Melemahnya Subkultur Sosial, Respon Ilmu Pemerintahan Terhadap Krisis Negara
Makalah pendek Dr. Riant Nugroho (Senin,13 Feb, 2017) yang
menjadi autokritik ilmu administrasi negara dalam scentific traffic berjudul krisis ilmu administrasi negara
tampaknya memiliki alasan yang sama ketika ilmu pemerintahan mengalami
kebangunan pasca runtuhnya orde baru (1998). Perjalanan teoritik pemerintahan
sebagai ilmu (science) memperoleh setidaknya
dua alasan kuat pada waktu itu, yaitu ilmu pemerintahan klasik yang bergerak
dari negeri Belanda hingga mendarat di ruang akademik Indonesia bukanlah ilmu
yang semata bernuansa politik, administrasi maupun hukum (Ndraha, 2001).
Kesimpulan itu setidaknya dapat dilihat lewat catatan Van Poeltje (1955) yang mendeskripsikan
bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari upaya untuk mencapai
kebahagiaan seluas-luasnya, baik jasmani maupun rohani tanpa merugikan orang
banyak. Memang bila ditelaah lebih jauh batasan ini dapat saja membuka
perdebatan yang panjang, misalnya dalam perspektif politik dapat dianggap
bagian dari pemahaman filsafat politik (upaya mencapai kebahagiaan bersama dan
seluas-luasnya, lihat Aristoteles tentang commons
good). Demikian pula batasan tentang
tanpa merugikan orang banyak dapat dilihat dari kacamata politik sebagaimana
defenisi yang jamak dikemukakan David Easton soal penggunaan kekuasaan yang
sedikit banyak bersifat paksa oleh pemerintah yang sah. Batasan ini suka atau
tidak, juga dapat merangsang pemikiran dari perspektif ilmu hukum oleh karena
penggunaan kekuasaan oleh pemerintah adalah produk dari suatu institusi hukum
seperti organ pemerintah (lihat Hans Kelsen misalnya). Belum lagi kalau kita bicara soal bagaimana
realisasi terhadap upaya mencapai kebahagian itu sendiri yang dapat dimaknai secara
luas maupun sempit sebagaimana aktivitas pelayanan publik seperti ilmu
administrasi negara. Alasan kedua
bahwasanya paradigma pemerintahan yang selama ini dipelajari diberbagai ruang
perkuliahan umum, lebih-lebih lembaga pemerintahan adalah paradigma melayani
pejabat sebagai atasan, suatu pengetahuan teknis Pangrehpraja yang lama
tertanam secara historis dalam sum-sum tulang paling dalam seorang pembelajar
diruang pendidikan tinggi pemerintahan. Praktis pemerintahan menjadi ilmu
melayani atasan, ilmu para pejabat, ilmu para birokrat tulen yang ketat
hirarkhi dalam birokrasi klasik dan modern.
Kondisi ini pada kenyataannya melanggengkan relasi feodalisme dimasa
lalu (patron-client) sekaligus
mengukuhkan sistem politik otoriter dimasa orde baru.
Pasca
runtuhnya orde baru dengan berbagai simbolnya, ilmu pemerintahan mengalami
pergeseran signifikan dimana ia mencapai pelepasan atau mungkin metamorfosa
yang relatif senyap dari bayang-bayang ilmu hukum, politik, bahkan ilmu
administrasi negara (Ndraha dlm Kybernorlogi, jilid 1 & 2, 2001). Sekalipun demikian, pengaruh ilmu politik
barat pada perkembangan selanjutnya terlalu kuat mempengaruhi pemerintahan
Indonesia sehingga pemerintahan hanya menjadi satu bagian dari studi dari ilmu
politik (FISIPOL) sebagaimana terlihat diberbagai universitas umumnya di
Indonesia. Oleh sebab gejala pemerintahan itu pada awalnya hanya berkutat pada
soal-soal pelayanan publik teknis diruang birokrasi negara, maka patut disadari
pula mengapa ilmu pemerintahan pada masa lalu dianggap padanan dari ilmu
administrasi negara. Ini dapat dilihat dimana fakultas ilmu-ilmu sosial dan
politik menaungi sejumlah jurusan seperti politik, administrasi negara, sosiologi
dan untuk beberapa diantaranya membuka jurusan pemerintahan. Diberbagai
universitas umum seperti UGM, Unpadj, Undip, Unhas maupun Unlam, program studi
pemerintahan berderajat sarjana (S1). Studi pemerintahan di universitas umum
semacam itu tentu saja berinduk pada ilmu politik dan ilmu administrasi
negara. Lebih tua dari itu, pemerintahan
bahkan pernah menjadi bagian dari studi ilmu hukum. Gambaran singkat itu tentu saja sedikit
berbeda dengan pengajaran pemerintahan di IIP dan STPDN (kini IPDN). Di IPDN,
pemerintahan dipelajari melalui dua level, yaitu derajat diploma dan derajat
sarjana. Yang pertama sebagai manifestasi dari pemerintahan sebagai suatu terapan
(sains terapan, SSTP), yang kedua pemerintahan sebagai ilmu murni yang mencoba
melepaskan diri dari bayang-bayang ilmu politik dan administrasi (strata1). Pada tingkat selanjutnya dikembangkan pasca
sarjana ilmu pemerintahan.
Sebagai sebuah sains, ilmu
pemerintahan dikontruksi dalam tiga nilai utama sebagai kerangka pikir dasar,
yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur kekuasaan (SKK) dan subkultur sosial
(SKS). Pengembangan nilai ekonomi
sebagai sumber daya sebuah negara dikelola dengan prinsip membeli seuntung mungkin,
menjual semurah mungkin dan mengelola sehemat mungkin. Ketika holdingisasi yang dijalankan pemerintah
dewasa ini lewat PP Nomor 72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas kita cermati dengan
baik, tampaknya separuh lebih sumber daya negara bergerak liar ketangan swasta sebagai
pemegang modal. Negara tampak merugi bukan untung dihadapan para pemegang
modal, sementara sumber daya tersebut menjadi mahal ditangan rakyat, bahkan
yang lebih menyedihkan ketika kendali keseluruhan sumber daya kehilangan
jaminan bagi pasokan masa depan generasi selanjutnya (lihat sumber daya
kelautan, pendidikan, kesehatan, kehutanan, energi, pertanian, teknologi,
industri, komunikasi dll). Pertanyaan pentingnya tampak selaras dengan
kegelisahan ilmu administrasi negara, dimanakah peran negara (baca;pemerintah)
dan kepada siapakah sumber daya itu mesti dialokasikan? Jika negara menjadi
objek materi utama yang sama untuk ilmu politik, hukum dan administrasi, maka
ilmu pemerintahan kini mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar negara dalam
kerangka pikirnya yaitu sumber daya ekonomi (swasta), sumber daya kekuasaan
(pemerintah) dan sumber daya sosial (masyarakat). Apabila peran pemerintah sebagai
satu-satunya unsur paling konkrit diantara unsur-unsur negara semakin menyusut,
ataupun dalam kasus diatas mengalami distorsi ketingkat yang paling dangkal
(keterbatasan peran), maka realitas sumber daya ekonomi dengan mudah berpindah
kesemua pihak pemegang modal termasuk pada sejumlah pengontrol modal di negara
lain (lihat aktivitas negara-negara di Asia Timur seperti China, Korea dan
Jepang yang menjadi pengontrol modal di Asia Tenggara dan negara lain pada
umumnya). Pada titik tertentu prinsip pemegang modal yang memberlakukan
persaingan (competitivness) sebagai
hukum besi pasar bebas (laises fair) pada
akhirnya berpotensi menciptakan gejala yang paling dikuatirkan yaitu seleksi
alam (natural selection), struggle for life, survival of the fittest,
conflic dan ketidakadilan (lawless). Dalam situasi semacam itu
tentu saja diperlukan peran pemerintah yang tak dapat dikecilkan maknanya.
Melebarnya potensi kearah terciptanya ketidakadilan dan ketidakdamaian tentu
saja membutuhkan intervensi dalam bentuk aturan (rules). Guna menegakkan aturan itu kita membutuhkan seperangkat
kekuasaan yang dapat dipergunakan seperlunya hingga terciptanya suatu
ketertiban umum (social order). Menurut ilmu politik agar kekuasaan tak mudah
menjadi bias maka alokasi kekuasaan yang bersifat sah itu haruslah
dibatasi. Menurut ilmu hukum pembatasan
kekuasaan dilakukan melalui undang-undang sehingga kekuasaan tak menjadi liar
sebagaimana kecemasan Hobbes, Locke dan Mostesqueue.
Upaya menetralisir keadaan dengan
penciptaan keadilan dan kedamaian oleh subkultur kekuasaan setidaknya berpijak
pada prinsip berkuasa semudah mungkin, menggunakan kekuasaan se-efektif mungkin
dan mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal mungkin. Mengamati
mekanisme sistem politik dilevel pusat maupun (lebih lagi politik lokal seperti
pemilukada), sirkulasi kekuasaan setiap periode berlangsung tak begitu mudah
selain mahal (high cost). Kekuasaan tampaknya tak efektif menyebarkan
benih-benih kesejahteraan dimana terlalu banyak program yang tak menyentuh dan
dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Kartu-kartu gratis kini berganti dengan
kenaikan diberbagai sektor ekonomi seperti pajak, BBM, listrik, STNK dan BPKB. Kekuasaan lebih efektif sebagai ancaman
melalui kontrol media sosial daripada upaya melindungi warga negara yang kritis
dimuka umum. Negara cenderung bergerak dari demokrasi ke otoritarianisme
(Huntington, Gerungan, 2016). Kekuasaan
tampak pula kurang dipertanggungjawabkan secara formal. Penggunaan dana diluar APBN dan APBD seperti
CSR untuk mengelola pemerintahan di wilayah DKI Jakarta adalah contoh nyata
dimana pemerintahan kehilangan tanggungjawab formalnya. Dalam kasus kembalinya petahana sebagai
Gubernur DKI Jakarta tanpa mengindahkan pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23/2014
Tentang Pemerintahan Daerah juga merupakan fakta dimana kekuasaan jauh dari
akuntabilitas formal. Masalah demikian dalam waktu relatif pendek dapat
menciptakan perilaku deuternement de
pouvoir, abuse of power, collution, corruption, nepotisme, penindasan dan
pembohongan (public of lie).
Potret diatas idealnya membutuhkan
upaya untuk mencegah dan mengurangi kekuasaan yang liar dan inconstitutional. Parahnya, subkultur
ekonomi (pemegang modal) kini bersetubuh terang-terangan dengan subkultur
kekuasaan (pemerintah). Semakin bisu masyarakat dalam merespon gejala diatas
semakin terperosok pula subkultur sosial dihadapan kedua subkultur yang terus
memperkuat posisinya. Jika ilmu
administrasi sebagaimana saran Riant Nugroho membutuhkan semacam kolaborasi
pemerintahan, maka dalam perspektif ilmu pemerintahan diperlukan upaya mencegah
dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan lewat kontrol sosial (social control), baik manusia sebagai
objek, sovereign maupun sebagai consumer. Kontrol sosial setidaknya dilakukan pertama,
membangun kepedulian, kesadaran, keberanian dan spirit heroism. Meredupnya peran civil society dan mahasiswa sebagai
kelas menengah melalui jatah ekonomi diberbagai perusahaan pemerintah plat
merah (BUMN) mengindikasikan lenyapnya kepedulian, kesadaran, keberanian dan
heroisme masyarakat terhadap ekses kolaborasi subkultur ekonomi dan kekuasaan
(lihat seruduk sekelompok mahasiswa dirumah mantan Presiden SBY). Kedua, perlunya memperkuat budaya
konsumeristik, dimana setiap warga negara memahami apa yang semestinya yang
menjadi hak, bagaimana memenuhinya, serta bagaimana menghentikan pelayanan
pemerintah yang buruk, sebab pada dasarnya masyarakat berhak memperoleh
pelayanan pemerintahan yang baik (Rasyid, 1999). Ketiga, diperlukan collective action sebagai upaya mengimbangi
kecendrungan membesarnya subkultur kekuasaan serta kemampuan mengembalikan
tatanan hukum dan sosial pada tempatnya.
Tanpa itu, dalam rentang tertentu dapat memicu terciptanya civil disobedience, civil distrust, anarkhi,
terrorisme, perang saudara dan pada titik ekstremitas, revolusi. Untuk mencegah
bayangan kelam semacam itu ketiga subkultur selayaknya berkembang selaras,
seimbang, serasi dan sinergik. Dalam
konteks itulah kita memerlukan pembangunan masyarakat Indonesia dan bukan
sekedar pembangunan fisik sebagai upaya memperkuat dan menyeimbangkan
kedudukannya yang paling lemah diantara ketiga subkultur dimaksud.
Referensi;
Easton,
David, 1965. Political Analysis and A
Systems Analysis of Political Life, USA
Labolo, Muhadam, 2016. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali
Press, Jakarta
Nugroho, Riant, 2017. Kirisis Administrasi Negara, Makalah.
IPDN, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2001. Kybernologi
I & 2 (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta
Poeltje, Van, 1955. Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan, Terj.
IIP Press, Jakarta
Roffiq, Muhammad, 2017. Holdingisasi BUMN. Makalah, IPDN,
Jakarta
Thanks ya gan, sangat membantu. Kunjungi juga ya kumpulan tugas akuntansi dan ekonomi
BalasHapus