Pengalaman Desentralisasi di Indonesia Sebuah Potret 17 Tahun Terakhir
Oleh. Muhadam Labolo
Pengantar Perbincangan
Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih atas undangan Bagian Kerjasama IPDN (Ibu Dr. Layla) yang telah memaksa saya dengan cara stealing untuk dipersandingkan dengan Prof. Ronald dari Gronigen University Belanda. Saya pikir beliau menelpon saya untuk seminar di Belanda sehingga saya dengan segera menyatakan tidak bersedia karena waktu yang sempit serta padatnya acara dengan Provinsi DKI Jakarta dalam rangka Musrembang. Dengan tema besar yang diberikan yaitu Decentralization and Governance in Indonesia Perspective, saya diminta secara khusus untuk berbicara tentang pengalaman desentralisasi di Indonesia.
Tentu saja topik yang disodorkan dengan limitasi waktu seperti ini tidaklah cukup untuk menggambarkannya secara komprehensif tentang bagaimana pengalaman desentralisasi di Indonesia yang jika dilihat dari usianya kini (17 tahun) rasa-rasanya sedang memasuki masa aqil baliq sehingga ibarat wanita cantik terkesan semakin dewasa, seksi dan menggairahkan. Kedewasaan desentralisasi itu setidaknya terlihat dari perubahan yang terus terjadi sejak era UU 22/1999 yang dianggap sebagai titik refleksi paling fundamental dalam sejarah kebijakan desentralisasi di Indonesia hingga perubahannya menjadi UU 32/2004 dan UU 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kesempatan yang singkat ini saya hanya akan menggambarkan sedikit catatan perjalanan kebijakan desentralisasi di Indonesia lewat tiga rezim diatas, sementara perjalanan desentralisasi sebelum UU Nomor 22/1999 biarlah menjadi catatan pelengkap karena disadari bahwa rekam jejak desentralisasi di Indonesia telah dimulai sejak jaman Belanda (decentralisatie Wet, 1903) sekalipun dengan luas dan isi kewenangan yang sangat terbatas. Penggambaran singkat atas perjalanan kebijakan desentralisasi ini akan difokuskan pada bagaimana potret dinamika politik lokal serta keseimbangan sumber daya ekonomi, seraya menyentuh pelayanan publik dan afirmasi pada sejumlah daerah otonom di Indonesia (desentralisasi asimetrik).
Latar Tuntutan Desentralisasi di Indonesia
Sejak kejatuhan rezim Orde Baru akhir Maret 1998, agenda reformasi di Indonesia meninggalkan sejumlah agenda pokok, salah satunya adalah perlunya otonomi daerah sebagai refleksi atas ‘kemerdekaan’ daerah dalam pengelolaan rumah tangganya masing-masing. Tekanan pada agenda tersebut disebabkan daerah selama lebih kurang 32 tahun secara politik kehilangan ruang ekspresi dalam menyalurkan kepentingan yang dikehendaki masyarakat.
Kepentingan tersebut berkaitan dengan upaya menghadirkan kepemimpinan lokal yang paling legitimate serta terbukanya ruang komunikasi yang lebih fleksibel dalam kerangka dialektika demokrasi. Sekalipun demikian, bila ditelusuri lebih jauh tuntutan daerah pada waktu itu sebenarnya lebih pada upaya bagaimana mencapai keseimbangan dalam pengelolaan sumber daya yang selama ini lebih menguntungkan pemerintah pusat. Realitas itu menambah daftar alasan bagi daerah untuk memaksa pemerintah agar mempercepat pembagian kue ekonomi secara adil.
Disisi lain pelayanan pemerintah yang sangat birokratik akibat panjangnya jalur hirarkhi yang mesti dilalui membuat sebagian daerah sulit menyelesaikan masalah yang dihadapinya secara langsung. Semua urusan mesti dikomunikasikan ke pemerintah pusat. Semakin jauh daerah dari sentrum pemerintahan, semakin besar pula inefisiensi dan ketidak-efektivan pengelolaan urusan yang menjadi tanggungjawab daerah. Hal ini menjadi titik persoalan administrasi ditengah kesadaran wilayah yang sedemikian luas dari Sabang sampai Merauke.
Di luar alasan politik, ekonomi dan administrasi yang menjadi persoalan umum dihampir semua daerah di Indonesia, terdapat pula tuntutan dari beberapa daerah yang berciri khusus seperti Papua, Jogjakarta, Aceh dan Jakarta dalam aspek sosial budaya dan pemerintahan. Pemerintah selama ini dianggap alpa dalam mengakui dan menghormati satuan-satuan masyarakat hukum yang berciri istimewa dan khusus sebagaimana dirasakan oleh daerah-daerah tersebut.
Akumulasi dari keseluruhan alasan itu pada akhirnya memaksa pemerintah merumuskan kembali kebijakan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian sejak amandemen UUD 1945 dilakukan dan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menandai terjadinya pergeseran bentuk negara dari kesatuan berciri sentralistik menjadi kesatuan berciri desentralistik.
Pengalaman Desentralisasi Masa 1999-2004
Tidak ada satupun yang menduga bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia akan mengalami big bang sebagaimana Philipina dan Afrika Selatan (Wasistiono, 2000). Namun dibanding kedua negara tersebut, Indonesia mungkin satu-satunya yang berani meletakkan kebijakan desentralisasi secara fundamental dalam merespon tuntutan daerah.
Pasca lengsernya Soeharto (1998), Presiden Habibie mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi titik pijak pelaksanaan otonomi daerah. Undang-undang ini memberikan keleluasaan bagi daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya masing-masing kecuali dalam perkara yang menjadi urusan mutlak pemerintah pusat yaitu keamanan, pertahanan, kehakiman, luar negeri, agama, moneter dan kebijakan strategis lain yang ditentukan oleh pemerintah pusat.
Seluruh kewenangan yang diserahkan dapat dikelola daerah dengan prinsip seluas-luasnya sepanjang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai konsekuensi dari transfer kewenangan yang sedemikian besar tersebut, daerah kemudian mengelola keuangan berdasarkan prinsip money follow function.
Pada aspek politik, pemilihan kepala daerah sebagai suprastruktur politik lokal sebenarnya tak banyak mengalami perubahan, dimana kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD sebagaimana praktek dimasa UU Nomor 5/74 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Namun demikian kewenangan DPRD dalam undang-undang tersebut terlihat sangat kuat sehingga dengan sendirinya terjadi pergeseran kekuasaan dari executive strong ke legislative strong.
Spirit undang-undang tersebut menciptakan konflik antara eksekutif (kepala daerah) dan legislative (DPRD) di daerah. Pemberian kewenangan impeachment lewat hak interpelasi dan angket yang luas kepada DPRD membuat banyak kepala daerah lebih mencari posisi aman daripada larut dalam ketegangan yang tak berkesudahan.
Pemandangan ini secara tak sadar menimbulkan implikasi luas pada masyarakat di daerah sebagai fokus yang semestinya memperoleh manfaat tunggal atas kebijakan desentralisasi itu sendiri. Nyatanya sebaliknya, perseteruan elit lokal membuat pelayanan publik terhambat dimana-mana.
Sebagian elit lokal memanfaatkan spirit reformasi sebagai senjata untuk meningkatkan bargaining power terhadap pemerintah pusat. Proses politik tersebut berhasil menciptakan daerah otonom baru seperti Provinsi Banten, Bangka Belitung dan Gorontalo. Pada lingkup daerah otonom kabupaten/kota bermunculan pula daerah kab/kota otonom baru seperti cendawan di musim hujan.
Disisi lain terbentuk pula keseimbangan ekonomi dimana daerah memperoleh alokasi sumber daya yang lebih besar secara evolutif. Disamping itu sejumlah kekhususan dan entitas adat di setiap daerah memperoleh pengakuan dan penghormatan pemerintah secara historis.
Tetapi diluar sedikit keberhasilan itu, dampak dari semua ketegangan secara politik disatu sisi melemahkan kinerja eksekutif di daerah, pelayanan publik terbengkalai, sementara peluang korupsi di daerah semakin terbuka lebar. Pemerintah pun mengalami gagal kontrol ditengah euphoria demokrasi dan desentralisasi.
Kelambanan pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang, mendorong Papua, Riau, Aceh dan Kalimantan Timur terus meningkatkan tekanan atas berbagai sumber-sumber ekonomi yang menjanjikan dengan alasan konsekuensi otonomi dan demi keadilan bagi daerah.
Keruwetan menghadapi kenyataan itu serta persoalan reformasi di level pusat yang belum selesai menjadikan pengalaman desentralisasi selama masa itu tak banyak dinikmati sebagai success story kecuali persoalan meningkatnya arogansi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, timbulnya raja-raja kecil, menguatnya nasionalisme lokal, meningkatnya korupsi kolektif oleh sejumlah DPRD, menurunnya pelayanan publik, terancamnya sumber daya alam dibeberapa daerah akibat kolaborasi penguasa dan pengusaha lokal, serta hilangnya arah kebijakan desentralisasi.
Faktanya, tingginya respon terhadap pengelolaan otonomi daerah tak banyak diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia yang memadai sehingga penyelenggaraan desentralisasi selama kurun waktu 5 tahun (1999-2004) terkesan lebih banyak menimbulkan ketegangan antara pusat dan daerah daripada menyisakan waktu untuk memikirkan kesejahteraan rakyat sebagaimana tujuan desentralisasi itu sendiri.
Namun demikian, harus diakui pula bahwa kebijakan desentralisasi pada masa itu setidak-tidaknya telah memberi titik pijak yang lebih jelas soal desentralisasi, memberi peluang kemandirian bagi daerah serta memberi banyak pelajaran dan kreativitas bagi pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan kebijakan desentralisasi selanjutnya.
Pengalaman Desentralisasi Masa 2004-2014
Belajar dari pengalaman lima tahun penerapan desentralisasi di Indonesia, pemerintah pusat segera melakukan evaluasi dan revisi kebijakan. Argumentasi yang dibangun secara yuridis adalah konsekuensi amandemen UUD 1945 menjadi alasan terhadap sejumlah konsideran dalam undang-undang pemerintahan daerah yang mesti disesuaikan. Selain itu putusan MK yang menggugurkan beberapa pasal dalam Undang-Undang 22/99 mendorong pemerintah melakukan revisi.
Pertanyaan filosofisnya yang mendasari perubahan itu misalnya apakah kebijakan desentralisasi diperuntukkan bagi masyarakat di daerah ataukah memang hanya untuk kepentingan elit lokal (pemerintah daerah)? Jika diperuntukkan bagi masyarakat lokal mengapa yang diuntungkan hanya pemerintah daerahnya dan bukan masyarakat sebagai pemetik manfaat dari tujuan akhir desentralisasi itu? Pertanyaan tersebut setidaknya memperkuat pula argumentasi sosiologis dimana masyarakat didaerahlah sebenarnya yang berhak menikmati berkah desentralisasi yaitu terciptanya kesejahteraan.
Pada ranah pragmatis argumentasi yang disusun sebagai alasan revisi adalah UU Nomor 22/99 dianggap terlalu ekstrem sehingga cenderung mengakibatkan munculnya pembangkangan daerah termasuk mengentalnya isu separatisme. Atas dasar itulah pemerintah merevisi UU 22/99 menjadi UU 32/2004.
Apabila dicermati kembali isi UU 32/2004, tampak jelas bahwa agenda revisi sebenarnya telah berubah total menjadi perubahan substansi dari semangat UU 22/99 yang tampak lebih liberal. Dalam dua kali penyesuaian undang-undang tersebut akibat putusan MK, dapat dilihat perubahan mendasar dari aspek politik lokal yaitu mekanisme pemilukada dan prinsip-prinsip pembagian urusan.
Pemilihan kepala daerah mengalami perubahan ditengah jalan menjadi pemilihan kepala daerah langsung (2005). Perubahan kontroversial ini dilakukan dengan alasan upaya untuk menjaga konsistensi atas perubahan sistem pemilu Presiden/Wapres yang juga dipilih langsung pasca amandemen UUD ’45. Konsekuensi tersebut dengan serta merta mengembalikan kekuasaan eksekutif menjadi lebih kuat dari sebelumnya (legislative heavy). Dampaknya kinerja eksekutif lebih positif, sementara legislatif cenderung melemah.
Ketegangan yang selama ini mendominasi media massa lokal berubah menjadi relatif stabil. Tampak bahwa persoalan yang mendominasi bukan lagi pada soal pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang bersifat progress report, namun lebih pada persoalan mekanisme pilkada langsung yang melahirkan banyak isu seperti money politics, kerentanan konflik horizontal, netralitas dan politisasi Aparat Sipil Negara (ASN), disfungsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, pembiayaan pesta demokrasi yang mahal, kecurangan pemilukada, korupsi, nepotisme, kolusi dan kompetensi peserta pilkada terpilih yang jauh dari harapan masyarakat di daerah.
Isu money politics lahir sebagai konsekuensi perubahan mekanisme pemilihan kepada daerah oleh DPRD ke masyarakat di daerah. Malangnya, ketika pemilukada langsung berhadapan dengan realitas standar pendidikan dan pendapatan rendah pada sebagian masyarakat diluar Jawa, produk Pilkada langsung sekalipun berjalan dengan angka partisipasi relatif tinggi namun sosok yang terpilih tak dengan sendirinya mampu melakukan perubahan signifikan di daerah.
Dari 530 kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota, paling tidak yang dianggap relatif berhasil misalnya Jokowi Widodo (Kota Solo), Ridwan Kamil (Kota Bandung), Risma (Kota Surabaya), Nurdin Abdullah (Kabupaten Bantaeng), Ganjar Pranowo (Provinsi Jawa Tengah) dan Basuki Tjahaya Purnama (Provinsi DKI Jakarta). Pemilukada relatif baru menghasilkan sosok yang disukai publik, bukan sosok yang memiliki kompetensi mengelola pemerintahan daerah.
Konflik internal antara kepala daerah dan wakil kepala daerah disebagian besar pemerintah daerah (94,64%) menambah semarak ketegangan diruang birokrasi, dimana birokrasi pun ikut menerima dampaknya, yaitu terkotak-kotak pasca pemilukada dilaksanakan. Hilangnya netralitas ASN turut mempengaruhi pelayanan publik khususnya dilevel menengah kebawah. Perubahan kabinet birokrasi di daerah sewaktu-waktu terjadi akibat rentannya politisasi birokrasi.
Dibeberapa daerah seperti Papua, aparat birokrasi masih memiliki relasi patron-clien bagi masyarakat tertentu (suku) sehingga apa yang terjadi di lingkup middle class biasanya menjalar ke akar rumput (grass root). Dampak ekstremnya adalah tercipta konflik horizontal pada kasus dukung-mendukung calon pasangan kepala daerah. Pesta demokrasi di tingkat lokal semacam itu mengundang pula para pemodal diluar daerah untuk turut berinvestasi.
Demokrasi lokal kian menjadi mahal sehingga akibat selanjutnya adalah terjadinya perilaku korupsi untuk menutupi hutang-piutang. Data Kemendagri antara tahun 2005-2010 terdapat 346 Kepala Daerah/Wkl Kepala Daerah terkait masalah hukum. Dalam bahasa politik yang mudah dihafal, no free lunch. Sayangnya, mahalnya ongkos demokrasi lokal tak begitu produktif melahirkan kepemimpinan yang handal. Pasar demokrasi lokal praktis dibanjiri pengusaha, birokrasi dan artis dibanding politisi tulen yang benar-benar lahir dari partai politik.
Di luar potret negatif diatas, kebijakan desentralisasi lewat UU 32/2004 sebenarnya berupaya menjawab sejumlah masalah pokok pada UU 22/99, khususnya pola pembagian urusan yang selama itu menciptakan ketegangan antara pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Prinsip pembagian urusan yaitu akuntabilitas, eksternalitas dan efisiensi menjadi dasar dalam memperjelas urusan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Tumpang tindih kewenangan serta perbedaan pemahaman instansi sektoral pemerintah pusat di daerah sejauh ini menambah komplikasi persoalan implementasi desentralisasi. Akan tetapi harus diakui bahwa perjalanan desentralisasi sejak 10 tahun terakhir (2004-2014) telah menimbulkan dampak positif dimana kepemimpinan lokal mengalami sentimen akuntabilitas yang tinggi dari basis pemilih sejak munculnya kepala daerah yang dianggap sukses memimpin di beberapa daerah sebagai pilot project.
Kesuksesan itu paling tidak diukur dari kemampuan pemerintah daerah menerjemahkan otonomi daerah kedalam pengaturan dan pelayanan dibidang kesehatan, pendidikan dan peningkatan standar hidup masyarakat (ekonomi). Disatu sisi pemerintah pusat mulai melakukan evaluasi dan pengukuran pencapaian target otonomi daerah lewat berbagai desain makro perencanaan dan akuntabilitas seperti RPJPD, RPJMD, RKPD, LAKIP, AKIP dan RENSTRADA. Pemerintah mulai menerapkan reward and punishment sehingga mendorong daerah-daerah memacu kinerjanya khususnya dibidang pelayanan publik dan reformasi birokrasi.
Pengalaman Desentralisasi Masa 2014-Sekarang
Dinamika yang sedemikian cepat membuat kebijakan desentralisasi melalui UU 32/2014 mengalami banyak tekanan politik. Persoalan pengelolaan sumber daya alam di daerah kabupaten/kota tampak semakin tak terkendali membuat pemerintah mengalami semacam kecemasan dalam mengontrol masa depan sumber daya alam di daerah. Disisi lain pemilukada dipandang semakin tak efisien dan rentan konflik.
Sementara Desa sebagai akar-akar pemerintahan dinilai tak semakin berdaya akibat resapan otonomi daerah sehingga mengurangi kadar otonomi asli yang selama ini diakui dan dihormati negara. Dengan tiga problem pokok tersebut pemerintah memecah UU 32/2004 menjadi UU 23/2014 Tentang Pemerintah Daerah sebagai sumber pijakan desentralisasi, UU 22/2014 Tentang Pemilukada sebagai dasar pijakan politik lokal, serta UU 6/2014 tentang Desa sebagai titik pijak pemberdayaan desa yang mewakili entitas politik, ekonomi dan sosial budaya di level terendah.
Namun demikian kebijakan desentralisasi melalui UU 23/2014 masih dinilai oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai gejala resentralisasi. Hal itu tercermin dari banyaknya urusan vital yang selama ini berada di kabupaten/kota seperti tambang, kelautan, lingkungan, pendidikan menengah dan hutan berangsur-angsur kembali ke pangkuan pemerintah provinsi atas nama pemerintah pusat.
Sejumlah daerah seperti Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah misalnya turut melakukan judisial revieuw ke MK pada tahun 2015 dalam upaya mengembalikan pergeseran kewenangan kabupaten/kota ke provinsi. Pergeseran sejumlah kewenangan dilakukan dengan alasan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota selama ini gagal dalam mengelola urusan-urusan vital tersebut selain upaya memperkuat peranan pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat yang selama ini memiliki uang banyak dengan sedikit kewenangan.
Desentralisasi politik melalui UU 8/2015 kembali mempertahankan mekanisme pemilukada langsung sekalipun pada awalnya pemerintah kukuh mengeluarkan UU 22/2014 untuk merespon efisiensi, efektivitas mekanisme serta rentannya konflik horizontal dalam persoalan pemilukada. Sayangnya, UU 22/2014 mengalami patahan sejak Presiden SBY mengeluarkan Perpu Nomor 1/2014 yang mencabut UU 22/2014. Nasib UU tersebut selanjutnya menjadi UU Nomor 8/2015.
Kondisi ini secara langsung tak mengubah mekanisme politik lokal serta tetap saja menambah persoalan inefisiensi dan ketidak-efektivan pelaksanaan pemilukada. Namun demikian, demokrasi lokal semacam ini tetap saja dipandang oleh sebagian besar masyarakat daerah sebagai refleksi “kemerdekaan” warga negara untuk menentukan masa depan daerah lewat pemimpinnya sekalipun dalam faktanya tak banyak membahagiakan.
Upaya efisiensi kini dilakukan pemerintah melalui pemilukada serentak yang telah dilaksanakan sejak 9 Desember 2015. Dari 269 kabupaten/kota dan provinsi yang ikut pemilukada terlihat berjalan efektif dan stabil sekalipun tetap saja tak efisien. Diperkirakan Pemilukada serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2027 setelah melalui tahapan pemilukada sela serentak diberbagai daerah.
Tentu saja bila melihat usia kebijakan desentralisasi lewat UU 23/2014 yang baru berjalan dua tahun, tak banyak perubahan yang dapat direkam, kecuali kesibukan pemerintah menyiapkan berbagai instrument pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Ditingkat pemerintah daerah kesibukan paling utama hari-hari ini adalah penyesuaian berbagai dasar regulasi teknis seperti perda dan pergub/perbup/perwal akibat pergeseran sejumlah urusan ke level provinsi.
Pergeseran tersebut juga secara tak langsung berimplikasi pada pergeseran finansial pemerintah daerah dalam pelaksananaan urusan konkurent dan urusan pemerintahan umum. Satu persoalan pelik dalam desentralisasi asimetrik yang kini menjadi tantangan bagi pemerintah pusat adalah bagaimana mengendalikan birahi satu dua daerah asimetrik yang kian memuncak menuntut otonomi khusus plus-plus misalnya.
Pada akhirnya pengalaman ketiga rezim diatas menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi hanya akan efisien dan efektif apabila kontrol dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti pengawasan, evaluasi, pengendalian, appraisal maupun accounting. Untuk maksud itu pemerintah tentu perlu segera mendesain norma, standar, prosedur dan kriteria sesuai kewenangannya masing-masing agar berbagai kelemahan dalam implementasi desentralisasi dapat diantisipasi. Disamping sejumlah kelemahan, sentiment desentralisasi setidaknya telah mendorong indeks demokrasi, indeks governance, pelayanan publik dan reformasi birokrasi yang lebih baik pada sejumlah daerah otonom di Indonesia.
Sumber Bacaan;
Amal, Ichlasul, Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992
Gaffar, Affan, “Paradigma Baru Otonomi daerah dan Implikasinya” dalam: Reformasi Menuju Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah. Refleksi Pemikiran Partai Golkar. Oleh Anwar Adnan Saleh, dkk (editor). Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta. 2001
Ahmad, Ehtisham; Mansoor, Ali. 2002. “Indonesia: Managing Decentralization.” IMF
Agus Dwiyanto, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan, UGM, Yogyakarta, 2003.
Fane, George. 2003. “Change and Continuity in Indonesia's New Fiscal
Decentralisation Arrangements.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 39(2):159-76.
Hadiz, Vedi R. 2004. “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique
of Neo-institutionalist Perspectives.” Development and Change (35)4:697-718.
Josef Riwi Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2005
Labolo, Muhadam, 2015. Dinamika Politik & Pemerintahan Lokal, Ghalia, Jakarta
Lewis, Blane D. 2003b. “Property Tax in Indonesia: Measuring and Explaining
Administrative (under-) performance.” Public Administration and Development 23 (3):227-239.
McCarthy, John F. 2004. “Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of
Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia.” World
Development 32(7):1199-1223.
Nordholt, dkk, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 2007
Working Paper 136, Fiscal Affairs Department and Independent Evaluation Office, Washington, DC.
Ryder, Mark. 2002. “The estimated revenue yield from a piggyback personal income tax.” Midterm Report to the Directorate of Regional Revenue, Ministry of Finance, Republic of Indonesia. August 12, Mimeo.10
Silver, Christopher ; Azis, Iwan J. ; Schroeder, Larry. 2001. “Intergovernmental Transfers and Decentralisation in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies v37(3):345-62.
World Bank. 2000. Poverty Reduction and Economic Management Note 43. “Indonesia’s decentralization after crisis.” World Bank, Washington, DC.
Komentar
Posting Komentar