Menghitung Implikasi Pemilu Serentak
Oleh. Muhadam Labolo
Beberapa waktu lalu, salah satu Parpol mengajukan tiga alasan menolak pemilu serentak di 2024. Resistensi itu dilabeli sejumlah alasan sekalipun jadwal pemilu jelas tertuang dalam rezim pemilu tahun 2016. Pertanyaan lebih jauh apakah implikasi bagi partai, pemerintah, penyelenggara dan masyarakat sebagai pemilik suara. Saya coba memberi catatan pendek merujuk tiga alasan utama yang dikemukakan parpol tersebut sehingga tergambar implikasi bagi stakeholders yang terkait pemilu (parpol, pemerintah, penyelenggara dan pemilih).
Pertama, apakah beban teknis sebagai konsekuensi pemilu serentak mempengaruhi stakeholders? Tentu saja. Bagi penyelenggara pemilu di pusat hingga desa kita mesti mengkalkulasi kembali biaya yang dibutuhkan, termasuk meminimalisir jumlah korban penyelenggara pemilu akibat kelelahan dan resiko terinveksi pandemi yang tak jelas kapan berakhirnya. Bagi masyarakat pemilih tentu semakin tinggi tekanan psikologisnya, sebab ada beban multi full choiceyang beragam dipertimbangkan. Bagi parpol, ini pekerjaan berat guna meloloskan kader terbaiknya, partai politik, termasuk sirkulasi di puncak kekuasaan.
Mengakui pilkada serentak dinilai sukses oleh pemerintah dan negara lain, tentu kita tak ingin lonjakan Covid 19 meningkat akibat kerumunan yang tak berkesudahan betapapun prokes telah ditegakkan. Beberapa menduga boleh jadi lonjakan lebih sejuta Covid 19 hari ini merupakan ekses pesta demokrasi lokal tempohari. Tak ada salahnya di evaluasi kembali agar pemilu secara keseluruhan lebih safety.
Bagi kita, kualitas demokrasi bukan semata soal pilihan waktu dan mekanisme, tapi seberapa besar partisipasi otonom pemilih dalam menentukan keberlanjutan masa depan pemerintahan. Setidak-tidaknya mereka datang dengan kesadaran ideal, bukan karena mobilisasi atas dasar politik uang. Bilapun angka partisipasi politik meningkat diatas 80% bersamaan dengan infeksi pandemi yang melaju, itu artinya tetap ada ancaman masif yang mesti diantisipasi, apalagi bila dilakukan serentak nasional.
Ditengah kecenderungan tarik-ulur jadwal pemilu dan try and error itu, pemerintah perlu mempertimbangkan high cost ditengah beban keuangan negara dengan angka pinjaman yang terus menanjak, trend inflasi serta ancaman krisis ekonomi. Demokrasi hanya akan melahirkan janji kesejahteraan bila pondasi ekonomi kita gagal mencukupkan persyaratan yang diinginkannya (Boediono,2012). Kedua, apakah transisi kekuasaan dilevel daerah akan memberi akses penuh bagi parpol tertentu? Boleh jadi menguntungkan partai mayoritas, dimana konsolidasi basis dan sumber daya mudah dikendalikan lewat organ birokrasi yang mudah dipolitisir, apalagi jika transisi pelaksana tugas memiliki durasi panjang.
Ketiga, apakah isu pilkada akan redup jika diserentakkan dengan pemilu legislatif dan pilpres? Pengalaman menunjukkan bahwa antusiasme pemilih cenderung tersedot ke isu pilpres dibanding dua electionlainnya. Implikasinya pemilu legislatif dan pilkada tak akan semenarik biasanya. Ini membuat demokrasi di tingkat lokal kemungkinan tak populer ditimpa isu pilpres yang lebih sexy. Padahal antara isu lokal dan pusat jauh berbeda (Mochtar, 2020). Jajanan kampanye menyerupai jus campur, kehilangan tekstur rasa, problem lokal yang mesti dijawab mati rasa. Mesti disadari bahwa di basis pemilih, energi politiknya akan mengalami kontraksi tinggi. Bisa saja semua terkonsentrasi ke pilpres, dapat pula sebaliknya. Mengingat hubungan antara basis dan elit di daerah bersifat emosionalselain tak berjarak. Kecuali itu, basis pemilih di pemilu nasional cenderung berjarak dan rasional sekalipun ramai dipadati politik identitas yang bahkan mengalahkan rasionalitas itu sendiri.
Lalu apa profit pragmatis bagi rakyat. Kata penikmat demokrasi di daerah, sedikitnya ada tiga keuntungan sekaligus, yaitu serangan fajar (cabup/cagub), serangan tengah hari (pileg), dan serangan malam (capres). Eksesnya, pemilu dalam semua strata itu akan terlihat demokratis dari sisi prosedural tapi nihil kualitas, persis pasar malam, rakyat kelelahan berbelanja, termasuk para penjaja di pasar (partai dan penyelenggara).
Kondisi ini dapat mencipta black market, tak ada calon pemimpin yang benar-benar sempat dipertimbangkan dengan akal sehat, semuanya serba instan, serba 50 ribu, serba jadi, dan serba terpilih. Tak ada proses mengunyah, kecuali menelan hingga tersedak, apa saja, yang penting tebal dan enak dipandang mata, meski mengandung racun demokrasi (defective of democracy). Akhirnya, kendatipun kita mencoba konsisten dengan jadwal, patut dipertimbangkan dengan serius implikasi yang akan muncul bagi semua stakeholders pemilu, terlebih ketercukupan logistik, keamanan dan peradilan pemilu yang jujur. Kalaupun pemilu lokal dipercepat pada 2022 bukan pula tanpa ancaman serius. Semula stakeholders pemilu harus duduk kembali untuk menata mekanisme demokrasi agar adaptif dan tak mudah tergerus kepentingan jangka pendek.
Komentar
Posting Komentar