Urgensi Kepemimpinan Pamongpraja Dalam Kerangka Otonomi Daerah
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Dinamika
otonomi daerah dipahami sebagai relaksasi atas upaya menciptakan tujuan ideal
kebijakan desentralisasi, yaitu secara administratif meningkatkan kualitas
pelayanan masyarakat dan secara politik menciptakan sirkulasi kepemimpinan
lokal yang akseptabel (Rasyid & Syaukani, 1999). Sayangnya, dari dua tujuan ideal tersebut
masyarakat lupa pada kualitas pelayanan yang menjadi harapan pokoknya,
sementara sebagian besar elit lokal tersita energinya pada kompetisi kekuasaan
berjangka pendek. Dalam kealpaan akut seperti itu masyarakat tak memperoleh
apa-apa kecuali slogan kampanye yang hampa setelah berlalu beberapa saat. Disisi
lain kaum elit lokal kembali pada tugas rutin selanjutnya, yaitu pengumpulan
modal bagi rotasi kekuasaan lima tahunan. Jangan heran bila banyak tercipta
pola kepemimpinan Wiro Sableng 212, dua tahun pertama mengembalikan modal,
setahun berbakti pada masyarakat, dan dua tahun terakhir mengumpulkan kembali
modal untuk pertarungan selanjutnya. Dibeberapa daerah seperti Solo, Jakarta,
Bantaeng, Surabaya dan Bandung, imaji masyarakat dan pemimpinnya tak segera lupa
terhadap semua komitmen yang dipertaruhkan.
Kepemimpinan lokal seperti itu ternyata menciptakan efek yang luas bagi
sebagian besar kepala daerah untuk konsisten terhadap kepentingan rakyat
sekaligus tujuan ideal otonomi daerah, yaitu meningkatnya kualitas pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat. Efek lebih
jauh tentu saja berujung pada peningkatan kepercayaan (trust) sehingga
kepemimpinan lokal pada akhirnya tak membutuhkan banyak energi untuk
memenangkan pemilihan di lima tahun berikutnya. Dengan demikian tujuan otonomi
daerah yaitu peningkatan kualitas pelayanan dan terciptanya kepemimpinan yang
akseptabel dapat mencapai tujuan dalam sekali raihan dayung.
Munculnya
kepemimpinan pemerintahan yang berorientasi kuat pada kepentingan masyarakat seakan menyadarkan kita
pada akar historis kepemimpinan lokal yang khas yaitu kepemimpinan Pamongpraja.
Kepemimpinan Pamongpraja adalah kepemimpinan yang berfokus pada kepentingan
kaum alit (rakyat jelata) sekalipun secara historis lahir dari pola kepemimpinan
kaum elit (kaum bangsawan). Kini, keajegan pola kepemimpinan Pamongpraja tidak
saja memperoleh pengakuan secara de fakto, namun dalam sistem
pemerintahan daerah juga memperoleh pengakuan secara de jure (lihat UU
Nomor 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah). Kesepaduan pengakuan tersebut kiranya
menciptakan modal bagi efektivitas kepemimpinan pemerintahan dari level pusat
hingga organ pemerintahan terendah setingkat Camat. Patut
disadari bahwa menguatnya dukungan akar rumput (grass
root) terhadap fenomena kepemimpinan pemerintahan bertipe Pamongpraja seperti Jokowi,
Ahok, Risma, Ganjar Pranowo, Nurdin Abdullah dan Ridwan Kamil merupakan
sinyalemen bahwa kepemimpinan
pemerintahan yang lebih adaptable
kedepan adalah kepemimpinan
pemerintahan yang lebih kualitatif dan berjarak ideal dari
intervensi politik. Terlepas dari aspek kepentingan politik praktis, namun tekanan
pada aspek kualitatif bermakna bahwa perilaku ‘blusukan’ yang dilakukan oleh pemimpin dengan style masing-masing tidak saja menyentuh nurani masyarakat luas,
namun mampu menyerap berbagai persoalan mendasar (face
to face) sekaligus mampu menyiapkan formula
jangka pendek untuk menjawab ragam persoalan pemerintahan yang menganga lebar didepan mata. Pemerintahan yang baik
memang tak cukup dengan hanya memungut persoalan di atas permukaan (day to day), tentu saja pada tingkat
selanjutnya perlu diletakkan dalam kerangka visi jangka panjang (vision, memandang sejauh mungkin
kedepan). Ketika salah satu pasar tradisional di Solo membutuhkan tempat yang
layak, Jokowi misalnya menjawab dengan pasar yang lebih manusiawi. Demikian
pula ketika masyarakat miskin di wilayah perkotaan Jakarta membutuhkan
pengurangan beban pendidikan dan kesehatan, resep Kartu Pintar dan Kartu Sehat adalah
jawabannya. Ahok meneruskan formula yang tersisa lewat fokus pencegahan banjir
dan pengurangan macet yang menjadi masalah utama masyarakat Jakarta (sekali
lagi terlepas dari persoalan politik praktis yang kini meningkat tajam memasuki
area Pemilukada). Risma memperlihatkan respon tegas ketika mengubah wajah Pasar Birahi Dolly
menjadi ruang yang lebih agamis. Nurdin menyiapkan ambulance keliling guna memastikan tidak
ada satupun warga Bantaeng yang mengeluh karena persoalan keterbatasan akses
kesehatan. Sementara Ridwan Kamil
mampu memberi jawaban atas kesemrawutan Kota Bandung yang lebih tertata, bermartabat dan cerdas (smart city). Fenomena
tersebut dapat dibandingkan dengan ratusan kepala daerah yang hanya menunggu
laporan bawahan di atas meja sebagai sampling
terhadap berbagai
masalah di tingkat bawah. Pendekatan kuantitatif semacam itu jelas tak akan pernah
menyentuh perasaan terdalam masyarakat, apalagi sampai menjawab persoalan
esensial yang dikeluhkan.
Akibatnya dapat diduga, formulasi perencanaan yang disiapkan untuk menjawab
persoalan di level terbawah hanyalah kumpulan program dan kegiatan yang
didasarkan pada kemauan bawahan, tentu dengan sedikit banyak membumbuinya lewat stempel “atas nama
rakyat”. Faktanya, birokrasi dan
sekelompok kapitalis lokal
yang paling banyak diuntungkan
dan bukan masyarakat itu sendiri.
Realitas dinamika kepemimpinan pemerintahan lokal diatas
tampak merefleksikan sejumlah nilai dalam kepemimpinan Pamongpraja sebagaimana
dikemukakan Ndraha (2009) yaitu; pertama, kepemimpinan
pemerintahan lokal membutuhkan nilai vooruit zien (visioner), suatu kemampuan dalam kepemimpinan pemerintahan yang dapat melihat sejauh mungkin kedepan.
Nilai demikian penting untuk mengurangi beban politik transaksional jangka
pendek. Pembangunan daerah yang hanya bersifat “bagi-bagi jatah APBD” setiap
tahun seharusnya lama ditinggalkan agar strategi pembangunan daerah kedepan
lebih berdaya-jangkau sepuluh hingga dua puluh tahun kedepan. Melalui strategi
semacam itu kita dapat membayangkan Provinsi Sulawesi Tengah dalam 20 tahun
kedepan apakah setaraf kualitas sumber daya manusia, infrastruktur maupun
pembangunan kota dengan daerah maju lainnya seperti Provinsi Jawa Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan atau Sumatera Utara. Apabila kepemimpinan pemerintahan memiliki
visi dalam jangkauan semacam itu, kita dengan mudah dapat mengendalikan angka
kelahiran, angka kemiskinan, angka buta huruf, serta angka kematian dan
kesehatan yang kini meletakkan rangking Provinsi Sultra dilevel terendah. Kedua,
kepemimpinan pemerintahan selayaknya memiliki nilai conducting, yaitu kemampuan membangun kinerja bersama melalui perilaku aktor yang berbeda-beda.
Dalam bahasa jamak kita sering menyebut istilah coordinating, yaitu upaya
membangun kinerja masing-masing melalui kesepakatan
bersama yang berbeda. Lemahnya koordinasi selama ini mengakibatkan
daerah kehilangan pemandu dalam mengendalikan gerakan sentrifugal pada setiap sektor
yang berjalan menurut ego masing-masing. Dampak berikutnya adalah kepemimpinan
sulit mencapai visi dan misi yang telah ditegaskan, oleh sebab pergerakan setiap
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang semakin menjauh dari komitmen
bersama. Semua tampak bergerak menurut insting masing-masing sehingga
pemerintah daerah kehilangan arah dalam pencapaian tujuan otonomi daerah. Ketiga, nilai peace making, yaitu suatu kemampuan membangun kerukunan dan kebersamaan pada realitas masyarakat yang berbeda. Sosok kepemimpinan
pemerintahan yang cenderung menjadi sumber masalah lewat berbagai statement
tak terkontrol dapat memicu tumbuhnya bibit konflik dimana-mana. Kondisi ini tentu saja dapat menjadi batu
ganjalan dalam mendorong persatuan sebagai modal utama pembangunan masyarakat. Kepemimpinan
pemerintahan seharusnya menjadi faktor determinan bagi tercapainya cohesivitas
social dan bukan dis-integrasi social sebagaimana terlihat diberbagai
daerah. Seorang Pamongpraja sejak awal ditasbihkan tidak saja menjadi pemimpin,
demikian pula bertindak sebagai hakim pendamai dalam masyarakat, bukan provokator
terhadap berbagai isu. Keempat, kepemimpinan pemerintahan membutuhkan
nilai residue-caring, yaitu suatu kemampuan mengelola sampah, sisa, yang beda, yang salah dan yang terbuang. Kemampuan ini
adalah salah satu nilai unik dimana sebagian besar kepemimpinan pemerintahan
dewasa ini lebih tertarik dan cenderung mengambil tanggungjawab pada urusan-urusan
basah, berdampak ekonomis langsung serta secara pragmatis memberi keuntungan
finansial. Menyusutnya nilai residu-caring pada akhirnya menciptakan
sosok kepemimpinan kapitalis yang rajin melokalisir masyarakat keruang-ruang tak
berperikemanusiaan untuk kepentingan diri dan kelompok tertentu. Faktanya
dengan alasan untuk kepentingan ruang terbuka hijau, taman, pasar modern,
hingga ruang publik, pemerintah daerah seringkali meminggirkan rakyat ketepian
jalan. Pemerintah daerah terkadang takut berdiri dibelakang masyarakat yang
sering berada dalam posisi dirugikan, terisolasi, terbuang dan tak
terpedulikan. Kelima,
kepemimpinan pemerintahan selayaknya mengadaptasi nilai turbulence-serving, yaitu kemampuan mengelola
ledakan yang dianggap mendadak atau di luar kemampuan (force majeure). Tanpa kemampuan ini, kepemimpinan lokal
akan selalu menemui persoalan logistik.
Dalam banyak kasus, ironisnya sejumlah daerah yang mengalami kelaparan
justru merupakan daerah yang memiliki sumberdaya memadai. Kelemahan manajemen
logistik selama ini mengakibatkan pola perencanaan, penganggaran, pengadaan,
penyimpanan dan distribusi ditingkat daerah mengalami persoalan serius. Harus
diakui bahwa kegagalan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemalangan
masyarakat pada sejumlah kasus adalah bukti hilangnya nilai kepemimpinan turbulence-serving. Pemda selalu kelihatan tertinggal
dibelakang, krisis dan gugup menghadapi setiap masalah (nerveus), bahkan kehilangan kreativitas serta
kemandirian sebagai variabel utama keberhasilan otonomi daerah. Keenam, kepemimpinan lokal membutuhkan nilai fries ermessen, yaitu suatu keberanian bertindak untuk kemudian
mempertanggungjawabkannya secepat
kepemimpinan merespon. Ini penting disebabkan terlalu banyak masalah yang tak
pernah berhenti dihadapi. Membutuhkan
regulasi pusat terkadang mesti menunggu bertahun-tahun ditengah kesibukan
daerah menjawab persoalan yang dihadapi. Dalam konteks itu kepemimpinan lokal
membutuhkan diskresi untuk melancarkan arus penyelenggaraan pemerintahan,
mencegah stagnasi pemerintahan serta menutupi kealpaan regulasi akibat
kekosongan, duplikasi dan multi-tafsir. Ketujuh, kepemimpinan
pemerintahan lokal membutuhkan kemampuan generalist and specialist function, yaitu suatu kemampuan untuk mengetahui sedikit tentang banyak hal, dan
mengetahui banyak hal tentang sesuatu yang sedikit (knowing less and less about more and more, and more and
more about less and less). Ini penting disebabkan menumpuknya persoalan yang dihadapi
membutuhkan pengetahuan yang cukup sebelum disimpulkan dalam bentuk kebijakan. Pada level top manager dibutuhkan pengetahuan general, sementara ditingkat pelaksana
dibutuhkan penerjemahan yang lebih detail.
Dalam perspektif kepemimpinan, semakin abstrak semakin pemimpin, semakin
teknis semakin kuli (Madjid, 1999). Pada
kenyataannya birokrasi di daerah sulit menerjemahkan ide dan gagasan
pemimpinnya sehingga janji kepala daerah terkesan jauh panggang dari api. Kedelapan, kepemimpinan lokal membutuhkan spirit omnipresence (hadir dimana-mana). Bertalian
dengan itu salah satu agenda Nawacita Presiden Jokowi adalah bagaimana
menghadirkan kepemimpinan yang mampu menyentuh batas desa paling ujung hingga
wilayah hutan belantara yang tak berpenghuni guna memastikan kehadiran pemimpin
untuk melindungi tidak saja warganya, juga lingkungan dari berbagai ancaman dan
kerusakan. Mesti diakui bahwa sebagian
warga di Provinsi Sulteng dalam 3 tahun terakhir ini justru terdesak keluar
mencari pekerjaan di wilayah Papua dan Maluku, sementara ketersediaan lapangan
kerja dan hutan justru dimasuki oleh pekerja asing (China). Kesembilan,
kepemimpinan lokal membutuhkan responsibility, yaitu kemampuan menjawab dengan jelas dan jujur, menanggung resiko secara pribadi menurut etika otonom. Kemampuan ini dibutuhkan agar kepala daerah tidak lamban dan
samar-samar dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi. Kecepatan merespon
setiap masalah setidaknya menggambarkan derajat kinerja seorang pemimpin. Kesepuluh,
kepemimpinan lokal membutuhkan cara berpikir magnanimous-thinking, yaitu kemampuan berpikir besar dan kuat menerobos zaman untuk
membuat sejarah. Kepemimpinan
lokal yang hanya menghabiskan waktu pada projek-projek instan hanya akan diingat
setahun hingga lima tahun. Sementara
pemimpin lokal yang mampu membuat tatanan sejarah melalui projek-projek berdaya
jangkau lama akan diingat sepanjang masa. Lihatlah Soekarno, Soeharto, Le Kwan
Yeuw atau Mahathir Muhammad, mereka sulit dilupakan dalam lintasan sejarah Asia
Tenggara. Akhirnya, kepemimpinan
lokal membutuhkan suatu sikap distinguished
statesmanship, yaitu sikap kenegarawan-utamaan, dimana seorang
pemimpin selama memangku masa jabatan publik, selayaknya mampu berdiri di atas
semua kepentingan dan jauh dari sikap keberpihakan (impartial) guna menciptakan
keadilan sebagai salah satu orientasi utama kepemimpinan. Dengan semua nilai
kepemimpinan Pamongpraja diatas, kiranya penyelenggaraan otonomi daerah dapat
bergerak melaju dipundak seorang pemimpin lokal yang benar-benar terpilih secara
demokratis.
Komentar
Posting Komentar