Mensa dan Rekrutmen Calon Praja
Oleh. Muhadam Labolo
Lebih
kurang 100 meter dari pintu gerbang IPDN kedalamnya terdapat sebuah tempat yang
lebih luas dari Balairung Rudini, berbentuk huruf T dari arah Manglayang, berfungsi sebagai tempat makan bersama
Praja. Tempat ini tentu saja berkesan bagi setiap Praja yang pernah menempuh pendidikan di IPDN, tidak saja
digunakan sebagai tempat makan pagi, siang dan malam, sekaligus titik simpul bertemunya seluruh Praja dari tingkat Muda, Madya,
Nindya hingga Wasana Praja. Mensa, secara
etimologis berasal dari bahasa Latin yang berarti Meja (Naufal Widi, Jawa
Pos, 25 Juli 2010). Filosofinya, semua yang duduk di meja memiliki kedudukan
yang sama, sekalipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda (Bhinneka Nara Eka Bhakti). Dalam makna
lain Mensa diasosiakan pula dengan nama salah satu benda setaraf rasi bintang
yang bertebaran di sekitar planet. Di dunia International termasuk Indonesia
terdapat perkumpulan Mensa, dimana anggotanya terdiri dari sekelompok orang
yang memiliki IQ diatas rata-rata. Latar
belakangnya boleh berasal darimana saja, dari kelompok profesor hingga anak
cerdas yang kebetulan putus sekolah menjadi member
dalam organisasi tersebut.
Di IPDN sendiri, Mensa menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas Praja.
Sekalipun tak ada organisasi Mensa khusus Praja, namun maknanya tak jauh
berbeda, dimana Mensa menjadi simbol bagi segenap Praja yang memiliki
intelegensia diatas rata-rata setelah melalui seleksi akhir dari berbagai daerah
di Indonesia. Maknanya, hanya Praja yang lulus seleksi akhir (Pantukhir) yang berhak
duduk dan makan di Mensa. Sisi menariknya, Mensa memang bukan sekedar tempat
berkumpulnya kelompok Praja yang memiliki intelegensi positif, dimasa lalu
Mensa dapat menjadi momok yang tak mengenyangkan, kadang dihuni pula oleh
sekelompok senior begal yang suka
menyuguhkan bir STPDN plus atraksi ilegal penuh tepisan tangan dan permainan
sepatu bot dibawah kaki meja. Namun semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Tentu saja bagi satu dua Praja yang lolos
dengan teknik “tertentu” hingga dapat duduk di ruang Mensa dengan “terpaksa”
kita asumsikan pula memiliki “intelegensia tertentu”. Maklum, makna
intelegensia kini telah meluas tidak saja dalam konteks kecerdasan intelektual,
demikian pula kecerdasan emosional, spiritual dan sosial. Dapat diduga, Praja
yang demikian kemungkinan lahir dari kehebatannya dalam mengembangkan “kecerdasan
sosial” sehingga lolos dan duduk lega bersama rekan-rekannya yang memiliki
nilai intelegensia disisi lain. Atau barangkali Praja yang bersangkutan
mempunyai kecerdasan spiritual, dimana keberuntungan sedang berpihak disisinya
sehingga dengan mudah Ia dapat duduk manis di Mensa. Kini kita sadari betul bahwa kecerdasan
intelektual bukan modal satu-satunya untuk lolos dan duduk di Mensa. Mereka
yang hanya mengandalkan nilai tinggi menurut STTB dan NEM ternyata berserakan
ditengah jalan saat testing
administrasi. Orang tua mereka mungkin tak
menyangka bahwa kecerdasan lain penting dalam menerjang registrasi administrasi
tahap pertama. KTP yang buram, baju yang lusuh saat di foto dalam KTP
elektronik, KTP produk fotocopy, wajah
yang mungkin kurang bersemangat dalam foto ukuran 4x6, atau mungkin latar foto
yang tak jelas latar warna hitam, merah, putih, kuning atau biru dengan
sendirinya menjadi alasan simpel sejumlah calon Praja yang mungkin memiliki
modal kecerdasan intelektual berguguran laksana Bunga Sakura di penghujung
pergantian musim. Jika demikian maka dapat dibayangkan bahwa sebagian besar
Praja yang kelak duduk di Mensa adalah mereka yang lebih memiliki kecerdasan
emosional, spritual dan sosial, minus intelektual. Bayangan saya, bila mereka
tersaring kuat pada tahap Test Kecakapan Dasar (TKD), maka yang tersembul pada
tahapan selanjutnya adalah mereka yang benar-benar memiliki kecerdasan
intelektual rata-rata, disamping kecerdasan lain yang disiapkan lewat berbagai instrumen
sebagai alat penguji (psikotest, kesehatan dan wawancara). Sayangnya, kita
telah membuang banyak calon praja yang berpotensi intelek pada tahap
administrasi (lihat Surat Kepada Redaksi, Kompas, 2 Nov, 2015:7). Parahnya, administrasi robotik ala online system telah memangkas sosok yang
justru sedang dicari oleh IPDN, yaitu calon Praja yang memiliki intelegensia
pada aspek intelektual untuk meletakkan porsi terbesar yang diinginkan wakil rakyat
di Senayan (Bidang Pengajaran). Dari seleksi itu mestinya kompetisi di tingkat
kedua (TKD) adalah puncak kompetisi bagi upaya menyaring calon Praja tercerdas
yang dibutuhkan pemerintah. Lalu, pada tahap selanjutnya adalah bagaimana
menemukan calon Praja yang tidak saja memiliki kecerdasan intelektual diatas
rata-rata, namun kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial plus spiritual. Psikotest penting untuk mengukur
kestabilan dan kelabilan mental seorang calon Praja di kemudian hari baik
ketika menjadi bawahan maupun atasan. Maklum, jangankan jadi atasan, jadi
bawahanpun seringkali aparat sipil biasa tak sanggup bekerja dibawah tekanan
pimpinan yang berperilaku otoriter. Kestabilan emosi penting untuk menjaga agar
birokrasi berjalan diatas alunan harmoni yang merdu meskipun setiap bagian memegang
tanggungjawab berbeda di setiap subsistem yang diperankan. Setiap suara dan
nada sumbang dapat diminimalisasi lewat kesadaran diri pada kode etik sebagai
aparat sipil negara yang berfungsi melayani keatas dan kebawah. Kelabilan emosi
pada titik tertentu dapat berujung pada pelarian diri dalam bentuk insubordinasi, atau bahkan pada lajur extrem dapat menciptakan pembangkangan
kolektif dalam berbagai bentuk yang dapat memperlemah kinerja birokrasi
pemerintahan. Intervieuw kita
butuhkan untuk menjelajahi alasan lebih jauh mengapa calon Praja berkeinginan
kuat menjadi Pamongpraja. Bukankah melayani orang lain itu melelahkan? Bukankah
melayani atasan itu kadang menjengkelkan, melelahkan, bahkan bertentangan
dengan hati nurani? Bukankah meninggalkan keluarga esok lusa atas nama negara itu
memberatkan dan menyedihkan? Bukankah ditempatkan dimana saja oleh negara
adalah suatu tindakan otoriter yang tak berperikemanusiaan? Bukankah
menyeragamkan diri dalam birokrasi adalah salah satu bentuk pelanggaran hak
asasi manusia? Dapatkah anda bertahan dengan semua keadaan tak menyenangkan itu
hanya dengan gaji rendah tanpa tuntutan? Intervieuw
juga bertujuan untuk melacak konsistensi diri atas prinsip pribadi,
bermasyarakat, beragama, berpemerintahan dan bernegara. Dalam konteks itu
kecerdasan spiritual dan sosial dapat diraba melalui berbagai pertanyaan
misalnya, manakah lebih penting, memilih ibadah individu ataukah mendahulukan
ibadah sosial? Manakah lebih utama, kepentingan jamaah/public/kifayah ataukah kepentingan dalam makna fardhu ain/pribadi? Dengan begitu kita
akan mengetahui argumentasi pragmatis dan alasan ideal yang dikemukakan calon
Praja, bukan media permainan kacang goreng lewat tawa dan canda pejabat eselon
tertentu. Pertanyaan substansinya adalah, sosok seperti apakah yang kita inginkan
guna menjadi Abdi Praja Dharma Satya
Nagara Bhakti di kelak hari? Jika kita hanya membutuhkan Abdi Praja yang suka manut-manut di
depan pimpinan, maka kita mungkin sepakat agar mekanisme penerimaan tak perlu
ketat di level TKD, Psikotest dan Wawancara, cukup gugurkan saja di level
administrasi, itu lebih simpel dan tak perlu membuang uang negara yang
sedemikian besar di tengah krisis dan kepulan asap yang tak semakin membaik. Kesan
saya, wawancara dalam realitas selama ini hanyalah episode akhir penyedap rasa,
bahkan mungkin dianggap makanan penutup yang kadang tak dicicipi karena
dianggap tak begitu penting dalam proses seleksi. Selayaknya, jika kita
berharap bahwa yang akan duduk di Mensa adalah sekelompok Praja yang memang
dari awal memiliki tanda-tanda intelegensi dari aspek intelektual, emosional,
spiritual dan sosial, maka sepatutnya mereka diberi jalan lurus misalnya lewat
seleksi khusus sebagaimana kebijakan Menpan yang akan memberi ruang bagi
anak-anak berprestasi semasa sekolah menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan.
Akhirnya, menurut Albert Einstein (1879-1955), pengetahuan bukan hal utama yang
berperan dalam kesuksesan seseorang, namun menurut saya pengetahuan paling
tidak mampu merekonstruksi tujuan akhir lewat imajinasi dan visualisasi. Melengkapinya
cukup dengan niat, kemauan kuat kearah pencapaian imaji tersebut, serta tak
lupa keberanian yang mendorong kearah tujuan kita.
Komentar
Posting Komentar