Kritik dan Revisi Terhadap Kebijakan Pemerintahan Daerah
Lebih
dua tahun melewati masa tenggang waktu
berlakunya Undang-Undang No.23/2014 Tentang Pemerintahan daerah (Okt, 2016),
persoalan visi pemerintahan daerah kian tak jelas arahnya.
Alih-alih menyelesaikan masalah yang menjadi
salah satu tujuan revisi undang-undang tersebut, pemerintahan daerah semakin
terkungkung dalam ketidakberdayaan menjalankan otonomi daerah yang menjadi
spirit desentralisasi sejak awal. Tiga alasan utama revisi Undang-Undang 32/2004
yang awalnya sarat dengan kandungan dan semangat otonomi daerah sbagai big-bang dan rentang panjang dari Undang-Undang
22/1999, yaitu pertama, banyaknya pasal yang bertentangan dengan amanah
konstitusi sehingga diperlukan revisi terbatas agar kebijakan tersebut tetap
sinkron. Kedua, diperlukan pemisahan pengaturan yang lebih independen atas
rezim pemilukada dan desa dari rezim pemerintahan daerah. Ketiga, perlunya
efisiensi agar pemerintahan daerah dapat menjalankan otonomi untuk kepentingan
publik. Bergerak
dari setidaknya tiga tujuan tersebut
kita membayangkan bahwa undang-undang
pemerintahan daerah akan semakin simpel dalam hal pengaturan tentang inti
urusan pemerintahan daerah itu sendiri, yaitu terdistribusinya
urusan pemerintahan baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Sayangnya, Undang-Undang
23/2014 itu semakin luas mengatur bahkan yang idealnya tidak menjadi urusan rezim tersebut. Dua tujuan diatas mungkn dengan
mudah terjawab yaitu penyesuaian sejumlah pasal yang dianulir oleh MK serta
pemisahan pengaturan pemilukada dan desa. Namun tujuan ketiga yang berimplikasi
langsung pada pengelolaan pemerintahan daerah tampaknya jauh
panggang dari api. Dengan menggunakan empat prinsip utama dlm Undang-Undang 23/2014
yaitu eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan strategis nasional,
implementasi atas undang-undang pemerintahan daerah ini justru membunuh dirinya
sendiri (suciade). Prinsip tersebut tidak
saja ditabrak namun seperti terlempar jauh dari pondasi yang selayaknya
menjadi sandaran
pokok. Pertama, eksternalitas.
Dampak suatu urusan kini menjadi dilema bagi bupati/walikota. Melimpahnya
urusan kab/kota ke provinsi dengan tesis jamak dan pragmatis bhw "provinsi
punya uang banyak tapi tak punya kerjaan" kini justru menciptakan implikasi negatif yang mengkuatirkan. Salah satu contoh daerah yang dirugikan misalnya, Kabupaten
Sarmi Provinsi
Papua yang merasa gelisah dan tak dapat
berbuat banyak akibat tekanan publik dan KPK dimana pembalakan hutan yang kini
menjadi salah satu urusan provinsi meninggalkan problem kerusakan hutan (deforestasi), hancurnya
infrastruktur (jalan), migrasi
flora dan fauna, hilangnya
pekerjaan masyarakat lokal, serta menipisnya kebutuhan kayu
domestik karena di ekspor ke luar negeri. Itu baru satu contoh keluhan dari satu urusan dan pada
satu daerah. Kedua, prinsip akuntabilitas, dimana satu
urusan yang lebih dekat dengan level pemerintah tertentu menjadi tanggungjawabnya. Sulit menerapkan
jika urusan yang selayaknya dikelola di depan
mata justru menjadi urusan dan tanggungjawab pemerintah
provinsi. Bisa dibayangkan bila visi dan misi seorang kandidat kepala daerah yang
ingin mewujudkan pengelolaan pendidikan menengah (SMU dan SMK) diwilayahnya secara berkualitas terganjal hanya karena bukan menjadi kewenangannya. Padahal urusan itu nyata-nyata berada
di depan mata
(menjauhi prinsip nyata dan bertanggungjawab). Belum lagi jika seorang kepala daerah ingin mewujudkan
kawasan pariwisata yang kompetitif, boleh jadi kandas hanya karena
regulasi teknis pembentukan organisasi pemerintahan daerah seperti PP 18/2017 jelas-jelas membatasi lewat ukuran kuantitatif. Faktanya, di sejumlah
besar daerah seperti Maluku Tenggara terjadi gejala obesitas organisasi pemerintah daerah. SKPD semacam dinas tenaga kerja dan badan balitbang tampak seperti
onggokan parasit yang menyedot anggaran dan energi birokrat menjadi sia-sia. Ketiga, prinsip efisiensi. Implikasi atas
kegagalan prinsip kedua pada
dasarnya selain melahirkan pembengkakan pada struktur OPD kabupaten/kota, secara masif juga
membebani pembentukan struktur baru di level provinsi. Logika waras seharusnya menggambarkan bhw ketika urusan di kab/kota menguap ke
provinsi maka OPD di kab/kota mengecil dan OPD di provinsi membesar. Artinya
terjadi efisiensi di kab/kota dan inefisiensi di provinsi. Faktanya benar-benar
diluar akal sehat, OPD di kab/kota maupun provinsi bersamaan mengalami obesitas
dan inefisiensi di
luar prediksi desainer kebijakan. Provinsi yang katanya "punya uang banyak
tanpa pekerjaan yang jelas" kini mengalami defisit dan segara mencari alternatif baru sebagai sumber pembiayaan bagi beban urusan yang melimpah ruah
dari kab/kota. Prinsip terakhir adalah
strategis nasional. Prinsip ini ibarat blanko kosong sebab tak ada satupun pemaknaan yang jernih dalam kebijakan tersebut sehingga pemerintahan daerah mengalami gagal paham mana yang mesti disentuh dan mana yang
tak boleh disentuh dengan alasan kebijakan strategis nasional. Kondisi tersebut
menjadi alasan pembenaran bagi apapun yang
diinginkan pusat di daerah terkait kepentingan tertentu melalui pasal strategis nasional. Malangnya, ketika urusan KTP
didefenisikan sebagai urusan dalam lingkup kebijakan strategis nasional itu, maka seluruh organisasi dan perangkat daerahnya mulai
dari eselon terendah hingga kepala dinasnya wajib mendapat persetujuan dan
rekomendasi pusat. Padahal jelas organisasi dan aparatnya
sesuai undang-undang pemerintahan daerah telah menjadi kewenangan dan pembinaan pemerintah daerah. Bahkan
sejumlah pengaturan lex spesialis seprti Undang-Undang ASN dikesampingkan hanya
untuk melaksanakan satu pasal dalam Undang-Undang Pemerintahan daerah yang
bersifat generalis seperti kompetensi pemerintahan. Konsekuensi dari semua itu adalah
ancaman melalui sistem pengendalian
keuangan yang sengaja di desain sedemikian rupa. Kesimpulan dari catatan kritis ini adalah pertama, bahwa
Undang-Undang 23/2014 tentang pemerintahan daerah gagal menjawab tujuannya melalui
prinsip-prinsip yang menjadi dasar pembentukannya. Kedua, menguatkan kembali apa yang disampaikan saksi
ahli Prof. Ryaas Rasyid
di MK, undang-undang ini
semakin menjauhi esensi, makna, historisitas serta tujuan desentralisasi itu
sendiri, atau praktis dapat dikatakan terjadi
amputasi besar-besaran atas otonomi daerah yang terlihat
dari gejala resentralisasi. Ketiga, undang-undang ini tampak kehilangan
semangat politik hukum desentralisasi. Yang tampak adalah semangat administrasi namun kontradiktif dengan prinsip-prinsipnya
sendiri. Keempat, pentingnya merevisi Undang-Undang 23/2014 untuk mengembalikan
semangat politik otonomi daerah. Tanpa itu nasib pemerintahan daerah akan
semakin terpuruk dan berdampak luas termasuk munculnya rasa frustasi dan
ketidakpuasan. Akhirnya, dalam jangka panjang dapat memicu pembangkangan akibat penumpukan kekecewaan daerah pada
pemerintah.
Komentar
Posting Komentar