Peluang dan Ancaman Otonomi Desa Pasca UU Nomor 6 Tahun 2014

oleh. Dr. Muhadam Labolo

Pendahuluan

          Pasca kenaikan kelas PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menjadi UU Nomor 6 Tahun 2014, eksistensi desa tampak memperoleh derajat keninggratan sebahu dengan entitas pemerintahan daerah. Secara historis, posisi desa sebenarnya pernah sederajat lewat Undang-Undang 5 Tahun 1979, bahkan UU 19 Tahun 1965 yang segera layu sebelum berkembang. Pasca reformasi 1998, pengaturan soal desa seakan turun ranjang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang ditindaklanjuti lewat peraturan daerah masing-masing. Dengan harapan besar yang disandarkan pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi desa dibayangkan tumbuh kembali sebagaimana masa sebelum 1979. Sayangnya,  otonomi desa justru mengalami penyusutan akibat ekspansi otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan sekalipun secara ekpslisit dikatakan memiliki otonomi asli. Otonomi desa yang awalnya asli ketika itu berubah menjadi palsu. Harus diakui bahwa pemalsuan otonomi desa sebenarnya telah terjadi sejak diterapkannya UU 5/1979. Orde baru praktis memalsukan semua kumpulan warga dalam bentuk apapun kedalam identitas bernama desa. Kebijakan uniformitas mengakibatkan musnahnya sistem sosial mikro yang menjadi penunjang bagi upaya penyelesaian masalah sosial secara fungsional. Desa dan semua perangkatnya berubah menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan rezim berkuasa secara top down. Dengan sendirinya peran dan kedudukan desa mengalami pergeseran dari entitas sosial yang bertumpu pada kehendak basis alami terkecil masyarakat menjadi unit pemerintahan mikro yang bersandar bagi kepentingan pemerintah.
          Kini desa seakan siuman kembali setelah mengalami tidur panjang (1979-1999), serta pelucutan sebagian besar otonomi aslinya pasca reformasi (1999-2013). Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 setidaknya ingin menjawab dua problem utama, yaitu mengembalikan otonomi asli desa sebagaimana pernah dirampas orde baru, serta pada saat yang sama mengembangkan otonomi desa untuk membatasi intervensi otonomi daerah pasca reformasi. Jika mempelajari substansi pengaturan soal desa dalam batang tubuh, tampak bahwa rezim desa kali ini dengan jelas menjawab persoalan pertama, yaitu menegaskan kembali keragaman desa sebagaimana lebih awal telah dikoreksi oleh UU 22/1999 dan UU 32/2004. Desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing berdasarkan hak asal usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Bahkan lebih dari itu rezim ini memberi tempat bagi tumbuhnya desa adat diluar desa administratif. Terhadap persoalan kedua tampak bahwa desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi kuasa otonomi daerah yang mengancam hingga ke pori-pori desa. Untuk mewujudkan harapan tersebut rezim kali ini memberi senjata yang lebih efektif digunakan desa dalam meningkatkan bargaining position ketika berhadapan dengan supradesa. Persoalannya adalah apakah pengaturan soal desa kedepan akan memberi peluang ataukah menjadi ancaman nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa? Tulisan ini akan melihat akar pertumbuhan dan perkembangan otonomi desa di Indonesia serta sejumlah catatan penting bagi peluang tumbuhnya otonomi desa. Uraian ini juga akan menyertakan beberapa catatan kritis terhadap pengaturan desa yang berpotensi menjadi ancaman dikemudian hari.

Akar Pertumbuhan dan Perkembangan Otonomi Desa
          Secara umum tidak ada satupun sumber yang memberi informasi pasti tentang awal tumbuhnya desa atau semacamnya. Entitas mikro demikian pada awalnya hanyalah kumpulan individu yang terikat menurut kekerabatan keluarga. Perluasan keluarga melalui proses biologis, tuntutan ekonomi dan insting politik kemudian membentuk marga yang semakin ekslusif dengan ciri tertentu misalnya keluarga besar Chaniago di Sumatera Barat atau keluarga Latunrung di Sulawesi Selatan. Dalam perspektif sosiologi pemerintahan, entitas pemerintahan terendah semacam desa diakui merupakan basis tumbuhnya pemerintahan yang lebih luas dan kompleks sebagaimana pemerintahan modern dewasa ini.[3] Desa-desa yang telah ada jauh sebelum itu memiliki konstruksi organisasi paling minimalis dimana kepala desa merupakan simbol dalam semua entitas pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan politik. Integrasi semua fungsi dalam personifikasi kepala desa merupakan konstruksi sistem politik totaliter klasik yang cenderung memberi diskresi bagi kepala desa dalam memainkan peran dominan bagi kehidupan kelompok. Secara kelembagaan kepala desa menjadi representasi politik sebab ia secara traditional dilahirkan untuk memimpin kelompok masyarakat dalam sebutan yang tertua (tetua).[4] Sekalipun terjadi diferensiasi semacam lembaga ekonomi desa yang berfungsi mengelola kekayaan desa, lembaga sosial mengatur perilaku masyarakat desa, serta lembaga keamanan yang bertanggungjawab terhadap ancaman pihak luar, namun secara keseluruhan semua keputusan menjadi otoritas tunggal kepala desa. Keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya bagi kepentingan orang banyak, pemberian hukuman yang setimpal bagi pelanggar sistem sosial, serta keputusan strategis dengan alasan keselamatan anggota keluarga tetap saja ditentukan secara sentralistik kepala desa. Oleh karena desa berada dalam cakupan pemerintahan yang lebih luas, maka peranan kepala desa dalam aspek budaya seringkali menjadi simbol bagi integrasi kepentingan makro-kosmos (alam atas, supradesa), dan mikro-kosmos (alam bawah, infradesa). Dalam hubungan itu Theodore Smith (1985) menegaskan bahwa kepala desa di Indonesia pada hakekatnya memiliki dua aspek penting yaitu pengakuan secara traditional masyarakat sekaligus mewakili pemerintah di desa. Penting dipahami bahwa aspek terakhir menjadi titik tumbuhnya otonomi desa, dimana pengakuan masyarakat secara de fakto adalah spirit utama bagi pemimpin di desa untuk mengembangkannya kedalam urusan pemerintahan yang semakin kompleks sebagai tuntutan yang terus berkembang baik internal maupun eksternal.  Pada titik tertinggi entitas semacam itu berubah menjadi pemerintahan yang lebih kompleks seperti negara. Oleh karena negara merupakan refleksi paling sempurna yang lahir dari rahim desa, maka tidaklah salah jika negara penting mengakui dan menghormati eksistensi desa atau semacamnya sebagai akar-akar pemerintahan.
Desa dengan berbagai aspek diatas pada pokoknya menjadi basis bagi representasi semua entitas dalam batas kumpulan individu yang memiliki karakteristik homogen, terikat kuat secara emosional dalam suatu sistem sosial budaya serta memiliki organisasi yang bersifat primitif dimana kepala desa menjadi sentral gravitasi politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam batasan Beratha (1982:26), desa dimaknai sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat dipegaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial.[5] Batasan tersebut setidaknya menggambarkan karakteristik desa yang menurut Ferdinand Tonies (1887) sejalan dengan karakteristik gemenschaft dibanding gesselschaft.[6]
Secara historis jejak pertumbuhan dan perkembangan desa di Indonesia setidaknya dapat ditelusuri dari catatan Muntinghe kepada Raffles (1811-1817).[7] Namun jauh sebelum temuan tersebut diyakini terdapat desa atau dengan beragam nama lain seperti Dusun, Marga, Kampung, Gampong, Dati, Nagari dan Wanua yang tersebar di wilayah Jawa dan luar Jawa.[8] Hingga memasuki politik etik Belanda, catatan Van der Wals dkk (1872) ketika bertugas sebagai Pamongpraja muda di beberapa daerah menunjukkan bahwa diferensiasi tersebut secara perlahan mengalami perkembangan, dimana pengambilan keputusan menjadi bagian yang diputuskan oleh lembaga hukum tersendiri semacam unit mahkamah syariah di Aceh atau unit kerapatan khusus di Minangkabau. Sekalipun demikian tetap saja pengambilan keputusan akhir memberi peluang bagi keterlibatan pihak eksekutif kepala desa dalam kolektivitas hakim yang disepakati melalui hukum adat setempat. Dalam proses semacam itu desa tampak memperlihatkan bibit demokrasi, dimana pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif, bersifat kelembagaan (adhoc), melibatkan beberapa tokoh yang merepresentasikan kepentingan tertentu, serta dalam suatu wadah yang relatif terpisahkan dari eksekutif. Namun demikian meskipun pelembagaan politik memperlihatkan perubahan kearah deferensiasi, namun kebiasaan pemilihan kepala desa yang awalnya bersifat turun-temurun (tradisionalistik) dikemudian hari berubah pula lewat pemilihan secara tak langsung yang diwakili oleh sekelompok orang. Fenomena tersebut cukup menarik dalam pandangan Raffles (1811), sehingga pola demokrasi representatif oleh sekelompok pengurus desa yang memilih kepala desa kemudian diubah menjadi mekanisme demokrasi langsung dimana kepala desa dipilih oleh masyarakat dari beberapa orang yang dipandang mampu (Nurcholis, 2013:68). Upaya demikian bukan tanpa maksud sama sekali, Raffles berkeinginan memutus jenjang hirarkhi yang selama ini terbentuk antara kaum ninggrat Jawa dengan basis sosial sebagai produk peninggalan kebijakan kolonialisme Belanda mendekati kebangkrutan VOC di Indonesia tahun 1798.[9] Terlepas dari itu, hingga tahun 1854 desa kemudian memperoleh pijakan lewat Regeringsreglement (RR) yang kemudian melahirkan peraturan pelaksanaan berbentuk Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB).[10] Pada masa pendudukan Jepang pengaturan soal desa relatif tak mengalami perubahan signifikan kecuali pembatasan soal masa jabatan kepala desa yang selama ini bergantung pada konsensus dalam masyarakat.
Pasca kemerdekaan Indonesia (1945), pengaturan soal desa sebenarnya tak memperoleh landasan konstitusional yang bersifat eksplisit, kecuali kesatuan masyarakat hukum adat yang telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Satuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati sebagaimana terlihat dalam pengaturan pasal 18B ayat (4) hingga amandemen terakhir pasal 18B ayat (2). Hal ini menyiratkan bahwa hanya satuan masyarakat hukum adat sajalah yang diakui dan dihormati negara, selain satuan daerah yang bersifat khusus/istimewa sebagaimana diatur pula dalam pasal 18B ayat (1). Oleh karena konstitusi tak menyebut jelas eksistensi desa-desa bentukan yang bersifat administratif (desa dinas) setelah kemerdekaan Indonesia, maka sejauh ini harus diakui bahwa logika konstitusi hanya memberi landasan kuat bagi satuan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini di sebut desa adat sesuai penjelasan konstitusi awal.[11] Konsekuensi dari hal itu maka pengaturan selanjutnya oleh UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957 dan UU Nomor 19 Tahun 1965 menempatkan desa sebagai lokus otonomi tingkat tiga. Dengan alasan desa dan semua entitas semacamnya adalah sendi-sendi negara maka perluasan dan dinamisasi desa dibutuhkan untuk mendorong kemajuan negara secara umum. Sekalipun keinginan untuk meningkatkan desa memperoleh pijakan yang cukup, namun keadaan negara yang tak begitu stabil mengakibatkan upaya mewujudkan desa sebagai entitas otonom selain daerah otonom tingkat satu dan dua tak dapat direalisasikan.
Memasuki tahun 1979, desa mengalami degradasi dari desain awal sebagai daerah otonom tingkat tiga. Rezim orde baru lewat UU Nomor 5/1979 meletakkan desa sebagai instrumen birokrasi melalui kebijakan uniformitas terhadap semua entitas mikro di level bawah dengan istilah desa. Sepanjang kebijakan ini diterapkan, desa-desa adat mengalami proses transisi dari suatu sistem nilai lama yang bertumpu pada kepentingan sosial mikro menjadi satu sistem nilai yang bertumpu bagi kepentingan penguasa dan birokrasi. Akibatnya seluruh tatanan desa asli berangsur-angsur mengubah diri secara sistemik atau terpaksa menjadi desa bergaya administratif. Dalam kondisi semacam itu sekalipun tetap bernama desa, namun secara cepat kehilangan otonomi, berorientasi keatas, serta praktis tak tumbuh sebagai entitas yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah desa secara fungsional. Sebenarnya, hancurnya sistem nilai desa dalam 30 tahun terakhir pasca kejatuhan orde baru disadari oleh rezim orde reformasi yang kemudian mencoba memulihkan realitas desa melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sayangnya, upaya menghadirkan wajah desa yang lebih merdeka dalam aspek otonomi aslinya tak juga memperlihatkan hasil yang maksimal. Hal ini justru disebabkan oleh kuatnya ekspansi otonomi daerah yang memasuki pori-pori desa. Desa dan atau nama lain semestinya dapat ditumbuh-kembangkan oleh pemerintah daerah melalui kebijakan yang sesuai dengan karakternya masing-masing. Faktanya, semua kebijakan pemerintah daerah relatif melalui peraturan daerah semakin membatasi otonomi desa, bahkan melenyapkan peluang otonomi yang diakui dan dihormati negara dalam konstitusi. Penempatan sekretaris desa dari pegawai negeri sipil serta longgarnya konsistensi daerah dalam alokasi dana desa membuat desa semakin terpojok dalam kemiskinan otonomi. Akhirnya desa tampak seperti keluar dari himpitan negara selama 30 tahun dalam kerangka local state government, tiba-tiba berada dibawah ketiak pemerintah daerah dalam pendekatan yang lebih interventif atas nama otonomi daerah (local self government). Harus dikatakan bahwa episode desa dalam kurun waktu otonomi daerah dilaksanakan tak memberi perubahan signifikan, kecuali sejumlah daerah yang secara politis mencoba mengintrodusir desa lewat bantuan diatas 1 milyar.[12]

Peluang Tumbuhnya Otonomi Desa
Pengaturan eksistensi desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mesti diakui memberi peluang bagi tumbuhnya otonomi desa. Sejumlah tekanan dalam beberapa pasal memberi diskresi yang memungkinkan otonomi desa tumbuh disertai beberapa syarat yang mesti diperhatikan oleh pemerintah desa, masyarakat desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Syarat tersebut penting menjadi perhatian utama jika tidak ingin melihat kondisi desa bertambah malang nasibnya. Dari aspek kewenangan, terdapat tambahan kewenangan desa selain kewenangan yang didasarkan pada hak asal usul sebagaimana diakui dan dihormati negara. Tampak bahwa asas subsidiaritas yang melandasi undang-undang desa memberikan keleluasaan dalam penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Kewenangan lokal berskala desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa, atau  yang muncul karena perkembangan desa dan prakasa masyarakat desa, antara lain tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan desa, rembung desa dan jalan desa. Konsekuensi dari pertambahan kewenangan tersebut memungkinkan desa dapat mengembangkan otonomi yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat setempat. Implikasinya desa dapat menggunakan sumber keuangan yang berasal dari negara dan pemerintah daerah untuk mengembangkan semua kewenangan yang telah ada, yang baru muncul, dan sejumlah kewenangan lain yang mungkin merupakan penugasan dari supradesa. Untuk mendukung pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut, desa dan kepala desa memiliki kewenangan yang luas guna mengembangkan otonomi asli melalui sumber keuangan yang tersedia. Sterilisasi desa dari perangkat desa yang berasal dari pegawai negeri sipil menjadi momentum bagi pemerintah desa untuk mengembangkan otonominya sesuai perencanaan yang diinginkan tanpa perlu takut di sensor ketat oleh sekretaris desa. Selain kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang telah ada dan kewenangan berskala lokal desa, semua kewenangan tambahan yang ditugaskan oleh pemerintah daerah maupun pusat hanya mungkin dilaksanakan jika disertai oleh pembiayaan yang jelas. Terkait dengan itu, undang-undang desa menentukan bahwa sumber keuangan desa secara umum berasal dari APBN, APBD, PAD dan sumber lain yang sah. Jika diperkirakan pemerintah mampu menggelontorkan setiap desa sebanyak 10% dari total APBN, plus ADD sebesar 10% dari Pajak/Retribusi/DAU/DBH, ditambah Pendapatan Asli Desa dan sumbangan lain yang sah, maka setiap desa kemungkinan akan mengelola dana di atas 1 Milyar perdesa pada 72.944 desa di Indonesia.[13] Dengan sumber keuangan yang relatif cukup dibanding kuantitas urusan yang akan dilaksanakan, desa sebetulnya dapat lebih fokus dalam mengintenfisikasi pelayanan publik serta pembangunan dalam skala yang lebih kecil. Kenyataan tersebut setidaknya mendorong otonomi yang dimiliki untuk menjadikan semua urusan yang telah diakui dan dihormati negara, ditambah urusan skala lokal bukan sekedar pajangan, tetapi akumulasi dari seluruh aset yang memungkinkan desa bertambah kaya dengan modal yang dimilikinya. Sumber asli yang berasal dari desa dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik agar masyarakat dapat lebih efisien dan efektif dilayani oleh pemerintah desa. Penyelenggaraan pemerintahan desa selama ini menggambarkan rendahnya dukungan sarana dan prasarana sehingga pelayanan di desa tak maksimal. Kantor desa bahkan secara umum tak berfungsi kecuali pada waktu-waktu tertentu. Dalam banyak hal desa harus diakui tertinggal dari berbagai aspek disebabkan rendahnya dukungan pemerintah daerah sekalipun dalam semangat otonomi. Sementara sumber keuangan yang berasal dari APBN dapat diarahkan bagi  kepentingan pembangunan desa. Tentu saja selain alokasi pembangunan yang berasal dari pemerintah, desa dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dalam jangka panjang sehingga terjadi pembangunan desa yang berkelanjutan. Realitas desa sejauh ini menunjukkan lemahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya kemiskinan dan pengangguran sehingga menurunkan daya saing desa dibanding kota. Sumber keuangan negara setidaknya berpeluang mendorong laju pertumbuhan ekonomi desa sehingga tak jauh ketinggalan dibanding kota. Sekalipun demikian, alokasi APBN tidaklah merupakan wujud dari pendekatan local state government semata, tetapi lebih merupakan tanggungjawab negara yang diamanahkan konstitusi. Demikian pula alokasi APBD bukanlah merupakan manifestasi dari pendekatan local self government semata, namun perintah undang-undang pemerintahan daerah. Jadi, sekalipun desa dalam undang-undang ini bersifat self governing community, namun negara dan pemerintah daerah tetap bertanggungjawab untuk mengakui, menghormati dan memelihara keberlangsungan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa.  Bentuk pengakuan negara terhadap desa dapat dilihat dari pengakuan atas realitas keberagaman desa di berbagai daerah (asas rekognisi). Sedangkan konkritisasi dari penghormatan negara terhadap desa adalah terbukanya kran alokasi negara secara langsung yang akan dikelola desa (asas subsidiaritas). Penggunaan kedua asas tersebut sekalipun didahului oleh pengakuan konstitusi atas keragaman dan batasan desa dalam pengertian umum (desa, desa adat dan atau nama lain), setidaknya menjadi pijakan konkrit dalam pengaturan desa lebih lanjut di tingkat daerah masing-masing.
Terkait postur organisasi pemerintahan desa, batasan pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa semata tanpa posisi BPD. Batasan tersebut berbeda jika dibandingkan dengan pengaturan dalam PP Nomor 72 tahun 2005, dimana pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan BPD. Pemisahan posisi kepala desa beserta perangkatnya dari BPD memungkinkan pemerintahan desa lebih efektif dalam melaksanakan otonomi desa selain kewajiban dari supradesa. Pengalaman menunjukkan bahwa kolektivitas kepala desa dan BPD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa sulit dilaksanakan karena kedua lembaga tak selalu sejalan dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan. Terpisahnya posisi BPD memungkinkan pemerintah desa dapat lebih leluasa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa pengawasan ketat BPD yang selama ini relatif sulit hidup sekamar dengan pemerintah desa. Bias dari kondisi semacam itu tak jarang membuat desa kurang dinamis, bahkan statis karena saling menunggu persetujuan yang berlarut-larut. Selain itu, separasi semacam itu bertujuan untuk menciptakan pemerintahan desa yang lebih modern, dimana secara politik terjadi diferensiasi antara desainer kebijakan (BPD) dan implementator kebijakan (kepala desa). BPD setidaknya mewakili masyarakat yang dipilih secara demokratis untuk membahas suatu kebijakan sebelum dilaksanakan oleh pemerintah desa. Kebijakan desa dimulai dari tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi. Perencanaan desa merupakan perencanaan jangka menengah yang dijabarkan dalam bentuk perencanaan pembangunan tahunan. Perencanaan desa dapat dikembangkan sejalan dengan periodisasi kepemimpinan kepala desa yang dapat mencapai tiga kali masing-masing selama enam tahun. Artinya, perencanaan menengah desa dapat berjalan selama 18 tahun bergantung pada elektabilitas kepala desa. Dengan demikian selama periodisasi yang relatif lebih lama dibanding kepala daerah yang hanya dua periode, desa dengan sendirinya berpeluang meletakkan perencanaan secara berkelanjutan melalui prioritas yang disepakati bersama masyarakat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, desa membutuhkan partisipasi aktif masyarakat. Peluang bagi pengembangan otonomi desa yang demokratis tampak terbuka lebar dimana masyarakat berhak memperoleh informasi, melakukan pemantauan serta melaporkan semua aktivitas yang dinilai kurang transparan kepada pemerintah desa dan BPD. Proses semacam ini merupakan bentuk pembelajaran partisipasi demokrasi melalui siklus perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan di desa. Dengan demikian tercipta mekanisme bottom up yang senyatanya, bukan rekayasa musyawarah pembangunan desa seperti yang terjadi selama ini. Pembangunan desa sejauh ini tak memperlihatkan hasil signifikan karena tak jelas darimana sumber penunjangnya. Alokasi dana desa yang semestinya terjadi tampak bergantung pada kemurahan hati pemerintah daerah. Sementara pendapatan asli desa menyusut hingga tak bersisa akibat meresapnya peraturan daerah hingga ke kawasan desa yang paling strategis. Dalam regulasi inilah pembangunan desa diharapkan dapat ditopang lewat aset desa, termasuk sumber keuangan desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Aset Desa dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa. Sumber keuangan desa berasal dari pendapatan asli desa, negara, pemerintah daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan BUM desa dapat digunakan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Pembangunan desa juga meliputi upaya pengembangan kawasan desa dengan maksud untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Desa memiliki hak untuk dilibatkan dalam perencanaan makro pemerintah daerah sehingga desa tak sekedar menjadi objek pembangunan semata. Selain itu desa berhak memperoleh akses informasi yang dapat dikelola bagi kepentingan stakeholders terkait. Hal itu mendukung terciptanya proses pemerintahan yang lebih transparan dalam kerangka good governance. Lebih dari itu peluang pengembangan otonomi memungkinkan desa dapat meluaskan pembangunan melalui strategi kerjasama dengan desa lain yang saling menguntungkan.

Ancaman Otonomi Desa
Besarnya kewenangan desa dan kepala desa dalam hal luas dan isi disatu pihak memberi peluang bagi upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya otonomi desa, namun disisi lain bukan mustahil menjadi ancaman bagi perkembangan desa dimasa akan datang. Kewenangan desa yang luas ditunjang oleh sumber keuangan yang menjanjikan tampak seperti pisau belati bermata dua. Dalam konteks BPD misalnya, sekalipun dinyatakan dalam undang-undang BPD berada diluar batasan pengertian pemerintahan desa, namun praktis BPD tak memiliki fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas kepala desa. Kekuatiran tersebut bukan tanpa alasan, sebab pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala desa disampaikan kepada kepala daerah, dan bukan kepada BPD. Tugas BPD selain berfungsi sebagai lembaga pemerintahan hanya melakukan pembahasan dan menerima laporan dari masyarakat, tanpa kewenangan yang bersifat punishment. Kondisi semacam itu dapat melemahkan BPD sekaligus pada saat yang sama menguatkan kepala desa (executive heavy). Harus diakui bahwa batasan tentang pemerintahan desa disatu sisi memberi keleluasaan bagi pemerintah desa dalam menjalankan program desa, namun disisi lain cenderung mengurangi chek and balance system sehingga pemerintah desa berpeluang absen dari pengawasan wakil masyarakat. Luasnya kewenangan pemerintah desa tanpa pengawasan kuat BPD pada akhirnya membuka peluang korupsi di desa disebabkan sumber daya aparatur yang minim, apalagi jika pemerintah lalai dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana amanat undang-undang desa. Secara logika pengelolaan otonomi desa yang menjanjikan semacam itu tanpa pembinaan lewat pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan keuangan desa justru dapat mendorong desa keruang tahanan kejaksaan. Peluang korupsi tidak saja terbuka lebar secara internal pemerintah desa, demikian pula faktor eksternal berupa rent seeking pemerintah daerah. Diluar itu, potensi terjadinya korupsi secara sistemik dimungkinkan karena peluang seorang kepala desa dapat bertahan selama 6 kali 3 periode sehingga dengan mudah dapat melanggengkan kekuasaan lewat penggunaan sumber keuangan dan kewenangan yang luas. Semakin rendah pendidikan masyarakat semakin rendah pula daya kritis mereka terhadap pemerintah desa. Keadaan demikian akan memudahkan pemerintah desa melakukan berbagai modus yang menguntungkan diri dan keluarga dekatnya. Kecenderungan demikian semakin sering terjadi pada sebagian besar desa yang tak cukup memiliki integritas moral dan derajat pendidikan yang memadai. Dalam banyak kasus pemerintah desa seringkali berselingkuh dengan pemerintah daerah untuk saling menutupi berbagai kelemahan pertanggungjawaban, sekaligus merawat hubungan patron clien dengan sejumlah pejabat yang bertanggungjawab dalam distribusi alokasi dana desa. Secara historis bakat feodalisme pemerintah desa adalah produk kolonial yang cenderung lebih berorientasi pada kepentingan majikan/tuannya daripada kepentingan masyarakat. Kondisi demikian seringkali menjebak pemerintah desa lupa diri hingga terciptanya oligarkhi, nepotisme, bahkan otoritarianisme pemerintahan desa. Terciptanya gejala demikian dimulai sejak era Raffles berkuasa (1811-1816), dimana sistem seleksi kepala desa tampak berjalan secara demokratis setelah melalui serangkaian manipulasi untuk kepentingan politik penjajah. Namun harus disadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan demokrasi desa di Indonesia menurut Nurcholis (2012:68) tidaklah sama sebagaimana pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia barat. Perbedaan pendidikan dan kedewasaan politik masyarakat barat dan Indonesia mengakibatkan demokrasi di tingkat desa hingga dua ratus tahun lamanya tak menghasilkan demokrasi substansial, kecuali demokrasi prosedural. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa desa tak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat meskipun mekanisme demokrasinya bekerja mendahului demokrasi langsung dewasa ini.
Disisi lain, bersamaan dengan menguatnya kewenangan desa dan meningkatnya sumber-sumber keuangan desa dalam jangka panjang dapat mendorong peningkatan kuantitas desa kalau tidak perubahan status kelurahan menjadi desa dan desa adat. Tingginya diskresi dalam penataan desa dapat membuat sibuk pemerintah daerah dalam mengatur lalu lintas perubahan status jenis kelamin kelurahan menjadi desa atau desa adat, desa menjadi desa adat dan atau sebaliknya sesuai kebutuhan politik elite desa. Dengan pertimbangan pragmatis akan datangnya subsidi desa maka birahi memekarkan desa kemungkinan dapat menjadi trend dimasa mendatang. Realitas semacam ini cenderung melahirkan konflik horizontal dan vertikal di tingkat desa akibat lambatnya pembentukan desa serta sejumlah ketidakpuasan akibat kompetisi yang ketat dalam pemilihan kepala desa. Apalagi transisi dari status desa persiapan ke desa defenitif yang hanya membutuhkan usia 1-3 tahun, tentu saja bukan halangan berarti dalam memperbanyak desa baru atas nama kehendak masyarakat setempat.

Kearah Antisipatif
Dengan bersandar pada prinsip kewenangan yang luas ditambah sifat monopolistik tanpa akuntabilitas, maka pemerintah desa bukan mustahil dapat terjebak pada masalah kejahatan korupsi diluar konfrontasi yang akan semakin gaduh dengan masyarakat dilingkungan desa. Menyadari hal itu, sejumlah rekomendasi akhir dalam makalah ini setidaknya dialamatkan pada pemerintah (redesain peraturan pemerintah tentang desa) dan pemerintah daerah (redesain peraturan daerah tentang desa). Pertama, aturan teknis harus mampu memperjelas hubungan kewenangan antara pemerintah desa dengan BPD, kecamatan, dan pemerintah daerah. Menihilkan pengaturan soal hubungan kewenangan di antara entitas tersebut dapat mendorong konflik latent dalam jangka panjang. Kedua, aturan teknis harus mendesain suatu mekanisme kontrol yang jelas untuk mencegah meningkatnya peluang korupsi di desa. Pengaturan harus memperjelas pertanggungjawaban keuangan yang berasal dari sumber APBN, APBD dan sumber lain yang dianggap sah. Jika tidak, akan banyak kepala desa dan perangkatnya yang akan berurusan dengan pihak berwajib, demikian pula konflik dengan masyarakat. Ketiga, sekalipun mekanisme akuntabilitas akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatan kepala desa dilakukan langsung kepada kepala daerah, namun mengingat banyaknya desa di setiap daerah maka secara teknis perlunya pendelegasian sebagian kewenangan kepala daerah kepada camat dalam hal pengawasan yang bersifat administratif. Dapat dipahami bahwa mekanisme ini bertujuan meringkas pertanggungjawaban melalui hirarkhi birokrasi, namun efek lebih jauh dari mekanisme demikian memungkinkan kepala desa hanya di kontrol kepala daerah yang notabene secara politik relatif diuntungkan bagi kepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Pada sisi lain tanpa pendelegasian kewenangan untuk mengontrol kepala desa oleh kepala daerah kepada camat, maka relasi antara pemerintah desa dan camat akan kian memburuk. Keempat, aturan teknis harus mampu menciptakan syarat yang ketat dalam pembentukan desa, termasuk upaya mengkonversi kelurahan menjadi desa untuk mencegah nafsu menggandakan desa sebanyak mungkin bagi kepentingan jangka pendek. Dampak lain adalah lembaga pemerintahan khusus seperti Mukim di Aceh dapat kehilangan pamor karena hilangnya perhatian desa (Keuchik) akibat transfer dana yang menimbulkan diskriminasi. Kelima, aturan teknis harus dapat memperjelas masa depan desa persiapan yang setelah melewati 1-3 tahun dinyatakan tidak layak menjadi desa defenitif. Apakah harus dikembalikan ke masyarakat atau dapat diajukan kembali dalam waktu tertentu. Keenam, aturan teknis harus dapat memperjelas status keanggotaan calon kepala desa maupun perangkat desa dalam organisasi partai politik, apakah boleh sebagai anggota tanpa menjadi pengurus, atau boleh kedua-duanya, atau mungkin tak boleh kedua-duanya. Hal ini untuk mencegah politisasi desa bagi kepentingan politik praktis. Ketujuh, aturan teknis harus dapat menjawab masa jabatan kepala desa secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Demikian pula yang pernah menjabat sebagai kepala desa di desa lain selama tiga periode apakah dapat mencalonkan lagi di desa lain. Kedelapan, aturan teknis harus memberi batasan tentang kewenangan desa dalam kaitan dengan pengaturan kawasan khusus/strategis sehingga tak kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah daerah. Kesembilan, aturan teknis harus dapat memperjelas kewenangan lokal selain kewenangan berdasarkan asal-usul, dan kewenangan yang diperbantukan oleh pemerintah daerah, provinsi dan pemerintah pusat. Hal ini penting sebab kewenangan desa berskala lokal di setiap daerah sifat tidak seragam, bahkan mungkin tidak ada kecuali yang telah ada sebelumnya. Kesepuluh, selain aturan teknis harus menjawab amanah undang-undang desa dalam bentuk peraturan pemerintah, juga diperlukan inventarisasi masalah yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi dalam bentuk simulasi untuk mengantisipasi ketegangan yang akan muncul dikemudian hari. Kesebelas, dalam kesadaran semacam itu diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai secara terus-menerus kepada pemerintah desa, BPD dan stakeholders terkait guna menyambut semua kejutan yang akan tiba di desa. Akhirnya, suka atau tidak, ketika desa memiliki kewenangan yang luas, sumber keuangan yang menjanjikan, masa jabatan yang relatif lama, minimnya kontrol dari masyarakat dan supradesa, serta meningkatnya rangsangan pembentukan desa disamping kompetisi sumber daya, maka otonomi desa sekaligus demokrasi desa akan mengalami cobaan berat yang mungkin akan mendewasakannya, atau sekaligus mendegradasikannya ketitik nadir yang paling lemah.


Referensi Utama;
         
Beratha, I Nyoman, 1982. Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia Indonesia, Jakarta 
Bintarto R, 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta
Iver, Mc, 1999. Jaring-Jaring Pemerintahan (The Web of Goverment), Laila Hasyim, Aksara Baru, Jakarta
Jaweng, Robert Endi, 2012. RUU Tentang Desa: Kritik atas Proposal Minimalisasi Versi Pemerintah, Jurnal Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 38, Jakarta
Kahin, George M, 2013.  Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Komunitas Bambu,  Edisi1, Jakarta
Koentjaraninggrat, 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Yayasan Badan Penerbit FE UI, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2013. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Edisi 6, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2010.  Ilmu Pemerintahan (Kybernology), PT. Rineka Cipta, Jakarta
Nurcholis, Hanif, 2013. Dua Ratus Tahun Praktek Demokrasi Desa, Potret Kegagalan Adopsi Demokrasi Barat,Jurnal Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 38, Jakarta
Mutty, M Luthfi, 2012. Otonomi Desa: Harapan dan Kenyataan, Kasus Luwu Utara, Jurnal Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 38, Jakarta
Tonies, Ferdinand, 1887. The Nature and Type of Sociological Theory, terj. IIP, Jakarta
Tahir, Irwan, 2013. Sejarah Perkembangan Desa di Indonesia, Desa di Masa Lalu, Masa Kini dan bagaimana Masa Depannya, Jurnal MIPI, Edisi 38, Jakarta
Wasistiono, Sadu, 2012. Telaah Kritis Terhadap Rancangan Undang-Undang Desa, Jurnal Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 38, Jakarta
Zanibar, Zen, 2012. Pengadilan Desa Menyongsong Keadilan Hukum Masa Depan, Jurnal Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 38, Jakarta

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa


[1] Makalah Seminar HUT Otonomi Daerah Kabupaten Bojonegoro, tgl. 28 April 2014.
[2] Dosen pasca Sarjana IIP/IPDN Cilandak, Ketua Departemen Kajian Pemerintahan MIPI, Ketua Kajian Strategis IKPTK, Direktur Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta, Ketua Kajian Desentralisasi Forum Doktor IPDN.
[3] Untuk kajian sosiologis tentang keluarga sebagai sarana pembiakan pemerintahan lihat Mac Iver, 1999, Jaring-Jaring Pemerintahan (The Web of Goverment), diterjemahkan oleh Laila Hasyim, Aksara Baru, Jilid 1, hal 33-35.
[4] Lihat Suroyo (2000) dalam Nurcholis, 2013, Dua Ratus Tahun Praktek Demokrasi Desa, Potret Kegagalan Adopsi Demokrasi Barat,op.cit, hal. 69.
[5] Untuk batasan Beratha dapat dibandingkan dengan batasan Bintarto dalam Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, 1983, Ghalia Indonesia, sebagaimana juga dikutib Tahir dalam Jurnal MIPI, Edisi 38, Jakarta, 2013, hal.98.
[6] Gemenschaft bersifat community (paguyuban) dengan ciri terikat secara emosional, memiliki tradisi, luas, ada sebelum negara serta bersifat bottom up. Hal ini berbeda dengan bentuk Gesselschaft yang bersifat society (patembayan) dengan ciri terikat secara rasional, otonomi berian, terbatas, ada setelah negara, serta bersifat top down. Untuk hal ini lihat Ferdinand Tonies, 1887, The Nature and Type of Sociological Theory. Oleh karena desa dalam kasus Indonesia bersifat community, maka pendekatannyapun ideal bersifat self governing community, bukan didominasi oleh negara maupun daerah sebagaimana pendekatan local state goverment dan local self goverment. Dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa tampak pengaturannya dilakukan secara terintegrasi, sekalipun pendekatan self governing community menjadi titik pijak utama.
[7] Lihat Soetardjo dalam Tahir, 2013, Sejarah Perkembangan Desa di Indonesia, Desa di Masa Lalu, Masa Kini dan bagaimana Masa Depannya, Jurnal MIPI, Edisi 38, 2012, hal. 98, Jakarta. Lihat juga dalam Jurnal yang sama kupasan Nurcholis, ibid, hal. 69.
[8] Istilah yang sama dalam bahasa asing seperti dorp, dorpsgemeente, village, village community, rural are, rural society, lihat Ndraha, Ilmu Pemerintahan (Kybernology), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal. 154.
[9] Menyadari kebangkrutan yang kian meningkat, Belanda memberi kekuasaan kepada kaum ninggrat Jawa dan kelompok China untuk bertindak atas nama Belanda dalam pengumpulan pajak. Strategi ini secara dejure maupun defacto semakin menguatkan posisi kaum ninggrat Jawa hingga cenderung bertindak melampaui wewenang yang diberikan Belanda. Untuk lebih jelas lihat George M Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, Komunitas Bambu,  2013, hal. 4.
[10] IGO (1960), pada dasarnya bukanlah dasar dalam pembentukan desa otonom, kecuali bentuk pengakuan atas entitas khas yang telah ada sebelumnya. Pengaturan inipun bersifat terbatas bagi wilayah Jawa dan Madura. Pengaturan ini mengalami revisi dengan terbentuknya Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB) yang meliputi pengaturan desa-desa di luar Jawa dan Madura pada tahun 1938. Inilah yang kemudian menjadi dasar dalam konstitusi dimana negara pada akhirnya  mengakui dan menghormati satuan-satuan khusus yang telah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk.
[11] Ini berbeda dengan penjelasan pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen sebagaimana kritik Wasistiono dalam Telaah Kritis Terhadap Rancangan Undang-Undang Desa, Jurnal MIPI, Jakarta, Edisi 38, 2012, hal.15.
[12] Untuk kasus ini dapat dilihat pada beberapa desa di sejumlah kabupaten di wilayah Papua/Papua Barat, atau desa-desa di Kabupaten Kutai Kertanegara Kalimantan Timur.
[13] Perkiraan ini berdasarkan hasil simulasi pendapatan desa dari dana perimbangan pada APBN tahun 2013 dan 2014 oleh Tim Pansus RUU Desa DPR RI. Lihat hand out tentang Materi Sosialisasi RUU Desa Tahun 2013. Total pendapatan desa dari dana yang bersumber dari APBN untuk tahun 2013 berkisar Rp. 1.290.990.349, jumlah ini lebih rendah dibanding tahun 2014 yang diperkirakan berkisar Rp. 1.436.033.121 perdesa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian