Menata Ormas di Indonesia, Sebuah Catatan Kaki
Oleh. Muhadam
Labolo
Pasca
ketegangan pemerintah dengan salah satu Ormas yang dinilai berpandangan teokratik nihil Pancasila, kini muncul kesadaran tentang bagaimana menata kembali aktivitas
bertumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat (Ormas). Ormas secara
sosiologis adalah bibit bagi persemaian ikatan sosial dari sekedar urusan rumah
tangga sebagai mikroskopis negara. Disadari betul bahwa pergerakan ormas secara
historis seperti Boedi Oetomo yang awalnya bercorak etnik (1908) hingga
terbentuknya organisasi beraksentuasi politik seperti PNI (1927) membawa
perubahan mendasar hingga membuahkan Indonesia sebagai sebuah negara yang
kompleks. Diluar alasan filosofistik
yang menjadi dasar bagi keinginan alamiah setiap individu untuk mengekspresikan
perasaan komunalnya melalui organisasi sosial, secara politik ormas dalam
bentuk apapun tidak lain adalah sarana bagi pencapaian kepentingan individu
maupun sosial lewat ruang publik. Sekalipun demikian, ruang publik bukankah
wadah yang berkembang tanpa batas. Sebagaimana
luas otonomi individu (privasi),
daerah (autonomy) maupun negara (dignity), ruang publik tetap saja
dibatasi oleh sistem yang lebih luas dan berlapis-lapis. Negaralah yang
membatasinya lewat instrumen hukumnya. Keseluruhan sistem itu tidak lain untuk
membatasi agar kebebasan setiap individu, kelompok, daerah maupun negara dapat
dipertanggungjawabkan dalam sistem pergaulan semesta berkehidupan sosial maupun
berpemerintahan.
Refleksi
dari harapan individu maupun masyarakat itu kemudian dikelola bersama lewat
sejumlah peran yang menjadi konsensus kolegial. Meminjam konsep peran
sosiologis Soekanto (2016), peran dan kedudukan seseorang maupun institusi
semacam Ormas dalam lingkungan sosial dapat dimainkan baik secara inisiatif,
strategis maupun normatif. Peran inisiatif berkenaan dengan kontribusi seseorang
maupun Ormas diluar kewajiban normatif yang ditentukan oleh sistem dalam ruang
sosial berpemerintahan. Pada bagian lain peran seseorang maupun Ormas secara
strategis ditentukan oleh kemampuan memobilisasi dan menggerakkan berbagai
sumber daya menjadi kekuatan kolektif bagi upaya mencapai tujuan bernegara.
Sementara secara normatif peran seseorang dan Ormas dilakukan dengan merujuk
pada keseluruhan aturan main dalam sistem sosial maupun sistem pemerintahan.
Dalam kaitan itulah seluruh aktivitas Ormas wajib bertumbuh dan berkembang
menurut mekanisme baku yang telah ditetapkan negara. Tak dapat disangkal bahwa
sebagaimana fungsi, tugas, hak dan kewajiban negara melalui konstitusi dasarnya,
berhak memfasilitasi aktivitas ormas sebagai refleksi atas keinginan dasar untuk
berkumpul dan berserikat mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan. Pada
kewajiban konstitusional inilah sehingga seluruh hak warga negara yang
berkaitan dengan upaya mengekspresikan keinginan berkumpul dan berserikat tadi difasilitasi
untuk memberi kontribusi seluas-luasnya bagi kemajuan kolektif. Tentu saja
semua upaya yang bermaksud menyegerakan hak untuk berkumpul dan berserikat
diluar mekanisme baku dalam suatu negara dapat dianggap kontra produktif
terhadap peran normatif diatas.
Dalam
paradigma demokrasi dan pemerintahan yang baik (good governance), relasi civil
society sebagai bagian dari subkultur sosial dalam konteks tertentu setaraf
dengan pemerintah sebagai bagian dari subkultur kekuasaan. Relasi dinamis itu
sebagaimana dikatakan Ndraha (2001) dapat berbentuk hirarkhi dan fungsional
bergantung konteks yang dihadapi. Dalam upaya mencapai tujuan bernegara
misalnya, relasi antara pemerintah dan civil
society secara fungsional sederajat, sama-sama berupaya dan bahu-membahu
menggapai harapan ideal pemerintahan yang adil dan makmur berdasarkan
sendi-sendi pokok bernegara. Tentu saja akan berbeda dalam hal negara bertindak
sebagai pengendali terhadap semua aktivitas sosial di ruang publik yang ramai
ekspresi, sesak tuntutan bahkan rentan gesekan. Dalam konteks semacam inilah
negara suka atau tidak, sekali dua atau bahkan seterusnya mesti menggunakan
segenap sumber daya yang dimilikinya dengan tujuan menciptakan stabilitas
sosial yang menjadi tujuan bersama. Bahwa kemudian upaya pemerintah dimaksud
menimbulkan resiko tertentu dalam pandangan publik, itu lain soal, namun
tindakan pemerintah dengan maksud mengupayakan terciptanya perasaan aman yang mencukupi
pada ukuran tertentu atau keinginan mencegah
perluasan pengaruh Ormas yang dapat mengurangi kualitas kenyamanan kolektif
dalam jangka panjang adalah satu alasan yang relatif dapat diterima. Resiko
politik terburuk bagi pemerintah sudah dapat dikalkulasi, yaitu munculnya distrust sebagai kesan yang lahir akibat
mungkin saja dianggap sewenang-wenang, dzolim, dan otoriter. Bagi Ormas yang merasa dirugikan tentu saja dapat
menggunakan berbagai saluran yang tersedia sebagai media dalam upaya mencapai
keadilan sosial sebagaimana cita sebuah negara. Jadi, dalam sebuah negara
demokrasi yang menyediakan berbagai saluran bagi pencapaian keadilan dan
kesejahteraan sosial itu, pemerintah maupun Ormas tidak saja menjalankan
kewajiban masing-masing sebagaimana peran normatif yang ditentukan dalam
undang-undang, pun berhak secara bergantian atau bersama-sama menggunakan
berbagai instrument hukum sebagai wadah bersama dalam memperjelas hak,
kebenaran dan keadilan dalam perspektif masing-masing. Sekalipun tujuan dan
orientasi keduanya relatif sama dalam kerangka bernegara, namun perbedaan cara
pandang dan eksistensi diri terhadap hak misalnya seringkali menimbulkan gap
yang lebar, lebih lagi perbedaan pandang terhadap tafsir kebenaran, termasuk perselisihan
atas rasa keadilan yang seringkali menyayat kalbu. Dengan demikian, andaikan pemerintah
dengan percaya diri mengeluarkan Perpu atau instrument hukum lain sebagai
alasan “kegentingan yang memaksa”, tentu saja Ormas dapat menguji alasan
tersebut melalui institusi peradilan yang berkenaan dengan itu (Mahkamah
Konstitusi). Ormas dapat menguji tidak
saja pada aspek materinya, demikian pula prosedur formalnya. Pada sejumlah
kasus bukankah pemerintah ditemukan kalah dalam soal rujukan materinya yang
dianggap bertentangan dengan tujuan kolektif dalam undang-undang dasar? Lebih dari itu pula dalam aneka proses
pra-peradilan pemerintah seringkali tersingkir akibat kelalaian prosedur
formalistik yang dinilai hakim sebagai tindakan terburu-buru bahkan sewenang-wenang
(abuse of power). Melalui berbagai prosedur demokrasi yang
tersedia gratis itu, tampak bahwa relasi pemerintah dan Ormas terlihat tidak
saja bersifat hirarkhi, demikian pula setaraf dan fungsional dalam konteks
tertentu. Bandingkan dengan masa orde
baru yang sentralistik-otoritarian, dimana Ormas sulit mensejajarkan diri
apalagi membayangkan memperoleh keadilan di depan pengadilan yang fairness. Lucunya, Ormas yang terkadang
ekstrem menuduh pemerintah sebagai sumber masalah dan anti demokrasi itu,
dengan sadar atau tidak telah menggunakan mekanisme demokrasi sebagai dasar
memperoleh keadilan dimuka hukum dan pemerintahan. Kita tidak dapat
membayangkan bagaimana bila Ormas semacam itu terpilih sebagai rezim “khalifah”
pertama misalnya, apakah mungkin tersedia kanalisasi bagi Ormas untuk
memperoleh keadilan setaraf seperti yang telah mereka tempuh? Mungkin ada,
tetapi dalam contoh diberbagai negara yang bercorak teokrasi campuran monarkhi
dan sistem parlementaria, tetap saja peran individu maupun Ormas terlalu sempit
dibuka. Gejala semacam itu dapat
dianggap sebagai pembangkangan sipil atau penentangan terhadap sabda seorang
khalifah. Konsekuensinya bukan saja dibubarkan dengan maklumat atau perpu
seorang khalifah, boleh jadi dieksekusi sebagai ancaman atas kehendak Tuhan dan
Nabi yang diwakili seorang khalifah
dimuka bumi.
Bagi kita,
upaya pemerintah “menatakelola Ormas” melalui hak prerogratif hukumnya dalam
jangka pendek mungkin dapat ditolerir dengan alasan membatasi perluasan doktrin
yang dapat melonggarkan konsensus atas slogan “harga mati” menjadi “harga
hidup”. Dialektika kearah tersebut bukan saja dianggap kurang produktif
menguatkan cita Indonesia kemasa depan, juga dapat menggerogoti keyakinan generasi medsos mania atas konsensus historis
bernegara yang dianggap tak pernah mencapai kata khatam. Melalui pesan pendek dan doktrin Ormas yang dilakukan
secara laten dan berkesinambungan bukan mustahil kepercayaan publik pada apapun
sejarah serta konsensus masa lalu yang telah dengan susah payah dirawat dapat meleleh
dan mencair perlahan-lahan. Apalagi Ormas semacam itu ditingkat praktikum
konsisten tak memberi kontribusi apapun dalam hal partisipasi politik nyata di setiap
kali pesta demokrasi (golput). Fokus dialektika mereka lebih intensif menguliti
seluruh kebijakan pemerintah sebagai produk dari sebuah sistem yang kufur dan
karenanya patut disubstitusi. Ditengah keterjepitan akibat tekanan pemerintah
itu, Ormas semacam ini biasanya mencoba mengubah haluan dengan cara meloncat
dan membonceng pada isu-isu yang menjadi common
sense Ormas pada umumnya. Sebuah strategis menyelinap ditengah keramaian
Ormas lain agar tak didakwa satu-satunya yang paling bersalah. Dengan begitu
akan mengubah citra dari negatif ke positif karena alasan disakiti, mengubah dukungan
politik dari dilemahkan menjadi dikuatkan, bahkan terdorong untuk segera
beradaptasi dengan Ormas lain yang selama ini sulit dan berjarak lebar saat
bersalaman apalagi di Imami di sebuah Masjid. Kohesivitas ini rasanya bagus
ditengah kritik sejauh ini bahwa Ormas Islam sulit untuk bersatu. Mudah-mudahan
langgeng, bukan semata-mata bentuk pelarian sesaat akibat dampak Perpu
misalnya. Pemandangan selama ini menunjukkan bahwa dalam keadaan abnormal Ormas
mudah bersatu karena lahirnya musuh bersama (common
enemy), entah itu pemerintah maupun kekuatan sosial politik yang berbeda
idiologi seperti kaum sosialis, komunis dan kapitalis. Sebaliknya, dalam
suasana normal Ormas biasanya kembali ke habit masing-masing dengan fakta angka
perceraian yang sulit untuk dirujuk entah karena beda ashab, madzhab, kitab,
imam maupun asesoris qunut dan jumlah roka’at yang tak substansial namun terus membuka
potensi perpecahan akut di setiap generasi sebagaimana contoh Syiah-Sunni atau
kaum puritan dengan kelompok Islam traditional.
Akhirnya,
dalam kecemasan atas masa depan Ke-Indonesiaan itulah kiranya pemerintah
sebagai sentral pengendali tidaklah terlalu royal menggunakan pendekatan hukum
yang represif, instan dan penuh resiko sebagaimana Dekrit maupun Perpu. Lewat
desain program dan kegiatan tentang bagaimana membangun kesadaran berbangsa dan
bernegara (civic education) dalam
jangka panjang, pemerintah semestinya telah memiliki strategi yang efektif
dimana Ormas menjadi ujung tombak sekaligus mitra kerja abadi bagi upaya
membangun kesadaran tentang sejarah dan masa depan pada setiap generasi untuk menjadi
Indonesia yang sesungguhnya (be made
Indonesia). Kerja-kerja semacam inilah yang dinanti masyarakat melalui UKP
Pancasila bentukan presiden tempo hari agar upaya penanaman nilai-nilai
kebangsaan melalui empat pilar menjadi kesadaran kolektif seperti P4 dimasa
orde baru. Tanpa itu, kita hanya sedang menunggu tibanya hari akhir, yaitu
keruntuhan sebuah negara bangsa akibat distorsi sejarah yang melenyapkan
perasaan senasib sepenanggungan, serta raibnya keyakinan akan masa depan untuk
terus berkumpul dan berserikat membicarakan pencapaian kesejahteraan sebagai
tujuan bersama.
Thanks ya gan, sangat membantu. Kunjungi juga ya kumpulan tugas akuntansi dan ekonomi
BalasHapus