Dinamika Ketegangan Agama dan Negara
Oleh. Muhadam Labolo
Ketegangan
agama dan negara kini memasuki tensi yang kian mencemaskan. Agama dan negara pada dasarnya hanyalah
konsep yang abstrak. Di level praksis keduanya mewakili penganut suatu keyakinan,
dan disisi lain masyarakat sebagai satu unsur negara. Ketegangan yang saya
maksud memang tak seluruhnya, namun sebagian kecil penganut agama yang diyakini
oleh mayoritas penduduk di negara ini menginginkan perubahan mendasar lewat
tawaran ideal berdasarkan agama (Khilafah). Negara diwakili oleh personifikasi
pemerintah terpilih yang sekalipun tak mencapai suara signifikan di setiap
periode pemilu namun diterima melalui mekanisme demokrasi sebagai pemegang
otoritas yang sah dalam menjalankan roda pemerintahan. Ketegangan tercipta
dengan berbagai alasan sehingga seringkali mengubah hubungan keduanya dari
suatu relasi yang sederajat menjadi subordinat-hirarkhi. Sederajat, manakala
negara membutuhkan kelengkapan payung hukum sebagai dasar pengaturan terkait
keyakinan individu seperti dalam Islam penentuan puasa, lebaran, nikah, talak,
rujuk, haji, fatwa, dan pembagian warisan diluar hukum positif yang menjadi
landasan kolektif bernegara. Subordinat dan hirarkhi, oleh sebab bagaimanapun
hukum negara itu selayaknya dikonstruksi diatas saripati atau nilai agama.
Tanpa itu hukum negara berhadapan dengan nilai dasar agama manapun yang secara
umum sulit untuk diterima apalagi dijalankan. Disini agama menjadi sumber
nilai, bukan sekedar simbol, pernak-pernik apalagi asesoris belaka. Relasi itu
terkadang sebaliknya, negara berada diatas dan agama tunduk dalam kontrolnya.
Sejarah
ketegangan antara agama dan negara bukan baru kali ini saja. Ketika Eropa
memasuki masa renaissance (1300-1700),
polemik tersebut pernah mencapai titik paling ekstrem hingga melahirkan ide sekularisasi
negara (lihat misalnya ide Marthin Luther,1483). Urusan agama kemudian dipisahkan dari urusan negara.
Agama dianggap keyakinan hakiki sekaligus pilihan individu yang meskipun
demikian tetap dilindungi oleh negara yang lebih condong pada urusan orang banyak
(publicum). Negara dan agama
sekalipun terpisah namun tetap bersinggungan pada aras tertentu. Dalam prakteknya Gereja di Eropa bertugas
sebagai simbol pengendali keyakinan setiap individu, sementara negara bertugas
melindungi kepentingan umum dari ancaman internal dan eksternal tanpa melihat
perbedaan keyakinan. Keyakinan dalam agama bertumpu pada kuasa tertinggi
berinisial Tuhan yang diwakili secara hirarkhi lewat para Nabi, Paus, Uskup,
Kardinal hingga Pendeta sebagai perpanjangan dan pelayan Tuhan dimuka bumi.
Disisi lain keyakinan dalam negara lebih pada kepercayaan orang banyak terhadap
kepemimpinan dalam politik maupun pemerintahan. Peninggalan dari ketegangan
panjang tersebut menyisakan Vatikan sebagai simbol otoritas dalam mengendalikan
keyakinan umat Kristiani di seluruh dunia, demikian pula pengaturan terbatas
dalam urusan publik dinegara mini itu. Jika di Eropa relasi antara agama dan
negara pada akhirnya mencapai garis demarkasi yang harmonis hingga dewasa ini,
demikian pula halnya sejarah ketegangan antara agama dan negara di Timur
Tengah. Semenjak kejatuhan
Khulafaurrosyidin dengan berbagai mekanisme pemilihan, sistem dan bentuk
pemerintahan mengalami metamorfosa mulai dari corak teokrasi, aristokrasi,
monarchi hingga demokrasi. Harus pula diakui bahwa pada akhirnya praktek
tersebut berakhir dengan ide sekularisasi murni sebagaimana praktek di Turki
(1924). Sisa-sisa bentuk pemerintahan yang beragam tersebut dapat ditemukan misalnya
di Iran, Maroko, Arab Saudi, Sudan dan Mesir.
Kini, setelah berjalan puluhan abad
kemudian, aroma ketegangan antara agama dan negara seperti menampakkan diri
baik terbuka maupun laten. Pasca revolusi melati Tunisia pada Januai 2011, negara-negara
disepanjang jazirah Arab yang selama ini berdiri kokoh di atas sekularisme
dengan berbagai sistem dan corak yang dicampuradukkan mengalami kemerosotan
dramatis kearah yang bahkan sulit untuk diramalkan. Kekuatan-kekuatan politik domestik yang kini
menjalin relasi berskala international melalui teknologi informasi mendorong
terjadinya revolusi pada tidak saja corak pemerintahan, demikian pula sistem dan
dasar bernegara. Sayangnya, sejauh yang terekam hari ini, kekuatan-kekuatan
politik tersebut tidak saja gagal mendesain wajah baru yang lebih agamis
setelah menumbangkan praktek sistem sekuler seperti Mesir, namun di sejumlah
negara justru melahirkan ketegangan baru berbentuk perang sipil yang kian
mencekam sebagaimana Suriah. Lebih dari itu perang sipil yang terkesan terawat
dan tumbuh dimana-mana menimbulkan kecurigaan antar negara hingga mengorbankan
negara yang dianggap paling bertanggungjawab mendanai konflik horisontal berbau
teror dan agama laiknya Qatar.
Jika
di dataran Timur Tengah ketegangan agama dan negara mengalami manifestasi
konkrit berjubah aneka alasan ketidakadilan dan kezholiman rezim, kini di
Indonesia ketegangan tersebut mulai muncul dalam sifatnya yang lebih lunak
namun masif, terstruktur dan terencana. Ketegangan yang lebih lunak itu
setidaknya tampak melalui pemboncengan pada isu-isu kontemporer ketika
berhadapan dengan rezim berkuasa tanpa harus bersikap vis a vis lewat ide yang sesungguhnya (Khilafah). Melalui pelibatan
pada pokok masalah dalam negeri seperti isu politik, ekonomi dan sosial budaya,
kekuatan-kekuaan politik tersebut tampak ideal sebagaimana isu yang
diartikulasikan oleh kekuatan politik lain pada umumnya. Ini tentu relatif
memperoleh dukungan dan dianggap wajar oleh publik sekalipun pemerintah
berusaha memadamkan ghiroh pada
kesempatan pertama (upaya pembubaran HTI). Menariknya, belajar dari pengalaman
Mesir atas kejatuhan Hoesni Mubarak maupun kemenangan partai-partai minoritas
di Malaysia dalam pemilu raya dibeberapa wilayah strategis, tampaknya media sosial
menjadi instrument kunci dalam proses pencucian otak, penanaman ide, peluruhan
dosa, serta pembangunan citra kearah terbangunnya dukungan massa yang lebih
kuat dari hari kehari. Ditengah bangkitnya kekuatan politik yang terkesan lunak
dan ogah mengubah diri menjadi partai politik itu, kepemimpinan pemerintahan
pada hampir semua cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif)
mengalami pelemahan yang kian memprihatinkan. Faktanya cukup sulit bagi kita menemukan
para pekerja pemerintahan diketiga cabang kekuasaan tersebut bebas dari polusi korupsi
sebagai penyakit akut dan musuh bebuyutan masyarakat. Malangnya lagi kesadaran
mendadak pemerintah terhadap bahaya laten seringkali direspon lewat kebijakan
represif melalui penangkapan tokoh-tokoh yang menjadi simbol agama serta
keberpihakan yang terang-benderang pada kelompok kapitalis dan para penjahat berkelas.
Kenyataan tersebut praktis memicu tumbuhnya kesumat kelompok mayoritas yang
melembaga melalui simbol dan kekuatan politik masyarakat bernuansa agama. Indikasinya
jelas, pertarungan politik dalam pemilukada di Ibukota Negara (2017) melahirkan
pesan yang benderang kepada pemerintah.
Memuncaknya ketegangan antara agama
dan negara pada akhirnya mendorong upaya untuk menemukan sumber masalahnya. Sebagian kecil yang berpikir radikal namun alergi
menyalahkan penguasa secara terang-terangan mencoba mengalihkan sumber masalah
pada idiologi sebagai akar dari kesalahan mengatur negara. Mereka percaya bahwa
idiologi dan sistem yang baik akan memaksa orang buruk menjadi baik, karena
itulah sistemlah yang mesti direvolusi. Dan salah satu tawarannya adalah ide
dan sistem agama seperti khilafah. Terlepas apakah hal itu merupakan gagasan utopis
atau bahkan fakta sejarah yang pernah ada pada lebih 14 abad yang lalu maupun semangat
merekonstruksinya yang tampak seperti merangkai potongan tulang dinosaurus di sebuah
museum modern, namun ini tentu satu alternatif yang mesti diperbincangkan suka
atau tidak. Konsekuensi lebih jauh tentu akan berujung pada perubahan idiologi
yang selama ini menjadi konsensus sekaligus heritage
bernegara. Sementara sebagian besar masyarakat kelas bawah yang rajin menikmati
kegagalan pemerintah dalam memperlihatkan fungsi-fungsi elementernya ditambah sokongan
kelompok masyarakat rasional yang lebih mencari titik-temu bagi upaya perawatan
Ke-Indonesiaan dalam jangka panjang sangat yakin bahwa sumber dari masalah hari
ini adalah lemahnya kepemimpinan politik dan pemerintahan. Dengan keyakinan
itulah maka diperlukan suatu kesabaran lewat jalan konstitusional untuk
mensubstitusi para pekerja pemerintahan sekaligus sistem pada tingkat praktikum
yang berpotensi menciptakan ketidakadilan dimana-mana. Syaratnya tanpa harus mengubah
idiologi negara, sebab resikonya terlalu mahal. Sekalipun kelompok pertama kecil
sebagai ancaman bagi kejatuhan idiologi (ideological
breakdown) dibanding kelompok kedua yang lebih menekankan kegagalan
pemerintah dalam memberikan pelayanan publik (malfunction services) namun perlu diingat bahwa kedua variabel itu
dalam sejarah selalu berjalan beriringan ketika mengakhiri jalan panjang sebuah
negara besar seperti Romawi, Persia, Mongolia dan Uni Soviet. Bagi saya, sejauh
pemerintah tetap mampu menjaga kepercayaan rakyat melalui fungsi-fungsi
dasarnya, Ia dengan sendirinya tak perlu repot merapikan diri dalam mengutak-atik
idiologi sebagai konsensus bersama. Sebab rakyat kebanyakan tak pernah mau tau
dengan soal idiologi sepanjang perutnya dalam keadaan kenyang. Mereka hanya akan menggerogoti idiologi bila
dalam realitasnya tak pernah bisa menemukan wujud konkrit dari alas negara yang
dianggap sacral tersebut. Jadi, sekalipun ribuan kali kita mengatakan saya
adalah idiologi (baca;Pancasila misalnya), tetap saja Ia hanya seuntaian slogan
yang nihil alias nol koma kosong. Disinilah
tawaran ide dan sistem lain mencoba melakukan koreksi atau sekaligus
menggantinya dengan alternatif yang belum tentu pula lebih kompatibel dengan realitas
sosiologis dan historis suatu negara.
Komentar
Posting Komentar