntungkan
kepentingan ekonomi asing. Dengan mengambil pemandangan kecil, sumber daya alam
kita dan 90% isi mall tak lain kecuali merepresentasikan kepentingan negara
asing untuk menyejahterakan rakyatnya, dimana kita tak lebih dari pemilik lahan
yang gagal memperkaya diri sendiri. Ditengah kesibukan
itu artefak budaya terkesan berceceran
tanpa kontrol pemerintah yang riskan dieksploitasi negara lain sebagaimana
kasus Batik, Reog hingga Tor-Tor. Kemarahan kita kini memuncak hingga
keubun-ubun kepala, sekaligus mencari kambing
belang dalam fenomena kegagalan negara semacam itu.
Jika demikian, siapakah yang paling bertanggungjawab dalam
konteks negara gagal? Merujuk konsep negara yang bersifat abstrak, maka unsur
paling konkrit tak lain kecuali pemerintah, rakyat dan teritorial. Sayangnya,
rakyat tak begitu tepat jika dimintai pertanggungjawaban, sebab mereka merasa
bahwa merekalah yang selama ini menjadi objek sekaligus dirugikan atas
kegagalan negara. Teritorial tentu saja tak mungkin dimintai
pertanggungjawaban, sebab wilayah hanyalah objek tak bergerak dalam batas-batas
administrasi yang disepakati. Satu-satunya yang paling rasional
bertanggungjawab adalah pemerintah nasional yang tentu saja melingkupi pusat
dan daerah. Menurut saya, jika negara gagal maka harus diakui pula daerah gagal
berkontribusi melaksanakan fungsi-fungsi dasar pelayanan. Barangkali,
ukuran-ukuran pemerintah daerah gagal dapat dilihat secara normatif dari hasil
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah atau instrumen lain seperti human development index. Untuk yang
terakhir cukup dengan melihat sejauhmana pemerintah daerah serius mengurus
pendidikan, kesehatan dan mengurangi angka pengangguran. Sayangnya, pemerintah
daerah yang gagal sejauh ini tak menerima punishment
proporsional, kecuali sertifikat yang tak berimplikasi apa-apa. Maka tepatlah
kiranya jika kita disangka negara gagal sekalipun kita sendiri tak merasakan
ada yang ganjil dalam kehidupan sosial apalagi bernegara.
Menguatkan
Fungsi Negara
Sebagaimana
kita sadari, fungsi negara jelas tertuang dalam UUD 1945 alinea keempat. Pertama, jika negara berkewajiban
melindungi segenap bangsa, maka negara membutuhkan seperangkat instrumen untuk
menjalankan kewajiban dimaksud. Pada
tingkat implementasi tentu saja negara membutuhkan
pemerintahan yang kuat sebagaimana harapan kita untuk mewujudkan fungsi diatas.
Kekuatan pemerintah lebih diarahkan
kepada upaya memastikan, menjamin dan melindungi kepentingan rakyat dari lahir
sampai titik darah penghabisan. Kekuatan pemerintah bagaimanapun tak lain
kecuali melindungi kepentingan setiap warganya dari ancaman dalam negara dan
intervensi negara luar. Kalau untuk membeli Panzer buatan Jerman 100 unit saja
kita berhadapan dengan keengganan legislatif, maka bagaimanakah kita dapat
mempertahankan dan melindungi kedaulatan bangsa, negara dan rakyat secara
keseluruhan? Bandingkan menurut catatan CIA World Factbook (2008), jumlah
tentara Indonesia hanya sekitar 302 ribu personel dari total penduduk sekitar
240 jt orang. Thailand, memiliki tentara
306 ribu personel dari total penduduk 64 jt orang. Artinya, di Thailand 1 tentara melindungi 200
orang penduduk, di Indonesia 1 tentara melindungi 800 ribu orang. Indonesia
memiliki 613 pesawat tempur dan 121 kapal perang. Bila setengahnya saja yang beroperasi artinya
Indonesia hanya memiliki 60 kapal perang. Padahal luas laut Indonesia termasuk
ZEE mencapai 7,9 jt km persegi, artinya untuk menjaga perairan seluas pulau
Jawa, TNI hanya mampu menyediakan 1 kapal perang. Karena itu, bukan hal aneh
pencurian dan penyelundupan dilaut merajalela. Kita membutuhkan instrumen yang
memadai dalam upaya mengontrol wilayah sedemikian luas sehingga mampu
mengukuhkan integritas dan kedaulatan di dalam dan luar negeri.
Kedua,
pemerintah berkewajiban memajukan kesejahteraan umum. Tugas tersebut hanya mungkin dicapai jika
pemerintah serius pada visi dan misi yang dialirkan hirarkhis lewat perencanaan
nasional, provinsi, daerah hingga entitas terkecil desa. Strategi pencapaian
kesejahteraan umum dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam pendekatan pemerintahan kita dapat
menerapkan cara desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Desentralisasi bermakna memberikan
keleluasaan kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya dalam kerangka NKRI.
Keleluasaan dimaksud memungkinkan pemerintah daerah berpikir dan
bertindak secara kreatif, inovatif dan mandiri dalam menjawab tuntutan dan
tantangan sesuai karakteristik masyarakatnya.
Jika cara desentralisasi yang bersifat bottom up mengalami keterbatasan, maka pemerintah dapat menempuh
cara dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang bersifat top down guna mengurangi keterbatasan daerah dalam mencapai tujuan
pencapaian kesejahteraan. Sayangnya,
tujuan baik tersebut belum menampakkan hasil sebagaimana harapan kita.
Desentralisasi masih dipandang sebagai pelimpahan kekuasaan yang memungkinkan
pemerintah daerah dapat berbuat semau-maunya diluar akal sehat kita semua.
Hasilnya, 173 kepala daerah dari 530 daerah otonom terkait korupsi dalam lima
tahun terakhir menurut Kementrian Dalam Negeri. Artinya, terdapat 1/3 kepala
daerah di Indonesia bermasalah, bahkan terdapat 200 berkas baru yang sedang dipersiapkan
untuk diperiksa penegak hukum lewat persetujuan presiden. Kalau boleh
dirata-ratakan dari 3.423 kasus, setiap kepala daerah telah berkontribusi
rata-rata 20 kasus korupsi. 70% dari
kasus tersebut telah diputus pengadilan hingga Juni 2012. Dari jumlah tersebut, 85% terjebak celah
korupsi pengadaan barang dan jasa, sisanya 15% berkelindan dalam penggunaan
APBD, proses perizinan, serta ekses pemilukada yang melahirkan perilaku
pragmatis money politics. Jika
desentralisasi menampilkan potret menyeramkan semacam itu, maka upaya
penyejahteraan rakyat lewat kebijakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan bukan
tanpa masalah. Faktanya, puluhan anggota
DPR dan pejabat birokrasi pusat meringkuk ditahanan dalam kasus lobby dana DPOD. Limpahan dana dalam
bentuk bantuan pembangunan mega-projek mulai PON, Sea Games, Hambalang,
pengadaan sarana kesehatan, pendidikan hingga kitab suci padat berbau suap-menyuap.
Disini negara mengalami kepincangan akibat ketamakan sejumlah aktor
pemerintahan yang menjadi duri dalam daging.
Idealisme negara seakan tersendat lantaran perilaku pragmatisme aparat
yang berupaya menggerogoti sumber daya untuk tujuan mulia. Terlepas dari itu
pemerintah tampaknya tak gentar mencapai tujuan penyejahteraan umum, ditengah
kendala tadi pencapaian sejumlah target yang menjadi indikasi kesejahteraan
seperti pendidikan, kesehatan dan penurunan angka pengangguran menunjukkan
kemajuan dan komitmen yang kuat.
Ketiga, dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa negara
perlu mengontrol dan memastikan pelayanan pendidikan baik kuantitas maupun
kualitas di pusat maupun daerah. Alokasi sebesar 20 persen di sektor pendidikan
selama ini selayaknya menjadi indikator kuat bahwa negara benar-benar
berkomitmen dan bertanggungjawab penuh atas hak masyarakat memperoleh pendidikan
yang wajar. Lewat
pendidikan kita berharap setiap warga negara dapat mandiri dan seterusnya mampu memutuskan siklus kemiskinan. Jika perbandingan Bank Dunia yang mendefenisikan
orang miskin adalah mereka yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$2/hr, atau US$60/bln, maka angka kemiskinan di Indonesia tentu saja cukup merisaukan, dimana 1 dari 5 penduduk Indonesia adalah miskin. BPS
mengungkapkan parameter yangg
menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia berkurang yaitu, inflasi yg
terkendali, penurunan harga beras serta pertumbuhan yang
bertahan sekitar 6,2% sebagai faktor yg memberi
kontribusi positif. Setiap kali survei BPS tentang angka kemiskinan diumumkan
selalu saja dianggap bertolak belakang dengan realitas faktual. Kita “merasa semakin miskin”, tetapi angka
kemiskinan menurun. Berarti pada dasarnya jumlah orang sejahtera semakin banyak. Statistik justru ingin menjelaskan sesuatu secara faktual
untuk menyingkirkan kebenaran yang semata
didasarkan pada perasaan. Berpikir
dan bertindak atas dasar data dan angka adalah keharusan metodologi, tetapi yang paling penting adalah persoalan kemiskinan Indonesia
adalah substansi dibalik angka-angka statistik.
Menurut Huntington (1995), gejolak
sosial ditengah-tengah masyarakat lebih dominan dipicu oleh lahirnya kelompok
yang merasa miskin (miskin relatif) dibanding kelompok yang benar-benar miskin
(miskin absolut).
Dalam hubungan horisontal yang berkaitan dengan toleransi
antar dan intern umat beragama kita merupakan negara
yang paling toleran sebagaimana telah dikemukakan tanpa menutup mata pada beberapa masalah yang bersifat kasuistik dan berskala lokal. Disini perlunya peranan dan ketegasan pemerintah
baik pusat maupun daerah. Untuk toleransi kesenjangan antara kaya dan miskin
kita termasuk negara yang paling dermawan dibanding Amerika Serikat. Survei PIRAC (Public
Interest Research and Advocacy Center) dan Ford Foundation pada 2000 dan 2004 menyimpulkan, masyarakat
Indonesia lebih dermawan daripada masyarakat Amerika. Bandingkan dengan majalah
Time 24 Juli 2000 yang
mengklaim AS paling dermawan di dunia dengan 73% yang mampu berderma. Di Indonesia, 98% yang mampu berderma pada 2000 dan 96% pada 2004. Hasil ini dapat
dilihat pada survei dan analisis di 10 kota melalui distribusi zakat.[9]
Bahkan dalam hubungan antar bangsa dewasa ini, Indonesia merupakan negara yang
memiliki kepercayaan diri tinggi ketika mampu memberi sumbangan sebesar 1
Milyar Dollar kepada IMF (10 Juli 2012). Menurut
catatan Moodys Investasi Service,
Juni 2012, memperlihatkan Indonesia merupakan lima negara yang paling stabil
dalam peluang investasi kedepan. Survei-survei diatas memperlihatkan betapa
sektor ekonomi kita untuk sementara waktu melampaui ketahanan ekonomi negara
lain, sekaligus menunjukkan fundamen ekonomi Indonesia relatif kuat dibanding 10 tahun
lalu yang mengalami krisis ekonomi.
Keempat, berkaitan dengan upaya mewujudkan ketertiban dunia,
indikator external intervention sebenarnya
dapat dilihat dari sejauhmana keterlibatan Indonesia dalam berbagai konflik
international. Dalam masalah Israel-Palestina, Muslim Moro-Philipina, Muslim Pattani-Pemerintah Thailand atau Muslim Rohingya-Pemerintah Myanmar, Indonesia
mengambil bagian strategis didalamnya. Demikian pula dalam hubungan
international di bidang politik (Kerjasama antar parlemen), ekonomi (G-20),
sosial budaya (OKI) dan keamanan global (Climate
Change), secara konkrit Indonesia menjadi bagian yang diperhitungkan. Pengaruh dari semua keterlibatan tersebut
adalah lahirnya persepsi terhadap kepemimpinan
terpercaya. Maka apabila aspek kepemimpinan yang menjadi sorotan publik dewasa
ini, jangan lupa evaluasi World Public
Opinion tahun 2008, Presiden
Indonesia adalah pemimpin terpercaya di Asia
Pacific berdasarkan penilaian aspek pertumbuhan (economie growth),
lapangan kerja (job), pengurangan angka kemiskinan (poverty reduction),
peran international (international roles) dan perubahan iklim (climate
change). Poling dilakukan pada
19.751 responden dari 20 negara mewakili 60 % penduduk di Tiongkok, India, USA, Indonesia, Nigeria, Rusia, Meksiko,
Argentina, Inggris, Perancis, Spanyol, Azerbeijan, Ukraina, Mesir, Jordan,
Iran, Turki, Palestina, Korea Selatan dan Thailand. Lihat tabel berikut:
No.
|
Pemimpin
|
Persentase
|
1.
|
Susilo
Bambang Yudoyono
|
51
|
2.
|
Yasuo
Fukudo
|
32
|
3.
|
Kevin
Rudd
|
31
|
4.
|
Kim
Jong il
|
28
|
5.
|
Manmohan
Singh
|
21
|
6.
|
Gloria
Arroyo Macapagal
|
19
|
Sumber: Suara
Pembaruan,25 Juni 2008
Sekali lagi, terlepas dari penilaian The Fund for Peace dalam berbagai
variabel dan indikator terhadap kegagalan suatu negara, bagi kita yang
terpenting adalah menjadikannya sebagai bahan intropeksi sekaligus jalan untuk
memperbaiki kinerja negara. Tanpa menutup mata, upaya perlindungan
negara terhadap warga negara diluar negeri dalam kasus Tenaga Kerja Indonesia
serta catatan sejumlah blue print
pelanggaran hak azasi manusia kiranya patut untuk diperbaiki dari hari kehari. Dengan
kesadaran itu kita tak perlu minder dalam mempertahankan prestasi serta semua
upaya dalam mencapai tujuan bernegara. Kalau dari 12 indikator kita hanya terpuruk pada 3
aspek, bukankah masih lebih dari 50 persen kita berkondisi sehat walafiat,
sekaligus tentunya lebih mudah memperbaikinya sejak dini tanpa mesti berpangku
tangan. (Balikpapan,Hotel Grand Seniour, 18 Juli 2012).
Referensi
Utama;
Susan Rose-Ackerman, 1998. Lessons from Italy for Latin America, Journal of Public and International Affairs
Azyumardy
Azra, 2012. Indonesia
Negara Gagal?, Republika, Juli 2012
Buyung, Nasution, 2012. Nasehat Untuk SBY, Kompas, Jakarta
Fransisco Manihuruk, Marthin, 2012. Menyoal
Peringkat Indonesia dari Publikasi Failed State Index
2012 (akses,14 Juli 2012)
Hidayat, Syarief,
2000. Kebijakan Otonomi Daerah, Too Much
and Too Soon, Rajawali, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2012. Negara Gagal versus Pemda Gagal,
muhadamlabolo.blogspot.com (akses, 8
Juli 2012)
[1] Disampaikan dalam
acara peluncuran buku Presiden SBY dan
Kemerdekaan Pers Menuju Indonesia Negara Kuat, oleh Isran Noor Center,
Rabu, 18 Juli 2012, Hotel Grand Seniour Balikpapan. Untuk catatan serupa
bandingkan tulisan Azyumardy Azra, tentang Indonesia
Negara Gagal?, Republika, Juli 2012. Lihat juga catatan Marthin Fransisco
Manihuruk, Menyoal Peringkat Indonesia
dari Publikasi Failed State Index 2012 (diakses,14 Juli 2012), atau Muhadam
Labolo tentang Negara Gagal versus Pemda
Gagal, muhadamlabolo.blogspot.com (8 Juli 2012).
[2] Direktur Eksekutif
Penelitian dan Pengembangan SDM pada Isran Noor Center, Pengajar tetap pada Institut
Ilmu Pemerintahan Jakarta, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik
Pemerintahan Jakarta, Ketua Departemen Penelitian dan Pendidikan MIPI, Ketua
Departemen Kajian Strategik IKPTK.
[3] Konsep
Trilogi Pembangunan kini menjadi rujukan yang diadaptasi Abu Rizal Bakrie dalam
persiapan menuju pemilu presiden 2014 (lihat pidato deklarasi Capres Golkar
Juli 2012 di Jakarta).
[4] Dalam kasus Ahmadiyah
misalnya, negara pada akhirnya lepas dari tekanan minoritas sebagaimana catatan
Nasution, Adnan Buyung,
2012. Nasehat untuk SBY, Kompas,
Jakarta
[5] Lihat statement Ketua
MK ketika menjawab pertanyaan Kanselir Jerman tentang peran negara terhadap
perlindungan minoritas di Indonesia, Atheis,
Communiest Welcom, tgl 11 Juli 2012 yang dimuat oleh sejumlah harian
nasional Jakarta.
[6] Dalam 10 tahun
terakhir pasca reformasi, tingkat pertumbuhan rumah ibadah tertinggi justru berada
di agama non Islam, (Kristen 94%, Hindu164%, Islam 64%),
Balitbang Kementrian
Agama dalam Republika, Juni 2012.
[7] Hidayat, Syarif,
2000. Kebijakan Otonomi Daerah, Too Much
and Too Soon, Rajawali, Jakarta.
[8] Lihat hasil evaluasi
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada 124 daerah otonom
tahun 2011-2012.
[9] Azyumardy Azra, Republika,
Kamis, 12 Juli 2008.
Komentar
Posting Komentar