Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Oleh. Muhadam Labolo

Terinspirasi buku Yudi Latif tentang Mata Air Keteladanan, Pancasila dalam Perbuatan (Mizan:2014) sebagai kelanjutan buku pertama Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Kompas Gramedia:2011), serasa penting membicarakan sosok yang pernah dekat dilingkungan kampus IPDN dari pada menemu-kenalkan tokoh-tokoh besar penuh inspirasi kesederhanaan dan kejujuran seperti Hoegoeng Iman Santoso (mantan Kapolri era Soeharto) atau Baharuddin Lopa (Mantan Jaksa Agung era Gus Dur). 

Nama Sartono Hadisumarto bukan semata-mata karena beliau mantan Ketua STPDN pertama (1990-1995), lebih dari itu sederetan pengalamannya sebagai mantan pegawai militer berpangkat Mayjend hingga pernah menjabat Bupati Kampar di Provinsi Riau (1979-1984). Bagi saya, Sartono Hadisumarto adalah salah satu sumber mata air keteladanan selain Indrarto dan Kolonel M. Jaffar selaku pendamping setia selama menjalankan tugas sebagai Ketua STPDN pertama. Saya pikir merekalah Pancasila dalam perbuatan, bukan sekedar tumpukan butir-butir Pancasila yang sulit dihafal ketika itu. 

Suatu ketika di akhir tahun 1994 STPDN pernah mengalami surplus pembiayaan operasional kampus. Tak ada satupun yang menyangka jika kelebihan anggaran yang cukup besar tadi akan dikembalikan ke kas negara, sementara pada saat yang sama kesejahteraan dosen berada dibawah garis keprihatinan pasca rekrutmen dari 21 kampus APDN lokal menjadi APDN Nasional di Jatinangor. 

Mungkin bagi dosen ekonomi menganggap ini sebuah kebodohan dalam soal manajemen keuangan. Dosen politik lain lagi, ini sebuah pencitraan supaya Sartono mungkin akan mendapatkan pujian dari atasan. Sementara bagi dosen administrasi menilai Pak Sartono adalah manajer yang gagal memahami makna efisiensi dan efektivitas dalam organisasi. Apapun penilaian orang, Sartono tampak tak bergeming, ia yakin bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan standar organisasi yang ideal, bahkan lebih dari itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yaitu pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan. 

Jangankan pertanggungjawaban organisasi, pada lingkup pribadi Sartono melakonkan apa yang selama ini dianggap tak lazim bagi pegawai negeri dewasa ini. Kelebihan SPPD yang sejogjanya tiga hari dan hanya terpakai sehari, Ia dengan ikhlas mengembalikan ke Bendahara sisa uang akomodasi yang tak terpakai. Bendahara seringkali dibuat heran dan meyakinkan bahwa ini sudah menjadi hak beliau, namun Sartono tetap saja menolak menerima apa yang tidak Ia kerjakan. Untungnya Bendahara STPDN juga jujur, mereka selalu menyisihkan sisa uang yang dikembalikan selama itu, hingga sekali waktu Sartono membutuhkan biaya untuk keperluan mendadak menolong orang lain, langsung dibantu oleh Bendahara lewat sisa uang yang bertumpuk tadi. 

Sartono punya puluhan anak yatim piatu yang menjadi anak angkat dan dibesarkan hingga menjadi pegawai seperti almarhum Pak Lasak, seorang Khotib yang baik di IPDN. Perbuatan mengembalikan uang seperti itu mungkin berlebihan bagi sebagian orang, bahkan terkesan bodoh, namun Sartono tetaplah Sartono dengan pribadi yang lurus, sederhana dan tegas dalam kepemimpinan sehari-hari. Dengan biaya operasional STPDN saat itu yang sangat minim pertahun (bandingkan sekarang yang hampir mencapai 650 milyar/tahun), STPDN masih mampu menyiapkan standar makanan Praja 4 sehat 5 sempurna. Menza benar-benar menjadi daya tarik bagi Praja, Kantin hanya alternatif yang dibuka sewaktu-waktu. Sekarang mungkin sebaliknya, Kantin menjadi primadona, sementara Menza hanya alternatif disebabkan standar makan Praja yang sangat memprihatinkan. 

Pembangunan kita tampaknya lebih diarahkan pada pembangunan fisik seperti gedung dan pagar, bukan pembangunan sumber daya dan mentalitas yang dapat menjadi gedung dan pagar bagi kader pemerintahan di suatu saat kelak. Hingga Sartono pensiun, Ia hanya seorang masyarakat sipil biasa yang setiap bulan berkesempatan menggunting rambut dibawah pohon rindang dekat rumahnya di Bandung, sambil terkantuk-kantuk oleh tiupan semilir angin dan elusan geli si Tukang Cukur seusianya. 

Seandainya mau, Ia dapat saja ke Salon terbaik di Kota Bandung dengan cukup mengirim sms ke Lurah atau Camat yang pernah menjadi anak didiknya supaya gratis. Tapi Sartono tetap saja pemimpin yang sederhana, jujur dan lurus. Setiap kali angkatan 1 sd 5 reuni dan mengundang Sartono dalam acara tersebut, tetap saja sikap dan perilakunya tak berubah, sekaligus mewanti-wanti agar alumni sebagai Pamongpraja mesti hidup lebih jujur dan lurus dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Pendamping Sartono yang paling diingat ketika itu adalah Pak Jaffar dan Indrarto. Pak Jaffar adalah mantan pengasuh Akmil yang dikaryakan di STPDN. Hingga Ia wafat di Manado tahun 2009, Pak Jaffar masih aktif kembali di Akmil. Sedangkan Indrarto adalah sosok sipil yang oleh praja dianggap sangat disiplin dan berjiwa militer. Maklum, Indrarto anak mantan Rektor IIP pertama (1972) Sajekti Djayadiatma hingga diabadikan menjadi nama salah satu gedung di IIP/IPDN Cilandak Jakarta. Bagi keduanya, semua perintah tertulis maupun lisan Sartono adalah kewajiban yang tak dapat ditawar. Tak pernah ada konflik sekalipun keduanya berlatar belakang militer dan sipil yang kontras. 

Pak Jaffar mampu membedakan mana urusan dinas dan mana urusan keluarga. Suatu ketika seorang Praja dengan rasa takut yang mendalam datang menghadap kerumahnya untuk satu urusan yang sangat penting. Ia hampir tak kuasa menahan rasa takut karena membayangkan bagaimana wajah Pak Jaffar jika berhadapan dengan seorang Praja. Bisa jadi kering tenggorokan atau bahkan berkeringat dingin. Namun ia kaget luar biasa, di depan pintu Pak Jaffar segera melayani Praja dengan kesantunan yang mungkin melebihi keramahan kedua orang tuanya, berbincang panjang kali lebar hingga urusan selesai. Esok hari Pak Jaffar bisa tampil di depan Praja saat apel pagi seperti Singa Padang Pasir memberi semangat dan doktrin yang dapat merasuk ke sum-sum tulang paling dalam.

Pak Indrarto lain lagi, Ia sosok yang hampir sulit membagi senyum bagi Praja. Ia seperti Malaikat Malik yang dapat datang dan pergi sewaktu-waktu tanpa sepengetahuan Praja. Bagi seorang Praja dimasa itu, lebih baik mencari jalan alternatif daripada berpapasan dengan Indrarto yang dapat berakibat koreksi, doktrin, hingga punishment di Tempat Kejadian Perkara (TKP). 

Semua atribut, sikap dan perilaku adalah bagian yang tak pernah habis untuk dijadikan alasan bagi kesempurnaan seorang Praja. Itulah mengapa seorang Praja selalu memeriksa berulang-ulang atribut dan sikap sebelum melangkah meninggalkan barak jika tak ingin mendapatkan koreksi berlapis-lapis (Senior, Darmapati, Wirapati, Senapati, Manggalapati, Pengasuhan, Dosen, Pelatih hingga Ketua STPDN). 

Indrarto memang bukan satu-satunya sosok yang sempurna, tapi Ia bertanggungjawab penuh terhadap kesempurnaan disiplin kader pemerintahan dalam setiap diri Praja. Titik fokus koreksinya bukan pada bawahan, tetapi pada atasan. Mereka yang duduk sebagai Pengurus Korps Manggala Praja (setingkat Senat Mahasiswa/Wahana Abdi Praja/Gubernur Praja dan jajarannya) selalu yang pertama mendapatkan koreksi sebelum mengecek praja satu persatu. Setiap Pengurus Manggala Praja rasanya bosan dan kesal mendengarkan doktrin dan ceramah yang tak henti-hentinya dari Pak Indrarto. 

Petuah di atas mengingatkan saya pada KH Ahmad Dahlan yang selalu mengulang-ulang ajaran pada muridnya hingga mereka bosan dan mengeluh. Namun Dahlan hanya berkata, “apakah kamu sudah mengerjakan apa yang telah saya sampaikan tempo hari?” Jawaban itu persis seperti Indrarto. 

Di penghujung masa baktinya (2009), Ia kembali ke kampung halamannya di sebuah desa kecil di Jogjakarta, tanpa menunggu diperingatkan oleh penguasa kampus agar keluar dari Rumah Dinas. Ia sadar dan berjanji disisa akhir hidupnya untuk mengabdikan diri pada keluarganya, setelah sekian lama kurang diberi perhatian karena tercurah penuh bagi masa depan pendidikan Praja di STPDN. 

Suatu saat Pak Indrarto berkeinginan naik haji, namun biaya tak pernah cukup. Jangankan untuk naik haji, tabungannya yang sedikit walau pernah menduduki jabatan penting di STPDN hanya cukup untuk menyiapkan pondok kecil di Jogja. Di acara reuni Angkatan ke-5 STPDN beberapa tahun lalu Pak Indrarto mendapatkan bantuan sebesar 40 juta untuk naik haji. Ia terima dengan penuh haru, namun sekaligus menolak menerima seluruhnya, Ia hanya butuh separuh untuk berangkat ke Mekkah, sisanya ia kembalikan dengan ucapan trima kasih.

Bagi kita, terlepas kelemahan yang melekat sebagai unsur manusiawi, ketiganya telah mengukir keteladanan sepanjang masa pengabdian mereka yang terbatas namun tak lekang dalam ingatan lebih kurang lima ribuan alumni STPDN sejak tahun 1990-1996. Inilah nilai penting yang menjadi pelajaran berharga bagi saya dan sebagian alumni di tengah miskinnya keteladanan dan kelangkaan Pancasila dalam perbuatan. 

Contoh kecil semacam itu menurut saya adalah sedikit karakter yang terasa hilang (kharassein). Karakter sendiri adalah lukisan jiwa, cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang yang terkait dengan kualitas moral, integritas, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). 

Menurut Yudi Latif dalam pengantar bukunya (2014:xvi), cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan. Mengutip peribahasa Inggris, moral is not taught but caught. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan tidaklah cukup diajarkan (taught) secara kognitif lewat hafalan dan pilihan ganda, melainkan ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. 

Pendidikan karakter seringkali diintrodusir kedalam kelas melalui contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan begitu saja. Tokoh-tokoh fiksi dalam deskripsi kualitatif seringkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, bahkan mengubah dunia. Bukankah kisah Rosie the Riveter menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, kesatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik mendorong pecahnya perang saudara Jerman. Kisah Barbie, boneka molek menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cantik cilik dengan standar gaya dan kecantikan. 

Bandingkan pula bagaimana sinetron Korea akhir-akhir ini mampu melahirkan role model bagi ibu-ibu dan remaja di Indonesia. Jika rekayasa fiksi semacam itu dapat berpengaruh kuat bagi moralitas kita, apatah lagi jika mereka benar-benar pernah ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Sartono, Jaffar dan Indrarto bukan fiksi, namun sosok keteladanan yang memang pernah ada dalam realitas senyatanya di Kampus Manglayang. 

Komentar

  1. bravo STPDN / IPDN, mampir pa ke blog saya yang sederhana... blog aneh dari purna XV http:www.matadunia.net

    BalasHapus
  2. Inspiratif, jadi penjaga idealisme ktika akan melakukan deviasi..

    BalasHapus
  3. 05 Ijin SHARE, Bang Muhadam Labolo....lg kangen 5 Putaran Lari Lap. Parade (Mayjend. Sartono Hadisumarto), Omelan PUDD Almari Barak Maluku Bawah, dan Ransel 3 Bulan menjelang Latistarda Nusantara XVII Jambi....Bangga kami menjadi hasil Tempaan Keras beliau-beliau. BNEB05

    BalasHapus
  4. Cukup untuk mengembalikan kembali kepada hasil tempaan yg sebenarnya

    BalasHapus
  5. Luar Biasaaa...Super Sekali..

    BalasHapus
  6. Semoga masih ada Sartono Sartono yang lain bang , yg bisa membuat lembaga tsb makin maju

    BalasHapus
  7. Terima kasih atas tulisan ini Kak. Tetap semangat Kak, dan semoga selalu berkenan membimbing junior-junior yang sedang mengabdi. Di bahu kita semua perjuangan dan sejarah hebat beliau-beliau ini dipertaruhkan. Semoga kita semua mampu tetap memberikan kebanggan bagi beliau-beliau yang telah purna tugas. Salam hormat

    BalasHapus
  8. Terima kasih atas tulisan ini Kak. Tetap semangat Kak, dan semoga selalu berkenan membimbing junior-junior yang sedang mengabdi. Di bahu kita semua perjuangan dan sejarah hebat beliau-beliau ini dipertaruhkan. Semoga kita semua mampu tetap memberikan kebanggan bagi beliau-beliau yang telah purna tugas. Salam hormat

    BalasHapus
  9. Tulisan yg sangat Bagus.. Serasa baru kemarin keluar dari STPDN.. Semoga yg terbaik buat Pak Sartono, Pak Jafar dan Pak Indrarto, Aamiin

    BalasHapus
  10. Terima kasih atas tulisannya kak, terus terang saya jadi malu dengan diri sendiri, tulisan ini mengingatkan akan kesempurnaan hidup dikesatriaan, semoga kedepannya kami bisa lebih baik.

    BalasHapus
  11. Mohon ijin kk, sebagai angkatan 10, meskipun kami hanya merasakan sentuhan dingin dari pak In tetapi didikan beliau sudah sangat merasuk ke dalam hati kami, dan terus terkenang sampai sekarang bahkan mungkin sampai kapanpun.
    "Sekolah nggak bayar aja sombong"
    Doktrin yg sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam, mengajarkan kita semua untuk selalu mengingat darimana kita berasal dan bagaimana kita bisa sampai pada titik kehidupan kita saat ini.
    Semoga semua jasa2 beliau bertiga bagi anak bangsa tercatat sebagai amalan jariyah yang tak akan pernah putus pahalanya....aamiin...

    BalasHapus
  12. Gombal kamu......rindu akan ucapan beliau

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]