Membumikan Nilai Kepemimpinan Bahari Dalam Birokrasi Pemerintahan
Oleh. Muhadam
Labolo[2]
Pengantar
Kuliah
Rasanya terlalu cepat bagi saya untuk mewakili
beberapa sesepuh yang telah mangkat dan masih hidup di perguruan tinggi tempat
saya bekerja agar hadir ditempat ini guna menyampaikan beberapa pokok pikiran
terkait topik diatas. Panitia hanya memberi waktu lebih seminggu bagi saya
untuk menyiapkan paper pendek dihadapan bapak ibu sekalian. Terlepas dari itu
saya mengucapkan terima kasih pada pimpinan Universitas Maritim Raja Ali Haji
dan segenap civitas akademika khususnya di jurusan ilmu pemerintahan atas
kesempatan dalam momentum yang baik ini guna memperbincangkan satu isu yang kadang
statis di level akademik dan bersifat propaganda di level politik, bergantung
diruang mana dan oleh siapa isu bahari akan diperbincangkan. Jika ia
didiskusikan dalam ruang akademik semacam ini tentu laksana membicarakan
sejarah yang terkesan statis, atau paling tidak meninggalkan sedikit banyak catatan
dalam bingkai sejarah. Apabila isu semacam ini dipercakapkan dalam arena
politik yang lebih dinamis, ia tidak saja bersifat propaganda namun pada
tingkat yang lebih serius dapat menjadi kenyataan dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, mengingat realitas kebahariaan berpotensi besar sekaligus menjadi
ciri dan kekuatan bangsa Indonesia. Semua itu tentu saja bergantung pada
kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang bersifat universal maupun berciri lokal
sebagaimana sejarah kepemimpinan bahari di Indonesia.
Dengan alokasi waktu yang
singkat itu, saya coba untuk memperbincangkan topik diatas dengan menarik
sejumlah nilai kepemimpinan bahari kedalam kepemimpinan pemerintahan khususnya
birokrasi pemerintahan di Indonesia. Kepemimpinan bahari itu akan dilihat dari perspektif
sejarah, nilai dan konsep yang membentuknya serta relevansinya dimasa lampau,
kini dan akan datang. Catatan dimasa
lampau tentu hanya bersifat sepintas untuk menyingkat rekaman historis kita
agar tak mudah melupakan budaya dan kebudayaan bangsa. Beberapa konsep akan dilihat pula dari
sedikit catatan teoritik birokrasi Weberian. Sementara dalam konteks kekinian (relevansi
yuridis) kita akan melihat proses seleksi kepemimpinan pemerintahan dalam ruang
birokrasi yang kini trend menggunakan istilah lelang jabatan atau
seleksi terbuka (open biding). Pada akhir makalah ini sebagai aspek
pragmatisnya yang mungkin dapat men-drive kearah revolusi seleksi
kepemimpinan pemerintahan tanpa meninggalkan begitu saja nilai (value)
kebaharian sebagai ciri kebudayaan bangsa. Dengan bercermin pada negara di wilayah
Asia seperti Jepang, China dan Korea Selatan, tampaknya mereka berhasil berdamai
dengan perkembangan dan kemajuan teknologi lewat revolusi diberbagai sektor pelayanan
namun tanpa meninggalkan begitu saja semangat Samurai, Sun Tzu maupun filosofi
Ginseng.
Sebelum saya masuk lebih jauh pada pokok soal itu
saya ingin mengingatkan bahwa
dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun
terakhir sejak 1995, tidak ada satupun seminar berskala nasional bertajuk
Kepemimpinan Bahari, kecuali apa yang pernah digagas oleh Prof. Taliduhu Ndraha dan Prof. Ryaas Rasyid
di Institut Ilmu Pemerintahan. Kompilasi atas hasil seminar saat itu dapat
dibaca utuh lewat buku berjudul Kepemimpinan Bahari, edisi pertama,
2011, Penerbit Ghalia Jakarta.
Menurut saya, seminar tersebut merupakan seminar terbaik yang pernah
terselenggara tidak saja jika dilihat dari aspek kualitas makalah, narasumber
dan interaksi pesertanya, demikian pula steering
commite yang mampu menghasilkan laporan seminar selengkap itu. Seminar itu memang berskala
nasional namun bervisi international (baca makalah Emil Salim, Anhar Gonggong, Nazaruddin Syamsuddin, Budhisantoso,
Mattulada, Purnama Natakusuma, Parsudi Suparlan, Yogie SM, TB. Silalahi, Paulus
Wirutomo, Andre Hardjana, R.Z Leirissa, Baharuddin Lopa, Emmanuel Subangun,
Afan Gaffar, Wahyono SK, Rokhmin Dahuri, Adi Sumardiman, Kuntoro dan Tommy H Purwaka). Seminar dewasa ini banyak yang
berskala international namun terkesan bervisi lokal dan berjangkauan pendek.
Tanpa persiapan matang, seminar dapat muncul sewaktu-waktu tergantung siapa pimpronya serta
untuk kepentingan pragmatis tertentu. Dapat di prediksi tak ada hasil
signifikan yang dapat dipakai sebagai rujukan ilmiah jangka panjang kecuali
selesai dengan kompetisi sertifikat berlabel international untuk percepatan
kenaikan jabatan secara
fungsional.
Perspektif Sejarah dan Nilai
Dalam perspektif sejarah, kepemimpinan bahari lahir
sebagai manifestasi dari keseluruhan gejala yang terintegrasi dalam kesatuan
laut yang luas. Kita menyebut bahari
untuk mewakili keseluruhan jagad dimaksud, bukan saja menyangkut lautnya,
demikian pula aktivitas kehidupan diatas dan dibawah permukaan laut termasuk
sifat-sifat yang melekat didalamnya. Relief sejarah itu biasanya tercipta dari lekuk
geografi suatu wilayah hingga membentuk perilaku manusianya. Secara geografi Indonesia berada dalam
genangan lautan luas. Laut menghubungkan, mengintegrasikan, menjadi jembatan,
membentuk identitas, sumber mata pencaharian dan kekayaan bangsa. Dalam konteks
itu lautan berfungsi kompleks sehingga perilaku manusia dan kepemimpinannya pun
tak lepas dari sifat-sifat hydro-geografik tersebut. Dalam masa kejayaan yang boleh disebut
seperti Sriwijaya dan Gowa yang bertumpu pada kekuatan laut, pola kepemimpinan
yang sejalan dengan karakter alam itu relatif berhasil menjaga keutuhan
nusantara dan batas-batas kekuasaannya baik secara politik, ekonomi maupun sosial
budaya.
Dalam dalam perkembangan
selanjutnya, kebudayaan masyarakat Indonesia terbentuk diatas sedimentasi
animisme, dinamisme, Hinduisme, Budhisme, Islamisme hingga beragam kepercayaan
di wilayah Nusantara. Asimilasi yang terus berkesinambungan pada akhirnya
membentuk ciri yang membedakannya. Salah satu ciri tersebut adalah terbentuknya
budaya yang kuat dan kompetitif yaitu budaya bahari (Ndraha, 1995). Budaya
bahari memiliki karakteristik yang membedakannya dengan budaya darat
(pedalaman). Karakteristik budaya bahari setidaknya dicirikan oleh persatuan,
kesatuan serta musyawarah (Leirissa, 1995). Kedua ciri itu merupakan refleksi dari
dinamika dan aktivitas antara laut sebagai satu kesatuan serta kepemimpinan
dalam pelayaran. Pada sebaliknya, budaya
darat selama ini cenderung menempatkan relasi kemanusiaan dalam hubungan ketat
vertical-hirarkhis. Kondisi ini
menyebabkan suatu hubungan yang tak sejajar sehingga entitas yang menjadi
sub-ordinat sulit mengekpresikan kehendak dalam makna kreatif dan mandiri,
kecuali ketergantungan dalam ikatan patron-client. Selama dekade orde
baru, orientasi budaya darat yang sedemikian kuat melalui simbol pohon beringin
menciptakan suatu pola pemerintahan sentralistik-otoriter. Kegagalan pada cara
penyelenggaraan pemerintahan yang menciptakan ketergantungan sedemikian itu
mendorong kita mencari dan menemukan kembali ciri yang menjadi kebudayaan
bangsa selama ribuan tahun lalu yaitu budaya bahari.
Laut dalam perspektif kaum
yang hidup dipedalaman adalah pemisah, pemecah-belah, bukan penghubung atau
pengikat atas keberagaman yang menjadi realitas bangsa. Lebih jauh laut dianggap sebagai halaman
belakang, bukan halaman depan yang mestinya dirawat dengan baik.[3]
Dampaknya laut hanyalah tempat pembuangan sampah, bukan sebagai kekayaan dan
sumber daya sebagaimana diperlakukan oleh bangsa-bangsa maju lainnya. Jepang
dan Korea yang memiliki lautan tak seluas Indonesia justru memiliki
produktivitas dari hasil tangkapan di laut lebih bamyak dibanding Indonesia
dengan gugusan 13.667 (Nontji,1987), dua pertiga yang luasnya 5.176.800 km
persegi belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif. Berdasarkan UU 17 Tahun 1985,
seluas lebih kurang 2,7 juta km persegi adalah lautan yang berada diantara dua
samudra dan dua benua.
Apabila laut kita anggap sebagai alam
semesta, kapal adalah negara, maka isinya adalah segenap kemajemukan budaya yang
memiliki potensi beraneka ragam.
Keragaman tersebut tentu saja mendorong kompetisi yang memungkinkan
kemajuan dengan kadar yang berbeda-beda. Pada kesadaran atas realitas keragaman
itu, dan untuk mengelola perbedaan guna mencapai kemajuan yang berimbang diatas
prinsip keadilan bersama maka dibutuhkan pola manajemen yang ideal. Pola manajemen itu setidaknya mampu
merangsang partisipasi aktif guna mendorong setiap warganya mampu
mengekspresikan keunikan sebagai satu potensi unggulan serta memberi ruang yang
cukup (otonomi) bagi tumbuhnya kreatifitas dan kemandirian. Bila inti manajemen
itu adalah kepemimpinan, maka kepemimpinan yang berciri bahari itu menurut
Wahyono dan Mattulada (Amanna Gappa, 1979) setidaknya memiliki nilai ;
1. Beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan YME, seorang nahkoda
(pemimpin harus
dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat terhadap setiap permasalahan dan
tantangan alam yang dihadapinya;
2. Memiliki tujuan dan haluan yang lelas. Seorang nahkoda melayarkan
kapalnya untuk tujuan dan dengan haluan yang jelas;
3. Melihat ke depan dan menarik pelayaran dari masa lalu. Seorang nahkkoda
selalu melihat kedepan mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat terjadi di
laut;
4. Selalu waspada, berani, dan bertanggung jawab. Seorang nahkoda harus senantiasa
siap menghadapi perubahan cuaca dan lingkungan laut secara tiba-tiba;
5. Bersikap dan berpikir luwes;
6. Bepikir menyeluruh;
7. Mengutamakan keselamatan kapal dan anak buahnya;
8. Mengayomi anak buah dan keluarganya;
9. Persaudaraan sesama pelaut.
Bila kesembilan nilai diatas merupakan syarat utama bagi kepemimpinan
yang dapat dimainkan pada aspek politik pemerintahan, maka dari aspek tipelogi
kepemimpinan bahari dapat menjadi modal dalam pengembangan aspek sosial
ekonomi. Tipelogi kepemimpinan transactional
umumnya dipraktekkan oleh para eksekutif manajemen, sedangkan kepemimpinan transformational
adalah para pembawa aspirasi masyarakat. Kekuatan para pemimpin transactional
terletak pada kemampuan organisasi dan manajemen, sedangkan pemimpin transformational
terletak dalam kemampuannya dalam pembinaan idealisme dan mewujudkan
perubahan sosial. Kedua tipe kepemimpinan
tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan kemajuan dan perubahan dalam kehidupan
masyarakat agar terus meningkat kualitasnya. Keduanya bergantung pada konteks
dimana kepemimpinan tersebut dipraktekkan.
Relevansi Birokrasi
Menurut
Natakusumah (2011:106), karakteristik model organisasi Weber selama ini kurang
mampu menjawab problem yang dihadapi realitas birokrasi di Indonesia. Sebab itu
perlu pengembangan organisasi birokrasi yang sesuai dengan budaya bahari
seperti bersifat flat, otonomi luas,
inovasi tinggi, tanggap, ad-hoc,
berbasis teknologi, perlakuan yang adil, bernilai, serta memiliki kontrol pada proses dan output. Gagasan itu tampak mengalami konkritisasi pada lebih 10
tahun kemudian pasca runtuhnya orde baru. Birokrasi kini membutuhkan efisiensi
karena itu diperlukan reformasi agar lebih flat
alias langsing. Daerah juga memerlukan otonomi luas agar tercipta inovasi,
kreasi dan kemandirian. Pada aspek kepemimpinan dibutuhkan daya tanggap
sebagaimana dipraktekkan sehari-hari oleh Jokowi, Risma, Nurdin Abdullah dan
Ridwan Kamil. Pasca reformasi lebih dari 100 lembaga baru dibentuk bersifat ad-hoc termasuk Satuan Tugas Mafia Migas
tempo hari.
Pada contoh lain misalnya, Walikota Bandung menginginkan agar semua sudut Paris van Java terkoneksi wifi sebagai upaya mewujudkan Kota
Berbasis Teknologi Informasi. Keadilan kini menjadi trend yang tak sekedar dicari namun diburu oleh siapa saja. KPK memperoleh
ekpektasi tertinggi atas keinginan mewujudkan keadilan dimaksud. Seorang Rektor,
Wakil Rektor maupun Guru Besar akan sama kedudukannya dengan warga negara biasa
jika tertangkap tangan melakukan pelanggaran hukum. Semua pelayanan mesti
bernilai bukan sekedar outputnya,
demikian pula proses dan manfaat
layanan itu sendiri (outcomes,
benefit dan impact).
Kita boleh menerima aneka rupa kartu dengan maksud mempercepat akses layanan
pendidikan dan kesehatan namun harus pula dipastikan bahwa semua layanan dalam
kartu-kartu tersebut benar-benar sakti
mandraguna ketika berada di klinik Puskesmas hingga ruang belajar. Bagian
terakhir dari kecendrungan masalah birokrasi dewasa ini adalah hilangnya
kontrol internal yang membuat birokrasi menjadi bulan-bulanan para penegak hukum. Budaya
birokrasi yang suka merawat masalah agar memperoleh keuntungan jangka panjang
membuat momentum dan energi bangsa hilang percuma.
Relevansi Yuridis dan Realitasnya
Bila kita amati sistem rekrutmen birokrasi dewasa ini
melalui UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN tampak bahwa mekanisme lelang jabatan
(open biding) disebagian besar daerah yang masih kuat beradaptasi dengan
aspek-aspek kultural dalam kepemimpinan pemerintahannya mengalami persoalan
yang cukup kompleks. Realitas ini tentu saja dapat mengancam efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dimana kepemimpinan pemerintahan tak cukup
didukung oleh birokrasi yang handal dan solid.
Mereka yang terpilih hanya sekumpulan birokrat yang lolos lelang terbuka
namun minus profesionalitas, kredibilitas, loyalitas dan dedikasi yang
diharapkan oleh kepemimpinan pemerintahan di daerah. Sekalipun sejumlah variabel terakhir itu yang
justru menjadi tujuan, namun faktanya pola rekrutmen yang bersifat terbuka
semacam itu menghambat tumbuh-kembangnya birokrat yang telah lama berkarier
secara hirarkhi, terdidik dan berpengalaman panjang pada bidang dan ruang
internal birokrasi. Bila mereka yang berkarir
lama di sebuah kapal sebagai kelasi I tentu saja berharap suatu saat dapat
duduk sebagai kelasi II hingga Nakhoda. Pada ruang birokrasi pemerintahan
demikian pula, mereka yang berada dijalur vertikal dari eselon IV tentu
berharap akan sampai pada tujuan akhir di level eselon I. Dalam proses semacam itu maknanya sistem
rekrutmen dapat dianggap adaptif, rasional, dan lebih efektif. Namun bila
mereka yang berada di jalur tersebut justru terpental oleh birokrat dengan
latar belakang yang berbeda dan dengan standar yang tak sepesifik mengarahkan
pegawai kebidang yang dimaksud, maka kecendrungan yang terpilih bukanlah mereka
yang paling profesional namun mereka yang secara politik “paling dekat” dan
“paling dikenal.” Tentu saja penerapan lelang jabatan pada semua level dan
wilayah seakan menutup mata terhadap eksistensi nilai-nilai lokal (seperti
kebaharian) sebagai dampak neo-liberalisme dihampir semua sektor. Di
wilayah perkotaan seperti Jakarta, Surabaya dan Jawa Barat mungkin saja pola
rekrutmen birokrat dengan mekanisme lelang jabatan tidaklah menjadi satu
kendala disebabkan tingkat pendidikan dan pendapatan yang cukup. Sebaliknya diwilayah
Indonesia Timur yang memiliki karakteristik khas, serta tingkat pendidikan dan
pendapatan dibawah rata-rata tentu saja pola rekrutmen menjadi lebih emosional
dan diskretif, dimana pengangkatan birokrat yang loyal, berdedikasi, serta
dipandang cakap bergantung pada penilaian pimpinan dalam satu jalur struktur
yang lurus dari bawah keatas. Hal ini dimaksudkan agar stabilitas kepemimpinan
pemerintahan berjalan efektif dibawah dukungan birokrasi yang kuat dan
profesional. Dibeberapa daerah yang telah melakukan lelang jabatan tampak bahwa
kinerja birokrat yang terpilih dari proses semacam itu tak menunjukkan satu
perbedaan signifikan dibanding sebelumnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa birokrat hanya berpuas diri sebagai hasil
proses open biding, merasa tak bisa diganti kecuali dengan alasan
krusial, serta dengan sendirinya memperoleh fasilitas yang cukup memadai. Fakta
atas kesadaran semacam itu tidaklah mendongkel kinerja birokrasi kecuali
memanjakan birokrasi dalam jangka panjang.
Mungkin yang lebih relevan adalah kepemimpinan pemerintahan yang kuatlah
menentukan kinerja birokrasi itu sendiri sebagaimana ditunjukkan melalui Indeks
Governance Indonesia pada tahun 2014-2015.
Penutup
Nilai-nilai
kepemimpinan bahari berciri universal
sejogjanya dapat diterapkan secara umum pada ruang birokrasi yang lebih tinggi,
misalnya pemerintah nasional ataupun wilayah-wilayah dengan karakteristik
masyarakatnya lebih majemuk, rasional dan modern (perkotaan). Dalam
wilayah-wilayah semacam itu pola lelang jabatan (open biding) mungkin
relatif adaptif. Sebaliknya, daerah-daerah otonom di wilayah Indonesia Timur
atau lebih spesifik di wilayah yang 50-70 persen adalah laut sebagai entitas
utama, penghubung, pengikat, sumber mata pencaharian dan kekayaannya patut
kiranya mempertimbangkan pola rekrutmen kepemimpinan dalam birokrasi yang
sesuai dengan kebutuhannya agar mampu mendukung kepemimpinan pemerintahan yang
efektif.
Salah
satu cara mengadaptasi sejumlah nilai penting dalam kepemimpinan bahari adalah memisahkan
antara nilai lokal dan nilai universal yang dikandungnya. Beberapa nilai
kepemimpinan bahari sejogjanya
dapat diadaptasi menjadi nilai kepemimpinan setempat lewat spirit otonomi
daerah (Indegenious Local).
Pada sisi lain
nilai kepemimpinan bahari yang bersifat universal dapat diadaptasi menjadi
bagian dari pembangunan nilai-nilai kepemimpinan nasional. Hal ini sekaligus upaya
melengkapi kajian terhadap nilai-nilai kepemimpinan Asta Bhrata yang sejauh ini tak mengalami banyak perubahan serta berorientasi teritorial (daratan).
Nilai kepemimpinan bahari mencakup seluruh gejala yang dapat ditangkap dalam
ruang bahari yang sedemikian
luas. Gejala tersebut dapat berupa
pergerakan alamnya, manusianya, objeknya hingga sifat-sifatnya. Jika
Astha Bhrata menangkap gejala alam
semesta sebagai refleksi kepemimpinan nasional, maka semua gejala kebaharian
adalah nilai dan simbol dalam mengkonstruksi kepemimpinan bahari. Laut dan
perahu misalnya dapat dianggap
sebagai simbol pemersatu. Nilai-nilai
itu ada yang bersifat lokalitas dan ada pula yang bersifat universal.
Nilai-nilai dalam sistem hukum laut ammanagappa pada kebaharian
Bugis-Makassar adalah refleksi dari nilai-nilai lokal yang dapat dikembangkan
menurut kebutuhan asimetrik. Stratifikasi
jabatan seperti Kelasi Satu, Kelasi Dua, Juru
Mudi hingga Nakhoda merupakan refleksi atas struktur birokrasi bahari yang
dapat dipelajari guna menjawab kekuatiran Gifford & Elisabeth Pinchot dalam
The End of Bureaucracy And The Rise of
The Intelligent Organization.
Pustaka;
Leirissa, 2011. Masyarakat Bahari Dalam Perspektif Sejarah,
Ghalia, Jakarta
Mattulada, H.A, 2011. Laut:
Sumber Budaya Bahari Nusantara, Ghalia, Jakarta
Natakusumah, Purnaman, 2011.
Budaya Bahari dan Proses Persatuan dan Pelestarian Kesatuan Bangsa,
Ghalia, Jakarta.
Ndraha, Taliziduhu, 1995. Pengantar Prosiding Kepemimpinan Bahari,
IIP Press, Jakarta
Sjamsuddin, Nazaruddin,
2011. Nilai Bahari dan Integrasi Nasional, Ghalia, Jakarta
Wahyono, 1979. Beberapa
Pikiran tentang Kekuatan Clan Pertahanan di Laut, Surya Indah, Jakarta.
[1] Makalah disampaikan dalam kuliah
umum di Universitas Negeri Maritim Raja Ali Haji, Riau, 3 November 2016.
[2] Deputi Otonomi
Khusus Pada Pusat Kajian Desentralisasi IPDN.
[3]
Hal
yang sama pula ketika kita selama ini menganggap daerah-daerah perbatasan
sebagai dapur, bukan sebagai beranda depan tempat menerima tamu istimewa. Akibatnya, kita salah urus dan salah kelola
wilayah perbatasan disepanjang Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera
hingga Papua.
Komentar
Posting Komentar