Reposisi Wilayah Perbatasan Sebagai Beranda dan Pusat Pertumbuhan Ekonomi
Pengantar
Sejak meningkatnya tekanan internal dan
eksternal dalam persoalan domestik dan bilateral, isu wilayah perbatasan kini
menjadi agenda yang tak dapat dianggap sebagai masalah sepele. Tekanan internal
berkaitan dengan persoalan tuntutan kesejahteraan oleh masyarakat yang tinggal
di sepanjang wilayah perbatasan. Tekanan
ini muncul sebagai reaksi atas kesenjangan yang sangat menyolok terhadap
pertumbuhan ekonomi masyarakat di negara-negara yang berbatasan langsung dengan
wilayah Indonesia. Sebagai contoh yang mudah ditemukan adalah rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan antara Kalimantan dan Negara Malaysia.
Sementara tekanan eksternal berhubungan dengan persoalan persinggungan antar
negara baik di darat maupun di laut. Permasalahan tersebut antara lain delineasi,
demarkasi, limitasi, kejahatan lintas batas dan aspek
sosial-ekonomi-budaya-pertahanan dan keamanan (Kausar, 2009). Dua tekanan pokok
tersebut menggambarkan sedemikian luas ruang lingkup dan faktor-faktor yang
mempengaruhi dinamika sehingga penanganan perbatasan wilayah memerlukan
dukungan dari berbagai sektor pembangunan di pusat dan daerah.
Jika
pembangunan perbatasan dimaknai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat di wilayah perbatasan serta dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimanakah
mereposisi wilayah perbatasan dari wilayah terkebelakang menjadi wilayah
terdepan (beranda), sekaligus mampu menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dimasa
akan datang? Reposisi terhadap makna wilayah perbatasan pada akhirnya
diharapkan dapat mendukung tercapainya integrasi yang kuat secara internal, dan
pada saat yang sama dapat membangkitkan nasionalisme dalam menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makalah singkat ini secara teoritik dan
normatif akan melihat contoh pengembangan wilayah perbatasan dalam perspektif
pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemerintah, serta sejumlah catatan penting
sebagai konklusi dalam upaya menjawab problem pembangunan di wilayah
perbatasan.
Pertumbuhan Wilayah dan Interaksinya Terhadap Daerah
Periferal
Menurut
Alkadri et. Al (1999: 11) pertumbuhan wilayah merupakan suatu proses dinamika dari
perkembangan internal dan eksternal suatu wilayah. Pertumbuhan wilayah pada awalnya dipicu oleh
adanya pasar yang dapat menyerap hasil produksi wilayah yang bersangkutan. Tumbuhnya
Singapura (Temasek) dari pelabuhan kecil oleh Sir Stamford Raffles (1818)
menjadi kota sekaligus pasar perdagangan dunia yang menghubungkan India dan
China memicu tumbuhnya wilayah-wilayah periferal sebagai penopang bagi
keberlangsungan negara tersebut. Perkembangan wilayah semacam ini menurut
Glasson (1990:102-109) dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi
pertumbuhan wilayah adalah teori sektor dan teori tahap yang merupakan
perluasan dari teori sektor. Teori sektor mengungkapkan bahwa proses
pertumbuhan wilayah berdasarkan asumsi kenaikan pendapatan perkapita akan
diikuti oleh relokasi sumber daya. Sedangkan teori tahap memberikan gambaran
umum mengenai tahap-tahap perkembangan wilayah dan menunjukkan syarat-syarat
untuk berpindah dari suatu tahap ke tahap lainnya. Secara umum faktor-faktor
internal ini meliputi distribusi faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga
kerja, dan modal. Dalam kasus hubungan
antara Singapura dan Batam sebagai wilayah perbatasan sekaligus titik
pertumbuhan yang kompetitif terjadi relokasi sumber daya yang cukup signifikan.
Perluasan wilayah dalam bentuk reklamasi lahan, distribusi tenaga kerja serta
bertumpuknya modal pada titik pertumbuhan awal (Singapura) tampaknya menimbulkan
dampak terhadap ketidakseimbangan pada wilayah perbatasan (Batam) sebagai
daerah pengaruhnya.
Pengaruh
faktor eksternal dalam pertumbuhan wilayah didekati melalui teori basis ekspor (export base theory). Teori ini
menyatakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah dipengaruhi oleh eksploitasi sumber
daya alam dan pertumbuhan basis ekspor wilayah yang bersangkutan serta
dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari wilayah lain. Pendapatan
yang diperoleh dari ekspor akan mengakibatkan berkembangnya kegiatan-kegiatan
penduduk setempat, perpindahan modal dan tenaga kerja. Pengaruh faktor
eksternal dapat mempengaruhi pertumbuhan wilayah secara optimal jika
faktor/variabel utama yaitu pola pendapatan dan pengeluaran sektor ekspor,
inisiatif bisnis lokal, dan peranan pemerintah diusahakan secara maksimal
(Richardson, 2001:44). Teori lain menjelaskan bahwa pengaruh faktor eksternal
adalah model alokasi sumber daya antar wilayah, dimana model ini mengasumsikan
bahwa faktor-faktor produksi terutama tenaga kerja dan modal akan mengalir dari
wilayah dengan tingkat upah rendah ke wilayah dengan upah tinggi. Dengan
mengambil sekali lagi kasus relasi antara Singapura dan Batam sebagai wilayah
perbatasan, tampak bahwa faktor eksternal lebih kuat dalam mendorong
bergeraknya faktor-faktor produksi dimana Singapura menjadi daya tarik dalam
hal mobilitas tenaga kerja dengan upah tinggi dibanding Batam dengan upah
rendah.
Dalam konteks titik pertumbuhan
wilayah, Francois Perroux mengemukakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah
ditentukan oleh kutub pertumbuhan. Mengikuti pemikiran Perroux, Boudeville
(1966: 11) mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai seperangkat industri
yang sedang berkembang di suatu daerah perkotaan sehingga mendorong
perkembangan lanjut dari kegiatan ekonomi melalui daerah pengaruhnya. Faktor
utama dalam ekspansi regional adalah interaksi antara industri-industri inti
yang merupakan pusat nadi dari kutub perkembangan. Industri-industri ini
mempunyai ciri-ciri tertentu seperti tingkat konsentrasi yang tinggi,
elastisitas pendapatan dari permintaan yang tinggi terhadap produk mereka yang
biasanya dijual ke pasar-pasar nasional, efek multi player dan efek polarisasi
lokal yang sangat besar. Akan tetapi,
kutub pertumbuhan (growth pole)
tidaklah hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub
pertumbuhan pada dasarnya harus dapat mendorong ekspansi yang besar di daerah
sekitarnya, sebab efek polarisasi strategis lebih menentukan daripada relasi antar
industri itu sendiri. Prasarana yang sangat berkembang, penyediaan pelayanan
sentral, permintaan terhadap faktor-faktor produksi dari daerah pengaruh,
persebaran kesadaran, pertumbuhan dan dinamisasi ke seluruh daerah pengaruh
sangat menentukan sebagai efek dari hasil polarisasi tersebut.
Analisa titik pertumbuhan mengandung
hipotesa bahwa pendapatan di daerah pertumbuhan sebagai keseluruhan akan
maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan daripada
jika pembangunan itu dipencar tipis di seluruh daerah. Dengan demikian,
interaksi antara masing-masing titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah
unsur yang penting dalam teori ini. Akan tetapi dampak dari interaksi ini menimbulkan
sejumlah aspek penting yaitu Pertama, interaksi ini akan
menimbulkan ketidak-seimbangan struktural di daerah yang bersangkutan secara
keseluruhan. Jika suatu titik pertumbuhan digandengkan dengan pembangunan suatu
komplek industri baru, maka komplek tersebut akan ditempatkan di sekitar titik
pertumbuhan itu sendiri. Memang harus diakui industri-industri pensuplai di
daerah pengaruh akan ikut terdorong berkembang, tetapi perbedaan yang besar
dalam kemakmuran antara titik pertumbuhan dan daerah yang mengitarinya akan
tetap terlihat dengan jelas. Selanjutnya di luar perbatasan daerah pengaruh,
tingkat pendapatan dapat mengalami stagnasi dan daerah mengalami kemunduran.
Pembenaran titik pertumbuhan ini adalah bahwa daerah-daerah ini bagaimanapun
juga pasti sampai pada titik stagnasi, dan bahwa pengkonsentrasian akan
menghasilkan pendapatan perkapita rata-rata yang lebih tinggi di daerah yang
bersangkutan sebagai keseluruhan. Kedua, industri-industri penggerak (propulsive industries) di kutub
pertumbuhan adalah industri-industri ekspor yang melayani permintaan ekstra
regional. Teori titik pertumbuhan secara implisit bersumber pada konsep basis
ekspor tetapi dengan memberinya dimensi ruang, karena industri-industri inti (key industries) berlokasi pada titik
pertumbuhan, sedangkan industri-industri suplay,
tenaga kerja, bahan-bahan mentah dan pelayanan-pelayanan defenden dapat terpencar-pencar di seluruh daerah pengaruh.
Pendapatan yang diterima di daerah pengaruh berasal dari penerimaan sejumlah faktor
dari titik pertumbuhan, terutama upah yang diperoleh para pekerja yang tinggal
di daerah pengaruh tetapi bekerja di titik pertumbuhan. Salah satu perbedaan intens
antara titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah bahwa titik pertumbuhan
dapat dianggap sebagai pager tenaga
kerja sentral dan daerah pengaruhnya sebagai daerah sumber tenaga kerja. Ketiga, fungsi tempat sentral dari
titik pertumbuhan (dengan asumsi bahwa tempat tersebut adalah pusat penduduk
yang substansial) dapat memperjelas hubungan antar titik pertumbuhan dan daerah
pengaruhnya. Tersedianya pelayanan
sentral adalah salah satu keuntungan aglomerasi yang penting pada titik
pertumbuhan. Tetapi secara konsepsional, titik pertumbuhan dan tempat sentral
tidaklah identik. Tempat-tempat sentral (central
places) banyak sekali dan tersusun dalam suatu hirarki, sedangkan titik
pertumbuhan hanya sedikit sekali dalam beberapa hal, hanya satu di dalam suatu
daerah. Arus polarisasi disekitar titik pertumbuhan adalah lebih intensif dan
mempunyai watak yang lebih beraneka ragam dari pada di sekitar tempat sentral
dimana arus terutama terdiri dari mobilitas untuk keperluan berbelanja, rekreasi
dan jasa-jasa lainnya. Perbedaan yang paling menonjol adalah bahwa apabila yang
menopang pertumbuhan suatu tempat sentral adalah daerah komplementernya, maka
yang menopang pertumbuhan lingkungan pengaruh adalah titik pertumbuhan.
Friedman dan Alonso (1974) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan
interaksi antara inti dan tepi" (core
and peripheri interaction). Pembangunan berasal dari sedikit pusat-pusat
perubahan (centre of change) yang
terletak di titik-titik interaksi berpotensi tinggi dalam batas atau bidang
jangkauan komunikasi. Daerah-daerah inti (core
regions) tersebut merupakan pusat-pusat utama dari pembaharuan (inovation). Sementara wilayah-wilayah
territorial lainnya merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran (peripheri regions) yang berada jauh dari pusat perubahan namun menggantungkan
nasibnya pada daerah-daerah inti. Dengan
demikian jelaslah bahwa pembangunan di daerah-daerah perbatasan (pinggiran) ditentukan
oleh daerah inti. Myrdal (1976) dalam
Sihotan, Paul (1990: 10) mengungkapkan hal itu lewat konsep spread effect (efek menyebar) dan backwash effect (gelombang surut). Spread effect adalah kekuatan-kekuatan
yang menuju konvergensi antara daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin.
Dengan bertumbuhnya daerah kaya, maka bertambah pula permintaan terhadap produk
dari daerah miskin dan dengan demikian mendorong pertumbuhannya. Munculnya
faktor-faktor tertentu dari daerah miskin dapat mendorong lebih efisien
penggunaan sumber daya melalui relokasi intern dari sektor upah rendah ke
sektor upah tinggi atau produktivitas tinggi yang menimbulkan pertumbuhan. Konsep
ini secara umum memiliki kemiripan dengan konsep Hircshman yakni polarization effect and tricle down effect.
Reposisi Wilayah Perbatasan sebagai Beranda dan Pusat
Pertumbuhan Ekonomi
Dalam kebijakan umum
nasional (RPJP:2005-2024), paradigma pembangunan wilayah perbatasan mengalami
pergeseran dari inward looking kearah
outward looking. Ini berarti bahwa posisi wilayah perbatasan
yang selama ini bersifat tertutup,
rawan keamanan dan sarat kriminalitas perlu diubah menjadi lebih terbuka, aman
serta memiliki potensi yang dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di
wilayah perbatasan khususnya. Lewat perubahan paradigma di atas jelas bahwa
pemerintah ingin melakukan reposisi atas wilayah perbatasan dari ‘dapur’ yang
kumuh menjadi ‘beranda’ yang mewah. Dengan posisi ini maka wilayah perbatasan
akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang tampak ‘mewah’ sehingga dapat
menjadi daya tarik bagi daerah disekitarnya. Kondisi terbelakang yang disandang
oleh wilayah-wilayah perbatasan sejauh ini disebabkan oleh sejumlah masalah
internal dan eksternal yang dihadapi. Masalah internal berupa rendahnya
kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat disekitarnya telah mendorong
mobilitas dalam jumlah relatif tinggi ke negara lain disebabkan oleh daya tarik
ekonomi maupun aspek sosio-cultural. Ibarat kumpulan Laron, semakin terang
pusat pertumbuhan ekonomi, semakin besar migrasi dilakukan untuk memperoleh
suasana yang lebih terang benderang. Kondisi ini menjadikan wilayah perbatasan
menjadi sepi dan bergantung pada keberhasilan setiap warganya saat mengadu
nasib di negara lain. Dengan mereposisi
wilayah perbatasan menjadi ‘beranda’, maka wilayah perbatasan menjadi daya
tarik utama (pusat pertumbuhan ekonomi) bagi masyarakat disekitarnya, sekaligus
menambah daya tarik bagi masyarakat di negara lain.
Salah satu contoh yang
dapat dilihat adalah perubahan sejumlah wilayah perbatasan di Kabupaten Sambas
Provinsi Kalimantan Barat menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Sejak 2004,
Pemerintah Kabupaten Sambas telah mengubah sejumlah wilayah kecamatan di wilayah
perbatasan menjadi wilayah pertumbuhan ekonomi. Lewat pembangunan sarana dan
prasarana seperti jalan raya yang sama baiknya dengan jalan di daerah
perbatasan Malaysia, pembangunan listrik keseluruh wilayah desa, serta
pembangunan sekolah, pasar dan rumah sakit yang memadai setidaknya telah
memperkecil mobilitas masyarakat di wilayah perbatasan Sambas untuk memperoleh
akses pekerjaan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan di wilayah perbatasan
Malaysia. Bahkan, sejumlah masyarakat di
wilayah perbatasan Malaysia kini lebih sering mengunjungi wilayah tertentu di
perbatasan Kabupaten Sambas untuk memperoleh akses dibidang kesehatan
(Puskesmas terdekat) dan pasar-pasar traditional. Pengembangan wilayah perbatasan juga menimbulkan
dampak bagi distribusi sumber daya manusia dimana guru, dokter dan pegawai
negeri yang selama ini tak betah bertugas di wilayah perbatasan kini menjadi lebih
betah apalagi didorong oleh kompensasi yang cukup menjanjikan bagi guru dan
dokter yang bertugas di wilayah-wilayah perbatasan.
Dalam kasus Batam, menurut Ahmad Redi (2014), sejak
era Pemerintahan BJ
Habibie (Presiden ketiga Indonesia dan mantan Ketua Otorita Batam),
pengembangan Batam pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi kompetitor bagi Singapura.
Wong Poh Kom dan Ng Kwan Kee dari National
University of Singapore menyatakan pula bahwa Habibie memperkenalkan ‘teori
balon’ dalam pengembangan Batam pada tahun 1970-an. Melalui teori itu, Habibie
bersintesis bahwa Singapura seperti balon yang terisi udara. Jika balon udara
pertama (Singapura) telah penuh maka ia akan mencari balon kedua (Batam),
karena apabila balon pertama tetap dipaksa untuk diisi maka balon pertama akan
meledak. Batam dapat memperoleh keuntungan dari "pertumbuhan
berlebihan" Singapura karena kedekatan sehingga dapat diposisikan sebagai
perpanjangan dari basis perkembangan Singapura. Selain itu secara geografis Batam
terletak di jalur perdagangan internasional, sehingga potensi Batam sangat strategis
bagi kepentingan nasional Indonesia.
Jika
dilihat dari aspek kebijakan pemerintahan, penetapan Pulau Batam diawali sebagai
basis logistik dan operasional bagi usaha-usaha yang berhubungan dengan
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi Pertamina (Keppres No.65 Tahun
1970), penetapan sebagian dari Pulau Batam sebagai daerah industri yang diberi
status sebagai entrepot partikelir
(Keppres No.74 Tahun 1971), penetapan seluruh Pulau Batam menjadi daerah
industri (Kepres 41 Tahun 1973), dan terakhir penetapan Batam sebagai kawasan perdagangan
bebas dan pelabuhan bebas Batam (PP No 46 Tahun 2007), membuktikan bahwa
kebijakan pembangunan Batam sangat spesial dibandingkan daerah lain di
Indonesia. Bahkan, melalui Kepres No.41 Tahun 1973 dan dipertegas kembali dalam
PP No.46 Tahun 2007, seluruh Pulau Batam diberikan hak pengelolaan atas tanah
kepada Otorita Batam (sekarang Badan Pengusahaan). Harus diakui bahwa satu-satunya
daerah di Indonesia yang memiliki kekhususan pengelolaan tanah melalui hak
pengelolaan atas tanah hanyalah Kota Batam. Sadar atau tidak Batam sebenarnya
telah memperoleh perlakuan khusus sehingga mendorong sejumlah pemikir untuk
menaikkan statusnya sebagai daerah khusus (asimetrik desentralisasi).
Pembahasan
mengenai otonomi asimetris pertama kali dibahas oleh Charles Tarlton (1965)
dari University of California. Menurutnya, pembeda utama antara otonomi biasa
(simetris) dengan otonomi asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan suatu level
pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan sistem politik dan sistem pemerintah
pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of conformity and commonality in
the relations of each separate political unit of the system to both the system
as a whole and to the other component units”. Disisi lain pola asimetris merupakan satu
atau lebih unit politik atau pemerintah local “possessed of verying degrees of
autonomy and power”. Kerangka pemikiran Tarlton tersebut diadopsi dan
diperbarui oleh John McGarry (2007) dari Queen’s University. McGarry
mengembangkan otonomi asimetri Tarlton tidak hanya terkait substansi asimetris
tetapi juga bentuk dasar pengaturan hukumnya. Menurut McGarry, model asimetri
akan terjadi apabila otonomi semua unit pemerintahan substansional dijamin
Konstitusi dan terdapat sekurang-kurangnya satu unit lokal yang menikmati level
otonomi yang berbeda (umumnya otonomi yang lebih luas).
Di
Indonesia, konsep otonomi asimetri McGarry secara teori dan praktik telah
diterapkan. Pertama, negara telah mengatur perlakuan khusus atau istimewa
terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang secara konstitusional diatur
dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa negara mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa. Kedua, Indonesia telah memiliki empat daerah di level
pemerintahan provinsi yang menikmati otonomi asimetri, yaitu DKI Jakarta,
Nangroe Aceh Darussalam, Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana keempat
daerah tersebut memiliki dasar pembentukan kekhususan/keistimewaan berdasarkan
undang-undang khusus.
Disisi
lain reposisi wilayah perbatasan baik dalam kasus Sambas dan Batam sekalipun
belum mencapai titik keberhasilan yang diinginkan akibat berbagai faktor penyebab
diatas, namun hal ini masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi
wilayah-wilayah perbatasan di daerah Papua dan NTT. Wilayah-wilayah perbatasan
di daerah tersebut bukan saja minim pembangunan dari aspek kesejahteraan (prosperity), namun turut menghadapi
persoalan serius seperti pelintas batas ilegal, perdagangan manusia (human trafficking), transaksi
narkotika, perubahan batas wilayah, serta potensi kriminalitas yang relatif
tinggi. Dengan melihat kondisi ini maka persoalan di wilayah perbatasan seperti
itu tidak hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan prosperity approach, demikian pula pola pendekatan security approach yang bersifat
kontekstual.
Konklusi
Perubahan
paradigma secara normatif terhadap wilayah perbatasan dari inward looking ke outward
looking, bermakna pula bahwa reposisi wilayah perbatasan sebagai ‘beranda’
dapat dengan sendirinya mendorong pola pendekatan yang lebih bersifat prosperity approach pada sejumlah
wilayah perbatasan yang terkesan sebagai ‘dapur’ yang kumuh, terisolir,
terbelakang dan tertinggal dibanding daerah lain. Dengan pendekatan semacam ini
kita yakin bahwa wilayah-wilayah yang berada diperbatasan akan tumbuh menjadi
sentra-sentra pertumbuhan ekonomi di kelak hari.
Dengan
memanfaatkan sejumlah kebijakan yang tersedia, penguatan institusi serta
pemberdayaan seluruh entitas pemerintahan terendah yang langsung bersentuhan
dengan kepentingan masyarakat (Desa, Lurah dan Camat) di wilayah perbatasan
maka persoalan-persoalan dimaksud setidaknya dapat diminimalisir secara
evolutif.
Daftar Pustaka
Alkadri (ed).
1999. Manajemen Teknologi untuk
Pengembangan Wilayah. Jakarta: Edisi Pertama, Direktorat Kebijaksanaan
Teknologi untuk Pengembangan Wilayah-BPPT
Kausar, 2009. Pembangunan Wilayah Perbatasan Dalam Rangka
Menjamin Kedaulatan NKRI, Makalah Lemhanas, Jakarta
Glasson, John.
1983. An Introduction Regional Planning.
London: Second Edition, Hutchinson and Co. (Plublisher) Ltd
Glasson, John.
1990. Pengantar Perencanaan Regional.
Terjemahan Paul Sihotang. Jakarta : Lembaga Penerbit UI
Iqbal, (2003).
Peranan Penetapan Jantho Sebagai Ibukota
Kabupaten Aceh Besar Terhadap Perkembangan Wilayah Kabupaten Aceh Besar.
Skripsi S1, Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro Tahun 2003
Solikin,
Muhammad, 2011. Mengadopsi Teori Laron
Untuk Mengembangkan Wilayah Perbatasan, diakses tgl 13 Mei 2015
Redi, Akhmad,
2014. Menggagas Otonomi Khusus Batam,
Kompas, 12 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar