Dari Realitas Politik Pemerintahan Ke Ingatan Kybernology
Oleh. Muhadam
Labolo
Munculnya kepemimpinan pemerintahan yang berupaya menjaga
jarak dengan daya magnet politik seperti membangunkan kembali spirit ilmu
pemerintahan dalam perspektif kybernologi. Penting disadari bahwa
menguatnya dukungan grass root (akar
rumput) terhadap fenomena kepemimpinan pemerintahan Jokowi, Ahok, Risma dan
Ridwan Kamil merupakan sinyalemen bahwa pemerintahan yang lebih adaptable kedepan adalah pemerintahan
yang lebih kualitatif dan steril dari bayangan politik. Dua kata
terakhir akan menjadi indikasi kuat pentingnya menghangatkan kembali ilmu
pemerintahan yang padam pasca perginya desainer Kybernologi Taliziduhu Ndraha. Tekanan pada aspek lebih kualitatif
bermakna bahwa perilaku ‘blusukan’
yang dilakukan oleh keempat pemimpin itu dengan style masing-masing tidak saja menyentuh nurani masyarakat luas,
namun mampu menyerap berbagai persoalan mendasar secara face to face sekaligus mampu menyiapkan formula yang tepat untuk
menjawab berbagai persoalan pemerintahan yang menganga di depan mata. Ketika
salah satu pasar tradisional Solo membutuhkan tempat yang layak, Jokowi
misalnya menjawab dengan pasar yang lebih manusiawi. Demikian pula ketika
masyarakat miskin di wilayah perkotaan Jakarta membutuhkan pengurangan beban
pendidikan dan kesehatan, maka Kartu Pintar dan Kartu Sehat adalah jawabannya.
Ahok meneruskan formula yang tersisa dengan fokus pencegahan banjir dan
pengurangan macet yang menjadi masalah utama masyarakat Jakarta. Risma
memperlihatkan respon tegas ketika mengubah wajah pasar birahi Dolly menjadi
ruang yang lebih agamis. Sedangkan Ridwan Kamil mampu memberi jawaban atas
kesemrawutan Kota Bandung yang lebih tertata dan bermartabat. Kini bandingkan
dengan ratusan kepala daerah lain yang hanya menunggu laporan bawahan di atas
meja sebagai sampling atas berbagai
masalah di tingkat bawah. Pendekatan kuantitatif semacam itu jelas tak pernah
menyentuh perasaan terdalam masyarakat, apalagi sampai menjawab persoalan
esensial yang dibutuhkan. Akibatnya dapat diduga, formulasi perencanaan yang
disiapkan untuk menjawab persoalan di level terbawah hanyalah kumpulan program
dan kegiatan yang didasarkan pada kemauan bawahan dengan sedikit banyak membumbuinya lewat sampel “atas nama
rakyat”. Faktanya, birokrasi dan sekelompok kapitalislah yang paling
diuntungkan. Pemimpin memang terus berganti, bahkan semakin demokratis katanya,
namun nasib rakyat tetap saja tak berubah.
Kepada mahasiswa
pasca sarjana S2 dan S3 perlu diingatkan bahwa realitas hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah tak
bisa semata-mata dilihat dari aspek kuantitatif sebagaimana jamak muncul dalam
judul tesis dan disertasi, pengaruh x
terhadap y. Itulah mengapa hasil penelitian pasca sarjana di IPDN tak mampu
menjawab problem pemerintahan yang sesungguhnya, bahkan tak dapat dijadikan
rujukan dalam jangka panjang. Dapat ditebak, semua kesimpulan dalam bentuk
angka hanyalah sampel diatas
permukaan yang di collecting
sedemikian rupa untuk menggugurkan kewajiban agar lulus secepat mungkin,
sehingga tak mampu memberikan kontribusi signifikan bagi penguatan ilmu
pemerintahan di IPDN. Hilangnya kemampuan mahasiswa melakukan penelitian kualitatif
(blusukan) membuat mereka tumpul
ketika menjawab problem pemerintahan baik secara teoritik, konseptual, normatif
bahkan empirikal. Pemikiran ini setidaknya sejalan dengan pendekatan ontological Ndraha, dimana kemandirian
suatu disiplin ilmu selain ditandai oleh adanya metodologi ilmu yang
bersangkutan juga ditandai dengan kemampuan denominatifnya. Pada tahap itu
metodologi ilmu pemerintahan digunakan oleh ilmu-ilmu lain sebagaimana Ilmu
Pemerintahan menggunakan metodologi ilmu-ilmu lain. Dalam konteks itu ilmu
pemerintahan diharapkan memegang posisi kompetitif diantara disiplin lain
karena didukung oleh metodologi kualitatif yang kuat (Kybernologi, Jilid 1, 2003:16). Dalam perspektif epistemologis, desain kualitatif
akan mencari sebab munculnya masalah pemerintahan sekaligus dengan sendirinya menyiapkan
seperangkat formula aksiologisnya. Pendekatan kualitatif akan mendekatkan
peneliti pada masalah yang sesungguhnya, bahkan pada taraf tertentu dapat
menimbulkan impresi (kesan mendalam)
baik pada peneliti maupun pembaca karya ilmiahnya. Itulah mengapa 90% buku di
perpustakaan merupakan produk penelitian kualitatif dengan berbagai pendekatan.
Jikalau sebaliknya (kuantitatif), penelitian ini lebih memburu presisi (ketepatan), padahal dalam
kenyataannya angka-angka tersebut tak pernah merepresentasikan realitas masalah
yang sesungguhnya. Dalam berbagai kasus dimana pemerintah mengumumkan
angka-angka pencapaian statistik atas pertumbuhan ekonomi makro, pada saat yang
sama ditingkat realitas mikro justru menunjukkan jawaban sebaliknya,
kesenjangan yang kian lebar, bahkan nol
koma kosong. Akhirnya, kesimpulan dan saran para peneliti kebanyakan
menjadi tak berguna, sebab peneliti gagal menjawab kegunaan penelitian itu
sendiri, yaitu pengembangan teoritik dan faedah praksis internal dan eksternal
institusi.
Dalam konteks
bayangan politik sebagaimana
dikedepankan diatas, tampak bahwa Jokowi memberi persyaratan agar semua anggota
kabinet harus melepaskan diri dari jabatan sebagai ketua dan pengurus partai
politik. Jokowi memang bukan kader elit partai, sama halnya dengan Risma yang
berasal dari kalangan birokrat di Surabaya. Ahok rasanya gerah berada dalam kubangan
partai politik yang terus menjadi beban bagi masa depan kepemimpinannya. Ridwal
Kamil keluar partai dan menyeruak dari kumpulan masyarakat independen. Gejala
ini memperlihatkan bahwa kepemimpinan pemerintahan lebih diminati jika ia mampu
menjaga jarak sejauh mungkin, bahkan steril dari kooptasi politik. Sekalipun
mesti disadari bahwa sulit, atau bahkan tak mungkin memutuskan pengaruh politik
begitu saja. Terlepas dari itu, juga diisyaratkan bahwa gejala kepemimpinan
pemerintahan semacam itu semakin meyakinkan kita bahwa pemerintahan yang akseptabel
jika ia memperoleh legitimasi kuat dari rakyat secara langsung, bukan
semata-mata atas dukungan partai politik atau pilihan elit tertentu. Gambaran
itu menunjukkan semakin pentingnya menumbuhkan dan mengembangkan ilmu pemerintahan
yang khas, menjauhi bayang-bayang ilmu politik yang seringkali menimbulkan
kegaduhan dalam birokrasi pemerintahan (politisasi birokrasi). Dalam konteks
itu pula, jelas bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu sebenarnya lebih
memperoleh peluang dan kedudukan yang strategis untuk lepas dari tekanan ilmu
politik. Publik tampak lebih berpihak pada pemerintahan yang lebih berkemampuan
manajerial praktis, serta steril dari kesan inflitrasi politik praktis. Dominasi
politik dalam kepemimpinan pemerintahan sejauh ini membuat para pembelajar ilmu
pemerintahan (kybernolog) tak berdaya
mempraktekkan ilmu pemerintahan di ruang birokrasi yang sesak oleh pergulatan
dan intrik politik. Akhirnya mereka turut menjadi bagian dari dinamika politik
(tim sukses), sekaligus melarutkan ilmu pemerintahan dan menggantinya dengan
keahlian politik praktis. Disinilah kemenangan sementara pragmatisme ilmu
politik. Melepaskan diri dari keterikatan bayang-banyang politik memang tak
mungkin, namun kepemimpinan pemerintahan yang memperlihatkan kemauan masyarakat
yang sesungguhnya lewat paradigma pemerintahan yang melayani adalah jawaban yang mendasari perlunya penguatan ilmu
pemerintahan yang mandiri seperti kybernologi.
Jika peluang ini pergi begitu saja, dalam arti hilangnya peran ilmu
pemerintahan dalam merespon fenomena pemerintahan dewasa ini, maka ilmu politik
tetap saja menjadi jalan keluar (way out)
sekalipun tak akan pernah memuaskan dalam penyelesaian problem pemerintahan.
Atau, jalan tengah yang tetap dipilih adalah melakukan pola hibridisasi (eklektik), yaitu proses penimbunan
berbagai pengetahuan menjadi satu adonan
dalam bingkai ilmu-ilmu pemerintahan. Konsekuensinya, pilihan dilematis seperti
itu menjadikan cakupan ilmu pemerintahan mungkin semakin distingtif, atau bahkan kehilangan makna dan pudar di suatu ketika.
Komentar
Posting Komentar