Pertimbangan Akademik Desain Kebijakan
Oleh. Muhadam Labolo
Dalam proses penyusunan kebijakan, pertimbangan akademiknya
selalu saja berhubungan dengan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Ketiga
pertimbangan itu menyangkut alasan sebenar-benarnya (hakiki), realitas sosio-cultural, serta peraturan
perundang-undangan yang sedang berlangsung sebagai acuan tertib sosial dalam
suatu masyarakat. Oleh sebab pertimbangan filosofis membutuhkan nalar yang
tinggi untuk menemu-kenali motivasi yang sesungguhnya sehingga suatu kebijakan
benar-benar dibutuhkan, maka diperlukan sejumlah pemikir idealis untuk
mengkonstruksi alasan logis dan rasional agar kebijakan tersebut benar-benar
dapat diterima oleh akal sehat. Semakin masuk di akal semakin jelas bahwa
pertimbangan filosofis menemukan eksistensinya sebagai the mother of science sehingga benar-benar mampu menemukan nilai
kebenaran relatifnya (philia, philein,
cinta kebenaran/kebijaksanaan). Untuk alasan itu lazim dicari sejumlah orang
yang berpikir idealis, habitnya biasanya di perguruan tinggi atau
dikampus-kampus ternama. Merekalah dosen yang sehari-hari belajar dan
mendiskusikan segala sesuatu yang bersifat ideal. Ini tidak berarti bahwa dalam
ruang publik yang maha luas itu tidak ada pemikir idealis. Kelompok yang
berpikir ideal semacam itu tentu saja diharapkan mampu mendesain sebuah
kebijakan yang ideal lewat norma yang disusun sistemik untuk mengatur orang
banyak. Dengan begitu maka tersusunlah sebuah norma ideal oleh mereka yang
berpikir ideal serta berasal dari institusi ideal pula. Bila penyusun
sebuah kebijakan adalah kumpulan orang-orang pragmatis semata, maka kebijakan
hanya berisi daftar selera sehari-hari yang kemungkinan dibungkus balutan kebijakan jangka pendek serta menguntungkan kelompok kecil yang
memiliki akses luas terhadap sumber daya. Itulah mengapa sebuah kebijakan mesti didesain
oleh sekelompok tim pemikir idealis sekaligus mampu disimulasikan secara
aplikatif. Mereka mesti memiliki visi
jangka panjang selain kearifan yang tinggi untuk kepentingan orang banyak. Demikianlah mengapa Socrates memaklumkan
prasyarat bagi penyusun sebuah kebijakan itu idealnya adalah orang-orang
terhormat (honorable). Ia
membayangkan bahwa isi parlemen itu bukanlah sekumpulan orang pragmatis yang
hanya mementingkan diri dan kelompoknya sebagaimana terlihat jamak sehari-hari,
tetapi sekelompok orang yang benar-benar memiliki kemampuan berpikir filosofis
guna memperbincangkan kepentingan orang banyak (common goods) serta berusaha mengartikulasikannya dalam bentuk
kebijakan yang mengikat seperti undang-undang.
Pertimbangan kedua adalah aspek sosiologis. Pertimbangan
ini dibutuhkan dengan alasan bahwa sebuah kebijakan pada akhirnya dibuat untuk kepentingan
orang banyak. Orang banyak hidup dalam
sistem sosial yang rumit (complicated).
Oleh sebab itu ruang publik bukanlah ruang hampa namun sebuah ruang yang
hidup (lebensraum), maka apapun
kebijakan yang dikonstruksi haruslah kompatibel dengan kepentingan sistem
sosial dimana kebijakan tersebut akan diterapkan. Pengaturan diruang publik sudah
pasti akan menimbulkan gesekan yang sadar atau tidak justru dapat menimbulkan
masalah baru. Pertimbangan ini tentu saja membutuhkan rekaman realitas
masyarakat yang akan menjadi objek sekaligus subjek dari sebuah kebijakan. Berbagai konflik seringkali terjadi karena nihilnya pertimbangan
sosiologis. Interaksi masyarakat dalam ruang publik cenderung menimbulkan gesekan
sehingga membutuhkan pengaturan agar tetap serasi dan harmonis dalam realitas
perbedaan. Fakta itu menjadi bahan bagi upaya mengkonstruksi kebijakan
sehingga mengurangi implikasi negatif dan daya tolak yang cenderung tercipta. Implikasi negatif dari suatu kebijakan tidak
mungkin dapat dihindari sebab tidak ada satupun kebijakan yang benar-benar
mampu membahagiakan semua orang. Apalagi jika sebuah kebijakan didesain untuk
mengatur sekelompok orang dalam bidang tertentu seperti masyarakat petani, nelayan,
tukang ojek atau profesi lain. Sudah pasti akan timbul dampak yang bersentuhan
dengan kepentingan kelompok lain. Ruang yang kompleks semacam itu tentu saja
harus diatur secara hati-hati. Kepentingan kelompok tertentu dapat saja
mengganggu atau bahkan menopang kepentingan kelompok lain. Biasanya sebuah
kebijakan menciptakan simbiosis mutualisme dan parasistisme. Terlepas dari itu,
sebaik-baik sebuah kebijakan ia mampu menciptakan kebahagiaan untuk orang
banyak, sesedikit mungkin melahirkan dampak negatif, atau setidaknya kelompok
yang diuntungkan lebih banyak daripada yang dirugikan. Atau dalam pilihan kebijakan paling ekstrem,
sekalipun yang diuntungkan sedikit namun setidak-tidaknya dalam jumlah yang sama
hanya sedikit orang atau bahkan tidak ada seorang pun yang dirugikan oleh
kebijakan dimaksud. Menimbang realitas sosial yang beragam dan dinamis itu maka
dibutuhkan upaya untuk mengadaptasi nilai-nilai universal sebagai prinsip
pengikat selain kemampuan desainer kebijakan untuk mensimulasikan secara jelas
ditingkat praktikum agar setiap kebijakan benar-benar kompatibel dengan
kebutuhan masyarakat. Semakin besar dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan semakin besar pula peluang terbukanya daya tolak masyarakat, apalagi
jika sebuah kebijakan dengan sendirinya menciptakan beban maupun pembatasan
pada sejumlah aktivitas.
Pertimbangan terakhir adalah aspek yuridis. Aspek ini
dianggap penting oleh sebab pertimbangan yuridis berkenaan dengan sejumlah
aturan yang melandasi interaksi dan dinamika dalam masyarakat yang akan diatur.
Tidak sedikit aturan ditingkat praktek mengalami masalah oleh sebab
bertentangan dengan aturan lain, bahkan bertentangan dengan realitas (contrary to fact). Landasan yuridis
adalah seperangkat hukum positif yang seringkali dijadikan rujukan dalam
aktivitas sehari-hari. Berbagai kemungkinan dapat terjadi diruang publik,
misalnya kekosongan aturan, tumpang tindih aturan, atau bahkan kegagalan aturan
menjangkau masalah dalam masyarakat yang berjalan cepat. Kekosongan aturan dapat segera diisi dengan
merujuk pada aturan secara hirarkhis. Bertumpuknya aturan dapat diuji atau
dikesampingkan menurut prinsip-prinsip hukum itu sendiri. Sementara
ketidakmampuan hukum menjangkau persoalan-persoalan yang muncul secara mendadak
tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja. Disini dibutuhkan diskresi yang
memungkinkan setiap pejabat publik dapat menyelesaikan masalah sehingga
dinamika dalam masyarakat tetap berlangsung tanpa argumentasi ketiadaan hukum
atau ketidakmampuan hukum menyentuh masalah dalam masyarakat. Alasan yuridis
adalah konsensus politik yang didokumentasikan sedemikian rupa sehingga dengan
sendirinya mengikat seluruh objek dan subjek hukum dalam ruang publik. Alasan yuridis menjadi dasar bagi adanya
kepastian hukum dalam interaksi sosial ditengah masyarakat. Semua konsekuensi
yang timbul akibat perbuatan hukum baik individu maupun kelompok dalam
masyarakat menjadi tanggungjawab baik mereka yang diperintah maupun mereka yang
memerintah. Dalam konteks ini sebuah kebijakan
seringkali memuat konten tentang jenis urusan, wewenang dan konsekuensi yang
timbul hingga melahirkan sanksi (punishment). Sebuah kebijakan yang nihil konsekuensi tidak
lebih dari sebuah informasi biasa yang dengan mudah dilanggar oleh masyarakat. Kepatuhan yang tinggi pada sebuah kebijakan tidak
bergantung pada kekuatan aturan itu sendiri, namun lebih pada kemampuan para
penegak hukumnya dilapangan. Bila tingkat kesadaran masyarakat semakin tinggi
maka upaya penegakan hukum cenderung semakin rendah. Di Belanda, sejumlah
penjara ditutup akibat rendahnya angka kriminalitas. Hal ini tentu saja
berimplikasi luas pada profesi Polisi, Jaksa, Hakim, Sipir Penjara dan petugas
konseling dinegara tersebut. Ini sesuai dengan logika pada fenomena agama, bahwa
tidak ada yang paling efektif mendorong kepatuhan seorang penganut agama
mengunjungi tempat ibadah kecuali rasa takut yang mendalam akan konsekuensi
yang dikabarkan Tuhan diakhirat nanti seperti adanya neraka yang penuh siksaan
daripada apresiasi yang justru dapat membahagiakan merka semacam surga.
Thanks ya gan, sangat membantu. Kunjungi juga ya kumpulan tugas akuntansi dan ekonomi
BalasHapus