Isu, Respon, Dinamika, Peluang dan Rekonstruksi Kerangka Pemikiran Ilmu Pemerintahan[1]

Oleh. Muhadam Labolo[2]

Pendahuluan
          Berangkat dari hasil diskusi scientific traffic pada tanggal 16 Januari 2015 di Kampus IPDN Cilandak sebagai upaya menyalakan kembali spirit keilmuan pemerintahan yang redup selama 10 tahun terakhir, tulisan ini dihadirkan untuk menjawab tantangan (challenge) narasumber (Ryaas Rasyid) dalam pengembangan kerangka ilmu pemerintahan dari basis teoritik dan kajian empirik. Basis teoritik dipersiapkan guna melacak kembali beberapa pemikiran kunci sebagai teoritical framework untuk mengelaborasi sejumlah isu yang menjadi problem mendasar pemerintahan di Indonesia. Kajian empirik akan menangkap realitas dinamika kepemimpinan pemerintahan kekinian sebagai peluang menghadirkan kembali kemandirian ilmu pemerintahan sekaligus kritik rekonstruksi pengembangan ilmu pemerintahan di wilayah internal institusi (IPDN). Dalam kerangka diskusi itu setidaknya terdapat tiga isu penting yang dikemukakan yaitu persoalan rendahnya sense of environmental issues dalam pembangunan pemerintahan, hilangnya kemampuan meletakkan vision dalam pemerintahan, serta melemahnya peradaban bangsa akibat tercerabutnya nilai-nilai etik pemerintahan dalam pemandangan praktek hukum sehari-hari. Secara akademik, persoalan pertama tentu saja merupakan tanggungjawab penuh bidang kajian Ilmu Pemerintahan Ekologik dan Ekologi Pemerintahan. Persoalan kedua tampaknya lebih interesting dan instingtif, sebab tidak saja menyangkut persoalan teknis asas pemerintahan, namun berkaitan pula dengan dasar, tujuan, makna, batasan hingga ruang lingkup ilmu pemerintahan yang menjangkau pemenuhan kebahagiaan seluas-luasnya, termasuk kebutuhan jasmani dan rohani. Jika boleh disederhanakan, isu tersebut menjadi beban utama bidang kajian Dasar-dasar Ilmu Pemerintahan (Pengantar Ilmu Pemerintahan). Sedangkan persoalan terakhir lebih gamblang jika didekati lewat kajian Etika Pemerintahan. Dengan dasar itu maka ketiga persoalan tersebut dapatlah disederhanakan dalam satu pertanyaan pokok yaitu bagaimanakah  peran ilmu pemerintahan (dalam hal ini pemerintahan ekologik dan ekologi pemerintahan, tujuan pemerintahan serta etika pemerintahan) dalam merespon ketiga isu yang menjadi pertanda buram bagi pemerintahan dewasa ini? Penyederhanaan pertanyaan hanyalah untuk mempermudah elaborasi dan sikuensi dari kerangka dasar ilmu pemerintahan hingga ke cabang-cabangnya (furu’), yaitu ekologi dan etika pemerintahan.

Akar Pemikiran
          Jauh sebelum Taliziduhu Ndraha membangun kerangka pemikiran ilmu pemerintahan baru  pada tahun 2003 yang ditasbihkan dengan nama kbernology,[3] pemikiran ilmu pemerintahan di Institut Ilmu Pemerintahan (1967) secara umum berpijak pada akar pemikiran Herman Finer yang menyatakan bahwa Government is Politics plus Administration.[4] Pemikiran ini setidaknya diyakini oleh sebagian besar dosen politik pemerintahan di IIP yang kemudian berkembang dengan mengintegrasikan ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu pemerintahan. Ryaas Rasyid (2015) misalnya menyatakan secara eksplisit bahwa untuk memahami realitas pemerintahan setidaknya dibutuhkan tiga ilmu lain sebagai kerangka dasar untuk penopang ilmu pemerintahan, yaitu ilmu politik, administrasi dan hukum.[5] Bagi kalangan ilmuan pemerintahan, ilmu hukum sendiri sekalipun berada diluar penopang yang dimaksud oleh Finer, namun secara historis pernah akrab dengan ilmu pemerintahan. Dalam kaitan itu Bayu Suryaninggrat (1985) mengatakan bahwa realitas pemerintahan dapat dilihat dari perspektif hukum melalui dua pendekatan, yaitu konstitusional dan fungsional.[6]  Pendekatan pertama didasarkan pada anggapan dasar negara hukum. Pandangan ini secara khusus mendorong penglihatan kita terhadap gejala pemerintahan dari kaca mata Hukum Tata Negara (Hukum Tata Pemerintahan). Fokus utama adalah bagaimana seharusnya kelembagaan negara/pemerintahan bekerja. Bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara/pemerintahan menjadi titik kajian sehingga bersifat kaku sebagaimana tafsir konstitusional negara/pemerintah. Sedangkan pendekatan fungsional dibangun dengan anggapan dasar ubi societas, ubi ius (dimana ada masyarakat, disitu terdapat hukum). Pendekatan ini secara khusus melahirkan sosiologi hukum dalam melihat persoalan pemerintahan. Dalam praktek di Indonesia tampak bahwa pendekatan pertama lebih dominan sehingga persoalan hukum lebih bersifat normatif, kaca mata kuda, bahkan kehilangan nilai humanity dan etika. Realitas ini mengakibatkan ilmu hukum kehilangan basis sosiologis, cenderung berorientasi ke penguasa secara hierarkhis. Jika dikaitkan dengan kasus pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri atau pelantikan Sekda Sumut Hasban Ritonga (2015), tampaknya kritik Ndraha seperti menemukan konteks, hukum kehilangan sense of etics dan cenderung berorientasi keatas, bukan pada nurani dan etika publik. Sebab itulah Ndraha (2003:428) mengkonstruksi kembali hukum pemerintahan berparadigma kybernology, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan yang diperintah dalam konteks hak dan kewajiban melalui pendekatan empirik (realitas sosial) dan bukan semata-mata bersandar pada pendekatan konstitusional semacam itu. Kendatipun sebenarnya pendekatan kedua yang dikemukakan Suryaninggrat dapat menjawab persoalan tersebut, namun cabang sosiologi hukum tampaknya belum jauh berkembang sebagaimana harapan dan cita-cita sebagian penganut pendekatan hukum fungsional.
Apabila kerangka pemikiran di atas kita bandingkan dengan kerangka pemikiran yang dibentuk Ndraha, terdapat perbedaan pada Body Of Knowledge (BOK). Ndraha (xxxii: 2003) membagi kerangka pikir kybernology kedalam tiga nilai utama, yaitu pengembangan nilai sumber daya, penciptaan keadilan dan kedamaian, serta kontrol terhadap kekuasaan. Ketiga variabel tersebut membentuk masing-masing Sub Kultur Ekonomi (SKE), Sub Kultur Kekuasaan (SKK) dan Sub Kultur Sosial (SKS). Satu-satunya titik persinggungan pada kedua kerangka pemikiran tersebut adalah bidang politik. Sedangkan bidang administrasi, ekonomi, sosial dan hukum menjadi varian yang akan saling melengkapi. Bagi Ndraha, semua subkultur di atas dalam prakteknya mengandung paradigma lama yang membawa persoalan mendasar sehingga perlu dikonstruksi kembali melalui paradigma kybernology. Politik dalam pemikiran Ndraha adalah kekuasaan yang cenderung menjadikan manusia sebagai korban (victims). Jika kekuasaan dibiarkan semaunya dapat menimbulkan gejala deuternement de pouvoir, abuse of power, KKN, penindasan dan pembohongan (public of lie). Bias ekonomi dapat melahirkan dampak seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest, konflik dan ketidakadilan. Demikian pula deviasi sosial jika dibiarkan dapat menciptakan civil disobedience, civil distrust, anarkhi, terorisme, perang saudara dan revolusi. Diluar itu dan bagi kaum idealis, semua ilmu pengetahuan bergantung pada manusianya (the man behind the gun), sebagian percaya bahwa ilmu secara filsafati berciri bebas nilai.[7]  Diatas realitas negatif pada semua aspek tersebut, penting memperjelas peranan ilmu politik, administrasi, ekonomi dan sosial selain ilmu hukum yang telah dijelaskan sebelumnya.
Secara historis peranan politik dan administrasi dalam kerangka pemerintahan dapat diketahui secara sederhana lewat pengaruh struktur sosial masyarakat yang terdiri dari kelas atas (borjuisme) dan kelas bawah (proletariat). Peran politik dalam masa itu tampak lebih dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan kelas atas dari ancaman dan serangan kelas bawah yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dapat dilihat dari saran Machiavelli (1469-1527) pada penguasa Florence (Italia) dalam mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Politik menjadi suatu strategi praktis dalam upaya mempertahankan kekuasaan, bukan pada soal cara, namun pada tercapainya tujuan. [8]  Machiavelli sendiri cenderung berpikir realistik dengan kondisi saat itu sehingga saran-saran yang disampaikan tentang kekuasaan menjadi tak ideal. Dalam konteks ini politik secara umum terjebak pada kekuasaan pragmatis yang dapat dimainkan penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan dengan cara apa saja. Disini ilmu politik seperti kehilangan makna filosofistiknya sebagaimana diletakkan Aristoteles (384-322 SM) yaitu suatu upaya pencapaian kebaikan umum/bersama (commons good). Secara idealitas pemikiran Aristoteles seakan memberi peluang bagi politik sebagai kajian yang dapat menyelesaikan masalah, namun harus diakui dalam realitasnya lebih mendekati apa yang dipikirkan Machiavelli sehingga rakyat cenderung menjadi korban dalam perebutan kekuasaan. Lalu kebutuhan politik seperti apakah yang kita butuhkan dalam konteks pemerintahan? Berpijak pada apa yang selama ini secara faktual menjadi keyakinan bahwa cara tak begitu penting, yang pokok adalah tujuan itu sendiri (menghalalkan segala cara), maka politik yang kita butuhkan tentu saja politik yang tetap menekankan aspek proses untuk mencapai tujuan sehingga kebijakan pemerintah benar-benar efektif menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Agar tetap dalam ‘proses’ itu maka politik pemerintahan haruslah bersentuhan dengan lingkungan (realitas sosial), bukan bergantung pada keinginan penguasa semata. Dengan demikian politik pemerintahan yang dimaksud adalah proses pembentukan kekuasaan (authority) pemerintahan melalui interaksi dan kompromi dengan lingkungan (realitas sosial), menggunakan dan mempertanggungjawabkan penggunaannya kepada masyarakat (konsumer), tidak dengan menggunakan kekuasaan itu sendiri tetapi melalui proses dan siklus pemerintahan (Ndraha,2003:489).
 Ilmu administrasi sendiri pada dasarnya di desain untuk menjembatani kepentingan penguasa dalam masyarakat. Dalam maksud itu administrasi tak dapat bersikap netral, bahkan mungkin tak akan netral, sebab administrasi selalu dikendalikan oleh kelas yang berkuasa. Ketidaksejajaran antara yang melayani dan yang dilayani sebagaimana terkandung dalam pengertian ontologiknya (ministrare, minister dan ministry) mengakibatkan pihak yang melayani dalam birokrasi menjadi servant (hamba, buruh, bawahan, pelayan), sementara yang dilayani menjadi lebih tinggi derajatnya sebagai hasil substitusi atas makna ministry yang ditempatkan sebagai yang lebih tinggi untuk dilayani (Tuhan, majikan, atasan).[9] Konsepsi ini membuat peran ilmu administrasi dalam perkembangannya kurang menarik seiring pergeseran sistem politik dihampir sebagian besar negara dari sistem politik totaliter dan otoriter ke demokrasi. Dalam konteks demokrasi, termasuk perkembangan good governance dalam pemerintahan, semua elemen yang terlibat dalam proses pelayanan bersifat fungsional dan setaraf (equal), baik pemerintah, swasta maupun masyarakat disatu sisi.[10] Dalam tampilan seperti itu administrasi tak lebih dari sekedar pekerjaan tulis-menulis, catat-mencatat, simpan-menyimpan, agenda, arsip dan ekspedisi. Apalagi dalam perkembangan dewasa ini ilmu administrasi mengalami pergeseran kearah administrasi publik dan administrasi bisnis. Mengingat makna, sejarah dan problem itu, maka ilmu administrasi yang dibutuhkan adalah administrasi pemerintahan sebagai proses penjagaan (keeping & caring) dan penyampaian (forwarding & delivering) produk pemerintahan tertentu kepada masyarakat (konsumer) dan memberdayakan masyarakat untuk menggunakan produk tersebut dengan cara dan alat yang sesuai dengan kondisi masyarakat sesegera mungkin, sedemikian rupa, sehingga masyarakat menerimanya secara utuh dan sadar, serta memperoleh manfaat sebesar-besarnya (Ndraha, 2003: 508).
Dengan demikian peran ilmu hukum, ilmu politik dan ilmu administrasi dimasa lalu cenderung berpijak secara konstitusionalisme, kepenguasaan dan melayani. Kondisi ini dapat dimaklumi sebagai upaya untuk mempertahankan pemerintahan yang stabil dan kuat sehingga  cenderung bersifat normatif, sentralistik dan hirarkhis-birokratis.                                                
         
Tujuan Pemerintahan
          Dalam catatan Van Poelje (1953:28), tujuan pemerintahan adalah bagaimana mengelola kehidupan bersama dalam mencapai kebahagiaan yang seluas-luasnya tanpa merugikan orang lain secara tidak sah.[11] Lewat defenisi ini Poelje memaklumkan satu hal pada kita yaitu bagaimana pemerintah mendorong agar setiap masyarakat mampu mencapai kebahagiaan yang seluas-luasnya. Kebahagiaan dimaksud bertalian dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani.  Kebutuhan jasmani berhubungan dengan rasa aman, nyaman dan wajar. Sedangkan kebutuhan rohani bertalian dengan aspek spiritualitas individu dalam menghadirkan kepuasan batiniah sepanjang waktu. Dalam upaya pertama pemerintah berkewajiban menyediakan seperangkat hukum beserta instrumennya untuk memastikan tercapainya rasa aman dan nyaman setidaknya pada tingkat yang paling minimal. Sedangkan upaya kedua pemerintah berkewajiban memfasilitasi tersedianya media bagi upaya meningkatkan kepercayaan individu terhadap Tuhannya. Tujuan pertama menopang tegaknya hukum dalam masyarakat agar tercipta social order. Namun pengertian itu tidaklah menegaskan bahwa memerintah diartikan sama dengan sekedar menerapkan undang-undang sehingga studi hukum dipandang cukup sebagai modal dalam menjalankan tugas pemerintahan. Tujuan kedua bermaksud mendukung tegaknya hukum Tuhan agar manusia mampu menjaga harmoni di dunia fisik maupun metafika. Untuk mencapai semua tujuan tadi, Poelje menyarankan tiga cara agar semua kekalutan semacam itu terhindarkan. Pertama, pemerintah perlu menumbuhkan-kembangkan keluarga sebagai unit pertama yang bertanggungjawab dalam membentuk sikap setiap warga negara dalam hal kepatuhan internal. Saran Poelje sejalan dengan sosiolog Mc Iver (1985:33) yang meletakkan keluarga sebagai basis utama bagi pembibitan pemerintahan.[12] Kegagalan dalam membangun kepatuhan anak dalam rumah tangga sebagai unit pemerintahan mikro pada tingkat tertentu dapat menjadi ancaman terhadap kehidupan pemerintahan dalam arti luas. Kepatuhan anak dalam unit terkecil merupakan gambaran dimana kontrol pemerintah secara tak langsung berjalan efektif. Dengan upaya yang sama dari setiap unit keluarga, maka harapan bagi terbentuknya masyarakat yang baik, dalam arti patuh dan sadar akan hukum dan pemerintahnya bukanlah hal yang mustahil.[13] Kedua, pemerintah perlu menumbuhkan dan mengembangkan pendidikan kewarganegaraan yang berkarakter. Cara ini lebih efektif untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, dimana setiap pembelajar menyadari pentingnya pemerintah sebagai pengatur yang sah. Pendidikan secara umum menurutnya merupakan tempat bagi persemaian bibit kesadaran hukum setiap warga Negara. Dengan kesadaran semacam itu kita selayaknya mewajibkan setiap lembaga pendidikan menanamkan ilmu dan pengetahuan yang dapat membentuk kesadaran berpemerintahan. Bagian ketiga dari saran Poelje adalah pentingnya ketauladan pemimpin bagi masyarakatnya. Tanpa itu, sehebat apapun sistem hukum yang kita desain, dia hanya menjadi simbol tanpa makna. Pemimpin adalah milik semua orang, karena itu seorang pemimpin patut menjadi wakil sekaligus contoh untuk semua, bukan wakil partai tertentu. Ini sejalan dengan pernyataan mantan Presiden Philiphina Imanuel Luis Quezon yang mengatakan my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins. Luis meletakkan dirinya sebagai negarawan, bukan politisi picisan yang sekalipun sudah terpilih sebagai pemimpin masih saja bersikap partisan pada partai politik tertentu. Jika dibiarkan gejala demikian dapat merusak kepercayaan rakyat. Mungkin ada benarnya bahwa gejala korupsi, kebohongan dan perselingkuhan dalam pemerintahan merupakan produk dari pendidikan yang gagal dalam rumah tangga, institusi pendidikan maupun hilangnya suri tauladan para pemimpin sebagaimana dikatakan Poelje.

Respon Etika Pemerintahan
          Dalam perspektif Bertens (2011:4-9), etika setidaknya mengandung makna nilai, pengetahuan dan persepsi.[14] Sebagai nilai, etika membentuk karakter yang bersejajar dalam rupa khusus dan universal. Semakin universal suatu nilai semacam kejujuran, keadilan dan tanggungjawab, semakin mungkin ia diterima menjadi konsensus kolektif bagi sandaran muammalah masyarakat dibelahan dunia manapun. Agama adalah salah satu sumber nilai. Gejala korupsi misalnya, adalah bentuk pelanggaran nilai yang secara universal ditentang oleh setiap individu, tak terkecuali apakah ia hidup dalam negara bersistem politik totaliter, otoriter maupun demokrasi. Korupsi adalah racun yang dapat mengancam matinya kehidupan bermasyarakat dan goyahnya sistem bernegara. Oleh karena ia menjadi musuh bersama (common enemy), maka tak heran jika nilai semacam itu mewujud kedalam norma universal layaknya konvensi, traktat, konsititusi, undang-undang, hingga peraturan lokal yang memaksa setiap warga negara menghindari kecurangan dalam konteks bermasyarakat dan berpemerintahan. Mereka yang berperilaku curang mesti berurusan dengan hukum positif dimanapun ia berpijak untuk menentukan kadar kebenaran dan kesalahannya. Kadar kebenaran dan kesalahan setidaknya berkonsekuensi dalam bentuk reward and punishment. Dengan demikian maka seseorang yang pernah melakukan korupsi di suatu negara, pemerintahan atau daerah, tidaklah mungkin berpeluang menjadi pemimpin di negara, pemerintahan dan atau daerah lain, sebab telah melanggar nilai universal yang telah disepakati bersama. Ini merupakan bentuk hukuman atas pelanggaran etika sebagai nilai universal. Dalam hubungan itulah patut kiranya mempertimbangkan usulan KPK untuk memberikan hukuman tambahan bagi koruptor dalam hal penghilangan hak politik jika memang terbukti korupsi.
Sebagai ilmu, etika berupaya membedakan makna baik dan buruk. Etika dalam konteks ini berwajah rasional dan logis dari rahim filsafat. Sekalipun filsafat bersifat antroposentrik dan agama disisi lain bernuansa teosentrik, namun dalam keyakinan kita filsafat adalah bagian dari agama yang melingkupi ruang makro dan mikrokosmos. Jika agama menjadi rujukan filsafat, maka aplikasi agama dalam kerangka bernegara seperti Indonesia dapat berwujud fatwa bagi setiap penganutnya, apakah Islam, Kristen, Hindu maupun Budha. Filsafat sendiri secara praktikum akan bermetamorfosa kedalam code of conduct, dalam hal mana profesi setiap orang dipertanggunjawabkan. Dengan demikian maka efektivitas etika pada satu sisi bergantung pada seberapa kuat keyakinan penganut terhadap agamanya. Mereka yang taat pada etika agama akan takut melanggar ajaran agama, sebab berkonsekuensi dosa. Bagi mereka yang memahami filsafat akan sungkan melanggar kode etik sebagai kehormatan pada profesi. Pelanggaran disiplin profesi seperti seorang Samurai hanya mungkin jika disudahi lewat harakiri untuk menebus rasa malu yang tiada tara.
Sebagai suatu persepsi, etika bergantung pada kepercayaan satu kelompok dalam masyarakat. Semakin tinggi kohesivitas nilai dalam kelompok, semakin kuat identitas budaya mengikat kelompok tersebut dalam bentuk adat. Dalam konteks Indonesia, inilah hukum adat (adatrecht), sebagaimana catatan para sosiolog Belanda yang menjadikannya rujukan dalam pemetaan masyarakat untuk mengadu-domba kelompok bagi kepentingan penjajah. Dalam masa kini, nilai adat beradaptasi dalam budaya yang lebih ramah, yaitu kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal tidak saja menjadi keunikan tersendiri bagi etnik tertentu, namun dalam konteks pembangunan menjadi modal bagi pengembangan otonomi daerah. Pengingkaran terhadap budaya dalam realitasnya diselesaikan lewat hukum adat (dapat berbentuk kurungan, isolasi, penggantian atau penambahan beban pekerjaan/denda). Kontribusi terpenting dalam pengembangan etika semacam ini pada akhirnya membantu meringankan beban negara dalam hal penyelesaian konflik antar individu dan kelompok yang menjadi kebiasaan masyarakat saban hari.
Sejauh ini, kecuali Indonesia, hampir tak ada satupun negara di dunia yang memperlihatkan gejala dimana para pemimpinnya di pusat maupun lokal bertarung kembali menjadi pejabat rendahan setelah sebelumnya duduk sebagai pejabat puncak baik mantan menteri, gubernur dan walikota. Gejala unik lain misalnya pejabat kepala daerah menyeberang dan berkompetisi di daerah lain sebelum habis masa jabatannya, meluasnya oligarkhi dihampir semua sudut kekuasaan, pasangan kepala daerah dilantik dalam buih, serta pencalonan dan pelantikan sejumlah pejabat dalam status sebagai tersangka. Pengaruh filsafat teologi timur semestinya mampu membentuk pribadi bertanggungjawab tidak saja pada diri dan lingkungan, lebih dari itu kepada pencipta Yang Maha Agung. Pemaknaan ketuhanan tadi mewujud dalam bentuk tanggungjawab horisontal (hablumminnas) dan vertikal (hablumminallah). Pada derajat horisontal tersebut berbagai perangkat sistem sosial memungkinkan bagi yang memerintah dan yang diperintah untuk saling mengontrol agar dpat mencapai tujuan pemerintahan itu sendiri. Lewat perangkat sosial tersebut dapat di desain sistem yang menjamin terciptanya pemerintahan yang baik dari aspek input, proses dan output-nya. Kualitas terbaik dari sedikit individu dapat dihadirkan dalam etalase kepemimpinan pemerintahan. Sisanya menjadi mayoritas yang siap dipimpin hingga waktu tertentu sesuai siklus pemerintahan. Dalam filsafat timur seperti kitab Zabur, Taurat, Injil dan Quran hingga rekaman peristiwa berupa perilaku dan ucapan para penyampai firman dan sabda diingatkan misalnya, tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap perilaku kepemimpinannya di dunia dan akhirat.  Konsekuensi dari akuntabilitas kepemimpinan diatas mengharuskan setiap individu dituntut untuk memilih pemimpin yang memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan kompetensinya baik general maupun teknis. Secara general dipersyaratkan memiliki kepadatan moral yang meletakkan setiap pemimpin sebagai pusat percontohan sebagaimana diajarkan oleh para penyampai risalah dan pengikutnya. Dalam perspektif Islam umpamanya, terdapat nilai kepemimpinan seperti siddiq, tabligh, amanah dan fatonah menjadi standar umum sebagai pemimpin. Dengan modal itu pemimpin diniscayakan suci, bersih tanpa noda, serta menjadi panutan masyarakat luas. Pemimpin demikian hanya mungkin jika lahir dan terdidik dalam tatanan masyarakat yang menjadikan aspek spiritual sebagai sumber nilai. Lewat proses penyerbukan yang cukup kredibilitasnya terekam dalam masa pertumbuhan dan perkembangan di tengah masyarakat. Disini tercipta proses seleksi dalam masyarakat yang melahirkan kepercayaan untuk menjadi pemimpin kelak. Tentu saja kepemimpinan  dengan sentuhan filsafat timur tadi menghindari terpilihnya pemimpin yang gambaran kredibilitas sebaliknya, keluar masuk buih lantaran mencederai kesucian dari nilai kepemimpinan itu sendiri. Karena nilai kepemimpinan cenderung dipandang sakral, maka mereka yang pernah menjadi pemimpin sejatinya tak mungkin menurunkan derajatnya hanya untuk memburu jabatan rendahan setelah menjabat sebagai pimpinan puncak. Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanah rakyat sekaligus menampilkan sifat kekuasaan yang ambisius, terlepas dari alasan politis yang tersusun rapi lagi masuk akal. 
          Di barat terdapat seperangkat nilai sebagai untuk mendesain standar kepemimpinan pemerintahan (filsafat Socrates, Plato dan Aristoteles). Filsafat barat yang mengagungkan akal pikiran sebagai landasan dalam menciptakan kriteria dan standar kepemimpinan memungkinkan untuk membedakan mana yang benar dan mana salah dalam perilaku bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi juga bagaimana menghargai manusia dan kemanusiaan dengan semua hak dasar yang melekat didalamnya. Dalam praktek tak selalu linier, seringkali terjadi standar ganda yang mengakibatkan diskriminasi dan memunculkan radikalisasi. Atas dasar itu setiap individu percaya bahwa etika sebagai suatu ilmu, tatanan nilai maupun keyakinan sekelompok orang tentang hal baik dan buruk menjadi prinsip dalam berbagai norma dan konsensus untuk mengendalikan siapa saja, baik mereka yang memerintah maupun yang diperintah. Bagi kelompok yang memerintah, etika menjadi standar dalam perilaku kepemimpinan. Dengan etika yang dilandasi akal pikiran sehat setidaknya setiap manusia dapat membedakan mana makanan dan mana sampah. Melalui etika yang didasarkan pada akal pikiran sehat manusia dapat melerai mana pemimpin dan mana penjahat. Pemimpin ditasbihkan dalam prosesi sakral di tempat suci dan terhormat, sedangkan penjahat ditahan dalam jeruji besi untuk dimanusiakan kembali. Jika seseorang dilantik sebagai pemimpin di tempat penjahat, maka sulit membedakan Pemimpin atau penjahat, atau Pemimpin sekaligus penjahat, mungkin juga setengah pemimpin dan separuh penjahat. Tentu gejala demikian tidak saja dapat menciptakan kebingungan publik, namun dalam jangka membentuk kebiasaan yang disahkan. Publik menganggap pemimpin dan penjahat tak ada bedanya.  Jika demikian bukankah kita dapat bersepakat bahwa toilet dan musholla tak ada bedanya. Bagi kita, sebersih dan sebagus apapun toilet di Mal Kelapa Gading tak etis jika digunakan sebagai tempat prosesi hari ulang tahun seseorang. Lewat etika pemimpin dapat mengendalikan diri dari perasaan malu jika turun dari level jabatan puncak ke jabatan rendahan. Tentu saja rasa malu tersebut dapat membatasi kecenderungan berkuasa yang semakin luas. Dengan etika pula dapat membatasi kehendak yang luas dari setiap pemimpin agar dapat menuntaskan amanah setiap periode yang ditentukan oleh rakyat dalam konstitusi. Dengan begitu tak ada pemimpin yang terkesan mengkhianati pilihan rakyat selama lima tahun, sesudahnya dapat diberikan kesempatan untuk kembali berkompetisi atau memilih area yang lebih luas dari itu. Inilah nilai penting dari sentuhan timur dan barat yang dapat di introdusir dalam simpul Pancasila sebagai filosofi groundslaag berbangsa dan bernegara. Dalam realitas kekinian dapat disaksikan bagaimana pemimpin di Jerman dan Honduras mundur hanya karena ketidakpercayaan publik atas gelar pendidikannya. Contoh lain bagaimana pemimpin China, Korea, Taiwan dan Jepang mundur karena kasus-kasus pelanggaran etika seperti tidak berada ditempat kerja saat rakyatnya sedang bermasalah, tersandung isu korupsi, salah mengeluarkan statement atau hanya karena ketidakfasehan berbahasa nasional sebagai indikasi rendahnya kecintaan terhadap bangsa dan negaranya. Jika negara-negara dibelahan timur dan barat, demokratis, otoriter maupun totaliter, sosialis atau kapitalistik mampu menetapkan dan menegakkan nilai-nilai moral kedalam norma dan sistem nilai yang disepakati untuk menjaga keluhuran seorang pemimpin, penting bagi negara yang kaya akan budaya semacam Indonesia memiliki etika pemerintahan.
Pemimpin dalam berbagai makna umum diartikan sebagai orang yang mampu mempengaruhi melalui kewibawaan komunikasi sehingga orang lain dengan senang hati maupun terpaksa mengikuti tujuan dan kehendak tertentu. Demikian setidaknya menurut Cleeton, Mason, Tead, Pigors, Stogdill, maupun Steers. Pemimpin tentu saja menjadi pusat teladan bagi pengikutnya. Pemimpin idealnya berada di puncak-puncak kekuasaan untuk melayani.  Demikian prestisiusnya konsep pemimpin dan kepemimpinan maka ketika mereka gagal menjalankan amanah, hidup mereka seringkali berakhir di penjara. Penjara hanyalah sebuah tempat dimana hidup sekumpulan individu yang untuk sementara waktu gagal meningkatkan kualitas dirinya di tengah sistem sosial masyarakat. Dalam makna lain kita mengenal istilah lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebagai konsep dasar yang bergeser dari tempat penahanan menjadi tempat pelembagaan individu bermasalah kedalam masyarakat. Etika sendiri kita pahami sebagai seperangkat nilai, suatu ilmu maupun pemahaman sekelompok orang tentang hal baik dan buruk dalam masyarakat. Etika dalam bahasa Yunani disebut ethos, artinya kebiasaan atau watak. Etika dihubungkan dengan ukuran-ukuran nilai moral yang ingin dilekatkan kepada suatu gejala kehidupan dalam masyarakat. Dalam kehidupan modern, etika dihubungkan dengan profesi tertentu, misalnya kedokteran, kewartawanan, kemiliteran, kepolitikan, kekuasaan atau pemerintahan. Berkenaan dengan etika pemerintahan menunjuk pada perilaku baik-buruk dalam interaksi pemerintahan apakah menyangkut personifikasinya, lembaganya, prosesnya maupun sistem dimana semua itu dilaksanakan. Etika dapat membentengi pemimpin agar tak hilir mudik ke penjara. Penjara menjadi sekolah luar biasa yang dapat menghasilkan kesadaran bermasyarakat. Bagaimanakah jika pemimpin dan penjara bertemu dalam sebuah prosesi pelantikan menurut kerangka etika pemerintahan?  Faktanya, seperempat penghuni penjara di dunia berisi para pemimpin Gangsters, Mafioso, Yakuza, hingga pemimpin pemerintahan dalam skala lokal, nasional dan international. Untuk yang terakhir tadi tentu saja berkaitan dengan banyak masalah korupsi, sisanya tahanan politik. Sejumlah pemimpin yang dipenjara karena masalah politik cenderung cemerlang setelah kembali kedalam masyarakat, contohnya  Nelson Mandela dan para founding fathers. Disini lembaga semacam itu tidak saja berperan menahan seseorang, sekaligus mendewasakan karakter seseorang agar semakin tangguh menjadi pemimpin. Para pemimpin yang terlibat korupsi diawali dari budaya nepotisme dan kolusi.  Korupsi dominan mengidap pada pemimpin yang sedang berkuasa apalagi jika semakin absolut, sindir Lord Acton. 
Dalam kaitan dengan tugas pemimpin, melayani melahirkan tanggungjawab, sedangkan dilayani memunculkan perasaan kenikmatan.  Konsekuensi pertama melahirkan kebaikan bagi orang banyak (commons good), sisanya adalah kenikmatan bagi diri sendiri. Disinilah pemimpin jamak dihormati sebagaimana kita saksikan dimana saja. Guna menjaga tanggungjawab tersebut seorang pemimpin berusaha menjaga kehormatannya agar tak tercela di mata publik yang beresiko menghilangkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.  Itulah mengapa banyak pemimpin memilih mundur dari jabatan sekalipun untuk hal-hal yang dipandang hanya melanggar kehormatan sebelum lebih jauh mendekam dalam penjara.  Bagi para pemimpin tersebut, melanggar etika kepemimpinan jauh lebih beresiko daripada sekedar melanggar hukum positif.  Etika dinilai sebagai rahim dari hukum positif, jadi melanggar etika sama saja melanggar hukum positif.  Kasus pengunduran diri Kanselir Jerman dan Presiden Honduras dalam isu plagiat disertasi jika dipertimbangkan bukanlah masalah pelanggaran serius dalam hukum masyarakat, namun berkaitan dengan etika, yaitu kebohongan publik. Pengunduran diri pemimpin Korea akibat bermain golf disaat masyarakatnya dalam belitan masalah, atau kasus dimana salah satu Perdana Menteri Jepang mundur hanya karena kurang fasih berbahasa leluhur menunjukkan sebuah tanggungjawab yang tinggi dalam soal menjaga kehormatan seorang pemimpin. Dalam konteks Indonesia, kasus pelantikan Sekda Sumatera Utara (2015) atau proses pengusulan Budi Gunawan sebagai Kapolri (2015) mengingatkan kita pada kasus Bupati Mesuji yang dilantik di Lembaga Pemasyarakatan oleh Gubernur Lampung (2012) atau kasus Walikota Tomohon yang sempat melantik eselon dua dan tiga dari balik jeruji besi.  Dalam konteks hukum positif tentu saja tak ada se-ayat pun aturan yang dilanggar baik oleh yang melantik maupun yang dilantik, tetapi apakah hal demikian patut menurut etika publik, apalagi etika pemerintahan?  Indonesia memang tak memiliki undang-undang etika publik apalagi etika pemerintahan sebagai batasan bagi perilaku baik dan buruk. Dalam kasus pelantikan tersebut mungkin bukan person, lembaga atau prosesnya yang bermasalah, tetapi mekanisme pelantikan yang menjadi persoalan. Secara logika ada dua peran pada seorang pejabat yang dilantik, yaitu sebagai pejabat negara sekaligus tersangka. Disinilah kelemahan ilmu hukum sehingga perlu dilihat dari kerangka etika pemerintahan sebagai bagian dari ilmu pemerintahan. Jika negara komunis (China), penyembah Matahari (Jepang), atau pembantai kaum Yahudi (Jerman) memiliki etika bagi pemerintahannya, mengapa negara yang dipenuhi berbagai nilai dan tradisi luhur tak memiliki standar etika umum untuk mengukur baik-buruk setiap perilaku dalam proses kepemimpinan pemerintahan?
Etika memang bukan hukum positif, tetapi etika adalah seperangkat nilai tentang baik-buruk yang dapat disepakati bersama dari Sabang sampai Merauke untuk mengukur perilaku dalam peristiwa kepemimpinan pemerintahan. Jika kita sepakat maka semua perilaku tak senonoh para pemimpin tak perlu menunggu keputusan seorang hakim menjatuhkan vonis, kecuali mundur. Ini dapat mengurangi tingkat ketegangan publik, meredakan konflik vertikal dan horisontal, serta menghemat energi dalam polemik yang berlarut-larut.  Diperlukan apresiasi jika ada anggota legislatif yang mundur hanya karena tak sengaja menikmati situs pornografi saat sidang di Senayan, atau menanggalkan jabatan menteri karena tersandung istri simpanan, termasuk mundur sebagai pemimpin partai politik ketika terpilih sebagai pejabat negara. Tak mundur dari jabatan memang tak melanggar hukum, tetapi bukankah sudah cukup dianggap melanggar etika publik.  Hukum tak selalu mesti tertulis. Inggris adalah contoh dimana hukum tak tertulis (unwriter constitution) tetap berlaku dan menjadi pondasi kuat bagi hukum tertulis. Dengan demikian seorang pelanggar bisa jadi tak perlu masuk penjara, tetapi mengundurkan diri dari sebuah jabatan sudah cukup menjadi hukuman sosial yang jauh lebih membekas seumur hidup.  Jika ini terlupakan, maka pemerintah telah mengosongkan realitas hukum sosial yang tumbuh dalam masyarakat sebagai sumber hukum awal. Dalam pengetahun hukum yang terbatas dapat dipahami bahwa hukum tanpa sentuhan sosiologi hanyalah hukum yang bersifat formalistik dan gampang mati di tengah dinamika sosial. Dalam hal ini perlunya merawat dan mengembangkan hukum sosial yang hidup dalam masyarakat agar dapat menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran etis semacam kasus diatas secara fungsional. Pendekatan demikian setidaknya dapat menghidupkan hukum dalam kehidupan bermasyarakat (sosiologi hukum?). Penyelesaian masalah ke lembaga hukum formal hanya akan menghabiskan waktu, uang dan tenaga yang belum pasti memberikan keadilan sebagai tujuan hukum. 
Kembali pada sejumlah kasus pelanggaran etik diatas mungkin tak ada pelanggaran dalam hukum positif, apalagi jika sang pejabat belum diputus secara final and binding. Tetapi bagaimanapun itu, menurut nurani sehat menyatakan bahwa melantik dalam penjara atau mempertemukan konsep kepemimpinan yang sakral dalam penjara yang memiliki makna sebaliknya tentulah satu tindakan yang tak elok. Ironisnya gejala demikian hanya ada di Indonesia dengan dasar praduga tak bersalah.  Melantik seseorang dimana saja memang tak mesti diukur dengan etika, apalagi jika ia benar pemenang pemilukada yang mewakili sebagian rakyat. Namun fenomena demikian menunjukkan adanya kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial). Faktor lain adalah kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri serta adanya tekanan luar untuk berbuat tidak etis.  Mungkin cara praktisnya adalah mengeluarkan tersangka untuk dilantik menjadi pejabat di Pemda sehari, lalu mengembalikan yang bersangkutan ke bilik penjara sebagai tersangka kembali.  Kita ingat kasus Bupati Bone Bolango (2010) saat dilantik Ia menerima SK sebagai Kepala Daerah, namun pada saat yang sama ia menerima SK pemberhentian sementara hingga memperoleh kepastian hukum dimuka pengadilan. Kelemahan hukum dalam aliran positivistik selama ini adalah selalu melihat realitas masalah dalam masyarakat secara linier (dengan alasan menjaga nilai konstitusi, kehormatan lembaga negara dan sistem ketatanegaraan), akhirnya cara pandang menjadi seperti memakai kaca mata kuda, apalagi jika kehilangan sandaran dalam konteks sosiologis. Akibatnya hukum hanyalah seperangkat aturan dalam bentuk undang-undang dan qonun yang mewujud dalam hukuman kurungan, denda, cambuk dan rajam, jauh dari upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang sebagaimana tujuan hukum diantaranya. Aliran post modernism mengingatkan kita tentang pentingnya melihat realitas sosial sebagai dinamika yang terus berkembang dan berubah-ubah, bukan sesuatu yang konstan sehingga dapat dibedakan hitam-putih.  Ruang kosong semacam tadi kiranya membutuhkan kajian lebih lanjut dari aspek etika pemerintahan guna menjadi petunjuk bagi siapapun yang bersentuhan dengan praktek-praktek pemerintahan dewasa ini. Inilah negara yang berdiri diatas supremasi hukum namun kering dari aspek etika  berpemerintahan. 
             
Ilmu Pemerintahan Ekologik dan Ekologi Pemerintahan
          Untuk menjawab kecemasan terhadap hilangnya isu lingkungan oleh pemerintah sebenarnya dapat direspon dengan peningkatan kualitas pembangunan yang berwawasan lingkungan (environmental issues). Namun perlu diingat bahwa problem lingkungan secara faktual hanyalah salah satu masalah mikro dalam persoalan ekologi pemerintahan.[15] Ekologi pemerintahan sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar isu lingkungan fisik semata.  Jika yang dipersoalkan adalah lingkungan fisik semata, maka pendekatan terhadap isu lingkungan dapat dilakukan melalui ilmu pemerintahan ekologik sebagaimana Ilmu Administrasi Lingkungan. Ilmu Pemerintahan Ekologik mempelajari upaya pemerintah dalam mengontrol dan membimbing perilaku manusia terhadap lingkungannya (disatu pihak untuk meningkatkan dukungan lingkungan terhadap kehidupan, dilain pihak untuk memelihara harmoni antara manusia dan lingkungannya). Dengan demikian tugas pemerintah yang utama adalah bagaimana menciptakan kebijakan yang mampu meningkatkan kualitas lingkungan sehingga dapat menyokong kehidupan dalam jangka panjang. Isu semacam ini biasanya berkaitan dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan serta berorientasi jangka panjang (sustainabilitas).  Peningkatan wawasan pembangunan berkelanjutan dengan titik point pembangunan bercakrawala lingkungan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui konsistensi dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sayangnya kebijakan pembangunan jangka panjang semacam ini seringkali belum berjalan secara simultan dan konsisten. Perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah mengalami semacam discontinuitas. Ditingkat praktek daerah selain tak konsisten menjalankan RPJPD, juga berjalan secara day to day. Inilah salah satu faktor yang mengakibatkan pemerintah pusat dan daerah selain kehilangan visi bersama, juga berjalan diatas rel masing-masing. Tugas selanjutnya adalah bagaimana pemerintahan mampu memelihara harmoni antara manusia dan lingkungannya. Kegagalan pemerintah dalam memelihara sumber dukungan alam bagi kehidupan manusia mengakibatkan tidak saja menimbulkan dampak langsung pada masyarakat (gempa, tsunami, longsor, puting beliung dan banjir), juga dalam jangka panjang dapat menimbulkan krisis sumber daya seperti kekeringan, kelaparan dan kemiskinan dimana-mana. Kemampuan pemerintah bersinergi dengan alam dapat menjamin kualitas dan kelangsungan hidup masyarakat, juga stabilitas dan masa depan pemerintah itu sendiri. Sebagai contoh, kegagalan pemerintah dalam merancang pembangunan berwawasan lingkungan di Provinsi DKI Jakarta meningkatkan resiko banjir, kemacetan, berkurangnya air bersih, terbatasnya hunian yang sehat, abrasi pantai hingga problem sosial yang meluas kemana-mana. Semua implikasi yang timbul pada akhirnya dapat menuju ke jantung persoalan utama, yaitu krisis kepercayaan pada pemerintah akibat kegagalan mengelola lingkungan.
Jika ilmu pemerintahan ekologik mempersoalan tanggungjawab pemerintah pada lingkungan fisik itu sendiri, maka ekologi pemerintahan mempelajari pengaruh ekologikal lingkungan berdimensi ruang dan waktu terhadap pemerintahan (Ndraha, 2003:463). Dimensi ruang (lebensraum) dan waktu (kesempatan hidup) ditranformasikan dari lingkungan ke bidang pemerintahan, baik searah maupun timbal balik. Lingkungan fisik seperti energi secara nyata mempengaruhi kebijakan pemerintahan.  Lihat saja bagaimana kepercayaan masyarakat pada pemerintah SBY dan Jokowi ketika harga BBM dinaikkan atau diturunkan. Untuk menjaga stabilitas pemerintahan dari pengaruh lingkungan energi tersebut, pemerintah dalam jangka panjang harus mampu mengendalikan energi secara mandiri dan terbaharukan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Pada isu lain seperti lingkungan sosial, stabilitas pemerintahan juga rentan dari tekanan suara rakyat. Suara rakyat dipandang sebagai kedaulatan tertinggi (vox populi vox dei). Lewat vihacle demokrasi, suara rakyat dibutuhkan untuk memperkuat legitimasi. Semakin luas dukungan rakyat semakin tinggi pula legitimasi pemerintah. Tanpa dukungan mayoritas, kinerja pemerintahan dapat terganggu dan beresiko jatuh. Dalam kasus Indonesia, dukungan yang diterima oleh mantan Presiden SBY dan Jokowi di awal-awal pemerintahan sangat tinggi, namun bukan mustahil dapat mengalami degradasi dalam setiap pemilu akibat berbagai kebijakan yang dianggap tak populer. Lingkungan lain yang dapat mempengaruhi stabilitas pemerintahan adalah lingkungan transedental (agama). Dewasa ini isu agama seringkali rentan mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Dalam kasus Charlie Hebdo misalnya, [16] isu agama menjadi sangat sensitif dan mempengaruhi kebijakan sejumlah pemerintah dalam memastikan dan menjamin keamanan warga negaranya.

Metodologi dan Peluang Ilmu Pemerintahan
          Munculnya kepemimpinan pemerintahan yang berupaya menjaga jarak dengan daya magnet politik seperti membangunkan kembali spirit ilmu pemerintahan dalam perspektif kybernologi.  Patut disadari dengan sungguh-sungguh bahwa menguatnya dukungan grass root (akar rumput) terhadap fenomena kepemimpinan pemerintahan Jokowi, Ahok, Risma dan Ridwan Kamil merupakan sinyalemen bahwa pemerintahan yang lebih adaptable kedepan adalah pemerintahan yang lebih kualitatif dan steril dari bayangan politik. Dua kata terakhir akan menjadi indikasi kuat pentingnya menghangatkan kembali ilmu pemerintahan yang padam pasca perginya desainer Kybernologi Taliziduhu Ndraha. Tekanan pada aspek kualitatif bermakna bahwa perilaku ‘blusukan’ yang dilakukan oleh keempat pemimpin itu dengan style masing-masing tidak saja menyentuh nurani masyarakat luas, namun mampu menyerap berbagai persoalan mendasar secara face to face sekaligus mampu menyiapkan formula jangka pendek untuk menjawab berbagai persoalan pemerintahan yang menganga di depan mata. Pemerintahan yang baik memang tak cukup dengan hanya memungut persoalan di atas permukaan day to day, tentu saja pada tingkat selanjutnya perlu diletakkan dalam kerangka visi jangka panjang (vision, memandang sejauh mungkin kedepan). Ketika salah satu pasar tradisional di Solo membutuhkan tempat yang layak, Jokowi misalnya menjawab dengan pasar yang lebih manusiawi. Demikian pula ketika masyarakat miskin di wilayah perkotaan Jakarta membutuhkan pengurangan beban pendidikan dan kesehatan, maka Kartu Pintar dan Kartu Sehat adalah jawabannya. Ahok meneruskan formula yang tersisa dengan fokus pencegahan banjir dan pengurangan macet yang menjadi masalah utama masyarakat Jakarta. Risma memperlihatkan respon tegas ketika mengubah wajah pasar birahi Dolly menjadi ruang yang lebih agamis. Sedangkan Ridwan Kamil mampu memberi jawaban atas kesemrawutan Kota Bandung yang lebih tertata dan bermartabat. Fenomena tersebut dapat dibandingkan dengan ratusan kepala daerah yang hanya menunggu laporan bawahan di atas meja sebagai sampling atas berbagai masalah di tingkat bawah. Pendekatan kuantitatif semacam itu jelas tak pernah menyentuh perasaan terdalam masyarakat, apalagi sampai menjawab persoalan esensial yang dibutuhkan. Akibatnya dapat diduga, formulasi perencanaan yang disiapkan untuk menjawab persoalan di level terbawah hanyalah kumpulan program dan kegiatan yang didasarkan pada kemauan bawahan dengan sedikit banyak membumbuinya lewat sampel “atas nama rakyat”. Faktanya birokrasi dan sekelompok kapitalis yang paling banyak memperoleh keuntungan. Kepemimpinan pemerintahan terus berganti, bahkan semakin demokratis,  namun nasib rakyat tetap saja tak berubah.
Kepada Mahasiswa Pasca Sarjana S2 dan S3 perlu diingatkan bahwa realitas hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tak bisa semata-mata dilihat dari aspek kuantitatif sebagaimana jamak muncul dalam judul tesis dan disertasi, pengaruh x terhadap y. Itulah mengapa hasil penelitian pasca sarjana di IPDN tak mampu menjawab problem pemerintahan yang sesungguhnya, bahkan tak dapat dijadikan rujukan dalam jangka panjang. Dapat ditebak, semua kesimpulan dalam bentuk angka hanyalah sampel diatas permukaan yang di collecting sedemikian rupa untuk menggugurkan kewajiban agar lulus secepat mungkin, sehingga tak mampu memberikan kontribusi signifikan bagi penguatan ilmu pemerintahan di IPDN. Hilangnya kemampuan mahasiswa melakukan penelitian kualitatif (blusukan) membuat mereka tumpul ketika menjawab problem pemerintahan baik secara teoritik, konseptual, normatif bahkan empirikal. Pemikiran ini setidaknya sejalan dengan pendekatan ontological Ndraha, dimana kemandirian suatu disiplin ilmu selain ditandai oleh adanya metodologi ilmu yang bersangkutan juga ditandai dengan kemampuan denominatifnya. Pada tahap itu metodologi ilmu pemerintahan digunakan oleh ilmu-ilmu lain sebagaimana Ilmu Pemerintahan menggunakan metodologi ilmu-ilmu lain. Dalam konteks itu ilmu pemerintahan diharapkan memegang posisi kompetitif diantara disiplin lain karena didukung oleh metodologi kualitatif yang kuat (Kybernologi, Jilid 1, 2003:16).  Dalam perspektif epistemologis, desain kualitatif akan mencari sebab munculnya masalah pemerintahan sekaligus dengan sendirinya menyiapkan seperangkat formula aksiologisnya. Pendekatan kualitatif akan mendekatkan peneliti pada masalah yang sesungguhnya, bahkan pada taraf tertentu dapat menimbulkan impresi (kesan mendalam) baik pada peneliti maupun pembaca karya ilmiahnya. Itulah mengapa 90% buku di perpustakaan merupakan produk penelitian kualitatif dengan berbagai pendekatan. Jikalau sebaliknya (kuantitatif), penelitian ini lebih memburu presisi (ketepatan), padahal dalam kenyataannya angka-angka tersebut tak pernah merepresentasikan realitas masalah yang sesungguhnya. Dalam berbagai kasus dimana pemerintah mengumumkan angka-angka pencapaian statistik atas pertumbuhan ekonomi makro, pada saat yang sama ditingkat realitas mikro justru menunjukkan jawaban sebaliknya, kesenjangan yang kian lebar, bahkan nol koma kosong. Akhirnya, kesimpulan dan saran para peneliti kebanyakan menjadi tak berguna, sebab peneliti gagal menjawab kegunaan penelitian itu sendiri, yaitu pengembangan teoritik dan faedah praksis internal dan eksternal institusi.
Dalam konteks bayangan politik sebagaimana dikedepankan diatas, tampak bahwa Jokowi memberi persyaratan agar semua anggota kabinet harus melepaskan diri dari jabatan sebagai ketua dan pengurus partai politik. Jokowi memang bukan kader elit partai, sama halnya dengan Risma yang berasal dari kalangan birokrat di Surabaya. Ahok rasanya gerah berada dalam kubangan partai politik yang terus menjadi beban bagi masa depan kepemimpinannya. Ridwal Kamil keluar partai dan menyeruak dari kumpulan masyarakat independen. Gejala ini memperlihatkan bahwa kepemimpinan pemerintahan lebih diminati jika ia mampu menjaga jarak sejauh mungkin, bahkan steril dari kooptasi politik. Sekalipun mesti disadari bahwa sulit, atau bahkan tak mungkin memutuskan pengaruh politik begitu saja. Terlepas dari itu, juga diisyaratkan bahwa gejala kepemimpinan pemerintahan semacam itu semakin meyakinkan kita bahwa pemerintahan yang akseptabel jika ia memperoleh legitimasi kuat dari rakyat secara langsung, bukan semata-mata atas dukungan partai politik atau pilihan elit tertentu. Gambaran itu menunjukkan semakin pentingnya menumbuhkan dan mengembangkan ilmu pemerintahan yang khas, menjauhi bayang-bayang ilmu politik yang seringkali menimbulkan kegaduhan dalam birokrasi pemerintahan (politisasi birokrasi). Dalam konteks itu pula, jelas bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu sebenarnya lebih memperoleh peluang dan kedudukan yang strategis untuk lepas dari tekanan ilmu politik. Publik tampak lebih berpihak pada pemerintahan yang lebih berkemampuan manajerial praktis, serta steril dari kesan inflitrasi politik praktis. Dominasi politik dalam kepemimpinan pemerintahan sejauh ini membuat para pembelajar ilmu pemerintahan (kybernolog) tak berdaya mempraktekkan ilmu pemerintahan di ruang birokrasi yang sesak oleh pergulatan dan intrik politik. Akhirnya mereka turut menjadi bagian dari dinamika politik (tim sukses), sekaligus melarutkan ilmu pemerintahan dan menggantinya dengan keahlian politik praktis. Disinilah kemenangan sementara pragmatisme ilmu politik. Melepaskan diri dari keterikatan bayang-banyang politik memang tak mungkin, namun kepemimpinan pemerintahan yang memperlihatkan kemauan masyarakat yang sesungguhnya lewat paradigma pemerintahan yang melayani adalah jawaban yang mendasari perlunya penguatan ilmu pemerintahan yang mandiri seperti kybernologi. Jika peluang ini pergi begitu saja, dalam arti hilangnya peran ilmu pemerintahan dalam merespon fenomena pemerintahan dewasa ini, maka ilmu politik tetap saja menjadi jalan keluar (way out) sekalipun tak akan pernah memuaskan dalam penyelesaian problem pemerintahan. Atau, jalan tengah yang tetap dipilih adalah melakukan pola hibridisasi (eklektik), yaitu proses penimbunan berbagai pengetahuan menjadi satu adonan dalam bingkai ilmu-ilmu pemerintahan. Konsekuensinya, pilihan dilematis seperti itu menjadikan cakupan ilmu pemerintahan mungkin semakin distingtif, atau bahkan kehilangan makna dan pudar di suatu ketika.

Ke arah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan
          Perdebatan tentang bangunan dan isi ilmu pemerintahan tak pernah sepi dari kehangatan dilingkungan pemikir, pengamat dan praktisi pemerintahan. Kategori pemikir selanjutnya saya sebut sebagai ahli pemerintahan, yang sekurang-kurangnya terbagi dalam tiga kelompok, yaitu pemikir dengan basis murni ilmu-ilmu pemerintahan, ilmu pemerintahan dan ilmu terapan pemerintahan. Pertama, pemikir dengan basis murni ilmu-ilmu pemerintahan (eklektik) adalah mereka yang memiliki pondasi keilmuan sosial seperti filsafat, sosiologi, politik, hukum, sejarah, administrasi, ekonomi atau yang serumpun dengan itu kemudian mencoba mengadu nasib di jenjang strata magister atau doktoral lewat konsentrasi ilmu pemerintahan diberbagai perguruan tinggi yang membuka program pasca sarjana ilmu pemerintahan. Terang saja, para pemikir yang mengalami patahan (ziqzaq) semacam ini selalu berbenturan dengan idealisme keilmuan dasarnya, bahkan mengalami semacam kegalauan kalau tidak hilangnya kepercayaan diri dibidang keilmuan dasarnya. Dilemanya, antara mempertahankan keilmuan dasar ataukah mengembangkan disertasi doktor ilmu pemerintahan sekalipun tanpa pijakan yang kuat kecuali menikmati kuliah ilmu pemerintahan kurang dari setahun. Hasil positifnya adalah lahirlah karya ilmiah sebagai bentuk perkawinan biologis antara ilmu pemerintahan dan ilmu dasarnya seperti sosiologi pemerintahan, hukum pemerintahan, filsafat pemerintahan, manajemen pemerintahan, sejarah pemerintahan atau administrasi pemerintahan. Syukurlah kalau ia lahir secara ilmiah, bukan hasil ‘kawin paksa’ atau mungkin dipaksa ‘kawin campur’. Sampai disini lahir pula kepercayaan diri yang melampaui beban institusi untuk menyediakan fakultas hukum pemerintahan atau sosiologi pemerintahan. Apakah gagasan ini lahir sebagai bentuk kematangan ilmu dibidang sosiologi dan hukum? Ataukah ia lahir sebagai bentuk kesadaran ilmiah atas kedewasaan ilmu pemerintahan sebagai ilmu murni yang kita sepakati? Ataukah justru ia lahir hanya karena kepentingan pragmatis sekaligus tempat bagi bersemayamnya pejabat struktural tanpa fungsi (malfunction). Secara gramatikal, jika ia lahir sebagai bentuk kematangan ilmu sosiologi dan hukum, maka patutlah dipahami jika fakultas yang akan kita bentuk bernama Fakultas Sosiologi Pemerintahan dan Fakultas Hukum Pemerintahan. Sekali lagi ini berarti bahwa ilmu sosiologi dan hukum-lah sebagai induk keilmuan dasar yang mencapai kematangan. Merujuk pada hal ini, berarti dasar keilmuan kita tentu saja adalah Sosiologi dan Hukum. Jika ini yang kita sepakati maka patutlah kita pikirkan kembali untuk merevisi nama institut ini menjadi Institut Sosiologi Dalam Negeri (ISDN) atau Institut Hukum Dalam Negeri (IHDN). Sebaliknya, apabila ia lahir sebagai representasi dari kedewasaan ilmu pemerintahan, maka dapat pula kita pahami jika fakultas yang akan dibentuk kira-kira bernama Fakultas Pemerintahan Sosiologi dan atau Fakultas Pemerintahan Hukum. Sekalipun terasa aneh karena ‘melawan’ kebiasaan umum, namun ini berarti ilmu pemerintahan benar-benar menjadi induk yang mencapai taraf kedigjayaan sehingga mampu memperlihatkan wajahnya secara kasat mata, bahkan keluar dari bayang-bayang ilmu lain.  Kedua, pemikir dengan basis murni ilmu pemerintahan adalah mereka yang memiliki dasar-dasar ilmu pemerintahan sejak derajat sarjana, magister hingga doktor ilmu pemerintahan. Kelompok ini kini menjadi semacam barang langka dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Langkanya kuantitas jika dibandingkan dengan kelompok pertama, sedangkan rendahnya kualitas dapat disebabkan oleh lemahnya kemampuan individu dalam mengembangkan keilmuannya, disamping tingginya daya tarik jabatan struktural sehingga kehilangan peluang dalam mengembangkan ilmu pemerintahan yang menjadi pokok marketing di IPDN. Hasilnya, pengembangan ilmu pemerintahan secara historis mengalami pembuahan dalam tiga mazhab utama, yaitu mazhab ilmu pemerintahan berkarakter politik sebagaimana dapat dipahami lewat jalan pikir Ryaas Rasyid, ilmu pemerintahan baru berwujud Kybernologi sebagaimana dikonstruksi Taliziduhu Ndraha, serta ilmu pemerintahan (mungkinkan kapita selekta ilmu pemerintahan?) bernuansa manajemen modern sebagaimana desain Sadu Wasistiono. Dapat dipahami bahwa pemikiran pertama lahir disebabkan basis keilmuan dasar ilmu pemerintahan telah diseduh oleh ilmu politik di level magister dan doktoral. Selain tentu saja pengaruh filsafat barat sangat mempengaruhi konstruksi ilmu pemerintahan semacam ini. Ide dasarnya adalah pemikiran politik klasik Thomas Hobbes (1588-1679) dan Jhon Locke (1632-1704), serta pemikir politik modern Machiavelli (1469-1527). Pendefenisiannya kemudian menjadi relasi antara yang memerintah dan yang diperintah dalam kerangka hubungan kekuasaan an sich. Realitas ini mengakibatkan ilmu pemerintahan tak dapat keluar hidup-hidup dari bayang-bayang ilmu politik sebagaimana cita-cita Taliziduhu Ndraha. Dengan melanjutkan setitik harapan Soewargono (1996) dalam sebuah pidato Dies Natalis IIP yang mengesankan bagi masa depan ilmu pemerintahan dikemudian hari (Jati Diri Ilmu Pemerintahan), serta mengadopsi basis pemikiran politik sebagaimana dipikirkan Ryaas, ilmu pemerintahan kemudian dikonstruksi dalam kerangka Sub Kultur Kekuasaan (SKS), Sub Kultur Ekonomi (SKE) dan Sub Kultur Sosial (SKS). Diyakini bahwa selain dua spirit pemikiran di atas, ide dasarnya adalah pemikir eropa kontinental seperti Van Poeltje. Ketiga subkultur tadi merupakan konstruksi inti dalam membentuk Body Of Knowledge (BOK) ilmu pemerintahan. Sementara body of knowledge ilmu pemerintahan sendiri dapat didekati dari aspek filsafat ilmu, yaitu ontologik, epistemologik dan aksiologik. Dari aspek ontologik (apa), ilmu pemerintahan dapat didekati melalui metodologi skeptisisme, empirisme, rasionalisme dan integrasi antara empirisme dan rasionalisme. Pada sisi epistemologik (mengapa), ilmu pemerintahan dapat diketahui melalui metodologi ilmu dan metodologi penelitian. Metodologi ilmu pemerintahan sendiri terdiri dari ruang dan isi. Ruang ilmu pemerintahan bersifat luas, namun pada dasarnya dibatasi oleh tiga subkultur utama sebagai body of knowledge, sedangkan isinya berasal dari hasil penelitian dengan menggunakan metodologi kualitatif ataupun kuantitatif. Dalam konteks ini penelitian ilmu pemerintahan dapat merupakan hasil asimilasi dari berbagai ilmu sebagai suatu pendekatan yang bersifat multi, antar maupun interdisiplin ilmu. Pada level aksiologik (bagaimana), ilmu pemerintahan dapat diajarkan melalui ragam metodologi pembelajaran. Metodologi pembelajaran dapat dilakukan baik secara paedagogik maupun andregogik. Pada tingkat pertama kita memperkenalkan dasar-dasar pemerintahan empirik (diploma). Pada derajat sarjana kita meletakkan ilmu pemerintahan secara teoritik. Pada tahap magister kita menekankan pentingnya penguasaan ilmu pemerintahan secara konseptual. Sedangkan pada tingkatan doktoral kita mengembangkan pemahaman ilmu pemerintahan secara filosofistik. Batasan ilmu pemerintahan pada akhirnya didefenisikan sebagai suatu relasi antara yang memerintah dan yang diperintah dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia baik jasa publik maupun privat.
Menengahi kejenuhan akibat hilangnya spirit pengembangan ilmu pemerintahan diantara ketatnya bayang-bayang ilmu politik serta kebuntuan pemikiran kybernology warisan Taliziduhu Ndraha yang diakui sulit dipahami, Sadu Wasistiono mencoba mendesain kembali ilmu pemerintahan lewat defenisi sederhana dimana ilmu pemerintahan adalah relasi antara yang memerintah dan yang diperintah dalam konteks kewenangan dan pelayanan. Sayangnya, pendefenisian ini tak begitu jauh dijelaskan secara gamblang, selain hilangnya konstruksi ilmu pemerintahan secara skematis, kecuali berhenti pada batasan ilmu pemerintahan itu sendiri. Selain itu, jika dicermati lebih jauh konteks yang menjadi penghubung yaitu kewenangan dan pelayanan menunjukkan ilmu pemerintahan yang ingin dibentuk cenderung bersifat ilmu pemerintahan terapan. Dalam khasanah ilmu politik murni, kewenangan (authority) adalah bagian dari kekuasaan yang bersifat formal (Alfian, 2010). Dibawah kewenangan terdapat sejumlah activity (program dan kegiatan). Ketika kekuasaan telah diperoleh dan pemerintahan akan dijalankan, maka kewenangan diperlukan dalam batas-batas yang ditentukan lewat konstitusi. Dengan demikian semua tindakan yang diperlukan pemerintah hanyalah mungkin dapat dilakukan dalam batas-batas hukum yang bersifat hierarkhi. Diluar itu tindakan pemerintah hanya dapat dipertimbangkan secara moral dan etika. Jika didalami lebih jauh kewenangan yang disebutkan sebenarnya hanyalah bagian dari subtopik kekuasaan dalam ilmu politik murni (Surbakti, 2010). Ini jelas bertalian dengan pemikiran Ryaas dari aspek politik dan konstruksi subkultur kekuasaan yang dikemukakan lebih awal oleh Ndraha. Dalam hal ini mesti diakui bahwa keduanya menggunakan term kekuasaan sebagai variabel yang lebih pokok dibanding kewenangan yang bersifat praktis. Sementara aspek pelayanan berkaitan dengan semua hak dan kewajiban warga negara yang secara konkrit dapat dipenuhi dalam relasi dimaksud. Dalam konteks itu isi hubungan yang ditekankan menyangkut pelayanan publik (public services) sebagai salah satu fungsi pemerintahan menurut Ryaas (2001:15), serta menjadi kewajiban pemerintah dalam bentuk layanan publik dan jasa privat seperti dikonstruksi Taliziduhu Ndraha (Kybernologi I, 1999:7). Dengan demikian mudah dibayangkan bahwa batasan terakhir Wasistiono bukanlah gagasan baru selain minimnya kajian setaraf Makna Pemerintahan dan Kybernology (terlepas dari berbagai kritik). Satu-satunya pemahaman yang dapat disepakati bahwa defenisi semacam itu dapat dipahami sebagai penekanan ilmu pemerintahan terapan. Ketiga, pemikir kelompok terakhir adalah mereka yang basis ilmunya bersumber dari bermacam-macam rumpun ilmu sosial dan eksakta namun lebih dari separuh hidupnya menjadi praktisi pemerintahan (birokrasi) di pusat maupun daerah. Kelompok ini sebenarnya tak berpengaruh dalam berbagai diskusi ilmu pemerintahan, kecuali mencoba mendeskripsikan ilmu pemerintahan sebagai the art of science. Praktisnya, ilmu pemerintahan adalah bagaimana mengelola pemerintahan secara baik dan benar. Baik menurut aspek sosiologis, benar menurut aspek yuridis formal, itu saja cukup.
Pertanyaan kedepannya adalah manakah mazhab yang akan dikembangkan sebagai core institute pemerintahan dimasa akan datang? Menurut saya, penting untuk mengembangkan apa yang telah dicapai oleh Taliziduhu Ndraha, sekalipun kita perlu membentuk satu club yang dengan serius menciptakan suatu jembatan pemahaman awal bagi upaya pengembangan ilmu pemerintahan bernuansa IPDN. Tetapi mengembangkan ilmu pemerintahan yang berkarakter politik sambil memisahkannya secara perlahan juga tidaklah salah, sebab secara eksternal kita masih harus membangun komunikasi dengan dunia luar lewat pendekatan ilmu politik yang lebih lazim digunakan dibanding kybernologi yang masih terasa asing. Sementara semua perbincangan di wilayah terapan akan menjadi gizi tambahan agar penampakan ilmu pemerintahan dapat terlihat penuh, baik secara ilmiah maupun empirik. Inilah keseluruhan kontent ilmu pemerintahan, dimana aspek teoritik, empirik dan yuridis terintegrasi menjadi ilmu, sekaligus membentuk kekhasan sebagaimana dicita-citakan Wasistiono guna memperoleh tempatnya secara proporsional dilembaga IPDN.





Referensi Pilihan;
  
Alfian, Alfan, 2010. Kepemimpinan Politik, Kompas, Jakarta
Bertens,K,  2011. Etika, Kompas Gramedia, Jakarta. Lihat juga Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas Gramedia, 2003, Jakarta.
Finer, Herman 1960. The Theory and Practice of Modern Government. Holt, Rinehart and Winston, New York, 1960
Iver, Mc, 1985. The Web of Government, (jilid 1) terj. Aksara Baru, Jakarta.
Labolo, Muhadam, 2011.  Mencegah Negara Gagal. Rajagrafindo, Jakarta
------------------------,2014. Memahami Ilmu Pemerintahan, Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta
Labolo, Muhadam dkk, 2008. Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Malang
Ndraha, Taliziduhu, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru). Rineka Cipta, 1 & 2, Jakarta
-------------------------, 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta, Jakarta
-------------------------,1992. Administrasi Lingkungan Hidup, Rineka Cipta, Jakarta
Osborne & Gaebler, 1993. Reiventing Government,(terj.), Rajawali Press, Jakarta
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta
-----------,1999. Ekologi Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta
Poelje, Van, 1953. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan, terj. Mang Reng Say, NV.Soeroengan, Petjenongan-Jakarta.
Rasyid, Ryaas, 2001. Makna Pemerintahan. Yarsif Watampone, Jakarta
Soewargono, 1996. Jati Diri Ilmu Pemerintahan. Pidato Pengukuhan, IIP Press, Jakarta
Surabakti, Ramlan, 2013. Memahami Ilmu Politik. Eajawali Press, Jakarta
Wasistiono, Sadu & Simangunsong, 2009. Metodologi Ilmu Pemerintahan. UT, Jakarta
Wasistiono, Sadu, 2014. Pengantar Ekologi Pemerintahan, edisi revisi, IPDN Press, Jatinangor.











[1] Makalah pendek ini dikontribusikan dalam pembukaan pekan scientific trafic yang digagas oleh Syahril Tandjung, dengan narasumber pertama Prof. Dr. Ryaas Rasyid, Jumat, 14 Januari 2015, pukul 14.00 di lantai 1 IPDN Cilandak.
[2] Ketua Plato’s Institute.
[3] Ilmu Pemerintahan Baru (kybernology, Rineka Cipta, 2003, Jakarta) jilid 1 dan 2 di launching pertamakali di Aula Zamhier Islami IIP, tanggal 22 Mei 2003 oleh Prof. Dr. Taliziduhu Ndraha sebagai masterpiece yang kemudian dikembangkan lewat tulisan-tulisan lain secara bertahap (lebih dari 20 buku sebagai pengembangan lebih lanjut sepanjang pengajaran beliau dalam bentuk kerjasama Program Doktoral Konsentrasi Ilmu Pemerintahan IIP-UNPADJ hingga tutup usia di tahun 2012). Secara filosofistik kybernology berawal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan, secara empirik merupakan respon atas problem pemerintahan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan dewasa ini.
[4] Herman Finer, 1960, The Theory and Practice of Modern Government. Holt, Rinehart and Winston, New York, 1960, pg. 7. Lihat juga Ndraha, 2003, Kybernology. Jilid 1, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal.v.
[5] Scientific Trafic, 16 Januari 2015, IPDN Cilandak.
[6] Hasil Temu Ilmiah Pengkajian Konsep Ilmu Pemerintahan, tgl. 29-30 Juli 1985 di IIP Jakarta.
[7] Wasistiono & Simangunsong, 2009, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Universitas Terbuka, Edisi Kedua.  Bandingkan juga dengan Metodologi Ilmu Pemerintahan, Taliziduhu Ndraha, Rineka Cipta, 1997, Jakarta.
[8] Sekalipun demikian politics seringkali dipahami dalam banyak makna seperti upaya mencapai kemaslahatan umum (commons good), kekuasaan (power), perihal negara (state), konflik (conflict), hingga hal yang berkaitan dengan kebijakan umum (public policy) dan pengambilan keputusan pemerintahan (decition makers). Coulter (1981:2) dalam Ndraha (Kybernology, Jilid 2, 2003, hal.486-487, Rineka Cipta, Jakarta) menekankan politik pada aspek tujuan, sedangkan Goodin & Klingenmann (1996:7) serta Heywood (1999:52) lebih menekankan pada aspek cara dan alat (constrained use of social power), sedangkan sebagai disiplin, the study of the nature and source of those constraints. Heywood juga mendefenisikan politics sebagai the exercise of power or authority.
[9] Administrasi sendiri berasal dari bahasa Latin, ad dan ministrare (to serve, melayani). Prefiks ad berfungsi mengintensifikasi kata ministrare. Ministrare berkaitan dengan kata minister (a person authorized to conduct religious worship, a clergyman, pastor) dan ministry (the service, functions, or profession of a minister of relegion). Akar kata minister mengandung serabut minis, artinya less, kurang. Kata minis berkaitan dengan kata minor, artinya kecil. Jadi orang yang melayani (service) yaitu servant, memiliki posisi lebih rendah dari orang yang dilayani. Jadi konsep administrasi menunjukkan relasi yang tidak setara. Sedangkan pihak yang dilayani dalam konsep ministry adalah Tuhan sendiri (pihak yang lebih tinggi). Dalam hal ini pelayanan bukan proses exchange dan tidak didasarkan oleh pertimbangan rasional, namun supra-rasional yang disebut juga sikap berserah diri kepada Tuhan sebagai kehendak yang terbaik. Dalam hal ini yang melayani disebut servant (hamba). Lebih jauh lihat Ndraha, Taliziduhu, 1983, Administrasi Negara Teologis Sebagai Identitas Administrasi Negara Indonesia, Yayasan Karya Dharma, IIP, Jakarta. Lihat juga James Thompson, 1967, Organization in Action, McGraw Hill Book, New York. Bandingkan pula catatan Frederickson, H.G,; dalam Al-Ghozei Usman (pen.), 1984, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta dan Bellone, Carl J, (ed.), 1980, Organization Theory and the New Public Administration, Allyn & Bacon, Boston.
[10] Lihat kembali Osborne & Gaebler, 1993, Reiventing Government,(terj.),Rajawali Press, Jakarta
[11] Poelje, 1953, Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan, terj. Mang Reng Say, NV.Soeroengan, Petjenongan-Jakarta.
[12] Mc Iver. 1985. The Web of Government, (jilid 1) terj. Aksara Baru, Jakarta.
[13] Dapat dipahami bahwa dalam periode pembangunan Pelita dan Repelita Orde Baru (1968-1998), program-program pembangunan dititikberatkan pada satuan terkecil pemerintahan (keluarga) misalnya program Posyandu dan Keluarga Sejahtera atau Keluarga Siaga setelahnya. Kini di IPB misalnya terdapat perhatian yang serius dalam upaya pengembangan studi kajian keluarga sejahtera di level pasca sarjana.
[14] K. Bertens, 2011, Etika, Kompas Gramedia, Jakarta. Lihat juga Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan, Kompas Gramedia, 2003, Jakarta.
[15] Menurut Ndraha dalam Kybernology, Jilid 2, hal. 46, konsep ekologi (ecology) berasal dari bahasa Gerik oikos (rumah) dan logos. Ekologi merupakan cabang biologi. Ekologi sebagai ‘the branch of biology dealing with the relations between organisme antheir envorinment’. Dari sudut sosiologi, ekologi didefenisikan sebagai the branch of sociology concernd with the spacing and interdependence of people and institutions. Pada sumber yang berbeda Pamudji dalam Ekologi Administrasi Negara (1985) mengatakan ‘in sociology, the relationship between the distribution of human groups with reference to material resources, and the consequent social and cultural patterns. Untuk lebih jauh bandingkan pula catatan Ndraha sebelumnya dalam Administrasi Lingkungan Hidup (1992) dan Sadu Wasistiono dalam Pengantar Ekologi Pemerintahan, edisi revisi, IPDN Press, 2014, Jatinangor.
[16] Sebuah kasus pembunuhan 12 staf dan jurnalis majalah karikatur Charlie Hebdo pada bulan Januari 2015 di Perancis. Pembunuhan ini dilatar belakangi oleh munculnya gambar karikatur Nabi Muhammad SAW pada majalah tersebut yang dinilai sebagai bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap kelompok dan agama tertentu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian