Dilema Memproduk Leader dan Dealer
Di penghujung tahun naga, memasuki awal
tahun ular air (2013), kita dihadapkan pada semesta masalah dimasa lalu serta
sejumlah agenda besar yang tak mungkin terhindarkan dimasa depan. Akumulasi
masalah itu tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan
secepat-cepatnya tahun ini, sembari mempersiapkan segala sesuatu yang
memungkinkan terselenggaranya pesta besar demokrasi di tahun 2014. Dua agenda
besar yang kita pikirakan saat ini adalah bagaimana melahirkan leader dimasa depan, sekaligus
mengakhiri diproduksinya dealer
sebagaimana kita nikmati hari-hari ini sebagai produk masa lampau. Leader di produk untuk membimbing dan
menuntun kita sebagai warga menuju konsensus bersama dalam kerangka
berpemerintahan. Lewat leader kita
menggantungkan semua harapan bagi upaya mencapai kesejahteraan sejauh mungkin
tanpa kuatir di sita di tengah jalan. Sebaliknya, dealer di desain sebagai sarana untuk menyediakan barang guna
mencapai keuntungan semaksimal mungkin lewat prinsip-prinsip ekonomi yang
bersifat pragmatis. Dengan prinsip itu maka berlakulah mekanisme pasar bebas,
dimana hanya mereka yang memiliki modal yang mampu bertahan serta mengendalikan
pasar sesuka hatinya. Disitu tak ada milik publik, semua hak dan kepemilikan
bergantung pada siapa pemilik modal paling kuat. Mereka yang memiliki semangat
dan kemampuan yang melampaui semua pemilik modal namun lemah dari sisi ekonomi
dengan sendirinya akan tersingkir dari pasar yang tak kenal belas kasihan
semacam itu. Jika pasar dan masjid taruhlah kita klaim sebagai milik publik,
maka seharusnya semua perangkat didalamnya bersifat netral. Karena ia milik
publik, maka seyogyanya pemerintah hadir sebagai wasit yang adil, bukan
penonton apalagi bertindak sebagai pemain utama. Bila pasar dilepaskan begitu
saja, maka penentuan harga ditetapkan berdasarkan kemauan para pemilik modal. Demikian
pula jika masjid kita asumsikan sebagai milik orang perorang, maka penentuan shaf sebelum sholat sudah pasti didasarkan
pada siapa owner pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya, bukan siapa yang paling awal datang di masjid. Inilah
mengapa sarana semacam pasar, masjid dan gelanggang olah raga kita pandang
sebagai fasilitas publik, bukan milik orang perorang yang dapat di atur
sesuka-sukanya. Fakta hari-hari ini, sepanjang garis reformasi tahun 1998
hingga demokratisasi mencapai usia pubertas kita lebih banyak menjumpai dealer dibanding leader. Lewat mekanisme demokrasi langsung di daerah hingga pusat,
kita menemukan sekumpulan dealer
sebagai hasil transaksi pemilu hingga 2009. Dengan karakter dealer tersebut mereka ditasbihkan
sebagai leader. Lucunya ketika sesama
dealer terkadang saling mengabsahkan,
sekaligus bersumpah atas nama rakyat untuk menjadi leader setiap lima tahun. Ini terlihat ketika gubernur pengusaha
melantik bupati/walikota pengusaha. Pada level pusat dan daerah para dealer terbentuk secara kolektif lewat
pemilu legislatif. Di tiap unit pemerintahan sejumlah dealer terpilih lewat ajang pemilukada. Menjadi leader maupun dealer membutuhkan modal. Bedanya yang pertama membutuhkan modal
sosial (social capital), yang kedua
membutuhkan modal ekonomi (economy
capital). Modal sosial merupakan jejaring dimana seorang calon leader diakui dan dipercaya mampu
mengemban amanah sebagai pemimpin dimasa depan. Lewat modal sosial diharapkan
muncul kepercayaan (trust) antara leader
dengan follower sebagai basis
konstituennya. Dengan kepercayaan tadi seorang kandidat memperoleh biaya mulai
dari pendaftaran hingga terpilih menjadi leader.
Demikianlah para senator dan presiden di Amerika terpilih. Bagi dealer, modal ekonomi dibutuhkan untuk
mengembangkan pasar agar semua komoditas dalam bentuk barang dan jasa terjual
sebanyak-banyaknya, tak peduli apakah pasar kehilangan keseimbangan atau tidak,
yang penting balik modal dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Disinilah
bedanya, jika leader berorientasi
pada kepentingan rakyat dengan cara memberikan sebanyak-banyaknya apa yang
menjadi kehendak masyarakat, maka dealer
berorientasi pada profit dengan
menarik sebanyak-banyaknya keuntungan dari masyarakat. Fakta dimana korupsi
menjadi isu paling genit dalam lima tahun terakhir merupakan indikasi dimana
aktivitas para dealer lebih produktif
dari sekedar menjadi leader. Melipatgandakan
harta kekayaan tanpa jelas asal-usulnya sama maknanya dengan berpraktek dealer lewat prosesi leader. Menjadi leader tentu saja berani melepaskan kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan dibanding kepentingan publik yang maha luas sesuai prinsip solus populis supreme lex. Sementara
menjadi dealer artinya berani melepas
kepentingan apa saja termasuk kepentingan publik demi mencapai keuntungan
pribadi sebagaimana prinsip sebaliknya. Dampak dari semua itu menjadikan negara
kelimpungan akibat kehabisan energi di tengah jalan. Raibnya sebagian besar APBN dan APBD dalam
hiruk pikuk demokrasi mengakibatkan kemiskinan dan kebodohan kian menjadi-jadi diberbagai
pelosok negeri ini. Buktinya sederhana,
semua program pemerintah yang mengatasnamakan pengentasan akar kemiskinan di
desa dan perkotaan semisal PNPM, BOS dan BLT hingga subsidi BBM tak kunjung
menurun bahkan dipertahankan dan membengkak dimana-mana. Semua kekeroposan itu tak lain dan tak bukan
kecuali disebabkan oleh meningkatnya asupan dealer
yang menyedot jatah publik hingga kering-kerontang. Jika proses pemilu
legislatif dan pemilukada mendulang modal ekonomi yang tak terhitung jumlahnya,
maka mudah membayangkan bagaimana kasus Hambalang hingga korupsi kepala daerah
dalam berbagai model terjadi sedemikian cepat. Semua itu menunjukkan cara kerja
dealer secara rasional untuk mengembalikan
modal dan keuntungan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Lalu bagaimanakah
cara memperoleh leader seraya
memperkecil peluang bagi tumbuhnya dealer
dimasa mendatang?
Sebagaimana kita sadari, demokrasi
adalah pilihan paling logis yang kita sepakati untuk men-drive lahirnya kepemimpinan yang akuntabel. Dalam pilihan itu pula
kita menyadari kelebihan sekaligus kekurangan demokrasi. Problemnya, selama ini
kita terpaku pada kemolekan demokrasi di sisi luarnya, jauh dari bagian paling
sensitif yang mestinya dipertimbangkan. Inilah implikasi dari pil pahit
demokrasi pada lambung yang tak begitu sehat untuk diadaptasi. Demokrasi rupanya
membutuhkan penyesuaian agar ia dapat menyusui dengan baik. Dengan kesadaran
itu, maka demokrasi ala western
tidaklah tepat di telan bulat-bulat sebagaimana lambung orang Indonesia yang
doyan mengunyah nasi, sagu dan jagung dibanding memaksakan diri melahap gandum
dan hamburger sekalipun pada akhirnya
menjadi ampas yang sama beberapa saat kemudian. Tentu semua itu akan mengganggu
proses pencernaan dalam kerangka kehidupan berpemerintahan yang baik. Menjajakan
demokrasi langsung pada masyarakat dengan literasi pendidikan dan pendapatan
rendah ternyata bukanlah strategi yang tepat dalam melahirkan leader, faktanya yang tumbuh justru dealer. Malangnya, partai politik
sebagai salah satu pilar demokrasi yang menjadi tempat dimana para leader tercipta tak memiliki pola
rekrutmen yang jelas. Faktanya partai
politik surplus mengoleksi calon dealer dibanding leader. Ketika partai politik gagal melakukan seleksi dalam proses
rekrutmen tadi, maka publik dihadapkan pada pilihan yang paling dilematis yaitu
memilih satu leader diantara sembilan
dealer. Yang muncul kemudian adalah
gejala minus interpares bukan primus interpares. Demokrasi, yang kita
harapkan dengan sungguh-sungguh mampu melahirkan leader ternyata baru memproduk dealer
yang gesit muncul dalam gambar baliho, spanduk hingga iklan diberbagai sudut
kota. Jika leader dipilih karena
basis massa di dorong oleh ketulusan dan keikhlasan bagi upaya memperbaiki masa
depannya, maka dealer dipilih karena
basis massa di dorong oleh insting ekonomi yang bersifat instan. Ketika basis
massa berada dalam standar kehidupan dibawah garis kemiskinan dan kebodohan,
maka pilihan paling masuk akal yang dijajakan partai politik pastilah dealer, bukan leader. Dalam hubungan itu tentu partai politik tak bisa disalahkan
sepenuhnya ketika sistem yang digunakan memungkinkan semua itu terjadi.
Satu-satunya cara adalah mengubah mekanisme demokrasi dari langsung menjadi tak
langsung seraya menunggu tingkat literasi pendidikan dan pendapatan masyarakat
menanjak tajam. Pada sisi lain partai politik harus dipaksa mendisiplinkan diri
dengan memperkuat idiologi, memperlihatkan kepada kita akuntabilitas finansialnya
agar tak berkelindan dengan urusan projek dari berbagai penjuru mata angin,
disamping memperjelas sistem rekrutmen kader agar jelas mana leader, mana dealer……
Komentar
Posting Komentar