Problem Partai di Tengah Harapan Publik
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Dalam sistem politik modern, partai
politik menjadi satu-satunya sarana yang kita sepakati untuk mendulang lahirnya
kepemimpinan politik dan pemerintahan. Selihai apapun lembaga sipil non government mereka bukan kelompok
kepentingan (interest group),
melainkan sekelompok penekan yang jauh
dari kepentingan kekuasaan (pressure
group). Dengan posisi strategis itu, partai politik bertanggungjawab dalam
menjajakan berbagai kepentingan masyarakat yang diagregasi dan diartikulasikan
lewat fungsi legislative, budgeting
dan control. Untuk melakukan semua
itu, partai membutuhkan konsensus idiologi sebagai dasar bagi upaya pencapaian
tujuan yang paling mulia, yaitu kesejahteraan rakyat di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Demikianlah makna sejatinya politik menurut Aristoteles
yang bertolak belakang dengan cara pragmatis Machiavelli. Dalam relasi tadi
kita menemukan masalah mendasar partai, yaitu melorotnya idiologi secara
perlahan. Menyusutnya idiologi partai secara substansial dapat diraba lewat
meningkatnya kasus korupsi para politisi baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kasus Hambalang dan Impor Sapi menjadi dua indikasi kuat dimana partai tak
kuasa mempertahankan idiologinya, apakah keadilan atau kesejahteraan. Kini yang
muncul adalah pragmatisasi menghadapi realitas puncak demokrasi lima tahun
sekali. Semua partai yang mengejar angka di atas dua digit membutuhkan logistik
yang tak sedikit. Logistik hanya mungkin diperoleh dari dua sumber utama, yaitu
sumber legal dan ilegal. Sumber legal adalah kontribusi tetap semua pengurus
partai yang mujur menjadi anggota legislatif di pusat dan daerah, termasuk
semua pejabat struktural pemerintahan dari menteri hingga kepala daerah yang
sepakat dengan mahar yang ditetapkan. Tentu saja dengan model partisipasi
semacam itu partai ibarat menghitung koin celengan
Jumat yang sekalipun berat namun tak signifikan membiayai berbagai
aktivitas untuk menumbuhkembangkan aktivitas partai. Kenyataan itu membuat partai
seringkali kehilangan akal sehat dengan menukar idiologinya demi mencapai
tujuan jangka pendek. Faktanya, di level pusat partai tampak teguh
mempertahankan kerapuhan idiologinya, namun di level daerah partai
terang-terangan berselingkuh dengan sejumlah
partai yang jelas berseberangan secara idiologis. PDIP dan PPP misalnya, di tingkat
pusat boleh jadi mereka tampak jaim dan idiologis, namun di ranah lokal mereka seringkali
tidur berdua bahkan mandi wajib bersama. Dilema pragmatis
semacam itu disebabkan partai tak memiliki sumber daya yang memadai untuk
menjalankan gerbong organisasi. Pilihan paling ekstrem adalah mencari
alternatif lewat sumber ilegal. Dengan memanfaatkan fungsi legislasi, budgeting
dan control yang melekat pada sebagian anggotanya, partai dengan mudah menambah
pendapatannya tanpa diketahui publik. Jelaslah sudah bahwa krisis keuangan
partai menjadi problem kedua yang berimbas pada kepentingan masyarakat. Bagi
partai yang tak memiliki akses ke pusat kekuasaan, cara paling efektif mendongkrak
elektabilitasnya dengan menggaet pengusaha, artis dan birokrat plus resiko
kelebihan dan kekurangannya. Pengusaha memiliki modal, artis mempunyai
popularitas, dan birokrat paling tidak tak kurang idiologis. Ini sekaligus
menjawab problem partai dari aspek minimnya keuangan, rendahnya elektabilitas
dan lenyapnya idiologi. Rupa-rupanya ketiga problem tersebut tampak menyatu
lewat karakteristik partai yang bersifat feodalistik, oligarkhis dan
transaksional (Gun Gun, 2013). Feodalistik, karena masa depan partai ditentukan
secara sentralistik meskipun dalam kenyataannya demokrasi menjadi jargon yang
paling populer dijajakan saat partai berhadapan dengan basis konstituen.
Oligarkhis, sebab masa depan kader dalam partai disandarkan pada kebaikan hati
sekelompok orang dalam majelis tinggi atau majelis syuro. Transaksional,
dikarenakan posisi kader dalam konfigurasi elektabilitas demokrasi bergantung
pada seberapa besar kontribusi pada partai. Sekalipun mekanisme proporsional
terbuka memberi kemungkinan besar bagi kader yang paling dikenal terpilih,
namun intervensi elite partai dalam bentuk barter bukan mustahil rentan terjadi.
Problem
terbesar berikutnya yang melanda hampir semua partai politik di Indonesia adalah
sistem rekrutmen. Dimasa orde baru, pola rekrutmen bagi anggota legislatif
berlangsung selektif melalui dua tahap, yaitu tahap seleksi internal partai dan
eksternal pemerintah. Jika hasil
penelitian khusus (litsus) pemerintah seorang kandidat cacat moral, profesional
dan sosial, maka dengan sendirinya partai wajib mengganti calon berikutnya yang
lebih kredibel. Ini cukup ideal, sekalipun rezim berkuasa saat itu (Golkar)
menggunakan mekanisme tersebut untuk menjegal politisi kritis yang dapat muncul
di partai oposisi seperti PPP dan PDI. Bagi seorang kandidat yang berlatar
belakang politisi, birokrat maupun militer, semua harus melalui sistem
kaderisasi berlapis hingga mencapai posisi tertinggi sebagai anggota legislatif
maupun kepala daerah. Di tingkat tersebut para politisi bersentuhan dengan birokrasi
yang secara mekanisme meritokrasi mengantarkan mereka pada titik puncak tertentu.
Sayanganya, semua gambaran itu kini lenyap dengan sendirinya. Birokrasi tampak hidup
gelisah dengan alam oligarkhi, jauh dari meritokrasi sebagaimana cita demokrasi.
Hilangnya sensivitas partai dalam mengokohkan idiologinya guna mencapai
tujuan-tujuan besar dimasa mendatang menjadikan partai tak lagi menjadi sarana
strategis sebagaimana harapan publik. Survei LSI yang dirilis tanggal 18 November
2012 menunjukkan masyarakat semakin alergi menjadi politisi di Senayan. Lebih
kurang 70 persen masyarakat menganggap bahwa jabatan sebagai pekerja politik di
Senayan tak lagi menjadi pekerjaan yang membanggakan. Bahkan hampir 94 persen
masyarakat menilai rendah kinerja politisi di Senayan. Lebih dari itu hampir 60
persen yang tak ingin dirinya dan keluarganya menjadi politisi di Senayan. Ini
jelas membahayakan bagi masa depan bangsa, sebab jika partai tak segera
membenahi diri, maka isi partai dikemudian hari tak lebih dari segerombolan
penyamun, pelawak, tukang ojek, residivis dan cleaning service. Tentu sulit membuktikan mereka mendiskusikan
kesejahteraan rakyat, kecuali mencari sesuap nasi. Posisi strategis partai
membuat kita menyadari bahwa setinggi-tingginya pangkat seorang jenderal, jalan
satu-satunya jika ingin masuk kedalam sistem pemerintahan lewat partai politik
sebagaimana dilakukan Jenderal Soeharto, SBY, Wiranto dan Prabowo.
Sepintar-pintarnya seorang guru besar di perguruan tinggi seperti Profesor
Yusril dan Ryaas Rasyid, jika ingin menjadi bagian dari sistem pemerintahan
pada akhirnya mesti masuk partai politik. Sekaya-kayanya seorang pengusaha
sekelas Jusuf Kalla, Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh, jika ingin bergabung menjadi
bagian dari sistem pemerintahan pada ujungnya menjadi bagian dari salah satu
partai politik. Setinggi-tingginya kharisma seorang kyai semisal Gus Dur, jika
ingin menjadi bagian dari sistem pemerintahan wajib masuk kedalam partai.
Demikian pula setinggi-tingginya pangkat dan jabatan seorang pegawai negeri
sipil seperti mantan Sekjend DPR dan DPD RI (Siti Nurbaya), jika ingin menjadi bagian
dari sistem pemerintahan tak ada cara lain kecuali bergabung dengan partai
politik. Disini partai menjadi harapan besar dalam memproduk lahirnya
kepemimpinan politik dan pemerintahan. Tanpa upaya membangun partai yang sehat,
kita hanya akan memperoleh pemimpin kelas teri yang dengan sengaja meruntuhkan
tujuan dan harapan rakyat lewat perilaku pragmatisme, bahkan melecehkan
birokrasi yang hidup dengan semangat meritokrasi. Dengan idiologi yang kuat,
keuangan yang memadai, serta sistem rekrutmen yang sehat, partai selayaknya
menjadi kawah candradimuka sekaligus
harapan bagi semua rakyat yang di suatu hari nanti secara moral politik
terpanggil untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia. Akhirnya,
tanggungjawab kita semua adalah mendorong partai agar membangun sistem yang
kokoh tanpa melenyapkan ketokohan partai sebagai tradisi yang tetap kompatibel disandarkan
pada tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat kita.
Komentar
Posting Komentar