Mencari Kesamaan Dalam Realitas Politik
Oleh. Muhadam Labolo
Gambaran idealitas politik selalu tak seturut dengan realitas politik. Di benak, kita sering terbuai oleh imaji calon pasangan presiden paling ideal. Itu semua ada di kitab suci, ada di buku, ada di mulut orang yang mengaku suci dan idealis, tapi tidak dalam kenyataan politik. Kenyataan menunjukkan betapa sulit menemukan kesamaan pada realitas kepentingan politik yang beragam, dinamis serta mudah cair.
Idealitas politik dalam hal ini kita anggap sebagai horison terindah, tapi gapaian politisi adalah apa yang ada di depan mata. Sejauh kita belajar idealitas dalam isu-isu sosial, apalagi politik, fungsinya hanya untuk mendekatkan, tidak benar-benar menyatu. Seakan langit dan bumi terlihat menyatu di kejauhan horison, faktanya tidak.
Dalam politik praktis, untuk mendekatkan kita butuh sedikit-banyak kesamaan. Kesamaan itu bisa macam-macam. Kata Harold, bisa karena kesamaan idiologi, agenda, figur, dan kepentingan pragmatis. Kesamaan idiologi berkaitan dengan world vieuw partai yang menjadi gagasan besarnya. Dimasa Orla ada aliran kiri, tengah, dan kanan. Partai kiri dan kanan mudah bergeser ke tengah, kendati keduanya sulit menyatu ibarat air dan minyak.
Kesamaan agenda berhubungan dengan keselarasan rencana kebijakan yang akan di tempuh. Ide besar hanya mungkin bila partai punya seperangkat agenda yang sama. Agenda Ibukota Negara misalnya. Tanpa kesamaan komitmen terhadap agenda itu, sulit merealisasikan janji partai di kelak hari. Karenanya, semua anggota koalisasi wajib menyetujui agenda yang berisi kebijakan esensial.
Kesamaan figur penting berkaitan dengan relasi basis konstituen dan partai politik itu sendiri. Kesalahan mengutak-atik pasangan tak hanya memicu konflik antar anggota partai koalisi, juga basis pendukung yang selama ini memajang figur dalam benaknya. Apalagi basis pendukung dengan ikatan identitas, sekalipun tak sedikit yang terdidik namun merasa kecewa, terluka, bahkan marah, hanya karena gagal menemukan pasangan pengantin.
Kesamaan pragmatis bertalian dengan keuntungan jangka pendek. Kata Lasswell (1978), politik soal siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Keuntungan pragmatis adalah sesuatu yang bisa diperoleh secara langsung dalam mencapai keseimbangan kekuasaan. Sebagai manusia politik kata Budiman Sujatmiko (2023), kita butuh kekuasaan yang dengan itu dapat digunakan untuk membersihkan kotoran dalam pemerintahan.
Di puncak kuasa itu kita butuh kerapatan idiologi dan agenda yang jelas agar masa depan bangsa dapat di pandu oleh pikiran besar bagi kemaslahatan 278 juta jiwa. Untuk menjalankan idiologi dan kebijakan tadi tentu saja kita butuh kesamaan figur yang tepat agar idiologi dan agenda terkawal sampai finish. Tanpa pemimpin yang komit dan berani, idiologi dan agenda menjadi mimpi dalam kesia-siaan.
Bila ketiganya selesai, maka kesamaan pragmatis dengan sendirinya diperoleh. Ini hanya konsekuensi, bukan tujuan. Pahitnya, ini pula yang duluan tercipta. Partai-partai lebih dulu berseteru soal kepentingan apa yang akan diperoleh jika berkoalisi. Dampaknya idiologi dan agenda sulit direalisasikan, apalagi bila figur hanya sebatas petugas, boneka, dan aset yang dapat dikendalikan.
Kesulitan kita menurunkan pasangan Pilpres di detik-detik akhir kontestasi Pemilu menunjukkan bahwa politik memang bukan pelajaran eksakta yang dengan mudah dikalkulasi. Politik adalah realitas perubahan hingga Shefira bin Issa pernah mengingatkan kita bahwa, pembicaraan sopir taksi tentang realitas suatu negara seringkali lebih dapat dipercaya dibandingkan kepala negaranya sendiri.
Komentar
Posting Komentar