Tipologi Bawahan dan Lelang Jabatan

-->
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
         
          Sebuah artikel berjudul In Prise of Followers bertahun 1988 karya Robert E Kelley, pakar administrasi perusahaan dari Carnegei-Mellon University menarik jika dihubungkan dengan kebijakan Jokowi melelang jabatan mendahului rancangan undang-undangan aparat sipil negara. Efektivitas kepemimpinan menurut Kelley tidaklah mungkin dapat diraih tanpa ditunjang oleh pemahaman terhadap karakteristik bawahannya. Jika birokrasi kita asumsikan sebagai perusahaan negara, maka bawahan memiliki lima tipe tertentu yang perlu dipahami dengan baik. Pertama, tipe sheep (domba), yaitu bawahan yang memiliki sifat pasif, tidak kritis, kurang inisiatif, serta rendah tanggungjawab. Kelompok ini biasanya berada di level terendah yang bergantung dan menunggu perintah dari pimpinan. Pikiran dan perilakunya seakan telah diprogram sedemikian rupa laiknya robot, pagi hari tepat pukul 07.30 berada di depan absen finger dan pulang tepat waktu pukul 16.00. Mereka hanya menjalankan sesuai perintah pimpinan hingga memasuki usia pensiun. Kedua,  tipe serba setuju (yes follower), yaitu kelompok yang sangat menjaga harmoni, tampak lincah (siap pak!), suka memberi penghormatan berlebihan pada pimpinan (hormat pak!), dan suka merendahkan diri dihadapan pimpinan. Para pimpinan yang lemah serta kurang percaya diri seringkali suka dan terbuai oleh sikap bawahan tipe seperti ini. Ketiga, tipe bawahan penyendiri (alienated followers), yaitu bawahan yang memiliki pikiran kritis dan sikap independen namun enggan tampil untuk memperjuangkan sikap dan pikiran mereka. Kelompok ini bersikap sinis, tidak puas dan silent protest. Mereka tak mau mengambil resiko tampil sebagai oposan terhadap langkah dan kebijakan pimpinan. Keempat, tipe bawahan dengan kategori pencari selamat (survivors). Tipe ini mencirikan bawahan yang bergantung pada sumber mata angin. Mereka menganut prinsip asal selamat saja daripada menanggung resiko dikemudian hari. Baginya tak penting apakah pemimpinnya berjenggot atau tidak, yang penting adem ayem. Kelompok ini mengambil sikap pasif tatkala kondisi kurang nyaman, tetapi agresif pada waktu lain. Tipe kelima adalah tipe efektif, yaitu bawahan yang ideal bagi suksesnya organisasi (effective followers). Bawahan dalam konteks ini memperjuangkan kemajuan diri dan organisasi dengan menjalankan tugas dan kewajiban secara tegas dan bersemangat. Kelompok ini siap mengambil resiko, memiliki inisiatif, serta mampu memecahkan masalah.
Berkaitan dengan kebijakan lelang jabatan dilingkungan Provinsi DKI Jakarta, patut diduga resistensi muncul dari kelompok bawahan tipe ketiga. Berbagai argumentasi pendek disampaikan sebagai bentuk perlawanan lewat Black Berry Mesangger. Berbekal surat edaran Menpan tempohari yang memungkinkan kebijakan lelang jabatan dilakukan, publik tentu saja dibuat bertepuk tangan di tengah kegelisahan ribuan bawahan dalam birokrasi. Maklum, publik yang rata-rata berpengetahuan dangkal (mungkin tak sebatas lutut orang dewasa ketika banjir), tak begitu paham seluk-beluk birokrasi pemerintahan. Belum lagi soal pengaruh dan dampak budaya birokrasi, patologi birokrasi, manajemen birokrasi, struktur birokrasi hingga praktek birokrasi yang sesungguhnya. Apakah alasan Jokowi melakukan kebijakan dimaksud? Apakah para camat dan lurah yang notabene alumni pamongpraja diragukan kemampuannya selama ini? Jika memang diragukan, lalu apakah standar kinerja yang mesti mereka capai supaya tujuan pelayanan pemda terwujud? Tanpa standar pembanding atau ukuran kinerja seperti capaian kinerja pegawai A dan pegawai B, kemaren dan sekarang, atau tanpa hasil penelitian dan evaluasi yang dapat dijadikan rujukan kebijakan, niscaya kebijakan demikian tak akan sepi dari spekulasi publik semacam pengalihan isu banjir dan kemacetan sebagai akar masalah pokok. Di tengah gesekan latent dua matahari kembar (Jokowi-Ahok) yang mulai tercium publik, kini program yang dilakukan pun disadari tak pernah tuntas. Kartu sehat yang baru sepertiga, kartu pintar yang belum separuhnya, relokasi ke rusun baru yang bermasalah, banjir yang tak menemukan jalan keluar serta kemacetan yang tak terpecahkan, kini kita dikejutkan oleh kebijakan lelang jabatan yang mungkin saja belum selesai tiba-tiba dilanjutkan dengan lelang aset pemda, lelang barang peninggalan Si Pitung hingga lelang harga diri kalau perlu! Saya kira lama kelamaan gaya blusukan sambil menjadi sinterklas di pelosok kelurahan tak mampu menutupi masalah yang sebenarnya. Parahnya, publik di drive oleh media hingga kehilangan daya kritis, seakan semua kebijakan Jokowi benar tanpa cela. Faktanya, ketika Foke ditimpa banjir, rame-rame publik di drive menyalahkan pemda sebagai kambing hitam. Sebaliknya, ketika banjir menimpa Jokowi, serentak publik laksana nyanyian koor hymne abdi praja menyalahkan pemerintah pusat. Disisi lain, ketika kebijakan lelang jabatan dilakukan oleh instansi LAN, Menpan dan BAKN, publik tak memberi apresiasi yang setara. Itu instansi besar, bagaimana dilingkup internal kecil birokrasi misalnya? Realitasnya ketika IPDN ingin menjadi laboratorium percobaan lelang jabatan atas posisi Kepala LPM dan Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, hasilnya sungguh sepi dari apresiasi bahkan lenyap di telan bumi. Sejogjanya kita menjadi contoh pertama jika kebijakan semacam itu membawa manfaat yang jelas bagi organisasi birokrasi.
Semestinya, ketika kanal demokrasi dibuka, meritokrasi lebih dulu diperkuat untuk mencegah lahirnya oligarkhi. Kini yang muncul dimana-mana adalah gejala oligarkhi sebagaimana kekuatiran Mahfud MD. Dalam konteks kebijakan lelang jabatan, maksud Jokowi baik, namun jelas menurut saya kurang didasari oleh penelitian terhadap perbandingan kinerja birokrasi sehingga yang tersisa adalah popularitas politik di mata publik. Di benak kita, jabatan publik yang bersifat strategis menjadi ruang yang diperebutkan melalui mekanisme public elected system (demokrasi). Sedangkan jabatan karier merupakan jabatan yang didasarkan pada asas profesionalitas lewat mekanisme political appointed (meritokrasi). Nilai penting dalam lelang jabatan adalah lahirnya competitivenes yang sehat. Mereka yang benar-benar memiliki profesionalitas dan berpengalaman dapat mengajukan diri sebagai yang terbaik dari yang ada (primus interpares). Tak penting apakah dia lulusan pendidikan pamongpraja atau lulusan perguruan tinggi lain, semua berkompetisi lewat standar yang telah ditentukan. Disini secara tak langsung meniadakan fungsi Baperjakat yang selama ini terkesan menjadi Badan Pertimbangan Jauh Dekat. Semangat kompetisi dibutuhkan untuk mendorong kinerja birokrasi agar kelompok bawahan tipe domba (sheep), asal bos senang (yes follower), penyendiri (alienated) dan pencari selamat (survivor) dapat berubah menjadi tipe bawahan yang efektif. Sejauh ini semua tipe bawahan selain tipe terakhir menerima konsekuensi yang sama. Akibatnya, sindiran pintar goblok pendapatan sama (PGPS) menjadi lelucon yang jamak dimana-mana. Kita memang membutuhkan way out atas semua problem ini, namun semua kebijakan sebaiknya diteliti, dianalisis dan dipercobakan sebagaimana karakter kita sebagai akademisi yang selalu ingin mencari tau. Sebagai contoh, berapa lama kinerja lurah dan camat akan diukur? Seratus hari kerja atau dua ratus hari kerja? Indikator apa yang akan diukur? Dengan kesadaran semacam itu kita di dorong kearah penyempurnaan kebijakan yang berkesinambungan. Berhentinya kritik terhadap semua objek adalah awal dari kematian sebuah ilmu pengetahuan. Bagi kalangan akademisi, ciri utama yang mesti dirawat adalah terpeliharanya daya kritis secara berimbang terhadap semua gejala sebagaimana dialektika Hegel, sebab dalam dunia akademik semua yang benar sifatnya relatif dan terbatas oleh ruang dan waktu. Akhirnya, sedapat mungkin kita hindari intervensi kekuasaan yang cenderung memangkas kreativitas dan inovasi agar pikiran dan tindakan berjalan padu. Idealnya, kita ingin pikiran yang maju berkontribusi pula pada pemerintahan yang maju, bukan sebaliknya. Tanpa spirit itu, maka setiap pikiran kita akan berakhir kontradiktif dan harus terpisah seperti lirik lagu Cakra Khan, kuberlari kau terdiam, kuberduka kau bahagia, kumenangis kau tertawa…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian