Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]
Oleh. Muhadam Labolo[2]
Persapaan Terminologi
Ketika
Prof.Taliziduhu Ndraha memberi nuansa pada ilmu pemerintahan berparadigma baru,
beliau sampai pada kompleksitas terminologi yang cukup membingungkan antara
menggunakan istilah Governologi ataukah Kybernologi. Govern
setaraf dengan steering berasal dari Bahasa Inggris, sementara kybern
(cybern) dari Bahasa Greek. Keduanya memiliki makna yang tak jauh berbeda
yaitu mengemudi, mengatur, maupun memerintah. Dalam ejaan Belanda kata tersebut
populer dimata Pamongprajamuda dengan istilah ilmu mengemudi/memerintah atau bestuurskunde,
berstuurswetenschap, berstuurswetenschappen (pemerintahan, ilmu
pemerintahan, dan ilmu-ilmu pemerintahan). Di Indonesia, istilah perintah dan
memerintah itu diadaptasi dari bahasa Belanda (recht). Lewat aksentuasi
Jawa menjadi ngereh (memerintah) yang kemudian membentuk istilah Pangrehpraja
hingga mengalami asimilasi menjadi Pamongpraja oleh Soekarno pada
1956.
Menurut
Talizi, istilah govern terlalu umum dipakai, termasuk kata governor
(gubernur) yang menjadi salah satu entitas jabatan pada unit pemerintahan antara
pusat dan daerah (provinsi). Melengkapi kata govern menjadi ilmu
pengetahuan tentu tinggal menambah kata logos menjadi governologi.
Talizi akhirnya menggunakan kata kybern sebagai satu ilmu pengetahuan
pemerintahan menjadi kybernologi. Jika ditelisik lebih jauh istilah itu tak
begitu konsisten dengan apa yang populer ditulis dalam bukunya kybernologi.
Tetapi dengan serta-merta beliau melakukan
semacam apologi dengan sedikit melengkungkan tata bahasa. Talizi mencoba
meng-Indonesiakan istilah tersebut menjadi Kibernologi, bukan Kybernologi
sebagaimana kita kenal selama ini walau akhirnya Ia kembali ke terminologi Kybernologi
dengan alasan terlanjur populer sebagaimana August Comte membentuk istilah Sociology
dari bahasa latin socius (teman) plus logos (ilmu pengetahuan).[3]
Untuk
penciptaan itu, terlepas dimanapun sisi lemah kybernologi diusianya yang
masih belia, bagi saya tidak ada desainer ilmu pengetahuan di Indonesia dalam
masa 15 terakhir ini kecuali Prof. Taliziduhu Ndraha, seseorang yang
membaktikan lebih separuh hidupnya untuk mengokohkan peran ilmu pemerintahan
agar lebih mandiri dari bayang-bayang ilmu politik, hukum dan administrasi. Konteks
itu tidak berarti menghilangkan peran politik, administrasi dan hukum
sebagaimana spekulasi yang naif dan dangkal oleh pembelajar tertentu. Bilapun
dikatakan bahwa kybernologi adalah mahakarya yang lebih kurang sama
dengan konsep governance, mungkin saja iya, namun konteks ontologinya
yang kompleks dan suasana kebatinan Indonesia adalah pembeda utama yang mesti didalami
oleh para pembelajar pemerintahan. Sementara government dan governance
adalah dua konsep yang sedikit berbeda sekalipun memiliki hubungan yang
cukup erat. Dewasa ini peran governance mengalami perluasan lewat
konsep-konsep semacam pentahelix hingga collaborative governance.
Peran tunggal government (eksekutif) tampaknya mengalami pergeseran
kearah yang lebih luas mulai dari peran tiga sektor (governance), lima
sektor (pentahelix), hingga enam sektor vital dalam masyarakat (collaborative
governance). Bila government adalah konsep yang secara khusus
melihat institusi, orang, sistem, dan proses (Finer,1974), maka governance merupakan
konsep yang lebih luas dengan menekankan pada aspek akuntabilitas, legitimasi
dan transparansi. Latar governance
bisa dilacak sebagai konsep yang diajukan oleh lembaga donor dunia atas
keprihatinan terhadap negara-negara terbelakang karena masalah korupsi,
hilangnya legitimasi dan tanggungjawab pemerintahan. Batasan pemerintahan diperluas guna
merelaksasi sistem pemerintahan otoriter-sentralistik ke model pemerintahan
demokratis-desentralistik guna memudahkan intervensi dan kerjasama ke tujuan
yang lebih baik (lihat Kooiman, 1993 & World Bank, 1992). Singkatnya, governance
merespon gejala dinegara dunia ketiga yang mengalami kemerosotan tata kelola
pemerintahan, sementara kybernologi menjawab konteks pemerintahan
Indonesia pasca runtuhnya orde baru dengan patologi yang dihadapi.
Makalah
pendek ini tentu tidaklah cukup untuk mengelaborasi kitab kybernologi
dimaksud, sebab panitia simposium telah dengan sengaja membagi tugas sehingga
bagian terbaik saya akan dibentangkan secara singkat dan padat, memenuhi
alokasi waktu, serta pendalaman lebih jauh oleh pembahas dan peserta.
Pembedaan
Ilmu
pemerintahan dengan paradigma baru membawa misi kemanusiaan dibanding kelahiran
ilmu pemerintahan generasi sebelumnya yang mendarat di Indonesia lewat ilmu
politik. Indikasinya kajian pemerintahan diberbagai perguruan tinggi menjadi
salah satu program studi yang berada dibawah payung Fakultas Ilmu Sosial &
Politik (FISIP). Pendaratan ilmu pemerintahan pada aspek kemanusiaan itu
sesungguhnya adalah upaya pemurnian (purifikasi) dari perangkap politik
sebagaimana orisinalitas dari batasan ilmu pemerintahan yang dikemukakan Van de
Speigel (dalam Gerrit Van Poelje, 1953). Menurutnya, ilmu pemerintahan itu
mempelajari upaya mengelola kehidupan bersama dalam mencapai kebahagiaan
jasmani dan rohani tanpa merugikan orang lain secara aman dan wajar. Batasan itu menekankan pada upaya memanusiakan
manusia, bukan semata-mata mengalokasikan nilai secara otoritatif dengan
sedikit banyak menggunakan paksaan sebagaimana gagasan politik David Easton dan
Gabriel Almond.[4] Pada aras dialektika ontologik politik, relasi antara yang memerintah dan yang
diperintah adalah satu hubungan yang bersifat vertikal-hirarkhis dan absolut sebagaimana
gagasan Thomas Hobbes (1651). [5] Ide ini melahirkan negara
absolutis, sentralistik dan otoritarian dimana seluruh kepentingan rakyat dikendalikan
oleh penguasa, rakyat adalah korban (victims) yang sangat bergantung
sepenuhnya pada mereka yang memerintah. Sejauh
pemerintah itu baik tidak masalah, jika perilaku pemerintah dalam berbagai
bentuknya memperlihatkan hal sebaliknya maka siapakah yang akan mengontrol
pemerintah, serta pemerintah seperti apakah yang sebaiknya kita perlukan.
Sekalipun demikian sejauh pemerintah itu eksis tentu masih lebih baik dibanding
rakyat kehilangan pemerintah sama sekali, sebab pemerintahan itu merupakan
sebuah kebutuhan.[6]
Ilmu
pemerintahan dalam paradigma baru memandang relasi keduanya bergantung pada
konteks dimana posisi keduanya berhadapan. Dalam relasi yang lebih kompleks hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah dapat berlangsung secara fungsional sebagaimana
hubungan antara produsen dan konsumen, bahkan posisi yang diperintah seringkali
menjadi raja pada kondisi tertentu sebagaimana pendekatan dalam sistem ekonomi
(pelanggan adalah raja). Dalam sistem sosial hubungan antara yang memerintah
dan yang diperintah dapat tercipta karena sebab organis, fungsional maupun
ideal. Sebab organis karena pada dasarnya mereka yang memerintah adalah produk
nyata atau lahir dari kumpulan mereka yang diperintah. Sedangkan sebab
fungsional karena hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tak bisa
saling melepaskan, kecuali tergantung satu dengan yang lain. Mereka yang
memerintah sangat bergantung pada legitimasi dari mereka yang diperintah,
dilain pihak mereka yang diperintah membutuhkan otoritas dari mereka yang
memerintah. Sebab ideal itulah yang mengintegrasikan hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah, yaitu adanya satu tujuan kolektif yang kemudian
diletakkan pada sistem demokrasi, dimana kedaulatan berada ditangan mereka yang
diperintah.[7] Disini
terang bahwa ilmu pemerintahan perspektif Talizi itu tidaklah semata-mata
bertumpu pada aspek politik, juga aspek ekonomi dan sosial.
Dalam
pengembangan kerangka pikir kybernologi digambarkan hubungan antara
subkultur kekuasaan (SKK), subkultur ekonomi (SKE), dan subkultur sosial (SKS)
sebagai satu kerangka bangunan yang mesti dikonstruksi secara proporsional,
serasi, selaras dan sinergik.
Pengembangan nilai sumber daya ekonomi (SKE) setidaknya memenuhi prinsip
dasar membeli semurah mungkin, menjual seuntung mungkin,
dan membuat sehemat mungkin. Tanpa itu negara hanya akan menjadi penonton atas
gejala seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest, konflik
dan ketidakadilan. Untuk menciptakan kebahagiaan (adil dan damai) tentu
diperlukan aturan, dan untuk menegakkan aturan diperlukan kekuasaan (politik).
Dalam konteks kekuasaan itu setidaknya memenuhi prinsip berkuasa semudah
mungkin, menggunakan kekuasaan seefektif mungkin, serta mempertanggungjawabkan
kekuasaan seformal mungkin. Tanpa itu maka pengelolaan kekuasaan oleh negara hanya
akan melahirkan detournement de pouvoir, abuse de
droit, KKN, penindasan, dan pembohongan publik. Untuk mencegah dan
mengurangi penyalahgunaan kekuasaan tentu saja diperlukan kontrol sosial. Terkait subkultur sosial prinsip dasar yang
mesti dipenuhi oleh masyarakat adalah adanya kepedulian, kesadaran, keberanian
dan collective action. Tanpa itu yang terjadi adalah civil
disobedience, civil distrust, anarki, terorisme, perang saudara, dan
revolusi. Sekali lagi, ketiganya harus
dibangun secara paralel sehingga pemerintahan benar-benar dimaknai sebagai satu
kesatuan yang menjadi milik bersama, bukan semata-mata milik penguasa
(politik).
Konteks Indonesia
Dalam
perkembangannya di Indonesia, sejak kejatuhan orde baru yang menganut sistem
politik otoritarianisme (1998), ilmu pemerintahan paradigma baru itu bertumbuh
dan berkembang pasca politik dan ekonomi mengalami turbulensi. Disini kybernologi
menjadi semacam antitesis atas kegamangan ilmu politik dan ekonomi saat
membereskan masalah pemerintahan yang dikemudi orde baru 32 tahun sebelumnya.
Oleh Talizi, paradigma ilmu pemerintahan baru itu dibangun tidak saja pada
nilai politik semata, juga nilai ekonomi dan sosial. Ketiganya menjadi basis
bagi pembangunan subkultur kekuasaan (SKK), subkultur ekonomi (SKE), dan
subkultur sosial (SKS). Inilah paradigma baru yang beliau maksudkan dalam
pengembangan nilai pemerintahan dewasa ini, bukan semata-mata berdiri diatas pondasi
kekuasaan absolut (politik). Potret atas
realitas ketiga subkultur kini dapat ditangkap dengan mudah. Pada subkultur ekonomi
tampak pula bagaimana sumberdaya bangsa mengalami semacam ketimpangan.
Prinsip-prinsip semurah mungkin, menjual seuntung mungkin, dan membuat sehemat
mungkin jauh dari kenyataan.
Sumber-sumber vital seperti tambang dan Indosat dimasa lalu banyak terjual
dengan harga murah. Menurut KPK (2019), tercatat lebih 12 kasus korupsi di
sektor sumber daya alam sepanjang 2004-2017 dengan lebih dari 24 pejabat yang
diproses, 144 anggota dewan yang terlibat, 25 mentri/kepala lembaga, serta 184
pejabat swasta (Tempo, 2019). Kondisi
ini dalam keseharian dan jangka panjang mengarah kedalam gejala seleksi alam, struggle
for life, survival of the fittest, konflik dan ketidakadilan. Disini
pentingnya peran pemerintah dalam fungsi redistribusi, produksi dan alokasi yang
adil agar memperoleh keuntungan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
sejauh-jauhnya kepentingan generasi dimasa akan datang.
Dalam
bidang politik upaya memperoleh kekuasaan yang terlalu mahal lewat pemilukada
langsung sejak dicanangkan tahun 2005 hingga saat ini telah memperlihatkan pameo
bahwa dalam politik tidak ada makan siang gratis. Eksesnya bagi penguasa adalah detournement
de pouvoir, abuse de droit, KKN, penindasan, dan pembohongan publik. Sejumlah pengamat kini menyarankan perlunya
pilkada yang lebih murah (sebagai wujud dari bagaimana memperoleh kekuasaan
dengan cara yang lebih mudah), namun jadwalnya saja yang dibuat serentak,
hasilnya tetap saja lebih dari 400 kepala daerah dan ribuan birokrat berurusan
dengan penegak hukum dengan sebab balas dendam dan balas budi. Pada sisi lain
kekuasaan tampak dikelola tidak efektif, organisasi obesitas sebagai
konsekuensi balas budi serta panjangnya rentang birokrasi mengakibatkan
pemerintahan limbung, berat dan tak lincah baik didaerah lebih lagi di pusat
(lihat kasus penghapusan 18 lembaga, 2020). Tata kelola pemerintahan juga
memperlihatkan bagaimana pertanggungjawaban tak begitu formal dilakukan,
padahal pemerintah itu formal maka seluruh pertanggungjawabannya semestinya
bersifat formal, bukan bersifat transaksional politik semata sebagai
konsekuensi balas budi. Hilangnya prinsip-prinsip pengelolaan kekuasaan tadi
telah menunjukkan dengan jelas apa yang disebut Talizi, de tetournement de
povoir, corruption, collution, nepotisme, abuse of power, hingga public
of lie.
Situasi diatas tentu saja membutuhkan kontrol
sosial agar kekuasaan tak keliru dalam menegakkan aturan. Dalam hubungan inilah dibutuhkan peran
subkultur sosial berupa kepedulian, kesadaran, keberanian dan collective
action. Ketiadaan prasyarat tersebut mendorong totalitarianisme pemerintah
disebabkan hilangnya pengawasan masyarakat. Dalam masa orde baru kesadaran
kritis seringkali diamputasi lewat upaya depolitisasi. Dewasa ini keberanian
masyarakat dipicu lewat media sosial sebagaimana dinamika politik di negara
lain seperti gejolak Arab Spring, demokratisasi di Hongkong, anti rezim
pemerintah di Thailand serta pergeseran rezim Malaysia (pasukan kuning). Di
sejumlah pemerintah termasuk Asia, kritik seringkali ditangkap sebagai ujaran
kebencian yang kemudian sewaktu-waktu diredam melalui ketentuan undang-undang
pelanggaran informasi dan elektronik. Tindakan demikian dinilai oleh sebagian
orang seakan mengembalikan kembali sifat-sifat otoritarianisme dimasa lalu.
Ketiga gejala tersebut cukup menjadi alasan perlunya eksistensi ilmu
pemerintahan dalam menjawab masalah yang dihadapi khususnya Indonesia.
Sejauh
ini perkembangan ilmu pemerintahan yang muncul dari negeri Belanda pada 1776
mengalami distorsi kedalam cakupan ilmu politik sebagaimana geneologinya di
Athena. Pengaruh hukum Romawi ke Perancis yang menjajah Belanda hingga ke
Indonesia setidaknya telah membedakan titik perhatian politik dibanding ilmu pemerintahan
disatu pihak, namun redup kembali karena perkembangan ilmu politik dan
administrasi public yang semakin kuat. Secara historis kemunculan ilmu
pemerintahan sebenarnya jauh lebih tua di Amerika (1780) hingga serial Science
of Government yang dapat dilacak seperti Archeology, Blakeslee,1876
atau Natural Law, Clinton Roosevelt, 1841.[8]
Harus
diakui bahwa perjuangan ilmu pemerintahan mengidentifikasi dirinya di Indonesia
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor pertama adalah surutnya
perbincangan Science of Government di dunia, termasuk di lokus kelahirannya.
Jika kita amati perkembangan dewasa ini ilmu pemerintahan diberbagai belahan
dunia hanyalah ilmu teknis dari ilmu politik sebagaimana kebijakan publik
maupun administrasi. Negara dipandang sebagai objek materi yang kemudian
dipersepsikan secara formal (objek formal) baik sebagai pembuat kebijakan,
sumber pelayanan, maupun penegak aturan dari sisi hukum. Dibanding kemunculan
awalnya politik lebih berbicara pada derajat ideal sebagai upaya mengelola
kehidupan orang banyak demi kebaikan bersama (common good, Aristoteles)
hingga ke level pragmatisnya bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan
(Machiavelli). Diakui bahwa perkembangan ilmu politik kini semakin meluas,
mencakup isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan (ekologi politik) dan transedental.
Sementara perkembangan ilmu administrasi juga berkembang pada sejumlah tahapan
hingga ke level New Administrasi Publik.
Demikian pula jika kita cermati ilmu hukum yang mengalami perkembangan
tidak hanya melihat negara sebagai satu institusi-struktural dimana setiap aktivitasnya
mengikat kaku, juga melihat realitas masyarakat sebagai organisme fungsional
yang tidak selalu didekati secara normatif-struktural juga humastik melalui hukum
fungsional. Perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut tentu saja dipicu baik oleh dinamika dunia yang terus
bergolak (perang dunia), maupun upaya para ilmuan dibidang masing-masing dalam
mengantisipasi perubahan internal di setiap negara serta upaya menata sistem
pemerintahan yang lebih baik dimasa mendatang.
Faktor
kedua secara internal tentu saja didorong oleh faktor pertama. Kelas menengah
di Indonesia yang mendapatkan pendidikan di Eropa dan Amerika tak menemukan
lebih banyak kekayaan ilmu pemerintahan di negara asalnya kecuali artefak yang
ditinggalkan selain perkembangan ilmu pengetahuan lain seperti politik,
administrasi dan hukum yang digunakan untuk menata kembali tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara pasca perang dunia kedua. Di Indonesia, implikasi lebih
jauh perkembangan ilmu pemerintahan beradaptasi kembali kedalam ilmu-ilmu
sosial dan ilmu politik (Fisipol). Jauh sebelum itu dalam sejarah Pamongpraja
di Indonesia sebagaimana ditulis oleh S.L Vander Wal, kurikulum pemerintahan
yang diajarkan lebih dititikberatkan pada aspek Indologi, hukum adat dan hukum
administrasi.[9]
Pada tahun 1950-1962, Leontine E Visser & Amapon Jos Marey menggambarkan dalam
bukunya peta kurikulum di daerah disesuaikan kembali dengan menekankan pada
aspek politik lokal dan administrasi perkantoran.[10] Di Institut Ilmu Pemerintahan,
sejak ditasbihkan dan dialihkan ke Jakarta pada tahun 1972 pengajaran ilmu
pemerintahan lebih bersifat sains murni dengan tekanan pada bidang politik,
kebijakan publik, hukum, dan administrasi pembangunan. Hal ini dapat dilihat
pada komposisi kurikulum yang terdiri dari berbagai varian sub ilmu guna
melengkapi karakteristik pengetahuan bagi kader pemerintahan yang bersifat general-spesialis,
spesialis-generalis. Pada tahun 1990, seluruh APDN yang terbentuk dari OSVIA,
MOSVIA hingga KDC dan tersebar di seluruh Indonesia diintegrasikan menjadi
STPDN. Pada tahun 2004 STPDN diintegrasikan kedalam IIP menjadi IPDN.
Pengajaran ilmu pemerintahan di tingkat Osvia, Mosvia, KDC dan APDN secara umum
merujuk pada pola pengajaran ilmu pemerintahan yang lahir di Belanda dengan
berbagai modifikasi sesuai tuntutan dan kebutuhan lokal dan nasional. Pada
level tersebut ilmu pemerintahan lebih ditekankan pada aspek terapan (applied)
berbentuk akademi dan sekolah tinggi pemerintahan.
Pada
tahun 1996, pengembangan ilmu pemerintahan di IIP yang awalnya bersandar pada
pendekatan politik, kebijakan publik, hukum administrasi dan pembangunan
mengalami revolusi kearah sains akademik level magister dan doktoral. Basis
didaktiknya adalah ilmu pemerintahan paradigma baru (kybernologi) yang
digagas oleh Prof. Taliziduhu Ndraha. Sekalipun terhambat oleh kebijakan
pemerintah, pengembangan ilmu pemerintahan dilakukan dengan menggunakan wadah
Universitas Padjadjaran. Disini bahan baku pengajaran dikonstruksi dengan ontologi
yang berbeda baik dengan alasan kebutuhan Indonesia yang khas (Pamongpraja),
maupun upaya purifikasi dan pengembangan ilmu pemerintahan yang sesungguhnya. Hingga
berakhirnya kerjasama tersebut pada tahun 2009, kybernologi bertahan dan
melahirkan ratusan pembelajar ilmu pemerintahan baik ditingkat magister maupun
doktoral. Sayangnya, dengan berakhirnya kerjasama tersebut, Universitas
Padjadjaran tak melanjutkan bahan baku kybernologi kecuali kembali
kedalam konteks kurikulum berbasis ilmu-ilmu sosial dan politik (Fisip Unpadj).
Sementara IIP yang kemudian berubah menjadi IPDN pun terjebak kedalam warisan
terapan semula, kecuali beberapa kelas yang dibentuk dan diarahkan ke program
studi sarjana sains akademik 2012-2021 (passing out). Kondisi ini membuat
kybernologi selama kurang lebih 10 tahun terakhir mengalami mati suri sebagaimana
kritik Yunanto (2020), jika tidak ingin dikatakan kehilangan pijakan
aksiologiknya, khususnya aspek didaktik dihampir semua strata pendidikan.
Memosisikan Kybernologi
Dalam Aksiologik
Menjawab
kebutuhan panitia simposium terkait bagaimana memosisikan ilmu pemerintahan
berparadigma baru itu (kybernologi) kedalam sistem pembelajaran kita dewasa
ini, maka tidak ada jalan lain kecuali mendorong kembali kybernologi
kedalam sistem kurikulum sains akademik pada level sarjana, magister dan doktoral. Diatas telah saya singgung sepintas bahwa aspek
ontologik ilmu pemerintahan itu menjangkau spektrum yang luas dan kompleks
yaitu dimulai dari manusia dan berakhir pada manusia (kemanusiaan), maka aspek
praksis-aksiologikalnya lebih banyak menyentuh terapan ilmu pemerintahan
sehari-hari. Sebagai contoh bahwa hubungan pemerintahan yang mencakup
karakteristik dari kedua kutub yang memerintah dan yang diperintah dapat
menjadi fokus kajian di level doktoral, sedangkan bagaimana pengelolaan
kewenangan dan praktek pelayanan (jasa publik dan private) dapat menjadi fokus
kajian di lanskap terapan pemerintahan (S2 dan S3 terapan). Dengan kata lain
bahwa hubungan pemerintahan yang lebih luas cakupannya (kekuasaan dan pelayanan
pada manusia dan kemanusiaan) menjadi pembeda dengan kurikulum terapan
pengelolaan kewenangan (otoritas) dan segi-segi praktis pelayanan pada
masyarakat seperti pelayanan prima, hospitality dan penerapan
prinsip-prinsip good governance dalam birokrasi pemerintahan. Terkait itu kebutuhan akan terapan ilmu pemerintahan
yang sesuai socio-cultural setidaknya telah menemukan cangkangnya lewat
Pamongpraja, yaitu satu konsep historis yang menggambarkan sifat-sifat
kepemimpinan pemerintahan dan pelayan masyarakat berkarakter khas ke-Indonesiaan
(abdi dalem). [11]
Pada
aras implementasi, problem klasik kita lagi-lagi adalah kebijakan pemerintah
lewat Kemendikti yang sulit memberikan kesempatan dalam pengembangan ilmu
pemerintahan pure sains berparadigma baru khas Indonesia (kybernologi)
untuk berkembang. Standar keilmuan yang
disyaratkan selalu wajib bersifat general, padahal dengan membiarkan semakin
berkembangnya ilmu pemerintahan akan semakin mengokohkan eksistensi ilmu pemerintahan
tidak saja di IPDN, Indonesia maupun international. Bukankah kebijakanlah yang mesti
beradaptasi dan akomodatif dalam merespon semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan seperti ilmu teknologi informasi yang dulunya tidak ada. Masalahnya
sebaliknya, kebijakanlah yang membunuh
perkembangan suatu ilmu pengetahuan termasuk ilmu pemerintahan. Dengan
mempertimbangkan dinamika dan sejumlah catatan itu, hemat saya dalam upaya
mengembangkan ilmu pemerintahan yang lebih mandiri (sekalipun diakui ilmu pemerintahan
bukan ilmu murni), ada baiknya kita meminjam kembali wadah diberbagai perguruan
tinggi yang telah membuka sarjana dan magister ilmu pemerintahan seperti
Universitas Padjadjaran, Universitas Riau, Universitas Syiahkuala, Universitas
Hasanuddin dan Universitas Lambung Mangkurat misalnya guna memelihara dan
mengembangkan kybernologi. Sementara di IPDN sendiri yang saat ini
mengembangkan ilmu pemerintahan terapan di tingkat magister dan doktoral secara
perlahan dapat ditingkatkan ke level sains melalui pembukaan kembali program
studi sarjana ilmu pemerintahan yang akan berakhir tahun depan. Dengan demikian
melalui kerjasama tersebut kita dapat memelihara inang kybernologi selain
menjadi inkubator bagi pengembangan ilmu pemerintahan diberbagai perguruan tinggi.
Strategi ini akan menjadikan kybernologi lebih akseptabel dan meluas,
tidak terbatas menjadi pengajaran dan pengembangan di IPDN, bukan pula milik
para birokrat tetapi milik masyarakat, bukan semata melahirkan kader
pemerintahan yang bersifat robotik dan administrator perkantoran, juga mencetak
pemimpin pemerintahan yang handal sesuai kebutuhan jaman. Pada jangkauan yang
lebih jauh, kybernologi di Indonesia kita harapkan dapat diterima secara
perlahan di tingkat global sebagai salah satu disiplin ilmu mandiri.
Tantangan
terberat saat ini pertama, perlunya peningkatan sumber daya
tenaga pendidik yang memahami ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernologi)
tersebut. Diakui bahwa ratusan alumni
magister dan doktor konsentrasi sains ilmu pemerintahan alumnus hasil kerjasama
IIP dan Universitas Padjadjaran sejak 1996-2000 cenderung lebih berorientasi
pada memperoleh ijazah untuk perbaikan nasib dibanding mendalami ilmu
pemerintahan secara serius dari aspek akademiknya. Kedua, perlunya
reorientasi pengelolaan pasca sarjana yang lebih berkualitas. Pengelolaan pasca
sarjana yang menjual bahan baku kybernologi selama masa kerjasama tersebut
cenderung bersifat industrial oriented ketimbang mengembangkan kualitas
peserta didik. Gejala ini dapat dilihat dari
seleksi yang mudah dengan basis keilmuan yang kadang tak serumpun, serta
mengutamakan kelompok elit di birokrasi. Kesannya, kelompok pembelajar di level
tersebut adalah kaum eksekutif yang difasilitasi, bahkan dipercepat
perkualiahannya semata untuk privilege. Ketiga, perlunya
mentor yang kuat sebagai promotheus dalam melanjutkan misi kelimuan. Disadari
wafatnya Prof. Taliziduhu Ndraha pada 10 September 2012, praktis pengembangan
ilmu pemerintahan bermazhab kybernologi seperti mengalami kematian bersama
pengembangnya. Para pengelola pasca dimasa itu, hari ini seakan cuci tangan dan
mencari kambing hitam pada anak didiknya, padahal mereka menikmati industri
pengembangan kybernologi dengan nilai yang tak terkira. Keempat,
perlunya re-freshing organisasi keilmuan sebagai penjaga hati nurani
pemerintahan. Organisasi keilmuan kybernologi sebagai wadah pengembangan
ilmu di tingkat praktikum yang menghubungkan menara gading perguruan tinggi dengan
masyarakat luas selaku pemetik manfaat atas pengembangan ilmu pemerintahan pun
layu sebelum berkembang. Hal ini disebabkan pengurus Masyarakat Kybernologi
Indonesia (MKI) isinya adalah kelompok birokrat yang tak bernafsu mengembangkan
ilmu kecuali menjadikan asosiasi sebagai sandaran proposal bagi kepentingan pragmatis.
Berbeda dengan Asosiasi Ilmu Politik atau Ilmu Hukum misalnya. Nasib yang kurang lebih sama dialami oleh
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) sebagai wadah berkumpulnya kaum
ilmuan dan praktisi pemerintahan berparadigma politik-pemerintahan karya Prof.
Ryaas Rasyid. Kelima, perlunya upaya keras IPDN dalam
meng-conversi kitab kybernologi kedalam bahasa yang lebih popular
dikalangan ilmuan dan praktisi pemerintahan, sebab salah satu kerumitan yang
dihadapi pembelajar adalah sulitnya memahami diagram, matriks, jalur, dan tabel
yang berkenaan dengan abstraksi kualitatif atas gagasan Taliziduhu Ndraha.
Referensi Utama;
Averus,
Ahmad & Muhadam Labolo, 2017. Kepamongprajaan di Indonesia, Ghalia, Jakarta
Almond,
G.A dan Coleman, J.S, 1960, The Politics of the Developing Countries,
Pricenton, NJ
Blakeslee,
SV, 1876. Archeology, New York and San Fransisco, Roman Company
Easton,
D, 1965. A System Analysis of Political Life, New York
Finer.
S.E, 1974. Comparative Government, Hard-mondsworth
Friedman,
R. B, 1973. On the Concept of Authority in Political Phylosophy, dalam
R.E Flathman (ed) Concept in Social in Political Phylosophy, New York.
Hamdi,
Muchlis, 2005. Bunga Rampai Pemerintahan, Yarsif Watampone, Jakarta
Hobbes,
Thomas, 1996. Leviathan, Revised Student Edition, Cambridge
University Press.
Iver,
Mc, 1947. The Web of Government (terj jilid 1 & 2), New York, The
Macmillian Company.
Iver,
Mc, 1950. The Modern State (terj), RM. Publisher London; Oxford
University Press.
Kooiman,
J, 1993. Modern Governance; New Government-Society Relation, London
Labolo,
Muhadam dkk, 2008. Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayu
Media, Jogjakarta.
----------------------------,
2015. Dialektika Ilmu Pemerintahan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
----------------------------,
2018. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta
Leontine
E Visser dkk, 2008. Bakti Pamongpraja
Papua di Era Transisi Kekuasaan, Kompas, Jakarta.
Ndraha,
Taliziduhu, 2010. Metodologi Ilmu Pemerintahan, SCC, Tangerang
-----------------------,
2002. Kybernologi I & II, SCC, Tangerang.
-----------------------,
1988. Metodologi Pemerintahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta
Rasyid,
Ryaas, 1999. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etik. Yarsif Watampone,
Jakarta
Roosevelt,
Clinton, 1841. Natural Law, New York by Dean Treevet
Van
der Wal, 2001. Kenang-Kenangan Pangreh Praja Belanda Antara Tahun 1920-1942,
Djambatan, Jakarta
Weber,
M, 1978. Economy and Society, 2 Vols,ed. G Roth and C Wittich, Berkeley,
CA
Wasistiono,
Sadu, 2018. Perkembangan Ilmu Pemerintahan, IPDN Press, Jatinangor.
World
Bank, 1992. Governance and Development, Washington, DC
Yunanto,
Sutoro Eko, 2020. Ilmu Pemerintahan, Anti Politik, Lupa Pada Hukum, Enggan Pada
Administrasi, Jurnal Ilmu Pemerintahan Semesta, Governability, Vol.1, No.1
Juni, Jogjakarta
[1] Disampaikan dalam Simposium IV
Pengembangan Ilmu Pemerintahan Dari Hulu sampai Hilir, Fakultas Politik
Pemerintahan IPDN, tanggal 12 Agustus 2020 di Jatinangor.
[2] Dosen tetap & Dekan Fakultas
Politik Pemerintahan IPDN.
[3] Untuk hal ini
lihat dan bandingkan Kybernologi Jilid I;2003
dan Metodologi Ilmu Pemerintahan, hal 21: 2010, Sirao Credensia Center (SCC),
Tangerang.
[4] Almond, G.A dan Coleman, J.S, 1960, The
Politics of the Developing Countries, Pricenton, NJ dan Easton, D, 1965. A
System Analysis of Political Life, New York
[5] Hobbes, Thomas, 1996. Leviathan,
Revised Student Edition, Cambridge University Press.
[6] Rasyid, Ryaas, 1999. Makna
Pemerintahan, Tinjauan dari Sisi Etika, Yarsif Watampone, Jakarta
[7] Ndraha, Taliziduhu. 1988.
Metodologi Pemerintahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta
[8] Lihat Wasistiono, Sadu, 2018.
Perkembangan Ilmu Pemerintahan dari Jaman Klasik hingga Kontemporer, IPDN
Press, Jatinangor.
[9]
Lihat
Van der Wal, 2001. Kenang-Kenangan Pangreh Praja Belanda Antara Tahun
1920-1942, Djambatan, Pengantar Rosihan Anwar, Jakarta.
[10] Leontine E Visser dkk, 2008. Bakti Pamongpraja Papua di Era Transisi Kekuasaan, Kompas, Jakarta.
[11] Tentang ini lihat, Labolo &
Averus, 2017. Kepamongprajaan di Indonesia, Ghalia, Jakarta. Lihat juga Ndraha,
Taliziduhu, 2010. Kepamongprajaan, SCC, Tangerang.
Komentar
Posting Komentar