Sejarah Singkat Luwuk
Oleh. Haryanto Djalumang
Luwuk merupakan Ibu kota Kabupaten Banggai di Sulteng. Sayangnya banyak masyarakat belum memahami sejarah terbentuk serta perkembangannya. Luwuk, terletak di ujung timur Sulawesi Tengah. Dalam perjalanannya, kota ini berawal dari sebuah nama yang diberikan penduduknya. Nama itu menjadi pengenal dalam berkomunikasi, sesama warga.
Pada Tahun 1726, di wilayah Pegunungan pesisir Pulau Sulawesi Tengah Bagian Timur, terdapat sekelompok masyarakat. Mereka membentuk persekutuan dengan nama KELEKE. Wilayah kekuasaannya meliputi Keles, Tandos, Mankin Piala & Tontoan. Pemimpinnya dikenal sebagai Bosanyo Keleke (pembesar Keleke) dalam wilayah kekuasaan kerajaan Banggai.
Pada Tahun 1791, masyarakat Keleke mengembangkan wilayah perkampungan di tepi pantai. Mereka berkebun, bercocok-tanam, sambil memancing di laut. Bosanyo Keleke Sula kemudian menamakan tempat perkampungan ini, LUWOK.
Secara etimologis, Luwok berasal dari kata Huk, artinya TELUK. Bentuknya seperti Teluk. Luwok, dalam perkembangannya menjadi pusat perdagangan antara Bangsa Tionghoa, Portugis, Spanyol, Belanda, Arab, Bugis, Makassar, Buton, Jawa, Filipina, Maluku.
Pada tahun 1880, Bosanyo Keleke Mabulang, memerintahkan warganya membentuk perkampungan baru di Luwok (pesisir pantai). Mereka menamakan Kampung Asam Jawa (sekarang Asrama dan rumah KODIM 1308).
Setelah Hindia Belanda menguasai kerajaan Banggai (1908), perumahan warga Keleke di Asam Jawa berbentuk rumah tolok (tinggi). Wilayah ini diperintah Kontrole Belanda Kapten R. Chrissen. Kepada raja Banggai Abdurrahman, diminta untuk memindahkan rumah ke arah pegunungan W (Pegunungan W adalah pegunungan di Luwuk sekarang).
Pada Bosanyo 1912, Mabulang memerintahkan warganya memindahkan rumah mereka dengan cara di Soho "Sohongi" (dipercepat). Kata Sohongi atau dipercepat asal mula penamaan Kelurahan Soho sekarang. Aslinya bernama Kampung Soho. Wilayah Soho meliputi, Sebelah Barat Mangkio, sebelah Selatan Papilon (Dongkalan), sebelah Timur Bungin dan sebelah Utara Luwok (teluk).
Warga Keleke kawin-mawin dengan warga Mangkin Piala, serta suku Bugis-Makassar. Pada 1880, mereka membentuk perkampungan baru, yaitu Kampung Dongkalan, Kampung Jole dan Kampung Simpoung atau sekarang disebut Simpong (Saleh,1994).
Luwok menjadi nama perkampungan yang diadopsi warga Dongkalan. Pada 1901 berganti nama LUWOK. Kepala Kampung Luwok pertama H.Kailo mengumpulkan saudara-saudaranya dari kampung Soho, kampung Jole dan kampung Simpoung membentuk persekutuan baru dengan nama LUWOK. Pemimpin pertama Bosanyo H.Kailo.
Bosanyo kedua Kalia Makmur, ketiga Sinukun, keempat Ipung Mang dan seterusnya (Muhrim Abd.Gani, Arsad Himran dan catatan Rahman Dayanun).
LUWOK kemudian menjadi Pusat Pemerintahan Hindia Belanda pada Tahun 1907, dengan nama Afdeling Ooskust van Celebes (Pantai Timur Sulawesi). Kedudukan Kepala Afdeling di Luwuk, Staatsblad (lembaran Negara) nomor 367, 1907.
Pada 1911 kedudukannya di pindahkan ke Bau-Bau. Tahun 1924 keluar Staatsblad no. 365, Banggai menjadi Onderafdeling berkedudukan di Luwok (Doermier, 1945). Pada 1 April 1908 Raja Abdurahman menandatangani Korte Verklaring (pelakat pendek) dengan pemerintah Hindia Belanda Kapten AR. Cherissen.
Isinya Kerajaan Banggai lepas dari Kesultanan Ternate dan mendapat status sebagai wilayah dengan pemerintahan sendiri (zelfbestuurrende landschappen). Pada 1924, Belanda mengeluarkan lembaran Negara nomor 365. Isinya Kekuasaan Sulawesi Tengah dipusatkan di residen Manade (Manado), dan terbagi dua Afdeling, yaitu Afdeling Donggola dan Afdeling Poso.
Banggai masuk Onderafdeling yang berkedudukan di Luwok. Kepala Onderafdeling Banggai di Luwok dari 1908-1942 masing-masing:
AR. Cherissen, Kapten Van Beek, Kapten J.F.H.I. Goslings, Kapten Paulissen, dan Kapten JJ.Doermier.
Doermier salah satu kontrole Belanda yang aktif dan produktif meneliti Kerajaan banggai, dan mempertahankan disertasinya di Rijks Universitiet, Leiden. Beliau mendapat Gelar DOKTOR, dengan Promotor Prof.Dr.V.E.Korn. Dilanjutkan Kapten Wolrabe.
Pada 15 Mei 1942, Jepang masuk dan mendarat di Luwok di bawah Panglima perangnya Miyamoto. Ia menjadikan Luwok sebagai Pusat Pemerintahan kerajaan Banggai. Pemerintah Jepang membentuk struktur pemerintahan yang disebut, Ken Kanrikan (Afdeling), Bunken Kanrikan (Onderafdeling), Suco (raja), Gunco (Kepala distrik), dan Sonco (Kepala Desa).
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu 15 Agustus 1945 dan kemerdekaan 17 Agustus 1945, Belanda datang kembali dengan membonceng pada Netherland Indies Civil Administration (NICA). Administrasi Sipil Hindia Belanda masuk pelabuhan Luwok.
Armada dipimpin Mayor Welson, seorang Bangsa Australia yang membawa pasukan Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1952, Status Kerajaan Banggai menjadi Swapraja Banggai, dengan Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) raja ke 33 H.Sjoekoeran Aminuddin Amir, berkedudukan di Luwok.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1959 tgl 4 Juli 1959 Tentang Pembentukan Daerah Dati II di Sulawesi, Swapraja Banggai menjadi Kabupaten Banggai, dengan pusat pemerintahan di Luwok atau Luwuk. Bupati pertama Kabupaten Banggai, BIDIN. Luwok kemudian diadopsi masyarakat Dongkalan menjadi Desa dengan Nama Luwuk. Diresmikan menjadi Kelurahan Luwuk sampai saat ini. Luwuk juga menjadi Kecamatan Luwuk sekaligus Ibu Kota Kabupaten Banggai.
*Sumber: Haryanto djalumang*
#Sejarahbanggai
#Sejarahindonesia
Komentar
Posting Komentar