Diskresi, Tuntutan Moral dan Kealpaan Hukum
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo[2]
I
Ketika rezim Sulaiman As diperhadapkan
pada kasus seorang bayi diperebutkan oleh dua orang ibu, Sulaiman tampaknya tak
menggunakan legalitas formal sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan.[3]
Penggunaan sebilah pedang sebagai media untuk menemukan ibu yang sesungguhnya
merupakan gejala dimana praktek ‘diskresi’ sebagai apa yang menjadi topik
perbincangan kita hari ini memiliki korelasi positif, khususnya penggunaan
kekuasaan (power) oleh setiap
pemimpin. Tanpa diskresi dramatis semacam itu Sulaiman sulit menentukan siapa
sesungguhnya pemilik sah bayi yang diperebutkan. Terlepas apakah status
Sulaiman dalam konteks ini dapat diperdebatkan sebagai pejabat administrasi
publik dalam arti birokrasi, ataukah seorang pemimpin politik yang menetapkan
kebijakan makro dibanding sekedar urusan administrasi yang bersifat teknis, tentu
saja kasus semacam itu membutuhkan suatu intervensi diluar kelaziman sepanjang
terjadi kekosongan hukum (vacum of law) yang
mengatur soal-soal pemerintahan mutakhir serta menyangkut kepentingan
masyarakat yang lebih tinggi (solus
populis supreme lex).
II
Prinsip solus populis supreme lex merupakan salah satu landasan filosofis
bagi setiap penyelenggara pemerintahan. Tanpa itu, maka kebijakan hanya akan
menghasilkan regulasi yang bersifat sempit dan nomotetik. Kebijakan cenderung hanya memproduk pejabat sekelas
robot, sekaligus menihilkan spirit kemanusiaan dalam kebijakan itu sendiri. Bukankah
kebijakan sebagai produk hukum salah satu tujuannya adalah memanusiakan manusia,
bukan menjadikan manusia sebagai instrument mekanik. Disinilah kritik mendasar kita
terhadap prinsip impersonalitas
birokrasi Maximilliam Weber (1864-1920), dimana birokrasi tampak kehilangan humanisme yang justru melayani manusia
itu sendiri. Sebagai manusia, setiap orang paling tidak dilindungi kebebasannya
untuk berekspresi, sekaligus pada saat yang sama perlunya pembatasan kebebasan
ketika bersentuhan dengan kepentingan orang banyak (publik)[4].
Bagi seorang pejabat publik (politisi), yang penting adalah bagaimana memproduk
gagasan besar sebagai keutamaan bagi orang banyak (commons good), sementara bagi seorang pejabat administrasi adalah
bagaimana menjabarkan gagasan besar tadi menjadi putusan teknis yang lebih
efisien, efektif dan fleksibel. Bagi pejabat sepopuler Jokowi, Dahlan Iskan dan
Jusuf Kalla, sebagian besar gagasan mereka menurut pendapat saya adalah bentuk diskresi
dari problematik bangsa yang tak bisa diselesaikan lewat pendekatan struktural-legalistik.
Kasus lelang jabatan Jokowi pada dasarnya adalah kebijakan yang bertentangan
secara legalistik.[5]
Demikian pula sejumlah terobosan Dahlan Iskan yang menghilangkan sejumlah
jabatan dilingkungan BUMN, atau pola-pola penyelesaian masalah Aceh oleh Jusuf
Kalla yang memaksa pejabat birokrasi untuk menata kembali UU Parpol, kewenangan
dalam pemerintahan daerah (agama), termasuk membuat birokrasi pusing memikirkan
pernak-pernik bendera Aceh agar tetap konstitusional. Pada derajat itu, pejabat
birokrasi seringkali mengalami kendala untuk keluar dari pola pikir in of the box. Pejabat administrasi
sebagai bagian dari mesin birokrasi terikat dan terpenjara oleh rules. Orientasi pada aturan yang
sedemikian ketat dan bahkan berlebihan menjadikan birokrasi sulit berpikir out of the box sebagaimana para politisi
yang berupaya mencari ‘kemenangan’ (win) lewat
prinsip menghalalkan segala cara.[6] Diskresi
positif dalam kerangka kemenangan tadi setidaknya dikuatkan oleh hasil survei Indonesia Governance Indeks (IGI, 2013),
bahwa daerah-daerah yang dipimpin oleh kepala daerah populer karena berbagai
inovasi yang ‘tak lazim’ seperti Fadel Muhammad (Gorontalo) dan Gamawan Fauzi (Sumatera
Barat) telah menaikkan indeks kinerja birokrasi yang cukup signifikan sepanjang
tahun 2005-2010.[7]
Sementara diskresi yang berlebihan lewat prinsip ‘menghalalkan segala cara’
telah memproduk 304 kepala daerah berurusan dengan soal-soal korupsi.[8]
III
Dalam khasanah desentralisasi di
Indonesia, dikenal pula jenis desentralisasi dalam arti luas, yaitu medebewind
dan vrij bestuur. Medebewind
biasanya dialih-bahasakan sebagai tugas pembantuan yang berarti hak menjalankan
peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan
berdasarkan perintah pihak atasan itu (The Liang Gie,1967:112).[9]
Sementara istilah Vrij
Bestuur, diartikan kalau ada keragu-raguan tentang siapa yang berwenang
terhadap suatu masalah maka daerah terdekatlah yang mengambil kewenangan itu
(Sinjal, 2001).[10] Pertimbangannya adalah kewenangan dapat
dirinci satu persatu, tetapi tidak ada satupun undang-undang yang dapat
memprediksi masalah-masalah sosial yang berkembang dinamis sehingga bila ada
kevakuman kewenangan penanganan masalah tertentu, maka asas vrij bestuur dapat digunakan sebagai
jalan keluar (way out). Berbeda
dengan Sinjal, Benyamin Hoessein berpendapat bahwa vrij bestuur bukanlah
tipe dari desentralisasi, tetapi diskresi dari seorang pejabat
pemerintahan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang ada.[11]
Dengan adanya vrij bestuur maka pejabat pemerintahan tidak dapat
menghindar dari penyelesaian suatu masalah social dengan alasan tidak ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Disini tampak bahwa pandangan
pertama cenderung menempatkan diskresi secara legalistik sebagai salah satu
cara menyelenggarakan pemerintahan di daerah selain desentralisasi dan
dekonsentrasi. Sementara pendapat kedua lebih menempatkan diskresi secara moral
(local wisdom) untuk menjawab
kekosongan legalistik dalam menjawab persoalan masyarakat.
IV
Terhadap pertanyaan praktis perlukah
diskresi bagi seorang pejabat administrasi, adalah penting melihat kembali
hukum selain moral sebagai sumber pijakan. Tidaklah sulit untuk menyangka bahwa
hukum positif secara nyata tak mampu menjawab persoalan-persoalan pemerintahan
yang kian bertambah. Itulah mengapa Sarlito (2010), menegaskan pentingnya
memberikan tekanan sosiologi pada hukum kita agar tampak lebih manusiawi dan
mencegah terjadinya kebuntuan (deadlock)
dalam menjawab dinamika masalah pemerintahan di Indonesia.[12]
Apakah persoalan-persoalan semacam kehilangan sandal, beberapa buah kelapa
sawit, atau pencurian arus listrik untuk Handphone
seorang tetangga patut di seduh lewat pendekatan legalistik? Tidakkah para
pemimpin lapangan cukup menggunakan diskresi dalam bentuk inisiasi hukum sosial
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (adatrecht)
sebagai instrument penyelesaian perkara tanpa harus menyertakan pasal pencurian
sebagaimana diatur dalam KUHAP? Inilah diskresi sekaligus upaya menghidupkan
kembali hukum secara fungsional, bukan semata-mata bersandar pada aspek struktural-legalistik.
Disini diskresi berkenaan dengan soal-soal kebijaksanaan, atau apa yang kita
sebut dengan wisdom, agar sebuah
kebijakan tidak saja mampu menjangkau masalah yang dihadapi, namun memberi
nuansa urgensif bagi orang banyak. Namun demikian tampak bahwa masalah diskresi
bukan pada soal ontologinya, namun persoalan penting lebih pada aspek
aksiologiknya, misalnya bagaimanakah sebuah kebijaksanaan dapat dibuktikan
sebagai tindakan diskresi bagi kepentingan orang banyak, ataukah sebuah
pelanggaran hukum sebagaimana kasus Bupati Jembrana? Jika diskresi disandarkan
pada aspek hukum, maka dia hanyalah jawaban atas kealpaan hukum itu sendiri.
Tentu saja diskresi lebih cenderung menjawab persoalan moral, dimana suatu
masalah yang menyangkut kepentingan orang banyak lebih utama didahulukan dalam bentuk
intervensi kebijaksanaan daripada membiarkan suatu masalah berkembang menjadi
lebih serius hanya karena tak ada rujukan legalistiknya. Menurut saya jauh
lebih baik mengambil tindakan sekalipun kemungkinan keliru dibanding membiarkan
suatu masalah berlarut-larut. Hal ini dapat menimbulkan implikasi hukum lewat
dugaan pembiaran (high crime). Dalam
konteks inilah kita perlu menempatkan asas diskresi sebagai wujud dari vrij bestuur dalam rancangan
undang-undang pemerintahan daerah dan administrasi pemerintahan, sekaligus
membatasinya guna mencegah terjadinya abuse
of power.
Terkait soal etika dalam diskresi, kita
perlu memikirkan kembali kasus-kasus yang bertalian dengan hal itu. Misalnya,
apakah membiarkan seseorang dilantik dalam penjara sebagaimana kasus Wakil
Bupati Mesuji, atau Walikota Tomohon yang melantik pejabat administrasi dari
balik jeruji besi adalah satu tindakan diskresi yang etis? Jika dilihat
sepintas batasan diskresi sebenarnya terpenuhi, sebab selain tak ada aturan
legal yang dilanggar, terdapat alasan kekosongan hukum dalam pengaturan soal
tersebut, disamping menyangkut kepentingan masyarakat luas yang mungkin saja
dapat mengakibatkan konflik jika tidak dilakukan pelantikan. Namun aspek etika
terhadap diskresi semacam itu patut dipertimbangkan, sehingga masyarakat dapat
membedakan antara mana pejabat dan mana penjahat. Sebersih apapun Toilet di
Brunei Darussalam, tetap saja secara etik kita tak pernah menganggap tempat
semacam itu dapat dijadikan tempat sholat.
[1] Makalah pendek ini disampaikan
dalam diskusi terbatas terhadap Laporan Akhir Kajian Legalitas dan Akuntablitas Diskresi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah di Hotel Traveler, 14 Nov 2013, oleh Balitbang Kemendagri.
[2] Ketua Pusat Kajian
Desentralisasi Forum Doktor IIP/IPDN, Direktur Pusat Kajian Strategik Pemerintahan
Jakarta. Dosen Pasca Sarjana pada IIP/IPDN Jakarta/Jatinangor.
[3] Al Hadisil Anbiya, bab biografi
Sulaiman, diwiriwatkan oleh Bukhari, 6/458 no.3427
[4] Soal ini lihat pokok pikiran
Hobes dan Locke dalam Filsafat Politik, oleh Henry J Schmandt, Pustaka Pelajar,
Jakarta, 2002, hal, 301-329.
[5] Lihat kembali UU Kepegawaian
atau PP Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan.
[6] Makna menghalalkan segala cara
merupakan cara berpikir prakmatis yang diadopsi dalam pertimbangan politik
Machiavelli bagi sang penguasa, lihat Il
Principle (The Princes).
[7] Lihat Survei IGI, Republika, Oktober 2013
[8] Laporan Kemendagri (Otda) hingga
September 2013 terdapat 173 Kepala Daerah bermasalah korupsi, kini meningkat
hingga 304 Kepala Daerah (November 2013).
[9]
Gie, T.L. 1967. Pertumbuhan Pemerintahan
Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta, Gunung Agung.
[10]
Lihat Sinjal, Tali Kendali di Leher 368
Kabupaten, dalam Tempo, 28 Oktober, 2001.
[11]
Untuk hal ini lihat Muluk, Khairul, 2006. Desentralisasi
dan Pemerintahan Daerah, Center for Indonesian Reform, hal.7-8, Bayu Media
Publishing, Jatim.
[12]
Dalam Labolo, Muhadam, 2013, Kekosongan
Etikalitas Pemerintahan, Wadi Press, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar