Prospek Desentralisasi Asimetrik Provinsi DKI Jakarta
Pengantar
Diskusi
Kemajemukan Indonesia dalam
berbagai aspek adalah realitas yang tak terhindarkan. Perbedaan yang terpatri
lewat sesanthi Bhinneka Tunggal Ika
adalah rahmat yang mesti dikelola sebaik mungkin dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebab hanya dengan cara itu kita dapat hidup secara damai. Kenyataan
demikian membutuhkan berbagai pendekatan baik politik, ekonomi maupun aspek
sosial budaya. Dalam konteks itulah pentingnya kita mendiskusikan tentang desentralisasi
asimetrik. Secara konstitusional desentralisasi asimetrik dimungkinkan sebagaimana
amanah UUD 1945 pasal 18B dimana negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan
undang-undang. Sebagai manifestasi dan penghormatan terhadap satuan-satuan
pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa maka pemerintah menetapkan
sejumlah daerah khusus dan istimewa. Daerah khusus dan istimewa tersebut adalah
Provinsi DKI Jakarta, Jogjakarta, Papua dan Papua Barat, serta Nanggroeh Aceh
Darussalam (NAD). Konsekuensi logis dari terbentuknya daerah khusus dan
istimewa memungkinkan daerah-daerah tersebut memiliki kewenangan yang bersifat
khusus dan istimewa pula. Jika Aceh memiliki keistimewaan dalam hal urusan
Syariah Islam, Papua memiliki kekhususan dalam pengelolaan pemerintahan,
Jogjakarta dalam hal kebudayaan, maka Provinsi DKI Jakarta lewat UU Nomor 29
Tahun 2007 memiliki kekhususan dalam hal sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Masalahnya, apakah dengan kondisi DKI Jakarta dewasa ini
yang semakin kompleks membutuhkan perubahan regulasi sehingga pemda mampu
menjawab masalah-masalah yang dihadapi seiring dalam kerangka kewenangan khusus
yang melekat didalamnya.
Landasan
dan Urgensi Kewenangan Khusus Pemerintahan DKI Jakarta
Menurut Surbakti (2014:21), setidak-tidaknya
terdapat dua pasal dalam UUD 1945 yang mengamanatkan desentralisasi asimetrik.
Pertama, pasal 18A ayat (1) yang memerintahkan pengaturan hubungan kewenangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota,
dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintahan daerah kabupaten
dan kota lewat undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kedua, pasal 18B ayat (1) yang
mewajibkan Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang selanjutnya dapat diatur melalui undang-undang. Kesimpulan dari
kedua landasan tersebut memungkinkan pertama, lahirnya urusan pemerintahan di
level provinsi bersifat tak seragam. Kedua, kemungkinan desentralisasi
asimetrik dapat diberikan pada level kabupaten dan kota jika diinginkan.
Problematika urusan
pemerintahan di DKI Jakarta justru terletak pada kekhususannya. Kewenangan
khusus dalam hal sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia tampaknya tak mampu
lagi menjawab problem dan tantangan yang dihadapinya. Kewenangan khusus semestinya
mampu mendorong Pemda memiliki kemampuan untuk mendesain Jakarta agar mampu
merefleksikan status Ibukota Negara. Faktanya, kewenangan khusus dalam
pengelolaan Jakarta sebagai Ibukota Negara belum memperlihatkan hasil yang
maksimal. Semua urusan pemerintahan baik urusan wajib maupun pilihan tak bisa
dibedakan dengan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah
otonom lain. Problem kebijakan pencegahan banjir dalam skala luas, transportasi
massal, urbanisasi hingga desain tata ruang merupakan beberapa contoh
pentingnya DKI Jakarta memiliki kewenangan khusus untuk mendukung eksistensinya
sebagai Ibukota Negara. Pertanyaan pentingnya adalah apakah urusan khusus yang
membedakannya dengan daerah otonom lain sehingga DKI Jakarta mampu
menyelesaikan masalahnya sebagai Ibukota Negara?
Sebagai Ibukota Negara, DKI
Jakarta secara khusus dituntut mampu merepresentasikan dirinya sederajat sebagaimana
Ibukota Negara lain seperti Tokyo, New York, Manila, Singapura atau Den
Hag. Untuk tujuan tersebut DKI Jakarta membutuhkan
kewenangan khusus dalam upaya mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara yang
aman dan nyaman. Aman dalam konteks ini berkaitan dengan semua upaya DKI
Jakarta melalui kewenangan khusus yang dimilikinya untuk menciptakan situasi
kondusif bagi terselenggaranya berbagai aktivitas di Ibukota Negara. Nyaman
merujuk pada semua upaya DKI Jakarta melalui kewenangan khusus yang dimilikinya
untuk menciptakan suasana kehidupan yang bersih, indah dan sehat baik jasmani
maupun rohani. Kewenangan khusus pertama semestinya memungkinkan DKI Jakarta
sebagai Ibukota Negara melalui Undang-Undang 29 tahun 2007 memiliki urusan
dibidang keamanan. Ancaman terhadap DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara adalah
persoalan keamanan bagi setiap individu yang tinggal didalamnya. Dalam hubungan
itu, pertanyaan penting yang mesti dikemukakan adalah perlukah DKI Jakarta
memiliki sebagian urusan keamanan dalam kota sebagaimana dimiliki oleh
pemerintah kota di sejumlah Ibukota Negara? Disadari bahwa urusan keamanan pada
dasarnya merupakan urusan mutlak (absolute)
pemerintah yang tidak diserahkan pada daerah otonom biasa, namun oleh karena
DKI Jakarta berstatus khusus sebagaimana Provinsi Aceh yang diberikan
kekhususan mengelola sebagian besar urusan agama (Syariat Islam), maka bukan
mustahil Pemerintah DKI Jakarta juga dapat diberikan sebagian urusan dalam
bidang keamanan. Dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta dapat bertindak selaku
kepala keamanan daerah setempat yang dapat memerintahkan polisi daerah untuk
melakukan tindakan yang dianggap perlu guna menciptakan keamanan di Ibukota
Negara. Jadi urusan keamanan dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta akan menjadi tanggungjawab
Gubernur sebagaimana tanggungjawab sebagian Walikota di Ibukota Negara
lain. Untuk urusan khusus semacam itu
tentu saja membutuhkan suatu kajian komprehensif bersama pemerintah pusat
(Kepolisian Republik Indonesia).
Tingginya ancaman terhadap aktivitas setiap individu dalam wilayah
Ibukota Negara sudah selayaknya ditunjang oleh kemampuan kepala daerah untuk
merespon cepat berbagai tindakan yang dapat membahayakan dan mengancam
keselamatan warga negara khususnya. Selama ini keamanan dalam wilayah DKI
Jakarta menjadi kewenangan penuh kepolisisan daerah sehingga setiap respon
cepat yang akan dilakukan membutuhkan koordinasi relatif lama selain high cost.
Kewenangan khusus berikutnya
yang perlu dikembangkan adalah upaya pemerintah DKI Jakarta untuk menciptakan
suasana nyaman. Dalam konteks ini suasana nyaman berkaitan dengan perasaan
estetika yang memungkinkan setiap individu yang ada didalamnya merasakan
keindahan, kebersihan dan kesehatan yang layak. Untuk tujuan tersebut DKI
Jakarta membutuhkan kewenangan khusus berkaitan dengan pembangunan yang
mendorong terciptanya lingkungan yang indah, bersih dan sehat. Upaya penciptaan
ketiga suasana tersebut hanya mungkin jika DKI Jakarta memiliki kewenangan
khusus yang secara regional mampu menciptakan kawasan yang memenuhi syarat
hidup indah, bersih dan sehat. Sebagai contoh, kewenangan khusus penataan
lingkungan secara regional membutuhkan dukungan tidak saja pemerintah, demikian
pula daerah lain sebagai penyangga langsung atas eksistensi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara. Dengan kata lain DKI Jakarta setidaknya memiliki kewenangan
khusus yang terintegrasi dengan kewenangan pemerintah dan daerah lain dalam
upaya pencegahan banjir, masalah transportasi massal, urbanisasi hingga
penataan kota. Tanpa kewenangan khusus demikian, maka DKI Jakarta sulit
merepresentaskan dirinya sebagai Ibukota Negara. Menurut Asyad (2014:109) dibanding
daerah lain yang memiliki status yang sama, DKI Jakarta memiliki kemampuan
fiscal yang melampaui daerah lain untuk mengembangkan otonomi khusus. Dengan
demikian diperlukan suatu upaya untuk mendesain kembali undang-undang yang
mengatur kekhususan DKI Jakarta sebagai Ibukota Jakarta. Dua variabel penting
yang mesti disiskusikan dan dikembangkan kedepan yaitu bagaimana menata luas dan
isi kewenangan khusus di Provinsi DKI Jakarta agar mampu menjawab berbagai
ancaman dan tantangan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia.
Saran
Redesain
Memahami
masalah Pemerintah DKI Jakarta, diperlukan suatu revisi terbatas dalam hal
pengembangan kewenangan khusus yang memungkinkan Pemda mampu memposisikan
dirinya sebagai Ibukota Negara. Untuk maksud tersebut, perlu kiranya dilakukan
studi banding pada sejumlah Ibukota Negara untuk melihat luas dan isi
kewenangan yang akan dikembangkan. Variabel luas kewenangan khusus yang akan
dikerjakan oleh Pemerintah DKI Jakarta menjadi salah satu prinsip penting guna
menentukan mana yang menjadi batasan urusan pemerintah dan mana yang dapat
dikembangkan menjadi urusan Pemerintah DKI Jakarta. Variabel isi kewenangan
menyangkut urusan khusus apa yang dapat dikembangkan, ditambah bahkan dikurangi jika dipandang perlu. Sebagai contoh, urusan pengelolaan
perbatasan antar daerah provinsi dapat diserahkan ke pemerintah, karena skala lebih luas dan kompleks jika menjadi prioritas pemerintah daerah DKI Jakarta. Sedangkan urusan yang dapat ditambah misalnya sebagian urusan yang
menyangkut keamanan dalam wilayah Ibukota Negara, termasuk
perencanaan yang bersifat integratif antara pemerintah dan daerah otonom lain
yang menjadi penyokong langsung bagi Provinsi DKI Jakarta. Urusan khusus lain
yang mesti dikembangkan adalah kewenangan pengelolaan pendidikan dan kesehatan,
termasuk pengelolaan sumber daya aparatur dilingkungan Pemerintah DKI Jakarta.
Selama ini berbagai kebijakan populis Jokowi seperti Kartu Pintar, Kartu Sehat
dan Lelang Jabatan tampak memperoleh apresiasi publik, sekalipun pada derajat
tertentu menimbulkan berbagai polemik disebabkan hilangnya pondasi yuridis yang
memungkinkan semua upaya Jokowi dapat dibenarkan dalam kerangka kekhususan DKI
Jakarta. Disinilah pentingnya merevisi UU Nomor 29 Tahun 2007 dalam rangka
mengembangkan kewenangan khusus sebagai konsekuensi diterapkannya
desentralisasi asimetrik.
Sumber Bacaan
Utama ;
Surbakti, Ramlan, 2013. Defisiensi Berbagai Aspek
Kebijakan Otonomi Daerah, Jurnal MIPI Vol. 43, Jakarta
Asyad Armin, 2013. Dilema Desentralisasi Asimetris
Dalam Negara Kesatuan, Jurnal MIPI Vol. 43, Jakarta
Sanit, Arbi, 2010. Perpolitikan Titik berat dan Pemekaran
Daerah Otonom, Jurnal MIPI Vol.33, Jakarta
Hidayat, Syarif, 2010. Desentralisasi, Otonomi Daerah,
dan Transisi Menuju Demokrasi, Jurnal MIPI Vol. 33, Jakarta
Azra, Azyumardi, 2010. Dimensi Politik Pembentukan
Daerah Otonom, Jurnal MIPI Vol. 33, Jakarta
Santoso, Purwo, 2013. Defisiensi Teori Pemerintahan,
Refleksi atas Desentralisasi di Indonesia, Jurnal MIPI Vol.43, Jakarta
Thoha, Mifta, 2013. Desentralisasi di Negara Kesatuan,
Jurnal MIPI Vol.43, Jakarta
Zuhro, Siti R, 2013. Politik Desentralisasi, Masalah
dan Prospeknya, Jurnal MIPI Vol.43, Jakarta
Komentar
Posting Komentar