L a w l e s s
Oleh. Muhadam
Labolo
Judul di atas hasil adaptasi dari
novel Matt Bondurant yang dijadikan film gangster dalam box office pekan ini sekaligus diperankan aktor muda berbakat
seperti Jason Clarke yang pernah bermain dalam film Transformer. Film ini menggambarkan bagaimana hukum kehilangan
kuasa untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Penegak hukum yang korup
menjadi pemicu lahirnya hukum jalanan hingga menjadikan mereka sebagai pahlawan.
(when the law became corrupt, outlaw became heroes). Ketika hukum sebagai
manifestasi pemerintah mengalami kemandulan dan tak mampu memberikan jaminan
bagi keamanan masyarakat, maka hukum secara fungsional lahir untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Hukum pada dasarnya mencerminkan pemerintahnya, sebagaimana
dikatakan Hans Kelsen bahwa pemerintah yang bergerak adalah refleksi dari hukum
dinamis. Sebaliknya, pemerintah yang diam menggambarkan hukum yang bersifat
statis.
Di
sepanjang tahun ini ruang publik kita terkesan kehilangan wibawa hukum. Indikasi buruk itu dapat kita amati sejak
ketegangan berdarah antar aparat negara di Ogan Komering Ulu, kasus Cebongan hingga
tewasnya Kapolsek di Medan yang menyayat hati.
Hukum positif kita seakan mengalami kerontokan, bahkan dipermainkan oleh
penegak hukum itu sendiri. Penegak hukum dan sebagian masyarakat seakan lancar
menemukan jalan alternatif untuk menyelesaikan
setiap masalah. Hukum tampak kosong dalam sindiran klasik Kasi Uang Habis
Perkara (KUHP). Masyarakat kehilangan pijakan sebagai dasar untuk menyelesaikan
berbagai perkara yang menyulut rasa keadilan. Jangankan masyarakat sebagai
objek hukum, penegak hukum sebagai subjek mengalami semacam frustasi dalam
menghadapi ketidakadilan di depan mata. Hukum yang notabene di buat para politisi sebagai pemerintah tak mempan di
badan sendiri, namun tajam menerpa pencuri sandal dan kayu bakar untuk
kebutuhan hidup sehari-hari seorang papa. Itu
fenomena hukum manusia, bagaimana pula dengan hukum Tuhan? Di tengah rasa
frustasi semacam itu, sekelompok orang mengambil resiko lewat cara halus yang
menguji imanensi individu dalam menggapai masa depan secara
instan. Apabila hukum positif kebal menyelesaikan rasa keadilan sehingga
membutuhkan kekerasan jalanan sebagaimana terlihat hari-hari ini, maka hukum
Tuhan rasa-rasanya juga kehilangan kharisma di tengah ramainya selebriti bersekutu
dengan tokoh Eyang Subur untuk menyelesaikan masalah duniawi yang menjanjikan. Bagaimanakah
kekalutan semacam itu diatasi negara dalam sudut
pandang ilmu pemerintahan?
Dalam
catatan Van Poelje (1953), tugas ilmu pemerintahan adalah bagaimana mengelola
kehidupan bersama dalam mencapai kebahagiaan yang seluas-luasnya tanpa
merugikan orang lain secara tidak sah.
Lewat defenisi ini Poelje memaklumkan satu hal pada kita yaitu bagaimana
pemerintah mendorong agar setiap masyarakat mampu mencapai kebahagiaan yang
seluas-luasnya. Kebahagiaan dimaksud
bertalian dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani
berhubungan dengan rasa aman dan nyaman.
Sedangkan kebutuhan rohani bertalian dengan aspek spiritualitas individu dalam
menghadirkan kepuasan batiniah sepanjang waktu. Terhadap upaya
pertama pemerintah berkewajiban menyediakan seperangkat hukum beserta
instrumennya untuk memastikan tercapainya rasa aman dan nyaman setidaknya pada
tingkat yang paling minimal. Sedangkan dalam upaya kedua pemerintah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya media bagi upaya meningkatkan
kepercayaan individu terhadap Tuhannya. Yang pertama bertujuan menopang
tegaknya hukum dalam masyarakat agar tercipta social order, yang kedua bermaksud mendukung tegaknya hukum Tuhan
agar manusia mampu menjaga harmoni di dunia fisik maupun metafika. Untuk
mencapai semua tujuan tadi, Poelje menyarankan tiga cara agar semua kekalutan
semacam itu terhindarkan. Pertama, secara internal pemerintah perlu menumbuhkan-kembangkan basis
keluarga sebagai unit pertama yang bertanggungjawab dalam
membentuk sikap dan watak setiap warga negara
dalam hal terbentuknya kepatuhan domestik.
Saran Poelje selaras dengan sosiolog Mc Iver yang meletakkan
keluarga sebagai basis utama bagi pembibitan pemerintahan. Kegagalan
dalam membentuk kepatuhan anak dalam rumah tangga sebagai unit pemerintahan
terkecil pada tingkat tertentu menjadi ancaman bagi masa
depan
pemerintahan dalam arti luas. Kepatuhan anak dalam unit terkecil merupakan
gambaran dimana kontrol pemerintah secara tak langsung dapat
berjalan efektif. Dengan upaya yang sama
dari setiap unit keluarga, maka harapan bagi terbentuknya masyarakat yang baik,
dalam arti patuh terhadap hukum dan pemerintahnya bukanlah hal yang mustahil terjadi.
Kedua, pemerintah perlu menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan
kewarganegaraan yang berkarakter. Cara ini efektif untuk menumbuhkan semangat
nasionalisme, dimana setiap pembelajar menyadari pentingnya pemerintah sebagai
pengatur yang sah. Pendidikan secara umum menurutnya merupakan tempat bagi
persemaian bibit kesadaran hukum setiap warga Negara. Dengan kesadaran semacam
itu kita selayaknya mewajibkan setiap lembaga pendidikan menanamkan ilmu dan
pengetahuan yang dapat membentuk kesadaran berpemerintahan. Dalam konteks
pendidikan kedinasan kita memiliki nilai strategis untuk menghasilkan birokrat
yang berkualifikasi semacam itu, dan bukan peternakan birokrasi yang mengejar
jumlah daripada kualitas. Dalam ruang pendidikan semacam itulah kita menempa
disiplin birokrat dengan memberi contoh langsung tentang bagaimana hukum ditegakkan
dalam keseimbangan reward and punishment. Bukan reward semata, atau bukan pula menggelar
punishment sebagai insting alamiah. Sebagai
contoh, ketika
sekelompok peserta didik kita naikkan tingkat tanpa ujian
dan nilai yang jelas, maka disanalah hukum sedang kita langgar sekaligus
dipertontonkan secara telanjang di depan peserta didik. Ironisnya,
gejala demikian seringkali dipraktekkan oleh pendidik sebagai sumber moral di
depan mahasiswanya. Semua tindakan semacam itu menjadi preseden buruk bagi siswa ketika mereka berada dilapangan. Dengan kesimpulan
sederhana bahwa semua “bisa diatur”, maka secara sadar kita sedang memproduk
birokrat yang nihil moral dalam lingkup kesadaran dan kepatuhan hukum. Kondisi
demikian pada suatu waktu dapat memicu lahirnya
hukum berdasarkan kemauan masing-masing, dan pada saat yang
sama mendorong seseorang mendapatkan tempat sebagai pahlawan di
tengah kekuasaan dzolim apabila ia mampu menciptakan rasa aman dan nyaman.
Itulah mengapa Poelje menekankan pentingnya dunia pendidikan sebagai
sentral moral bagi terbentuknya kesadaran hukum dalam berpemerintahan. Meningkatnya pelanggaran peserta didik sebenarnya menunjukkan kegagalan
kita pada aspek pencegahan, kecuali melipatgandakan hukuman dan bukan
memanusiakan mereka. Pelanggaran, pembangkangan dan resistensi peserta didik
merupakan indikasi konkrit dimana hukum sebenarnya tak mampu membangun
kesadaran mereka, kecuali menampakkan ketidakadilan dan diskriminasi yang
dipertontonkan setiap saat oleh mereka yang memiliki otoritas mengasuh,
mengajar dan melatih kemanusiaan mereka. Inilah praktek dehumanisasi dalam
dunia pendidikan.
Parahnya, gejala bias semacam itu terkesan dirawat setiap
waktu dan bangga dipresentasikan di depan orang banyak, padahal semua orang
paham duduk soal dan sumber masalah setelah bertahun-tahun menangani masalah
peserta didik. Kecurigaan kita pada akhirnya menukik pada satu kesimpulan yang
menjemukan, bahwa setiap kesalahan peserta didik adalah investasi yang
menjanjikan, alias sumber mata pencaharian sebagaimana polisi menjadikan
tersangka sebagai sumber ATM. Untuk menopang kedua hal tadi Poelje menyarankan
perlunya keteladan pemimpin pemerintahan sebagai examplary center, atau dalam bahasa Afif, Uswatun Hasanah. Dalam teologi China klasik, pemimpin seringkali
dipandang sebagai hukum itu sendiri, sehingga tanpa sistem sekalipun jika ia memiliki
kebaikan utama, maka pemerintahan dengan sendirinya berjalan menurut keinginan
baiknya. Inilah makna pemimpin sebagai pusat moral dan sumber interaksi
(Pamudji:1999). Saran terakhir Poelje adalah perlunya mengembangkan
pendidikan kejuruan untuk mendorong terbentuknya masyarakat dan perangkat
pemerintah yang mampu menyelesaikan setiap masalah secara specifik. Mereka yang
menempa ilmu di bidang pemerintahan misalnya, seharusnya lebih paham tentang
apa itu pemerintahan, mengapa kita membutuhkan pemerintahan, serta bagaimana
sebaiknya pemerintahan tersebut dijalankan. Dengan pemahaman itu kita bercita-cita
dan berkehendak melahirkan birokrasi yang berkualitas, dengan indikasi mampu melayani
masyarakat dengan baik, bukan terjebak dalam kepura-puraan seminar serta
aktivitas seremonial tinggi biaya. Satu hal yang harus kita sadari
bahwa gejala korupsi, kebohongan dan perselingkuhan dalam pemerintahan
merupakan produk dari pendidikan yang gagal, baik pendidikan dalam rumah tangga
maupun pendidikan umum sebagaimana dipikirkan Poelje.
setuju pak
BalasHapusSelamat pagi Kakanda...
BalasHapusSetelah membaca ini rasa2nya saya harus meminjam buku Van Poelje yanh versi Indonesia.
Hormat Kakanda.