Sentimen Kepemimpinan Tanpa Regenerasi
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Isu sentimen
kepemimpinan dalam pembangunan bukanlah hal baru, bahkan menjadi menu tahunan
mahasiswa Institut Ilmu Pemerintahan dan IPDN dalam setiap penelitian meskipun
berskala mikro di level Desa, Kelurahan, Kecamatan hingga Kabupaten/Kota.
Dengan waktu dan biaya terbatas tentu saja hasil penelitian kita bersifat
kasuistik lewat metode kualitatif. Namun bagaimanakah sentimen kepemimpinan
dalam pembangunan pasca desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini? Penelitian
Indonesia Governance Index (IGI) menunjukkan
pada kita bahwa sentimen kepemimpinan yang kuat dapat mendongkrak kinerja dan performance pembangunan di daerah.
Daerah-daerah yang sebelumnya dinakhodai oleh kepala daerah populer dan energik
sekelas Gamawan Fauzi di Sumbar dan Fadel Muhammad di Gorontalo menampakkan
peringkat ketiga dan kedelapan (IGI, 2008). Namun sepeninggal mereka,
daerah-daerah tersebut kini terpuruk hingga berada di peringkat ke 20 dan 22
(IGI, 2013). Demikian halnya dalam kasus Provinsi Bengkulu yang tergelincir ke
peringkat ketiga terburuk sekaligus menerima raport merah setelah Papua Barat
dan Maluku Utara. Penelitian ini memastikan bahwa pengaruh sirkulasi
kepemimpinan politik di suatu provinsi dapat menganulir kinerja dan capaian
birokrasi sebelumnya. Dalam konteks itu, jabatan politik merupakan mata rantai
terlemah dalam sinergi pembangunan. Reformasi politik tanpa birokrasi yang kuat
tak akan menghasilkan pelayanan berkualitas kepada masyarakat. Jelas sudah
bahwa birokrasi di daerah sangat bergantung pada dinamika dan gaya kepemimpinan
kepala daerah. Lewat kultur semacam itu maka pantaslah kiranya birokrasi kita
sulit menghindarkan diri dari karakter feodalistik sejak jaman Sriwijaya. Secara
tak sengaja penelitian tersebut juga menyiratkan bahwa birokrasi di daerah cenderung
bergantung pada orang, bukan sistem. Dan kalau boleh diperlebar, birokrasi kita
entah dimanapun ia tumbuh selalu bergandengan tangan dengan karakter feodalisme.
Lihatlah bagaimana perilaku birokrat ketika mencium tangan sang pemimpin untuk
memperlihatkan kepatuhan pada person, bukan pada sistem secara menyeluruh. Dalam
kasus seorang panglima mencium tangan sang presiden, atau seorang pejabat
rektorat mencium tangan sang rektor saat pelantikan adalah contoh telanjang
bagaimana birokrasi kita lekat dengan gejala feodalisme, dan jauh dari sikap
profesionalisme. Jika demikian maka jawaban yang mesti diberikan adalah
bagaimana melakukan reformasi birokrasi lewat sistem yang kuat sehingga mampu
mengubah kultur birokrasi bekerja berdasarkan profesionalisme, bukan daya suka pemimpin.
Jika reformasi birokrasi mampu mendesain sistem yang kuat, maka pemimpin yang
buruk sekalipun segera dipaksa menjadi baik. Sebaliknya, sistem yang buruk
seringkali memaksa pemimpin yang baik menjadi buruk.
Kepemimpinan
adalah fenomena yang mudah untuk di observasi, namun terkadang sulit untuk
dipahami disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Kurt Lewin
(1890-1947) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan demokratik ternyata lebih
superior dibanding gaya kepemimpinan otokratik maupun gaya kepemimpinan bebas (laissez-faire). Hasil semacam itu dapat
dipahami ketika kepala daerah mampu menggunakan superioritasnya dalam mengelola
pemerintahan dengan segenap otonomi yang diberikan. Sejauh personifikasi
kepemimpinan kepala daerah berada pada jalur yang benar saya pikir superioritas
tadi dapat berujung pada kemajuan pembangunan daerah dalam bentuk inovasi,
kreatifitas dan kemandirian. Sebaliknya dampak superioritas yang diproduksi
lewat gaya kepemimpinan demokratik oleh sebagian kepala daerah ternyata juga melahirkan
304 kepala daerah bermasalah (korupsi) hingga tahun 2013. Fenomena lain dari trend perilaku kepemimpinan misalnya
pada periode pertama SBY berkuasa tampak kecenderungan popularitas yang
menanjak hingga muncul spekulasi bahwa dengan siapapun pasangannya pastilah
akan terpilih. Kenyataannya memang demikian. Namun pada periode terakhir trend pengaruh kepemimpinan SBY mengalami
penurunan yang tajam bahkan jika disandingkan dengan kepala daerah sekelas
Jokowi. Pengaruh, sebagaimana term
influence dalam bahasa Inggris, adalah serapan dari bahasa arab (influenza), sejenis penyakit bengek
yang dapat menimbulkan dampak negatif dilingkungan sekitar tatkala bersin.
Mereka yang memiliki pengaruh kita sebut sebagai pemimpin, sebab memiliki
kemampuan untuk menggerakkan, melibatkan, memobilisasi, mengarahkan dan memberi
perintah sesuai tujuan yang diinginkannya. Pengaruh tersebut lahir dari
kekuasaan, sementara kekuasaan menurut Weber dapat berasal dari kehendak Tuhan
(kekuasaan kharismatik), boleh jadi berasal dari kehendak masyarakat (kekuasaan
traditional), bahkan dapat berasal dari legitimasi undang-undang (kekuasaan
rasional). Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY boleh jadi
pada awalnya memiliki sejumlah pengaruh entah muncul dalam bentuk kharismatik,
traditionalistik maupun rasionalistik, namun pada akhirnya hanya efektif jika
ia mampu mencapai tujuan konstitusional melalui berbagai strategi kebijakan.
Soekarno mampu merealisasikan kemerdekaan hingga mengantarkan bangsa ini ke
pintu gerbang kemerdekaan lewat strategi trisakti, politik, ekonomi dan budaya.
Soeharto mampu mengisi kemerdekaan selama kurang lebih 32 tahun lewat strategi
trilogi pembangunan, stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
hasil-hasilnya. Habibie melanjutkan dengan membuka kran demokratisasi,
desentralisasi dan partisipasi. Gus Dur,
Megawati dan SBY memperkuat dasar-dasar demokrasi, desentralisasi dan partisipasi
masyarakat lewat berbagai strategi yang dipercaya mampu memperkuat bangunan
rumah tangga Indonesia pasca reformasi.
Namun semua pengaruh yang digunakan lewat berbagai strategi disadari
memiliki batasan waktu, sehingga setiap pemimpin seakan tak berkecukupan untuk
menyelesaikan setiap agenda yang ditetapkan. Dalam konteks itu kepemimpinan
membutuhkan suksesi yang mampu meneruskan setiap agenda agar puncak-puncak
kegemilangan yang telah diraih tak mudah patah begitu saja. Disinilah duduk persoalan
kita, dimana kepemimpinan pemerintahan baik daerah maupun pusat selalu gagal
menyiapkan generasi yang memiliki kekuatan sama atau lebih dari itu. Ketika
Gamawan pergi, Sumbar kemungkinan tak memiliki pemimpin yang memiliki energitas
yang sama derajatnya. Demikian pula
ketika Fadel meninggalkan Gorontalo, kemungkinan terjadi kegagalan dalam
mereproduksi pemimpin berikutnya. Di level pusat kiranya sama saja, yang
terjadi adalah kelangkaan sumber daya, yang tersedia hanya stock lama dengan polesan disana-sini. Ditengah kelangkaan tadi,
akhirnya media mencoba mengaduk-aduk sumber kepemimpinan pemerintahan di daerah
yang mungkin dapat menjadi pilihan alternatif. Kini muncullah fenomena Jokowi
yang hampir tak pernah habis dibahas hingga menjadi media darling dimana-mana. Dipandang dari keberhasilan tentu saja
tak bisa dikatakan berhasil, Jakarta tetap sama nasibnya dengan tempo doeloe, macet, banjir, kotor dan
penuh ancaman kriminalitas. Satu-satunya yang tak bisa disangkal adalah
kemampuan Jokowi tampil seadanya, diluar kemewahan para kandidat lain, muncul
dengan gaya kepemimpinan kampung, membasahi diri dengan kotoran, menjongkok
dibawah terowongan gelap, mengadu nasib di pasar kaki lima, atau bersenyawa
dengan kelompok yang selama ini terasa dipinggirkan oleh para pemimpin modern.
Itulah Jokowi, dengan gaya kepemimpinan diluar kebiasaan para pemimpin yang
tampil trendy, bahkan teramat formal
sehingga sulit membangun jembatan antara yang diperintah dan yang memerintah.
Namun, kehebatan itu justru meninggalkan pula masalah baru, yaitu gagal
mempersiapkan generasi selanjutnya di Solo. Dengan demikian dapatlah
dibayangkan selepas itu, seluruh sentimen kepemimpinan yang pernah ditampilkan
lewat karya pembangunan dapat dengan mudah sirna begitu saja tanpa sisa,
disebabkan kegagalan kita mereproduksi pemimpin yang setara dengan mereka.
ijin menanggapi pak, kalau menurut saya, lemahnya pengkaderan pemimpin yang dialami oleh beberapa daerah hal ini terkait dengan parpol yang senantiasa tidak konsisten dalam memberikan pembinaan kadernya sehingga jarang kita melihat sosok pemimpin yang berkesinambungan artinya setelah jokowi atau fadel terlepas darinsolo dan gortal, mka tidak adalagi pemimpin yang mampu sebaik mereka.
BalasHapusYa benar, kita selalu gagal mereproduksi pemimpin. Sejarah kita mungkin juga demikian, setelah Soekarno, mendadak Soeharto. Setelah Soeharto, mendadak Habibie. Setelah Habibie mendadak Gus Dur, dan seterusnya,....
BalasHapus