Menemu-Letak Diskresi dalam Praktek Pemerintahan, Sebuah Perspektif Hukum dan Politik
Oleh. Muhadam Labolo
Dalam
proses pemerintahan, relasi antara pemerintah dan yang diperintah tak semua
diatur rigid. Negara dalam hal ini
hanya memberi batasan umum sampai batas dimana warga negara dan kelompok dapat
mengatur relasi pemerintahan dalam arti sempit (individu, keluarga dan kelompok
masyarakat). Gejala demikian tidak saja menjadi ciri negara demokrasi, demikian
pula negara sosialis yang kendatipun cenderung otoriter. Sebagaimana negara,
pada batas tertentu tak dapat diintervensi karena memiliki kedaulatan (dignity), daerah dalam batas khusus (autonomi), demikian pula individu dalam
ruang terbatas (privasi). Konsekuensinya, ruang terbuka lebar yang tak
diatur atau belum diatur menjadi konsensus individu dengan individu lain dalam
hubungan bermasyarakat. Kelompok-kelompok dalam masyarakat seringkali mengisi
kekosongan tadi dalam bentuk aturan yang mengikat secara internal. Semua jenis
aturan dalam konsensus individu maupun kelompok tetap berada dibawah kerangka
aturan bernegara sebagai landasan supremasi konstitusional. Pada tingkat organisasi pemerintahan menjadi
bagian yang disepakati dapat mengikat secara hukum dan moral baik internal
maupun eksternal. Dalam konteks itu, pejabat pemerintahan seringkali mengalami
dilema ketika ruang-ruang kosong tadi menimbulkan problem baru yang membutuhkan
intervensi dalam kadar tertentu. Tanpa itu pemerintah dapat dianggap melakukan
pembiaran, tak peduli, bahkan absen terhadap masalah yang dihadapi masyarakat.
Ruang kosong dimaksud sebenarnya dapat diisi jika terdapat kemampuan
memprediksi masalah yang akan terjadi. Pada kondisi tertentu ruang kosong baru
akan diisi jika pemerintah menemui masalah. Maknanya hukum dapat muncul secara top down apabila pemerintah memiliki
kemampuan yang bersifat predictable,
atau sebaliknya hukum dapat muncul secara bottom
up disebabkan munculnya masalah yang membutuhkan penyelesaian segera.
Sebagai contoh kasus dana talangan oleh BUMN Angkasa Pura terhadap
keterlambatan pembayaran (refund)
penumpang Lion Air tanggal 23 Februari 2015. Bagi politisi di Senayan dapat
saja dinilai sebagai abuse of power,
namun dimungkinkan sepanjang memenuhi kriteria diskresi.
Menurut
Leeman (dalam Hamdi, 2015), tindakan diskresi didasarkan pada dua pendekatan utama yaitu decision of logic dan decision
of will. Pendekatan pertama (decision
of logic) didasarkan pada pertimbangan hukum, sedangkan pendekatan kedua
merujuk pada pertimbangan politik. Dalam konteks hukum, diskresi tidaklah
bermaksud melanggar hukum itu sendiri sekalipun dalam kenyataannya terkadang
melampaui hukum (penyimpangan asas legalitas). Dari aspek kebijakan, diskresi
lebih bersifat menggenapi dengan
tujuan umum menciptakan kesejahteraan, kemaslahatan, pelayanan dan atau
keselamatan umum. Syarat penggunaannya adalah pejabat mesti memiliki kewenangan
formal yang ditentukan oleh legalitas hukum (masih dalam wilayah kewenangan
yang diberikan hukum). Pijakan umumnya adalah asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Untuk mencegah ekses dalam penggunaan diskresi dibutuhkan batas toleransi
sehingga dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Batasan penggunaan diskresi disebabkan
oleh adanya kekosongan hukum terhadap masalah yang dihadapi, terdapat ruang
interpretasi oleh norma hukum yang bersifat samar, adanya pendelegasian
kewenangan yang memungkinkan dilakukannya suatu tindakan, dan atau adanya
alasan kepentingan umum yang bersifat mendesak (urgensif). Pendekatan ini
dalam realitasnya sering digunakan oleh para penegak hukum seperti polisi dan
hakim. Dalam kasus polisi mengalihkan jalur pengendara ke jalan alternatif yang
tak lazim akibat kemacetan di depan Kampus IPDN Jatinangor saat Wisuda
Pamongpraja Muda misalnya, dapat dipahami sebagai suatu tindakan diskresi.
Tetapi bagaimanakah ketika polisi mengalihkan pengendara ke jalur bus way yang dalam hal ini sudah jelas
terdapat aturan yang melarang semua kenderaan kecuali Bus Transjakarta? Pada
kasus pertama mungkin saja tak terdapat aturan sehingga polisi mengambil
tindakan diskresi, namun pada kasus kedua jelas terdapat aturan baku yang
dilanggar sehingga belum tentu dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan
diskresi. Hakim pada dasarnya juga memiliki diskresi ketika melakukan recht finding dalam proses penemuan
keadilan akibat terdapat kekosongan hukum dalam ketentuan acara pidana dan atau
terdapat klausul hukum yang bersifat samar sehingga menimbulkan multi tafsiran.
Ini dapat dilihat dalam perkara praperadilan Budi Gunawan versus KPK. Contoh
lain penetapan tersangka Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena perbuatan korupsi
oleh pimpinan KPK yang bersifat kolektif-kolegial namun tak memenuhi qourum, dapat menciptakan diskresi
sepanjang disepakati secara internal dengan alasan tertentu.[1]
Lalu
bagaimanakah pendekatan kedua (decision
of will) dapat dilihat dalam realitas pemerintahan? Jika pendekatan pertama
jamak dipraktekkan oleh kelompok birokrat baik sipil maupun militer dalam tugas
sehari-hari, maka pendekatan kedua pada umumnya dilakukan oleh pejabat politik
seperti Presiden, Menteri dan Kepala Daerah. Persoalannya, apakah prinsip,
sifat, tujuan dan batas toleransi diskresi sebagaimana diterapkan pada
pendekatan pertama berlaku pula dalam pendekatan kedua? Menurut pendapat saya
pada dasarnya prinsip, sifat, tujuan dan batas toleransi dalam penggunaan
diskresi dari perspektif decision of will
relatif sama, yang membedakan adalah titik tekan atas alasan yang digunakan.
Oleh karena pendekatan decision of logic
menggunakan asas legalitas hukum sebagai sandaran, maka dua alasan pokok yang
menjadi pertimbangan awal digunakannya diskresi oleh penegak hukum yaitu
apabila terdapat kekosongan hukum dan
munculnya interpretasi atas hukum itu
sendiri. Sebaliknya, terhadap pendekatan decision
of will yang selama ini dipraktekkan oleh para pejabat politik dapat
dilakukan dengan dua alasan utama yaitu menyangkut
kepentingan umum dan atau terdapat
kewenangan yang diberikan untuk
melakukan tindakan bagi kepentingan umum itu sendiri. Tentu saja semua
tindakan diskresi sebaiknya tanpa melupakan alasan lain yang digunakan oleh dua
pendekatan tersebut, sekalipun tidak mesti bersifat kumulatif tetapi bergantung
pada konteks masalah yang dihadapi sehingga argumentasi yang digunakan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum (decision
of logic) dan tentu saja moral (decision
of will).
Bagi
seorang aktor pemerintahan (Pemerintah dalam arti sempit), pengambilan diskresi
merupakan dorongan atas asas omnipresence
(serba hadir) secara fisual.
Kehadiran pemerintah dimana saja memberi konsekuensi logis untuk melakukan
tindakan yang dianggap perlu ketika berhadapan dengan sejumlah persoalan pelik
dan membutuhkan penyelesaian. Disisi lain kewenangan yang dimiliki seringkali
tak memadai sehingga pemerintah terjebak dalam posisi dilematis. Bagi
pemerintah yang berjiwa robot, sudah pasti tak akan mengambil tindakan
sekalipun problem tersebut menganga lebar di depan mata untuk diselesaikan.
Baginya, sepanjang tak ada hukum tertulis di depan mata, itu merupakan
pelanggaran yang nyata terhadap hukum positif. Sementara pemerintah yang
memiliki spirit humanity (kepamongan), pilihannya adalah mengambil tindakan
sekaligus mengambil resiko sebesar apapun yang akan timbul demi kepentingan
masyarakat luas. Inilah sifat ilahiah yang sesungguhnya, dimana pemerintah
hadir sekalipun dengan kondisi yang baginya mengandung resiko atas wewenang dan
jabatan yang diembannya. Sayangnya, lebih mudah kita menemukan pemerintah
dengan style robot (hamba hukum), dibanding
pemerintah yang memiliki style humanity
(hamba masyarakat).
[1] Lihat kesaksian Romli sebagai saksi ahli, Ia mengakui
hal tersebut sebagai diskresi yang dimiliki KPK. Dalam kondisi darurat seperti
itu, kata dia, harus dibuatkan aturan internal lebih dulu. "Karena
undang-undang tidak menjangkau semua masalah. Benar itu diskresi, tapi tidak
boleh melanggar kepastian hukum," (Kasus BG: Argumen Aneh 3 Ahli Hukum
Ditekuk KPK dalam Tempo.co. Politik. Diakses
tgl 17 februari 2015).
Komentar
Posting Komentar