Mengembangkan Prinsip-Prinsip Utama dalam Keluarga Ideal
Oleh. Muhadam Labolo
Dalam Qur’an Surah Al Imran ayat 33, Tuhan
befirman, “Sesungguhnya Allah telah
memilih Adam, Nuh, Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat” (dimasa
mereka masing-masing). Ayat ini mengabarkan bahwa ada empat keluarga besar
yang menjadi rujukan bagi pengembangan protipe idiologi keluarga ideal, yaitu
Adam, Nuh, Ibrahim dan Imran. Empat keluarga tersebut tentu saja menjadi
teladan bagi keluarga para nabi generasi selanjutnya, termasuk kesempurnaan
keluarga Muhammad SAW di kemudian hari. Sepintas
jika kita teliti lebih jauh, Adam memperlihatkan kegigihan awal dalam
membesarkan keluarganya. Dalam buku Great Story of The Qur’an karya Syekh
Jadul Maula (2015) digambarkan bahwa Adam dan Hawa teramat menderita saat
membesarkan keluarganya. Mereka tidak hanya sekedar menumbuhkan (melahirkan), namun
menyusui dan merawat berpuluh-puluh
pasangan kembar yang lahir sebagai cikal bakal nenek moyang bangsa-bangsa di
dunia ini. Ditengah penderitaan semacam itu Adam memperoleh pelajaran dalam
menyelesaikan pertikaian keluarga antara Qobil dan Habil. Kasus pertama yang
dihadapi Adam adalah tindakan kriminal Qobil terhadap Habil akibat iri dan
dengki. Sebabnya, persoalan kecantikan dari saudara kembar Qobil yang akan
dipersunting Habil sesuai perintah Tuhan lewat Adam. Peristiwa ini menjadi
tonggak sejarah dalam hal perkara pidana umum, penyakit sosial masyarakat,
serta kecantikan wanita sebagai sumber daya yang sangat kompetitif. Dalam
perkembangan kekinian yang tampak bukan saja saudara membunuh saudara, namun
orang tua terkadang membunuh anaknya sendiri.
Penyakit Iri dan Dengki adalah penyakit sosial yang menjamur dari
lingkungan keluarga hingga ruang kantor birokrasi. Seseorang yang diangkat dan
dipercaya pada suatu jabatan terkadang menciptakan rasa tak senang bagi yang
lain. Dalam istilah jamak dikenal akronim SMS (senang melihat orang susah, atau
susah melihat orang lain senang). Kecantikan adalah sumber persoalan klasik
yang kini tetap menyala sekalipun panoramanya tak lagi terlihat secara eksplisit.
Gejala ini muncul dalam bentuk yang lebih kompetitif, berkelas, rahasia, clean
dan bernilai tinggi yang dipimpin oleh seorang Mucikari. Demikianlah, kesabaran
dan ketekunan keluarga Adam dalam mengembangkan peradaban awal membuat Tuhan
kemudian mengampuni dosa-dosanya pasca relokasi dari negeri surga yang menjadi
asal keduanya. Tuhan menguji kesabaran keluarga Adam.
Nuh memperlihatkan dilema dalam
mengukuhkan aqidah anaknya. Lebih kurang 950 tahun berdiplomasi dengan umatnya,
Nuh yang memiliki intelegensia tinggi dengan usia kurang lebih 1200 tahun hanya
memperoleh pengikut tak lebih dari 80 orang. Ketika Bahtera besar telah
dipancangkan, semua pasangan hewan telah naik ke kapal, banjir bandang mulai
tumpah ruah keatas permukaan bumi, salah seorang anak kesayangannya tak
bergeming dari kebiasaan orang kebanyakan. Nuh memohon grasi kepada Tuhan agar
anaknya dapat diselamatkan dan diampuni, namun Tuhan menegurnya agar tetap
konsisten dengan apa yang telah digariskan selama ini. Nuh sadar dan memohon
ampun pada Tuhannya. Rupanya dalam soal aqidah
Tuhan tak berkompromi terhadap gelagat nepotisme
yang coba ditawarkan Nuh. Tuhan tak mentolerir politik dinasti dalam soal
prinsip dan keyakinan. Keistimewaan Tuhan kepada Nuh sebagai nabi dan pesuruhNya
tak berarti garansi bagi keselamatan semua anak cucunya, kecuali mereka
benar-benar mengikuti petunjuk yang digariskan oleh Tuhan. Kekosongan nilai
semacam itu menjadikan banyak kepala keluarga yang dipenuhi fasilitas istimewa
dari negara sebagai pejabat penting tak segan menyertakan anggota keluarganya
sebagai bagian dari penikmat fasilitas negara. Ini dapat ditemukan dalam setiap
transisi pergantian kekuasaan, dimana seringkali kita menemukan tak ada satupun
yang tersisa dirumah dinas kecuali alas/keset sepatu di depan pintu. Bahkan
istri yang bukan pejabat menjadi lebih tinggi pangkatnya dalam mengatur
berbagai hal diluar kewenangannya.
Parahnya, semua perilaku yang memuakkan semacam itu dibiarkan atau
bahkan dianggap tak tau-menahu. Tak ada rasa malu yang tak terkira kecuali
kebanggaan karena mampu memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk memuaskan
dan menyelamatkan anggota keluarganya. Jelaslah bahwa Tuhan sedang menguji
konsistensi Keluarga Nuh.
Pada kasus Ibrahim lain lagi, Tuhan
menguji pengorbanan yang tulus dari keluarga Ibrahim. Ismail sebagai putra
kesayangan awalnya menjadi tumbal pengorbanan sebagaimana wangsit yang diterima
lewat mimpi dari Tuhan. Ini perintah yang penuh dilema, antara kasih sayang pada
seorang anak manusia satu-satunya dan pengorbanan pada yang menciptakan manusia
itu sendiri. Ditengah keikhlasan keduanya (Ayah dan Anak), Tuhan mengganti
pengorbanan tersebut dengan seekor domba (qibas).
Inilah momentum sejarah bagi penyelenggaraan ibadah qurban sebagaimana terlihat
pada setiap ritual Haji. Anak, sesungguhnya hanyalah amanah yang dititipkan Tuhan
pada keluarga. Faktanya, ia sering menjadi cobaan bagi prinsip-prinsip penting
dalam relasi manusia dengan Tuhannya. Kecintaan manusia pada manusia tampaknya
menjadi lebih tinggi dibanding kecintaan manusia pada Tuhannya. Dalam banyak
kasus kesalahan mencintai justru melahirkan bumerang
sebagaimana halnya Malin Kundang. Tuhan sebagai fokus yang dicintai bersifat
tetap dan sepanjang masa, sementara anak bersifat fana dan di kelak hari
menjadi milik orang lain, apakah ia membentuk keluarga baru atau menjadi bagian
dari masyarakat sosial. Inilah yang membuat Ibrahim mendapat tempat yang layak
disisiNya. Keluarga Ibrahim memperoleh peringkat keimanan diatas rata-rata
keluarga lain berkat keikhlasan dan pengorbanan yang mungkin bagi manusia biasa
sulit diterima menurut akal sehat.
Peringkat berikutnya diduduki oleh
keluarga Imran, dimana Tuhan memberikan gambaran bagaimana pola pendidikan
Imran pada anak-anaknya. Imran selalu bertanya pada anak-anaknya, siapakah yang
akan kalian sembah sepeninggal aku? Pertanyaan yang berulang-ulang tersebut menunjukkan
suatu harapan yang tinggi agar idiologi generasi selanjutnya benar-benar dapat
dipastikan berada di rel yang ditentukan. Tranformasi idiologi yang ketat
semacam itu dilakukan oleh Imran untuk suatu pengecualian, yaitu prinsip ketuhanan
yang maha tunggal, Tuhan semesta alam, Allah
subhanahuwataala, Rabbal alamin. Untuk hal lain bagi Imran tak masalah, itu
menjadi pilihan anak-anaknya sesuai profesinya masing-masing. Meminjam istilah dalam
sistem pemerintahan daerah, urusan keyakinan dan penghambaan pada Tuhan adalah
urusan wajib (absolute) yang tak
dapat didesentralisasikan begitu saja, ia mesti dikontrol dengan jelas. Sisanya
menjadi urusan pilihan (concurent)
dari anak-anaknya. Pertanyaannya, apakah setiap kita sebagai orang tua telah
mengontrol urusan wajib sebagaimana diperlihatkan oleh Imran? Jangan-jangan
kita lebih banyak mengontrol uang jajan anak kita dengan pertanyaan, “Nak, apakah cukup uang yang aku berikan hari
ini?” atau “Nak, apakah pekerjaan
yang akan kamu minati sepeninggal kami? Siapakah pendamping yang akan kamu
pilih? Demikianlah contoh urusan pilihan yang lebih memperoleh perhatian
serius dibanding konsistensi kita dalam mengontrol prinsip-prinsip utama.
Inilah kegagalan transformasi pendidikan idiologi dalam lingkup keluarga dewasa
ini. Karenanya, tak perlu heran jika yang muncul di setiap generasi adalah kesuksesan
diatas gemerlapnya harta namun rapuh dalam soal idiologi. Mereka hanyalah sosok
generasi yang tampak indah dari luar dibalut jas dan dasi lengkap, namun
keropos akan keyakinan yang menjadi pondasi utama bagi keberlanjutan peradaban
spiritualitas.
Komentar
Posting Komentar