Kegagalan Fauzi Versus Tantangan Jokowi
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Selesai sudah praktek pencitraan
sebagaimana cerita dongeng seribu satu malam, dimana pada akhirnya pasangan pangeran
yang dekat dengan hati rakyatlah yang memperoleh tempat sebagai pemimpin di
kemudian hari. Jika Jakarta adalah
negeri dongeng itu, maka Jokowi-lah sang pangeran tadi. Ia mendapat dukungan di
atas 45% melampaui pasangan lain yang justru dinilai sebagai orang paling
berpengalaman puluhan tahun di lingkungan birokrasi. Untuk sebagian pengamatan
saya, faktor kekalahan Foke dapat saya simpulkan sebagai gejala inses, sekaligus menjadi kebalikan bagi
kemenangan Jokowi. Pertama, inses psikologis partai, yaitu kombinasi
antara Foke (demokrat) dengan Nara (demokrat). Kombinasi ini jelas kontras
antara Jokowi (PDIP) dengan Ahok (Gerindra). Dampak inses ini adalah sekalipun secara formal sebagian besar partai
berteduh di bawah pasangan Foke-Nara, namun secara faktual tak
merepresentasikan keseluruhan atau sebagian diantaranya, dimana semua isi kedai
kopi di borong habis Partai Demokrat. Di
tingkat basis tentu saja relatif tak menguntungkan sama sekali, sebab basis tak
merasa diwakili sekalipun mungkin saja mereka pendukung fanatik salah satu
partai. Kedua, inses etnik, yaitu integrasi antara Foke
(Betawi) dengan Nara (Betawi). Integrasi
tersebut jelas memperkecil cakupan basis etnik secara homogen dibanding Jokowi
(Jawa) dengan Ahok (Tionghoa) yang lebih heterogen. Dampaknya, etnik Betawi
yang selama ini perlahan mengalami kelangkaan hingga menyisakan paguyuban Forum Betawi Rembug sulit mengendalikan
aktivitas pendatang mayoritas Jawa dan Tionghoa yang menguasai jalur
perekonomian dan perdagangan dari berbagai aspek. Ketiga, inses idiologis, yaitu paduan antara
Foke (Islam) dan Nara (Islam). Paduan tersebut secara diametral menghadapkan antara simbol Islam dengan non Islam (Jokowi
Islam-Ahok Kristen). Akibatnya, semakin radikal internalisasi nilai yang
dilakukan oleh kelompok pendukung pemimpin Islam semakin tinggi pula antipati
yang muncul sekalipun bersifat laten. Parahnya, antipati tersebut tidak saja
muncul dari kelompok non Islam, demikian pula kelompok Islam moderat yang
cenderung mendukung pluralitas dalam beragama. Situasi ini jelas semakin
menguntungkan paduan Jokowi-Ahok, dimana ketika pasangan lain rajin berkunjung
ke Masjid, mereka justru berada di lokasi sebaliknya, mall dan cafe yang selama
ini menjadi tempat “berdzikir” gaya
Islam moderat. Keempat, inses informasi. Akumulasi dari ketiga
gejala di atas pada akhirnya menghasilkan satu sumber informasi tanpa melihat
sumber lain yang dapat digunakan sebagai strategi pemenangan. Harus diakui
bahwa hampir semua media berada di pihak Jokowi sehingga publik hampir
kehilangan kesan pada semua kerja keras Foke selama bertahun-tahun. Mengutip motivasi
Teguh (2012) tentang hubungan kesan dan realitas, kesan yang kuat seringkali
mengalahkan realitas yang sesungguhnya. Karena itu, jangan heran jika banyak
pemimpin menang dari hasil jerih payah membangun kesan lewat berbagai media
sekalipun kenyataannya tak sebagus kesan itu sendiri. Sebaliknya, banyak
pemimpin yang telah bekerja keras dalam realitasnya, namun gagal membangun
kesan kuat dihadapan publik sehingga ia di anggap tak berbuat apa-apa. Jokowi membangun kesan kuat sebagai Walikota
Solo yang sukses serta dekat dengan wong cilik sekalipun harus disadari bahwa
Solo bukanlah Jakarta. Hebatnya, publik menganggap Solo sama dengan Jakarta,
bahkan publik pun rupanya memiliki selera yang sama terhadap apa yang pernah
dilakukan Jokowi ketika memimpin Solo. Sebaliknya, Foke gagal membangun kesan kuat
sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sukses membenahi Jakarta, kecuali hiasan
kumis yang diidentikkan dengan pemimpin otoriter dan formalistik. Kesan
tersebut sekaligus menjauhkan Foke dari wong cilik serta mengonci rapat semua
kerja kerasnya selama ini. Akhirnya saya
boleh menyimpulkan bahwa semua gejala inses
yang meruntuhkan impian tim sukses Foke sekaligus menjadi faktor kemenangan
bagi Jokowi-Ahok. So, what next? Tentu saja semua masalah Jakarta yang
dipandang sederhana oleh Jokowi-Ahok mesti dituntaskan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya persis riwayat teks proklamasi yang ditanda-tangani oleh
dua orang, dibacakan di depan Tugu Proklamasi, lalu dijalankan
sesingkat-singkatnya, khususnya mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain. Bagi
saya yang sedikit paham seluk beluk birokrasi pemerintah daerah tentu saja
membayangkan tantangan berat di pelupuk mata. Pertama, melihat siklus APBD hingga bulan oktober tahun ini, sulit membayangkan
semua gagasan yang diperuntukkan bagi wong cilik dalam benak Jokowi-Ahok dapat
terealisasi dalam waktu dekat, sebab jadwal ketuk palu DPRD sudah lewat sebulan
lalu. Ini jelas dapat menyiksa harapan keduanya di tengah kemauan deras wong
cilik dan kegemasan warga ibukota yang menunggu gebrakan perubahan dalam tempo
sesingkat-singkatnya. Simpelnya,
Jokowi dan pendukungnya mesti bersabar dalam kurun waktu delapan bulan kedepan
hingga April 2013 untuk menyusun semua gagasan tadi secara murni dan konsekuen.
Maknanya, semua janji muluk Jokowi baru bisa terealisasi pada tahun 2014. Saya
kuatir Jokowi malah jadi Mendagri pasca pemilu 2014, sehingga menelantarkan
Jakarta lewat Ahok pada dua tahun terakhir. Kedua,
jika keduanya bersikeras menggenjot mesin birokrasi untuk menukar program dan
kegiatan dengan teknik tukar guling,
maka tantangan berikut yang mesti dihadapi adalah birokrasi Pemda DKI Jakarta
yang rigid serta tak terbiasa bekerja
dengan gaya informal sebagaimana dikesankan Jokowi selama ini. Sisi gelap birokrasi
Jakarta adalah memendam kebiasaan lama, bekerja formal dan sentralistik
sebagaimana cara kerja di masa orde baru.
Hal ini di tunjang oleh sistem yang memang di desain sedemikian rupa,
dimana otonomi berada di level provinsi, sehingga baik sistem maupun kultur
praktis tak mengalami perubahan sebagaimana daerah lain pasca implementasi
otonomi daerah yang meletakkan otoritas penuh di level kabupaten/kota. Dalam sistem semacam ini sebenarnya Jokowi
cukup diuntungkan, namun birokrasi Jakarta selama ini terkesan introvert sehingga berjalan sesuai
kekhususannya. Lihat saja bagaimana sosialisasi regulasi yang dilakukan
pemerintah di berbagai event selama ini, saya jarang menemukan birokrasi DKI
bergabung dalam bentuk diklat, workshop, seminar dan sebagainya, kecuali
dilakukan sendiri tanpa bersentuhan dengan birokrasi lain. Ini menunjukkan
kesan exclusive, elitis, introvert dan apatis.
Jika mereka khusus, mengapa Pemda khusus seperti Papua, Jogja dan Aceh tak
ketinggalan rajin membenahi diri? Satu-satunya saya sadari bahwa mereka terlalu
sibuk, melewati sibuknya sekretariat negara mengurus masalah dari Sabang sampai
Merauke. Jelas birokrasi Jakarta adalah barometer, namun mengapa kesibukan
birokrasi tak menunjukkan realitas yang membanggakan, sama halnya dengan
pertanyaan kritis Jokowi dalam sebuah debat, mengapa kerja keras Foke selama ini
tak serta merta mendongkrak dukungan publik hingga 90 persen? Disinilah
masalahnya, Jakarta seperti daerah yang terisolasi sekalipun pada kenyataannya
menjadi terminal bagi semua daerah di Indonesia. Jika birokrasi saja sulit
bersentuhan dan belajar dari pengalaman positif daerah lain, bagaimana mungkin
Foke mampu mengambil hati daerah-daerah di sekitar Jakarta itu sendiri. Saya
kira moment inilah yang di tangkap Jokowi, dimana daerah-daerah pendukung
seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi adalah bagian yang tak terpisahkan
dalam kerangka pembangunan DKI Jakarta yang lebih manusiawi. Jika pandangan
birokrasi lama menganggap daerah-daerah tersebut berada dalam kerangka hubungan
parasistisme, maka birokrasi kedepan haruslah dalam kerangka hubungan simbiosis
mutualisme. Ketiga, tantangan
terakhir yang paling melelahkan bagi Jokowi adalah meyakinkan politisi DKI
Jakarta tentang semua gagasan manis yang terlanjur di obral murah selama ini.
Jika dukungan politik hanya di peroleh dari minoritas PDIP dan Gerindra, maka
sulit membayangkan ide Jokowi dapat terlihat dalam waktu singkat. Apalagi mengingat
siklus perencanaan dalam bentuk Kebijakan Umum Anggaran (KUA) APBD sudah lewat
masa, ibarat jadwal bus way yang tak
kunjung lewat lagi. Tak ada pilihan lain, bayangan saya Jokowi terpaksa akan
menumpang Metromini untuk sampai di tujuan. Kalau saja Metromini layak dan tak
ugal-ugalan tentu saja tak ada masalah, bagaimana kalau sebaliknya. Ini jelas
akan mengundang selera penegak hukum, apakah Polisi, Jaksa hingga institusi super body, KPK. Maklum saja, hukum
dewasa ini tak melihat niat baik kepala daerah, sepanjang menyalahi prosedur,
tak ada ketukan palu DPRD sebagai mekanisme persetujuan legal dianggap sama
dengan nasib Bank Century, sekalipun
dengan alasan darurat, emergensi bahkan krisis sekalipun. Faktanya, ada kepala
daerah yang merasa niat dan tujuannya baik, namun oleh penegak hukum prosedur
dipandang jauh lebih penting dibanding tujuan dan niat yang mulia sekalipun.
Apalagi jika politisi yang suka gaduh memanfaatkan semua peluang tadi sebagai bargaining position, tamatlah sudah
riwayat kepala daerah, seperti kata pepatah lama, maksud hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai. (Jakarta,
22 Okt 2012).
Komentar
Posting Komentar