Merawat Masa Depan Indonesia Melalui Pendekatan Budaya
Meluasnya
berbagai isu budaya lokal di Indonesia kini mulai memasuki tahapan yang cukup
mencemaskan. Kecemasan dimaksud pada level tertentu antara lain munculnya isu
memperjuangkan identitas lokal secara sempit baik pada sistem kepercayaan,
simbol bahasa, sistem ekonomi, sistem sosial, ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Dalam sistem kepercayaan kini lahir kehendak untuk menerapkan satu
idiologi agama tertentu sebagai pondasi tunggal bernegara (FPI & HTI).
Bahasa sebagai simbol komunikasi yang mempersatukan (ke-ika-an) dari realitas perbedaan (ke-bhineka-an) mengalami disfungsi akibat tercemar oleh ujaran
kebencian (hate speech). Sistem
ekonomi ingin diubah kedalam sistem ekonomi nihil riba dan mampu menjamin
keadilan bagi semua orang.[1] Sistem sosial kini
diarahkan pada upaya penguatan identitas lokal melalui sistem politik seperti
putra asli daerah sebagai syarat utama, pemaksaan bendera lokal, penguasaan
tanah atas nama hak ulayat, kebijakan diskriminatif berdasarkan kepentingan
adat, gagasan afirmasi atas dasar eklusivisme, serta keinginan untuk membentuk
sistem pemerintahan lokal sekalipun bersifat simbolik atas dasar argumentasi
sejarah.[2] Perkembangan ilmu
pengetahuan lewat kemajuan teknologi juga telah berimbas pada menurunnya etika
dan moralitas bersosialisasi sebagai identitas bangsa. Kesantunan berbangsa
kini mulai melemah, kesopanan berganti dengan pola basa-basi yang terasa garing.
Pada unsur terakhir dari kebudayaan itu sendiri adalah hilangnya kebanggaan
atas seni dan budaya bangsa akibat meluapnya infiltrasi budaya asing lewat 3 F,
film, food and fashion.[3]
Masalah
di atas sejauh ini diselesaikan melalui berbagai pendekatan khususnya politik
dan ekonomi sebagai dua variabel yang lebih dominan. Bentuknya melalui berbagai
perubahan kebijakan politik seperti lahirnya kebijakan desentralisasi baik
simetrik maupun asimetrik. Sementara
pola perubahan kebijakan dibidang ekonomi lebih dititikberatkan pada pembagian
alokasi sumber daya yang cenderung menguntungkan daerah dalam periode tertentu.
Sayangnya, kedua pendekatan tersebut tetap saja dinilai kurang mampu membangun
kohesivitas berbangsa dan bernegara, dimana tuntutan daerah yang semakin tinggi
dengan mengedepankan isu lokalitas budaya sebagai argumentasi klasik yang coba
diperbaharui dan diulang-ulang. Papua misalnya mencoba membangun isu Ras
Melanesia, demikian pula kecenderungan daerah-daerah lain yang secara laten
mengangkat isu budaya sebagai daya tawar baru dalam membangun komitmen bersama
pemerintah pusat. Tulisan singkat
selanjutnya akan menganalisis pendekatan budaya melalui strategi ASOCA (ability, strength, opportunities, culture
dan agility), serta pilihan kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka
panjang dalam upaya menguatkan dan merawat ke-Indonesiaan dimasa mendatang.
Ketika
Belanda frustasi menghadapi perang Sumatera yang menghabiskan ratusan gulden,
pendekatan keamanan (security approach)
melalui peran militer dianggap gagal meredam perlawanan masyarakat dikawasan
tersebut. Pilihan kebijakan kemudian diubah melalui pendekatan
sosiologi-antropologi. Strategi ini sekalipun membutuhkan waktu yang relatif
lama namun dipandang efektif dalam menurunkan tensi perlawanan lokal akibat
tumbuhnya semangat primordial agama dan etnik. Dalam laporan empat bab oleh
antropolog Prof. Snouck Hurgronje, rekomendasi pentingnya sebagai hasil
analisis budaya dilapangan menjelaskan bagaimana semangat kohesivitas tersebut dapat diintegrasikan dan
dileraikan untuk kepentingan Pemerintah Belanda. Kuncinya terletak pada simbol
kepercayaan adat dan agama sebagai bagian dari kebudayaan yang khas dalam
masyarakat. Rekomendasi tersebut dianggap efektif dalam meredakan perang
Sumatera khususnya Aceh pada periode selanjutnya.[4]
Dalam
kaitan itu, upaya untuk mengendalikan dan meredam masalah-masalah diatas sejauh
ini telah dilakukan pemerintah melalui berbagai pendekatan baik prosperity approach maupun security approach. Harus diakui bahwa
kedua pendekatan tersebut sebagai refleksi dari pendekatan politik dan ekonomi
relatif berhasil dalam jangka pendek, namun sulit untuk jangka panjang.
Alternatif lain adalah pola pendekatan budaya.
Sejauh ini kita memahami bahwa budaya dan kebudayaan nasional sebagai
identitas bangsa adalah puncak-puncak tertinggi dari akumulasi budaya lokal.
Puncak fundamental dari nilai budaya Indonesia itu adalah Pancasila sebagai
falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang menjadi landasan idiil. Pancasila
sebagai akumulasi nilai-nilai menjadi sumber dari segala sumber hukum guna
mendesain kebijakan. Dalam relasi itu
Pancasila menjadi tonggak penting bagi pengembangan nilai ASOCA (Ability, Strength, Opportunities, Culture
dan Agility). Strategi ini digunakan
untuk mendorong lahirnya kebudayaan bangsa yang maju dan kompetitif.[5] Pertama, ability,
kemampuan bangsa hendaknya bertumpu pada pada kekuatan diri sendiri. Kemajuan
Sriwijaya dan Majapahit dimasa lalu adalah bukti adanya kemampuan masyarakatnya
yang bertumpu pada dirinya sendiri. Jepang, Korea, India dan China adalah
contoh negara-negara yang kini bertumbuh dan berkembang diatas kemampuan diri
sendiri sekalipun mesti dimulai dengan mencontoh pada negara-negara maju.
Pengaruh eksternal (globalisasi) dan tuntutan domestik mendorong setiap negara
untuk membangun kekuatan sendiri agar jauh dari ketergantungan pada negara
lain. Dari aspek geopolitik misalnya, terbentuknya terusan Kra di Thailand
sekalipun akan mempengaruhi perekonomian di kawasan Asia Tenggara, namun
kemampuan menggeliatkan ekonomi dalam negeri melalui pembangunan infrastruktur
termasuk tol laut dapat mengantisipasi masalah yang dihadapi dimasa mendatang.
Kelangkaan sumber daya dapat mendorong budaya migrasi, migrasi akan mendorong
mobilitas manusia kesumber-sumber ekonomi vital. Hal ini dapat menciptakan
sumber alternatif baru bagi jaminan kehidupan generasi selanjutnya. Kedua, strength, adalah suatu nilai budaya untuk pantang menyerah dalam
kondisi apapun. Masyarakat NTT adalah contoh dimana kemampuan individunya mampu
menaklukkan kondisi geografis sehingga dapat hidup dan bersinergi dengan
alam. Dengan APBD dibawah 1 triliun
perkabupaten/kota mereka dapat membangun dengan baik dibanding misalnya daerah
dengan APBD diatas 1 triliun. Kondisi alam adalah tantangan sekaligus sumber
daya yang menopang kehidupan manusia. Nilai ini penting dikembangkan
sebagaimana alam Jepang yang hanya kurang lebih 20% dapat ditumbuhi pertanian
namun keunggulan manusianya justru mampu menempatkan negara tersebut sebagai
raksasa ekonomi kedua di dunia. Ketiga, opportunities, yaitu kemampuan bangsa dalam meraih peluang yang
tersedia. Kini banyak diaspora Indonesia yang tersebar diseluruh dunia baik
sebagai peneliti, seniman, artis, dosen, dan sebagainya. Mereka pada dasarnya
adalah warga negara yang mampu mengejar peluang ditengah kebutuhan dunia dewasa
ini. Dalam masyarakat Indonesia, suku Minang, Batak, Bugis dan Tana Toraja
adalah contoh manusia perantau yang selalu melihat peluang dimanapun mereka
berada. Mereka mudah ditemukan didalam dan luar negeri serta bergerak dibidang
ekonomi dan jasa. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi dewasa ini
telah membuka peluang dan tantangan yang
luar biasa dalam kompetisi antar sesama anak bangsa. Keempat, culture, yaitu
kemampuan masyarakat dalam mengadaptasi budayanya (collere, culture) agar kompatibel dengan kebutuhan dewasa ini tanpa
kehilangan jati dirinya. Ditengah dampak globalisasi yang semakin universal dan
mendorong kearah terwujudnya world class
government, kita masih dapat melihat orang India dengan pakaian sarinya,
Jepang dengan kimononya, atau orang Korea dengan Kimchinya. Artinya, kebudayaan
dalam arti luas baik menyangkut idiologi, perilaku maupun artefak dapat menjadi
modal bagi kekuatan bangsa. Kemampuan menyusun seperangkat budaya dalam bentuk
gagasan, tindakan hingga karya nyata dapat memicu kemajuan bangsa. Disadari
bahwa bangsa Indonesia memiliki gagasan idiologi yang kaya dan tersimpan rapi
dalam bentuk mitos, hikayat, dongeng, legenda, atau foklor. Tantangan kedepan yang paling kompetitif
berkaitan dengan masalah performance
budaya yang tampil dalam bentuk sosok manusia yang sportif, bijaksana,
spiritualistik dan seniman. Kelima, agility, bahwa budaya manusia Indonesia
tidak hanya berhenti pada aspek kecerdasan semata, namun diperlukan kemampuan
menganalisis yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah yang sulit (complicated) menjadi lebih sederhana (simple). Terlalu banyak teori tanpa
praktek yang nyata menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari unsur
kebudayaan terasa lamban (menara gading). Sama halnya terlalu banyak kebijakan
yang indah ketika didesain, namun berubah menjadi keputusan-keputusan yang
buruk akibat kegagalan implementator menerjemahkan kebijakan dimaksud.
Disinilah pentingnya menyiapkan sumber daya aparatur (Pamongpraja) yang tidak
saja memadai dalam hal intelektualitas, namun kaya akan kemampuan
mengaplikasikan sebaik dan seindah kebijakan itu sendiri.
Berdasarkan
peta masalah dan analisis diatas terdapat sejumlah solusi jangka pendek dan
jangka panjang. Dalam jangka pendek diperlukan program dan kegiatan kebudayaan
yang bersifat membangun nilai-nilai kemandirian, pantang menyerah, kemampuan
mengambil peluang, penanaman kearifan lokal, serta kemampuan memecahkan masalah
secara praktis dilapangan. Bentuknya dapat berupa pendidikan short time yang bersifat terapan seperti
kewarganegaraan, bela negara, kewirausahaan, pemahaman kearifan lokal sebagai
identitas, serta pengambilan keputusan yang efektif. Demikian pula peningkatan
aktivitas kebudayaan seperti hari ulang tahun daerah, ekpose wisata, karnaval,
dan diskusi kebudayaan. Dalam jangka panjang diperlukan kajian kebudayaan
sebagai alat pemersatu seperti kajian atas isu Melanesia guna memperluas
cakupan maknanya menjadi tidak saja ras Papua, juga Maluku, Maluku Utara,
Ternate, Tidore dan NTT. Dengan demikian intervensi kebijakan kedepan tidak
saja mampu menurunkan ambisi satu daerah untuk memisahkan diri, namun menambah perlakuan
afirmasi bagi daerah-daerah baru yang tercakup pada kawasan Melanesia.
Daftar
Referensi;
Geertz, Clifort, Agama
Jawa, Komunitas Bambu, Jakarta, 2015.
Koentjaraninggrat, Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1971.
………………….,A Preliminary
Description of the Javanese Kinship System, Yale University, Southeast Asia
Studies, 1957.
Labolo, Muhadam, 2017, Desentralisasi
Asimetrik di Indonesia, IPDN, paper.
Suradinata,
Ermaya, Analisis Kepemimpinan, Strategi
Pengambilan Keputusan, Sumedang, Alqaprint, Jatinangor, 2013.
UU No.10 tahun 1998 Tentang Perubahan UU No.7 tahun 1992
Tentang Perbankan
(Dinitriwardani.blog, 2017)
[1]
Sejak lahirnya UU No.10 tahun 1998 Tentang Perubahan UU No.7 tahun 1992 Tentang
Perbankan telah mendorong lahirnya industri perbankan syariah terbanyak
didunia. Setidaknya terdapat 33 bank, 46 lembaga asuransi dan 17 fund yang
menganut sistem syariah (Dinitriwardani.blog,
2017)
[2]
Lihat keinginan sejumlah daerah seperti Ternate, Tidore, Riau, Solo, Kaltim,
Sulsel yang pernah mengajukan proposal baru sebagai daerah asimetrik. Untuk
kajian ini lihat misalnya Labolo, Desentralisasi
Asimetrik di Indonesia, IPDN, paper, 2017.
[3]
Untuk melihat 7 unsur budaya lebih lanjut lihat Koentjaraninggrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, 1971. Bandingkan pula pada buku A Preliminary Description of the Javanese Kinship System, Yale
University, Southeast Asia Studies, 1957.
[4]
Bandingkan catatan Clifford James Geertz dalam memahami masyarakat Jawa melalui
pembagian kelas antara kelas priyayi, santri dan abangan (Agama Jawa, Komunitas Bambu, Jakarta, 2015).
[5]
Suradinata, Ermaya, Analisis
Kepemimpinan, Strategi Pengambilan Keputusan, Sumedang, Alqaprint,
Jatinangor, 2013.
Teori ASOCA sepertinya menjadi jawaban atas kegalauan bangsa ini untuk merawat dan membangun negeri yang lebih baik serta memiliki daya saing dengan bangsa-bangsa lain. Moderinitas tidak melulu selalu update akan kecanggihan perkembangan berbagai macam tekonologi, namun hakikatnya moderintas adalah tetap menjaga akar budaya di tengah arus globlisasi...
BalasHapusSetup Mas Ari,...
HapusThanks ya gan, sangat membantu. Kunjungi juga ya kumpulan tugas akuntansi dan ekonomi
BalasHapus