Kebohongan dan Kegagalan Merawat Kepercayaan
Oleh. Muhadam Labolo
Popularitas banyak
pemimpin di dunia kini mulai memudar. Di
level antar negara kita menemukan para pemimpin di Jepang, Korea, Perancis,
Amerika bahkan Indonesia mengalami penyusutan dari kesan positif ke gambaran
sebaliknya, dikiritik, dicaci, difitnah, diadu-domba, dilecehkan bahkan
dibuihkan. Parahnya, fenomena semacam itu dinegeri kita kini melanda hingga ke
hirarkhi pemerintahan terbawah sekelas pemerintah daerah bahkan pemerintah
desa. Sebabnya tentu banyak hal, namun rasa-rasanya karena kegagalan para
pemimpin merawat kepercayaan rakyatnya. Kegagalan merawat kepercayaan rakyat
adalah gejala umum dalam rutinitas kepemimpinan politik dan pemerintahan. Pokok
masalahnya bukan disitu, perlu ditemukan ditengah kedalaman laut yang bahkan
mendekati tubir. Pertanyaan mendalamnya
adalah apakah penyebab lahirnya ketidakpercayaan rakyat selama ini? Dari sisi
metodologi, kepada siapakah mesti diperoleh jawaban atas permasalahan yang
dihadapi rakyat? Dan ditingkat pragmatisnya, bagaimanakah memperbaiki
kepercayaan rakyat ditengah dinamika dan tekanan yang terus-menerus mendera
para pemimpin pemerintahan?
Menurut Latif (2015), kebanyakan ketidakpercayaan
rakyat kepada para pemimpin disebabkan oleh menumpuknya kebohongan. Dalam
kritik yang lebih jauh atas perilaku kebohongan itu bahwa pemimpin boleh jadi
lolos dari sekali-dua berbohong dihadapan rakyat, namun mereka sewaktu-waktu
dapat tergelincir dikebohongan berikutnya. Kebohongan dapat diproduk dalam
berbagai aspek, boleh jadi melalui aktivitas politik, ekonomi maupun identitas budaya.
Dalam rupa politik kebohongan telah menjadi semacam konsumsi narkoba elit
sehari-hari. Statement para politisi dapat berubah sesuai kepentingan pada
dimensi ruang dan waktu. Kemaren berjanji mengentaskan kemiskinan nelayan, hari
ini bisa jadi justru memperkaya segelintir orang. Di lokasi panas terik berjanji
memperbaiki lapangan kerja namun ditengah kesejukan kekuasaan boleh jadi yang
diperbaiki adalah rumah pribadi dan kamar tidur keluarga masing-masing. Dalam
wajah ekonomi juga demikian, alokasi sumber daya mudah dijanjikan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat namun faktanya sebanyak-banyaknya
diperuntukkan bagi kepentingan pribadi, kelompok dan keluarga besarnya. Pada
aspek identitas budaya pun tak jauh berbeda, simbol-simbol kesatuan dan
persatuan dicerai-beraikan lewat contoh yang tak mencerminkan kesholehan pribadi, kesantunan sosial dan kerendahan
hati sebagai mahluk fana dihadapan Tuhan.
Kebohongan seringkali lahir karena bakat pribadi yang kemudian bertemu
dimuara lingkungan elit yang memiliki karakter yang tak beda tipis (beti). Apalagi
sejak dulu khazanah politik adalah kolom yang tak berwarna hitam dan putih, dia
bergantung pada pancaran kepentingan manusia. Karenanya, bila kebohongan adalah
bakat bawaan berarti pemimpin memiliki persoalan dimasa ia bertumbuh dan
berkembang dari sejak remaja hingga menjadi pemimpin. Disini keluarga sangat berperan penting
mendikte seorang calon pemimpin untuk membedakan mana kejujuran dan mana
kebohongan. Dalam hal ini kita menyadari mengapa para calon pemimpin seringkali
menghadirkan keluarga utuhnya ketika kampanye sebagaimana Obama dan Trumph didepan
basis konstituennya. Pesan moralnya
jelas, kegagalan membina keluarga sebagai pondasi dan akar tunjang pemerintahan
adalah ancaman bagi rapuhnya tonggak pemerintahan dihari-hari selanjutnya (Mc
Iver, 1953). Disisi lain, apabila kebohongan adalah produk dari tuntutan
lingkungan, maka perilaku kebohongan sesungguhnya telah menjadi semacam
penyakit epidemi dalam masyarakat hingga menjadi kebiasaan yang sulit untuk diperbaiki
kecuali memenggal satu generasi.
Lalu kepada siapakah kita mesti bertanya soal apakah
kita sebagai pemimpin terlalu jujur atau terlanjur berbohong? Hemat saya tidak
ada yang paling jujur untuk ditanyakan kecuali kepada mereka yang telah memberi
pilihan sehingga kita berkesempatan menjadi pemimpin mewakili meraka. Seperti halnya kepada siapakah kualitas
produk sabun mandi mesti kita tanyakan kecuali kepada konsumen sabun mandi itu
sendiri. Dalam hal ini jelas, jika kita memahami bahwa kepemimpinan adalah
produk dari suatu pilihan rakyat dalam sistem politik dan pemerintahan, maka tidak
ada yang layak untuk ditanyakan soal kepuasaan atas produk layanan publik
berupa barang dan jasa kecuali rakyat. Tetapi pada rakyat manakah yang mesti
kita tanya dan dengarkan? Ditengah kumpulan rakyat yang beragam itu pemimpin
selayaknya menggunakan panca indranya sebagai instrument kualitatif yang paling
meyakinkan dalam meraba, merasa, melihat, mendengar dan mencium keinginan
hakiki masyarakatnya. Kegagalan menggunakan semua itu hanya akan mendeklarasikan
gelar pemimpin tuli, buta, gendeng, muka tembok, bahkan cacat indrawi. Rakyat banyak memang tak dapat menggapai
pucuk kekuasaan untuk berbicara langsung, ia seringkali diwakili oleh anggota
parlemen secara formil atau saluran lain yang lebih jenin seperti perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pers, organisasi masyarakat dan para tokoh
elit lainnya. Karena itulah mengapa para
tokoh masyarakat itu perlu didengar, dihargai, dihormati, dirangkul serta
diajak bicara, dan bukan dimarahi, ditangkap dan ditindas dengan kata-kata yang
tak berperibahasaan. Menjauhkan diri dari elit masyarakat justru secara sadar
kita sedang mendelegitimasi kekuasaan dengan sukarela. Para elit masyarakat itu adalah simpul yang
suka tidak suka mewakili sedikit banyak aspirasi yang berkembang ditengah
masyarakat. Mereka yang diam sebagai silent
mayority seringkali diwakili tidak saja oleh segelintir orang, bahkan dalam
era dewasa ini dapat berwujud karangan bunga dan lilin. Sebab itu, semakin terdissosiasi
semakin jauh jarak antara pemimpin dan masyarakat. Selebihnya semakin besar
ketidakpercayaan semakin berat pula upaya merajut kepercayaan rakyat yang kini
menganga lebar. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa merawat kepercayaan rakyat
jauh lebih sulit ketimbang merapikan kebohongan disana-sini, sebab rakyat
dewasa ini terlalu mudah mengakses informasi atas semua konstruksi kebohongan
yang kita rakit hari demi hari.
Akhirnya, bagian terbaik yang mesti dilakukan oleh
para pemimpin pemerintahan adalah bagaimanakah strategi merawat kepercayaan
rakyat ditengah kebohongan yang terus-menerus melukai hati nurani. Tentu saja
ada banyak strategi yang dapat dilakukan, namun dalam diskusi pendek ini saya terinspirasi
pada film terbaru yang disutradarai Monty Tiwa dan Robert Ronny (2017) berjudul
“Critical Eleven”. Jika kita sepakat bahwa rumah tangga adalah
unit terkecil dari sebuah pemerintahan yang lebih kompleks, maka ibarat pesawat
yang sedang melakukan take off and landing,
terdapat sebelas menit yang paling menentukan dan karena itu mesti diperhatikan
sungguh-sungguh oleh setiap pilot/pemimpin, yaitu tiga menit pertama saat lepas
landas dan delapan menit berikutnya saat mendarat. Inilah sebelas menit yang menentukan bagi
seorang pemimpin ketika Ia membawa pergi rakyatnya kemanapun yang menjadi
tujuan pemerintahan itu. Sisanya, membangun komunikasi yang intensif dan
kejujuran pada rakyat adalah kunci paling efektif dalam merawat kepercayaan
antara pemimpin dan masyarakat. Bukankah rakyat kita adalah bangsa pemaaf dan
penganut agama yang soleh? Sayangnya, jangankan tiga tahun pertama kepemimpinan
pemerintahan, setahun atau dua tahun pertama diatas pesawat pemerintahan
seringkali mulai terasa oleng. Penumpang
tampak mulai gelisah karena tak puas atas sejumlah pelayanan. Anehnya, para pemimpin itu bukan malah
menjawab permasalahan para penumpang, yang tampak adalah kepanikan, kemarahan dan lari
dari kenyataan. Jika memberangkatkan saja para pemimpin telah gagal fokus,
apatah lagi mengantarkan rakyat pada periode berikutnya, kita semakin pesimistik.
Komentar
Posting Komentar