Mengembalikan Marwah Kemendagri, Sebuah Respon Akademik
Oleh. Muhadam Labolo
Sebuah Webinar dengan headline Merekonstruksi Marwah Kemendagri yang dilaksanakan BPSDM rasanya memberi magnet yang kuat untuk direspon secara akademik. Saya meraba dialektika itu lahir karena urusan dan eksistensi kemendagri dalam 10 tahun terakhir seakan mengalami pergeseran. Visinya terasa melemah, sebagian urusannya berpencaran ke instansi lain, desa misalnya. Eksistensinya yang selama ini didukung oleh UU 39/2008 sebagai salah satu Triumvirat seperti terdistorsi di kelas kesekian bahkan portofolio, termasuk masa depan IPDN.
Menurut saya, ada baiknya kita pahami akar kemunculan Kemendagri sebagai kementrian induk (babon) sekaligus satu diantara Triumvirat yang disebut eksplisit dalam undang-undang tersebut. Secara faktual departemen of home affairs dihampir semua negara tetap eksis. Agar rujukan norma tersebut memiliki basis akademis, ide Thomas Hobes, Jhon Lock, Montesque, Imanuel Kant, Van Vollen Hoven, dan Logemann menjadi spirit dalam artikel pendek ini. Dialektika gagasan mereka pada dasarnya telah mendorong terciptanya negara absolut beserta variannya (termasuk negara kesatuan sentralistik) seperti kemunculannya di Romawi, Perancis, Belanda, bahkan Indonesia. Dalam konteks Indonesia, sejak 1999 kita bergeser dari bentuk negara kesatuan sentralistik ke bentuk negara kesatuan desentralistik. Sebagian menyatakan beraroma federalisme. Demikian pula pada sistem pemerintahan, corak presidensial namun berasa parlementarialisme.
Kembali ke konsep Hobes diatas, kepadatan kekuasaan pada eksekutif sebelum dikiritik Locke dan generasi setelahnya melahirkan kekuasaan sentralistik. Sentralisasi kekuasaan pada satu negara lazim dilaksanakan konkrit oleh pemerintahan dalam negaranya. Negara dalam konsep kita adalah negeri, yaitu urusan pribumi dan semua aktivitas didalamnya. Jadi konsep kementrian dalam negara itu sesungguhnya adalah kementrian dalam negeri (Suryaningrat, 1999). Jadi sumber urusan asalnya hanya satu, yaitu urusan dalam negara. Jika pun dipersoalkan apakah urusan luar negeri adalah urusan dalam negeri juga? Jawabannya jelas Ya, sebab urusan luar negeri itu pada dasarnya adalah urusan dalam negara yang dikerjakan diluar negeri. Apakah urusan pertahanan adalah juga urusan dalam negara? Menurut asbabun nuzul juga iya, sebab urusan pertahanan adalah urusan dalam negeri yang dilakukan dengan cara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dari ancaman luar. Ancaman dari dalam menjadi urusan kepolisian, ancaman luar adalah urusan militer sebagai konsekuensi mencegah gejala homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes (lihat Hobes dalam Leviathan, 1651).
Berkaitan dengan itu, dan memahami perkembangan dewasa ini, pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah apakah yang diurus kemendagri dewasa ini? Menurut Logemann (1954) bahwa semua urusan itu pada hakekatnya adalah urusan pemerintahan umum (algemene bestuur). Urusan pemerintahan umum dalam arti luas adalah semua urusan yang dilaksanakan menurut cabang kekuasaan Montesque & Imanuel Kant, yaitu urusan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setelah dibagi secara horisontal maka tersisalah urusan eksekutif yang lazim dikerjakan oleh kepala negara/pemerintahan (presiden/PM). Pada level teknis dilaksanakan oleh kementrian dalam negara. Karena paradigma negara bergeser dari nachtstaat ke welfare state (paham negara penjaga malam ke negara sejahtera), maka perkembangan urusan pemerintahan umum yang berada dipundak kementrian dalam negara itu mengalami spesialisasi, diferensiasi, proliferasi dan departementasi. Contoh yang dapat dilihat adalah Kepolisian, Agraria, Bawaslu, Pemilu, dll.
Pada awalnya semua urusan itu dikerjakan oleh kementrian dalam negara, termasuk pula urusan teknis seprti pertanian, pertahanan, kesehatan, pendidikan dll. Itulah mengapa struktur kementrian dalam negara itu masih menyisakan bibitnya seperti Polisi Pamongpraja (bibit polisi dalam konsep Van Vollen Hoven/ Panca Tantra). Ada BAKD (bibit urusan keuangan), Adminduk (bibit urusan demografi dan KB), PMD (bibit urusan desa di Kemendes), Bangda (bibit urusan Bapenas). Semua itu adalah urusan pemerintahan umum dalam arti luas. Sekarang ini, urusan pemerintahan umum dalam arti sempit yang dikerjakan kementrian dalam negeri itu adalah urusan yang telah dikurangi urusan yang telah dibagi secara horisontal, urusan desentralisasi dan urusan dekonsentrasi (yang bersifat functionale field administration). Inilah urusan pemerintahan umum kementrian dalam negeri (algemen bestuur, Suryaningrat, 1995).
Lalu apakah visi utama Kemendagri kedepan setelah mengalami banyak diferensiasi urusan mulai dari hanyut ke daerah lewat kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, maupun terbagi secara horisontal? (Misalnya urusan Pemilu, Polisi, Bawaslu, BNPP, dll). Menurut kybernolog Prof. Taliziduhu Ndraha dalam paper pendeknya, Quo Vadis Kemendagri (2010), Visi Kemendagri kedepan terletak pada dua esensi utama yaitu menjaga kebhinnekaan dan ketunggal-ikaan. Kebhinekaan (keragaman) secara struktural direpresentasikan oleh Dirjend Otda, sedangkan visi ke-ikaan dijaga oleh Dirjend Kesbangpol (PUM). Direktorat lain pada pokoknya adalah komplemen yang awalnya telah mengalami diferensiasi menjadi departemen tersendiri (Keuangan, Bangda, Pemdes dan Adminduk). Jadi, visi pokok yang mesti diusung Kemendagri saat ini adalah menjaga spirit Bhinneka Tunggal Ika.
Pada konteks kita, apakah instrumen konkrit perekat di tingkat teknis yang menghubungkan pusat dan daerah dalam spirit bhinneka tunggal ika itu? Sy ingin menjawab dengan tegas, IPDN. IPDN sejak awal didesain dengan maksud menjadi perekat vertikal antara central and local government. Dalam peran ideal lain selaku ASN adalah pengintegrasi bangsa (horisontal). Inilah alasan konseptual mengapa eksistensi IPDN dipertahankan selain alasan historis yang dibentuk Soekarno sejak tahun 1956.
Hemat saya inilah marwah yang mesti dijaga, dikuatkan, direkonstruksi, bahkan ditegaskan kembali sebelum tenggelam dalam urusan sektor yang semakin hegemonic.
Komentar
Posting Komentar