Defisit Guru dan Kebisuan Pemerintah
Oleh. Muhadam Labolo
Ditengah
menipisnya jumlah ASN akibat moratorium rekrutmen selama lebih kurang lima
tahun, kini ramai pemerintah daerah mengajukan alokasi guru dengan alasan
daerah telah membangun banyak sarana pendidikan dasar dan menengah namun
distribusi guru dianggap kurang merata lagi paceklik. Sebenarnya bila kita
selidik lebih jauh, disparitas guru di daerah lebih disebabkan hilangnya
orientasi menjadi guru yang sesungguhnya, kecuali sebagai profesi yang merasa
"dihormati" dalam masyarakat yaitu status pegawai negeri sipil.
Hilangnya spirit moral yang tinggi mengubah guru bersikap pragmatis dalam
menata masa depannya. Faktanya, kendatipun ditunjang insentif guru di wilayah
terpencil, sebagian besar guru tetap saja tak betah berlama-lama ditempat
tugas. Rendahnya sarana dan prasarana membuat guru rindu berkumpul dengan
keluarganya. Idealisme guru jauh dari apa yang menjadi semangat Robert John
Meehan, bahwa kami mengajar bukan untuk menjadi kaya, tetapi kami mengajar
untuk memperkaya orang lain.
Guru
jaman now kehilangan misinya sebagai pembebas anak didik dari kegelapan menuju
alam yang terang benderang. Sebagian besar guru juga telah dipinggirkan oleh
kemajuan teknologi pembelajaran yang tumbuh di era industri 4.0. Guru kini menumpuk di kota, apalagi dengan
berbagai tawaran untuk pindah ke ruang struktural birokrasi yang kaya anggaran.
Anehnya pemerintah membisu untuk melarang dan memberi konsekuensi terhadap guru
yang meninggalkan kelas hanya karena ingin menjadi kepala satuan kerja
dilingkungan pemerintah daerah. Jelas sudah bahwa defisit guru terjadi akibat
migrasi besar-besaran dari ruang fungsional ke struktural birokrasi yang
menggiurkan. Sejak itu guru yang tadinya akrab dengan papan tulis, mistar,
kapur, mata ajar, presensi, kalender akademik, slide dan bahan ajar tiba-tiba
menjadi penguasa daerah seperti Pamongpraja, kepala dinas, kepala badan dan
kepala kantor. Kelas yang tadinya riang-gembira kini menjadi kelam dan sunyi.
Siswa kehilangan ilmu dan pengetahuan. Siswa juga kehilangan panutan, pun dalam
jangka panjang terancam kehilangan masa depan. Pantas saja Jepang mengagungkan
guru kendatipun negara tersebut dalam kondisi porak-poranda usai dilanda bom
atom. Guru dicari, bukan tentara, apalagi pekerja birokrasi selevel kepala
dinas. Di negara ini guru dibutuhkan bukan untuk mengajar tapi untuk melengkapi
jabatan struktural dengan syarat kepangkatan yang memadai. Parahnya, asosiasi
guru di tingkat lokal tak jarang dipaksa secara politik berafiliasi dengan
pasangan incumbent jika tak ingin terlempar jauh menjadi pengawas atau penjaga
sekolah di pulau terpencil. Malangnya Kemenpan dan Kemendiknas sebagai
pengendali kebijakan seakan tak berkutik. Daerah dengan alasan otonomi berbuat
semau-maunya. Pemerintah provinsi sebagai wakil pusat dengan kewenangan
melarang mereka yang tak memiliki basis kompetensi pemerintahan juga mengalami
disfungsi.
Disisi
lain para guru itu merasa hingga beruban pun tak akan ada masa depan kecuali
menjadi kepala sekolah, itupun hanya untuk satu posisi diantara ribuan guru.
Jenjang kepangkatan fungsional guru yang awalnya berlari kencang akhirnya
berhenti di batas golongan IV/b. Bagi seorang guru, tanpa karya ilmiah, tanpa
posisi, ditambah perasaan jenuh bertahun-tahun mengajar matematika yang tak
pernah berubah sejak jaman Aristoteles bahwa dua ditambah satu pasti sama
dengan tiga, maka tidak ada cara lain untuk keluar dari keterkungkungan hidup
itu kecuali loncat ke ruang struktural yang lebih menjanjikan. Setidaknya
pangkat naik, golongan naik, status naik, gaji naik, dan mungkin juga jumlah
istri naik. Akhirnya dengan sedkit pesimis kita mesti berkata di bulan pendidikan
ini, selamat jalan kelas dan selamat jalan siswa. Rasanya, pesan guru teladan
bangsa Kihajar Dewantara yang populer dengan buku "Als ik eens
Netherlander was" (Andai Aku Seorang Belanda, 1913) telah bergeser jauh,
sebab bila semua tempat Ia ingin jadikan sekolah dan semua orang ingin Ia
jadikan guru, maka hari ini tampak bahwa semua tempat bisa berubah
sewaktu-waktu menjadi mal, dan semua guru bahkan dengan mudah bisa berubah
menjadi camat. Lalu, siapakah yang akan melahirkan camat, bupati, gubernur,
menteri dan presiden di kelak hari? Coba tanya Guru Umar Bakri...
Setuju sekali pak, menggambarkan fenomena (mungkin) di semua daerah. Di daerah saya, di Kabupaten Pandeglang kerap terjadi disparitas jumlah guru untuk wilayah Utara (dekat dengan kabupaten) dengan Selatan (pelosok yang kalau dilihat di peta hampir dekat dengan Australia). Banyak guru menumpuk di Utara dengan tidak banyak jumlah jam mengajar, namun sebaliknya di Selatan utk satu SDN itu tidak lebih dari dua guru PNS, sisanya honorer yg dibayar Rp 150.000 per bulan.Belum lagi jika memasuki tahun politik, saya tak berucap panjang lebar di sisi ini (takut fitnah hehehe). Tapi saya tetap menaruh rasa hormat yg tinggi kepada para guru, mereka berjasa besar terhadap peradaban bangsa dan sudah sepatutnya dimuliakan dng kapasitasnya.
BalasHapusTrims Pak Supriadi,..
BalasHapus