Menyederhanakan Mekanisme Demokrasi, Upaya Memperkuat Pemerintahan


Oleh. Muhadam Labolo

  

Panta Rhei Kai Uden Menei,

There is Nothing Permanent Except Change,

(Heraclitus, 540-480 SM)

  

I

Persapaan

 

Assalamualikaum Warahmatullahi Wabarakatuh, Syalom, Om Swastiastu,

Hadirin yang Berbahagia,

Yang terhormat Bapak Menteri Dalam Negeri, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Sekjen Kemendagri, Bapak Rektor IPDN, Para Wakil Rektor, Para Dekan, Kepala Lembaga, Direktur, Dosen, Pelatih, Pengasuh, Civitas Akademika, Hadirin dan Undangan sekalian yang kami muliakan.  Sebagai hamba Tuhan, izinkan saya mengajak kita memanjatkan puji syukur kepadaNya, atas curahan rahmat dan karuniaNya hingga tiba pada acara Pengukuhan Guru Besar hari ini. Sebagai insan yang dibimbing lewat panduan seorang nabi, saya tak lupa mengajak kita menyampaikan salawat dan salam kepada Nabiullah Muhammad Saw.

Perkenan saya mengawali pidato ini dengan mengambil judul Menyederhanakan Mekanisme Demokrasi, Upaya Memperkuat Pemerintahan. Demokrasi kita dalam wajah kepayahan. Dalam pesimisme Salim Said (2022), demokrasi kita dalam kondisi kelelahan. Kelelahan oleh beban yang menumpuk dipundaknya, di tengah tuntutan moral agar secepat-cepatnya sampai ke tujuan idealnya, kesejahteraan rakyat. Tentu saja kita bertanya-tanya, apakah tumpukan beban itu hingga demokrasi kita kian keletihan. Lalu dimanakah tanggungjawab moral kita dalam memperkuat pemerintahan di hari-hari kedepan.

II

Realitas Komplikasi Demokrasi

Sebelum mendiagnosa beban demokrasi yang menumpuk dipunggungnya, ada baiknya kita merenungkan kembali soal pilihan sistem demokrasi yang kita praktekkan kemaren, hari ini dan mungkin di kelak hari. Demokrasi kita akui bukan pilihan sistem paling baik, sebagaimana diingatkan ribuan tahun lalu oleh Socrates (470-399 SM), namun sejarah abad ini memperlihatkan bahwa mayoritas negara di dunia mengadopsi sistem itu seraya memperbaiki kelemahan yang diidapnya. 

Kita akui bahwa tanpa kecerdasan dan kekenyangan yang cukup, demokrasi hanya sistem yang dipenuhi kegaduhan dengan masa depan suram. Negara-negara demokrasi dengan income perkapita di bawah 1500 USD memiliki resiko paling riskan untuk bubar di banding negara-negara dengan income percapita di atas 6600 USD (Boediono, 2007). Dengan asumsi itu, kita dapat menakar kualitas dan daya tahan demokrasi kita, setidaknya antara 15 sampai 25 tahun kedepan. Kita telah memilih dan menjalani demokrasi sejak masa orde lama, baru, dan reformasi. Praktis 78 tahun kita melalui semua itu sekalipun dengan tekanan yang berbeda-beda antara sentralisasi dan desentralisasi.

Sedemikian pentingnya prasyaratan dalam penerapan demokrasi itu, Socrates mengingatkan bahwa mereka yang nekat menerapkan demokrasi langsung pada masyarakat dengan tingkat kepandiran di bawah rata-rata hanya akan menghasilkan pemimpin yang dipenuhi demagog dan pencitraan, hanya karena disukai dan populer. Tak heran bila kaum selebritis jauh lebih mampu menyisihkan kaum terdidik dalam kontestasi hari-hari ini. Demokrasi cenderung merayu kaum populis di banding mereka yang sehari-harinya memikirkan dan melayani nasib orang banyak.

Socrates mengingatkan pula bahwa dalam keadaan papa, demokrasi tak efektif melahirkan pemimpin, kecuali mereka yang mampu mengenyangkan sesaat lewat serangan fajar, serangan dhuha, dan distribusi sembako. Demokrasi juga memberi karpet merah bagi oligarchi lewat suguhan upeti yang hampir tak bertepi.  Panorama itu dengan sendirinya menyuguhkan pasar gelap antara elite dengan basis konstituen yang melahirkan fenomena nomor piro wani piro (NPWP), antara elite dengan elite lewat transaksi jumlah kursi dan rekomendasi, dan antara elite dengan oligarchi lewat kompensasi pengelolaan sumber daya alam (Zoelva, 2022). Kasus Rempang di Batam dan konflik di Morowali kemungkinan sedikit bongkahan yang dapat ditelusuri.

Implikasi kedua prasyarat yang longgar itu membuat demokrasi membuahkan pasar bebas. Pasar dimana demand dan supplay berpapasan lewat syarat suka sama suka. Mekanisme demikian menguntungkan mereka yang populis dan bermodal. Oleh sebab mekanisme demokrasi mengutamakan pertama-tama jumlah kepala, maka menjadi tak mengejutkan bila banyak orang terpilih karena jumlah kepala, bukan isi kepala. Diakui bahwa jumlah kepala penting sebagai syarat elektabilitas, namun isi kepala sama pentingnya sebagai kompas yang akan memandu kemana bahtera pemerintahan di kayuh dalam setiap periode.

Dalam keamatiran mengendalikan bahtera pemerintahan itu, kepemimpinan pemerintahan cenderung kehilangan legitimasi moral. Dalam banyak kasus, proses yang cacat melahirkan kepemimpinan yang menipu, sementara elektabilitas yang tak memadai melahirkan kepemimpinan tuna distrust. Keunikan demokrasi kata Lipset (1950) adalah kemampuan mengintegrasikan antara proses dan isi, bukan salah satunya. Seorang calon kepala daerah di Saburaijua Provinsi NTT pernah terpilih dengan elektabilitas tinggi, namun terbukti lewat putusan Mahkamah Konstitusi bukan Warga Negara Indonesia (2021).

Menilik demokrasi Indonesia pada 3 lembaga eksternal dan 1 lembaga internal menunjukkan kualitas yang mencemaskan. Penelitian Intelegent Economits Unit (IEU) tahun 2022 menunjukkan demokrasi Indonesia berada pada kondisi tak sempurna (flawed democracy). Index Democracy East Asian (IDEA, 2019) menempatkan derajat demokrasi kita pada posisi tengah (middle range). Sementara Freedom House (2022) meletakkan kondisi demokrasi Indonesia di titik memprihatinkan, mundur hingga 10 tahun. Lembaga internal setidaknya menempatkan kualitas demokrasi kita berada di ambang optimisme, sekalipun di sejumlah variabel mengalami penurunan (BPS, 2023).

Pemerintahan demokrasi adalah pilihan sistem politik sebagaimana tergambar implisit dalam konstitusi Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 18 ayat (2) dan (4). Persoalan terbesar kita sejauh ini mekanisme apa yang lebih adaptif dan sederhana dengan mempertimbangkan beban yang di pikul oleh sistem demokrasi itu? Kekeliruan kita memilih mekanisme bukan mustahil mengakhiri masa depan pemerintahan demokrasi di kemudian hari. Sudah cukup bukti bagaimana Uni Soviet gagal mentransformasikan diri dari sistem otoriter ke demokrasi hingga melahirkan 15 negara.

Kepayahan pemerintahan demokrasi dewasa ini terlihat pula pada negara-negara yang bahkan dinilai relatif kokoh seperti Inggris dan negara-negara di belahan eropa dan asia. Sebuah negara bagian di Inggris (Birmingham) baru-baru ini hampir collaps karena ketidakmampuan membayar kurang lebih-kurang 14.000 triliun gaji pegawai negerinya (CNN;2023). Yunani, Italia, Srilanka dan Pakistan juga mengalami hal serupa. Evaluasi Bappenas, Kemenkeu, BRIN dan Kemendagri menunjukkan daerah-daerah otonom baru di Indonesia mayoritas gagal mandiri, atau tergantung pada pemerintah (2023). Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintahan demokrasi sekalipun, rentan mengalami persoalan sebagaimana contoh di atas.

Pemerintahan demokrasi pada hakekatnya bertujuan mencapai kesejahteraan. Tentu saja pemerintahan demokrasi bukan satu-satunya yang bertujuan demikian. Pemerintahan non demokrasi pun memiliki tujuan yang sama. Pesannya, apapun sistem dan bentuk pemerintahan yang kita adaptasi, sangat bergantung pada konsensus, kebutuhan dan suasana kebatinan bangsa itu sendiri. Kelebihan bangsa ini memilih demokrasi karena pengalaman sejarahnya yang berulang, serta kesiapan founding fathers dan generasi selanjutnya meletakkan peta jalan bagi kesinambungan berbangsa dan bernegara. Bandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah pasca Arab Spring, mayoritas gagal merekonstruksi kembali tatanan sistem politik dan pemerintahannya (Kuru, 2021, Mustafa, 2023).

Dalam upaya mencapai tujuan itu, demokrasi merentangkan jembatan penghubung sebagai apa yang kita sebut cara atau mekanisme. Dalam konteks ini kita sebut sebagai prosedur demokrasi (Wahid,1999). Prosedur demokrasi adalah seperangkat mekanisme yang kita gunakan untuk mencapai ujung terlezat demokrasi, kesejahteraan rakyat. Malangnya, prosedur melahirkan pemerintahan demokratis itu berbiaya tinggi (high cost democracy). Demokrasi sejak awal memang tidak di desain sebagai mekanisme yang murah, tetapi bukan berarti tak dapat disederhanakan. Amerika yang meletakkan bangunan demokrasi sejak 1865 oleh Abraham Lincoln di Pettysburgh hingga detik ini mampu mengendalikan high cost demokrasi lewat mekanisme electoral collect.

Beban berat pemerintahan demokrasi dewasa ini bukan hanya persoalan efisiensi dan efektivitas yang dinilai sebagai alasan klasik. Padahal itu salah satu dari persoalan berat ketika berhadapan dengan beban APBN yang terus mengalami kesenjangan. Ongkos demokrasi dalam perhelatan pemilu kali ini mencapai 110,4 triliun dengan jumlah pemilih sebanyak 204,8 juta jiwa (KPU, 2023). Artinya, setiap pemilih menanggung sekitar Rp.540.000 perorang. Bila jumlah yang sama dibagi dengan hutang yang kini mencapai sekitar 497,3 triliun (Sept 2023) pada 278,9 juta jiwa, setiap kita kemungkinan menanggung beban sekitar Rp.1,8 juta/orang termasuk bayi yang baru lahir.

Praktek mekanisme demokrasi tampak menjauhi nilai dasar grounslaagh bernegara (Pancasila), potensi konflik yang mengancam kohesi sosial, bertambahnya kelembagaan demokrasi yang tumpang tindih dan tak produktif, menghabiskan biaya tinggi, rendahnya netralitas birokrasi, meluapnya transaksi yang menguatkan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, tergerusnya anggaran bagi upaya mencapai tujuan substansi demokrasi, melemahnya pengawasan terhadap eksekutif, legislatif dan yudikatif, hilangnya peran utama partai politik sebagai wadah rekrutmen kepemimpinan, serta panjangnya rantai mekanisme yang menghabiskan energi dan sumber daya berdemokrasi.

III

Rentangan Governance

Masalah-masalah di atas tentu saja menjadi tanggungjawab pemerintah. Pemerintahan lahir sejak azali untuk memecahkan masalah (problem solving), bukan sumber masalah (resources problem). Malangnya, dalam banyak hal kita menemukan pilihan mekanisme menjadi masalah serius yang sulit diatasi. Sesuatu yang asalnya simple berubah menjadi complicated atas nama kepentingan tertentu. Dalam realitas itu masyarakat seringkali berpretensi buruk terhadap pemerintahan. Pemerintahan adalah fenomena sosial yang tak dapat dihindari sekalipun di setiap kita mungkin memendam perasaan benci berkepanjangan (Mc Iver,1948). Kita boleh tak suka dengan rezim dimanapun kita diperintah, namun pada saat yang sama kita tunduk pada pemerintahan dimana kita melarikan diri daripadanya.

Dalam relasi itu pemerintahan menjadi satu kebutuhan dasar, bukan sekedar kepentingan yang bersifat temporal (Hobes,1987). Karenanya, eksistensi pemerintahan telah hadir sama tuanya dengan dunia ini untuk menjawab masalah masyarakat dari yang paling traditional hingga kompleks (Rasyid,1999). Tentu saja tugas sederhana kita adalah bagaimana menemukan elite pemerintahan yang tidak saja kapabel, tapi mampu menggunakan otoritas istimewanya untuk menerjemahkan visi ideal konstitusi kedalam realitas senyatanya (Mosca, Pareto, Ndraha, Foucalt).

Tugas utama pemerintahan adalah mengantarkan kita pada tujuan tertingginya yaitu kebahagiaan hidup tanpa merugikan orang lain (Aristoteles, Van Poeltje). Kebahagiaan itu berkaitan dengan sebanyak mungkin kontribusi kita dalam hidup bersama. Di dalam cara itu, tentu saja kita tak hanya menimbang keuntungan maksimum sebagaimana gagasan utilitarianisme Bentham (2001), namun penting pula meletakkan keadilan agar mampu menekan kerugian sekecil mungkin. Keadilan adalah nilai tertinggi dalam politik hingga penting diingatkan dalam salah satu firmanNya, innallaha ya’murukum bil adli wal ihsan (Q.S An Nahl, 90). Kini pemerintahan tak hanya sekedar di tuntut menyentuh esensinya, juga eksistensialisasinya yang mempersoalkan seberapa bermanfaatkah pemerintah diperlukan.

Fenomena pemerintahan kini beradaptasi dengan tumbuh-kembangnya masyarakat. Pada masyarakat dengan karakteristik berburu (1.0) kita bersandar sepenuhnya pada pemerintah yang paling kuat (strong government). Pada masyarakat dengan karakteristik agriculture (2.0) kita mengandalkan institusi pemerintah (organization government). Masyarakat dengan ciri industrialisasi (3.0) mengandalkan good governance. Kini, masyarakat dengan ciri teknologi informasi (4.0) mengunggulkan tidak saja sound governance, dynamic governance, juga open governance. Pada tingkat kekinian dan kedisinian, masyarakat super ability-artificial intellegent (5.0) bersandar pada agile governance.

Ciri agile governance adalah pemerintahan yang responsive terhadap setiap kebutuhan masyarakat dengan kapasitas teknologi yang digenggamnya. Dalam konteks itu masyarakat bersembunyi di balik face book, whats up, twitter, telegram, tiktok dan instagram. Realitas kewarganegaraan (citizen) yang bersentuhan kini menjelma menjadi warga negara dunia maya (netizen). Kelompok-kelompok kepentingan baik yang bersifat autonomus maupun dimobilisasi tumbuh sebagai pendengung (buzzer dan inlfuenzer). Ragam warganet itu tak hanya menjadi toksin di ruang publik seperti cebong dan kampret, juga sumber inspirasi dan aspirasi bagi pemerintahan yang terus berkembang sebagai pseudo government.

IV

Dialektika 

Menyederhanakan mekanisme demokrasi setidaknya memberi kita energi untuk memperkuat pemerintahan. Keletihan demokrasi dengan beban yang terus menumpuk dapat diatasi dengan mengubah mekanisme demokrasi dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung (direct to indirect election). Hal ini dengan mempertimbangkan pertama, landasan konstitusional pasal 18 ayat (4) membuka peluang bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Makna demokratis memberi peluang open legal policy sebagaimana praktek UU 22/2014 yang mengubah mekanisme langsung menjadi tidak langsung dengan usia pendek oleh Perpu Nomor 1 Tahun 2014.

Kedua, penerjemahan sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyaratawan perwakilan sebagai groundslaagh (Pancasila) lebih relevan sebagaimana cita-cita founding fathers. Mekanisme itu praktis telah dijalankan selama lebih kurang 60 tahun tanpa masalah serius hingga berakhir pada 2005 sejak revisi UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga, penyederhanaan mekanisme demokrasi setidaknya dapat mengurangi meningkatnya gejala money politik maupun korupsi politik. Dengan asumsi pragmatis setiap calon membayar 11 orang dari 20 anggota DPRD untuk memperoleh suara mayoritas absolut (50% plus 1), seseorang taruhlah membuang 500 jt untuk 11 orang. Dengan gaji kepala daerah sekitar 3,5 jt/bulan plus tunjangan sekitar 50 jt/bulan minimal, Ia secara rasional dapat mengembalikan 5,5 M tanpa harus menginjak ujung kaki kepala dinas, kepala badan, kepala kantor, maupun kepala-kepala sekolah. Bila tak terpilih, seseorang dengan mudah dapat menagih kembali uangnya pada 11 orang anggota DPRD. Bukankah jelas partainya, jelas namanya, jelas tempat tinggalnya, tinggal potong 5%, anggap saja investasi jangka pendek.

Sebaliknya, bila seseorang ikut pilkada langsung, setidaknya perlu menyiapkan modal sekitar 10 sd 50 M untuk kab/kota, atau 50 sd 1 T untuk provinsi (Mahfud, 2022). Bila terpilih, tidak mungkin mengembalikan modal sebanyak itu tanpa menginjak ujung kaki kepala OPD. Bila tak terpilih siapa yang akan mengembalikan modal sebanyak itu? Dalam satu kasus seorang kandidat stress dan kehilangan akal sehat. Bukankah semua paham bahwa dalam relasi politik tak ada makan siang gratis. Fakta menunjukkan sejak Pemilukada dilaksanakan (2005-2019), jumlah kepala daerah yang berurusan dengan aparat penegak hukum mencapai 458 orang (Djohan, Institute Otda, 2023).

Kasus korupsi telah menjadi menu sehari-hari yang bahkan tak kunjung melahirkan efek jera, kecuali berkembang-biak di hampir semua cabang kekuasaan. Memang mengubah mekanisme demokrasi tak akan menghilangkan korupsi, namun jauh lebih mudah mengontrol 20 orang anggota dewan dengan menempatkan PPATK dibanding mengawasi 200.000 pemilih yang dengan jujur merentangkan spanduk, kami siap menerima serangan fajar. Kini nilai serangan fajar meningkat dengan harga antara Rp.100.000 sampai 1 jt rupiah/orang. Artinya, masyarakat bersikap permisif terhadap perilaku money politics sehingga menjadi semacam daya tarik dalam pemilukada. Satu hipotesa perlu diajukan, kemungkinan angka partisipasi politik yang mencapai 81% pada pemilu 2019 tidak saja dikontribusikan oleh kelompok militan seperti kadrun, cebong, dan kampret, juga oleh tingginya money politics di masyarakat.

Keempat, penyederhanaan mekanisme demokrasi dapat mengurangi ketidaknetralan aparat sipil negara. Laporan Komisi ASN pada 2020 menunjukkan dari 2.304 laporan ketidaknetralan ASN terdapat 78,5% atau 1.596 ASN terbukti melanggar. Kenaikan ketidaknetralan meyakinkan kita bahwa simbiosis mutualisme antara pasangan calon dengan birokrasi terus berkembang kendatipun jelas-jelas tersedia instrumen dan tindakan hukum sebagai contoh. Birokrasi membutuhkan politisi untuk memastikan jabatannya pada periode berikutnya lewat keanggotaan dalam tim sukses. Dilemanya, ikut timses keliru, tidak ikut timses lebih salah lagi. Politisi membutuhkan birokrasi untuk mengendalikan sumber daya guna merealisasikan janji. Andai mekanismenya dipilih DPRD, bureaucracy can do no wrong, bureaucracy focus to public services, they are not correlation with us. Terpilih merah, kuning, biru, hijau, putih dan warna apa saja birokrasi sami’na wa atho’na.

Kelima, penyederhanaan mekanisme dapat mengefektifkan pesta demokrasi yang panjang, bertingkat-tingkat dan rentan dimanipulasi. Ongkos demokrasi yang sedemikian besar itu tak hanya menyiapkan perkakas demokrasi seperti TPS, anggota PPS dan saksi pada 83.794 desa/kelurahan, juga kepanitiaan yang tersebar di 7.277 kecamatan, 514 kabupaten/kota, dan 38 provinsi. Sebaliknya, jika oleh DPRD, mekanisme itu akan jauh lebih sederhana dengan cukup melibatkan DPRD sebagai pengambil suara, tanpa perlu menyiapkan peralatan demokrasi dengan resiko korban jiwa akibat kelelahan sebanyak 894 orang di Pemilu 2019 (Budiman, 2020).

Keenam, penyederhanaan mekanisme demokrasi dapat melokalisir konflik. Konflik yang tersebar karena ikatan emosional dapat diintegrasikan lewat wakil rakyat yang sedikit. Ini akan mengurangi kerawanan konflik pemilu sebagaimana warning Bawaslu, Kepolisian, dan Militer dalam perspektif geopolitik. Harus diakui bahwa dana hibah sebagai cost pengamanan selama ini terlalu besar dari output demokrasi itu sendiri. Polarisasi konflik sangat tinggi dalam isu yang paling dicemaskan, yaitu eksploitasi identitas (politik identitas).

Ketujuh, penyederhanaan mekanisme demokrasi dapat mengurangi porsi APBD yang justru digunakan untuk melayani rakyat. Penelitian dan evaluasi FITRA, ICW dan Kemendagri pada 2011 menunjukkan APBD habis untuk ongkos tukang mensejahterakan rakyat antara 60-70% (Suwandi, 2012). Tukang mensejahterakan rakyat itu adalah eksekutif dan legislative di daerah. Bila ongkos pemilukada terpakai sekitar 15% ditambah biaya pemeliharaan dll total 20%, yang tersisa untuk publik sekitar 20 sd 30%. Itu pun bila terjadi trickle down effect, yang terjadi malah trickle up effect, eksekutif dan legislatif juga wasit sekaligus pemain yang mengelola projek di lingkungan pemerintah daerah. Ketidakseimbangan porsi itu jelas tidak adil (tanggungjawab PKS), tidak amanah (tanggungjawab PAN), tidak demokratis (tanggungjawab PDIP, Nasdem, Demokrat), mengganggu hati nurani (tanggungjawab Hanura), berpotensi pecahnya persatuan (tanggungjawab PPP), serta dapat mendorong kebangkitan (tanggungjawab PKB), gerakan Indonesia (tanggungjawab Gerindra) dan kekaryaan (tanggungjawab Golkar).

Kedelapan, penyederhanaan mekanisme demokrasi dapat menguatkan pengawasan DPRD terhadap kepala daerah. Selama ini relasi keduanya saling bertolak belakang. Pengawasan menjadi tak efektif karena kepala daerah merasa dipilih rakyat, bukan wakilnya. Kerenggangan terkadang meluas kedalam sistem perencanaan yang menyandera kepentingan rakyat. Idealnya cukup 20 wakil rakyat yang menjadi watch dog dari pada 200ribuan yang menekan 2 orang. Semakin tinggi konflik di 20 orang tentu semakin sehat, artinya kanalisasi konflik berjalan baik dibanding di level grass root. Kata Socrates, menyerahkan pemerintahan pada wakil yang terbaik itu jauh lebih beradab andaipun mereka marah dibanding menyerahkan pada kerumunan orang yang dapat menjadi biadab bila amuk massa. Para wakil rakyat paling tinggi beradu argumen, lempar piring, lempar gelas, dorong kursi, atau walk out. Paling akhir diselesaikan lewat studi banding dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bila kerumunan, kanalisasinya lewat demonstrasi, buka baju, bakar ban, lempar kantor bupati, walikota, gubernur dan menyandera anggota dewan sebagai wakilnya sendiri. Mengutip kata Gutave Le Bon (1841-1931), kemajuan demokrasi sejatinya bukan untuk menurunkan elite ke tingkat kerumunan, tetapi mengangkat kerumunan ke elit.

Kesembilan, penyederhanaan mekanisme demokrasi akan menampilkan pasangan calon kepala daerah yang terbaik dari yang baik (primus inter pares). Partai akan menyuguhkan calon terbaik hasil kaderisasi sebagaimana mekanisme di partai demokrat dan republik di Amerika. Sejauh ini kita hanya menyebut kepala daerah terbaik seperti Jokowi, Basuki Tjahya Purnama, Risma, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan beberapa yang dapat dihitung dengan jari. Sisanya kita hanya disuguhi kepala daerah bermasalah hukum.

Kesepuluh, penyederhanaan mekanisme demokrasi dapat mendorong fungsi partai politik melakukan rekrutmen dan sirkulasi yang sehat. Sejauh ini kader partai tak memiliki harapan panjang hanya karena kalah populis dan kurang modal. Partai hanya dijadikan tempat mengambil rekomendasi, atau tak lebih sebagai event organizer.  Kegagalan partai melakukan rekrutmen menciptakan kelangkaan sumber daya hingga partai perlu melamar artis, pengusaha, dan mantan birokrat. Fenomena ini meluas hingga ke upaya mencari calon pemimpin nasional. Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai seharusnya ditumbuh-kembangkan, tidak kehilangan peran esensialnya. Tanpa partai kita bisa kembali ke bentuk pemerintahan monarchi.

Kesebelas, penyederhanaan mekanisme demokrasi dapat mengurangi beban lembaga-lembaga demokrasi seperti MK, Bawaslu, dan DKPP. Dengan di pilih wakil rakyat, fungsi MK berkurang sekaligus mengurangi kasus suap sebagaimana Akil Mochtar (2013). Keberadaan Bawaslu di pusat dan daerah, serta DKPP yang selama ini menghela ongkos demokrasi dengan sendirinya tak lagi diperlukan. Mencari keadilan ke MK, Bawaslu dan DKPP faktanya lebih memperpanjang, menyulitkan, bahkan menaikkan ongkos perkara. Bila dipilih DPRD, draw pun akan selesai di lembaga perwakilan dalam waktu 1-2 jam.

Keduabelas, putusan ijtima ulama di Cipasung tahun 2005 menyimpulkan bahwa mekanisme langsung lebih banyak menciptakan mudharat daripada manfaat. Menurut sejarah Islam misalnya, mekanisme demokrasi langsung tak di kenal dalam sirkulasi khalifah sejak Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Semuanya menggunakan mekanisme representasi atau musyawarah untuk mufakat (…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (pemerintahan)), Ali Imran;159). Sementara Kajian Lemhanas menunjukkan bahwa mekanisme pilkada langsung sangat beresiko dari aspek geopolitik dan keamanan nasional (Muladi, 2004).

V

Epilog; Penuntun Rekomendasi

Dengan sejumlah pertimbangan itu, kita dapat menyederhanakan mekanisme demokrasi melalui pemilukada tak langsung. Selisih dari duabelas pertimbangan di atas tentu saja dalam upaya memperkuat pemerintahan. Melalui mekanisme sederhana itu, penguatan pemerintahan diarahkan pada 5 nilai utama, yaitu government, governing, governance, governability, dan governmentality (Sutoro, 2020). Penguatan government berkaitan dengan kapasitas organisasi pemerintahan dalam melayani masyarakat, dari birokrasi klasik Weber ke humanokrasi (Gamel dan Zanini, 2020). Governing berhubungan dengan penguatan pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, dari fungsi transedental hingga teknikal.

Governance merujuk pada penguatan interaksi antara pemerintah dengan lingkungannya, baik yang paling sederhana governance, pentahelix, hingga collaborative governance. Tekanannya dari ego-system ke eco-system. Governability menunjuk pada penguatan kekuasaan, kewenangan, otoritas, maupun legitimasi pemerintahan, dari legalistik ke para-legalistik, dari de jure ke de facto, dari kuasa nyata ke kuasa dunia maya. Sedangkan governmentality bertalian dengan penguatan seni dan aktivitas pemerintahan, dari pendekatan politik dan ekonomi ke pendekatan kebudayaan. Korea Selatan memperlihatkan kesuksesan itu ke dunia luar. Untuk kita, setidaknya dalam pendekatan internal dengan melunakkan kata, dari mudik ke pulang kampung atau dari piting ke merangkul.

Setiap perubahan dalam pemerintahan adalah sunnatullah. Sebagai organ yang hidup, pemerintahan bergantung pada nature (gen) dan nurture (lingkungan). Nature yang paling dekat adalah DNA demokrasi kita yang menjadi warisan masa lalu. Bukankah kita pernah melaksanakan mekanisme demokrasi tak langsung selama kurang lebih 60 tahun. Kita percaya pula bahwa gen dapat mengalami epigenetics (perubahan) ketika membaca kelebihan core code DNA dimasa lalu. Di luar itu kita membutuhkan lingkungan (nurture) yang sehat, positif dan supportif di semua jaringan sosial dan forum bersama, agar terjadi perubahan pemikiran (brain plasticity).

Melalui penguatan itu pemerintahan akan hidup dalam masa yang lebih panjang (long live). Dengan konsolidasi demokrasi yang baik pula kita tak akan mengulang kesalahan yang sama dimasa lalu, kembalinya sistem otoritarianisme yang kini bergerak diberbagai aspek (kembalinya Polisi dan Tentara ke ruang sipil). Dalam masa yang panjang itu pula, kita berkesempatan untuk berbuat banyak terhadap masyarakat. Penumbuhan kualitas masyarakat penting agar kita tak hanya menjadi gelembung hampa dalam demokrasi, tetapi mampu menjadi faktor produksi utama (humanocracy). Dalam konteks itulah keutamaan pemerintahan hadir, Ia dengan sengaja memberi lahan luas bagi kita untuk berbuat amal sebanyak-banyaknya (Rasyid, 1999).

VI

Sepotong Ucapan Tulus

Akhirnya, menutup pidato ini, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sekjen Kemendagri, Rektor IPDN, Para Wakil Rektor, Dekan Fakultas Politik Pemerintahan, Kaprodi dan seluruh jajaran dilingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Tanpa kuasa dan wewenang, saya harus menunda berdiri di tempat ini.

Dalam ruang yang hikmat dan bijaksana ini, saya tentu merasa berhutang budi kepada guru dan dosen, yang dengan hormat saya sebutkan disini berkenaan dengan dialektika pemerintahan hingga mengantar saya sampai ke titik ini, Prof. Dr. Taliziduhu Ndraha (alm), Prof. Ryaas Rasyid, MA, Ph,D, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, Prof. Muchlis Hamdi, MPA, Ph.D, Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MSi, Prof. Dr. Ngadisah, MA, Prof. Dr. Ermaya Suradinata, MSi, Prof. Dr. Tjahya Suprijatna, SU, Drs. Syamsurizal, MA (alm), Drs. Syahril Tanjung, MA, Drs. Abu Hasan Asary, serta Drs. Asrihadi, MA.

Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada segenap dosen, pelatih dan pengasuh, anggota Platos Club, Dosen Eko Wisata, pengurus dan anggota MIPI, AIPI, ADI, Paguyuban Angkatan Kosong Empat Indonesia (PASOPATI), sahabat sekelas di SD, SMP, dan SMA Pagimana, tanpa dukungan dan motivasi, saya mungkin kehilangan gairah untuk terus berlari.

Jauh di lubuk hati yang dalam tentu saja saya berhutang hidup kepada kedua orang tua, Aziz Madjid Labolo dan Muhayang Sanggo, yang dengan sakit dan penuh jerih payah telah melepas saya tiba di mimbar ini, kepada keduanya tak mungkin saya dapat membalasnya, kecuali doa tulus semoga Allah swt mendudukkannya di singgasana tertinggi.

And last but not least, istri dan anakku tercinta, Intisari dan Sultan Nanta Setia Dien yang terus menunggu dengan pertanyaan soal masa depan ayahnya. Mustar Labolo yang sedikit lagi mencapai gerbang di Senayan. Tanpa pesan-pesan kesabaran, saya mungkin menjadi apatis dengan urusan kenaikan jabatan ini. Terima kasih telah membersamai, Semoga Allah swt membimbing saya menjalankan amanah ini, aamiin ya rabbal aalamiin, Wassalamulaikum Warahmatullahi Wabakaratuh, Syalom, Om Santi2 Om,…..

 

 

Referensi Pilihan

 

Aristoteles, 2001. Politik. Indoliterasi Jakarta

Barton, Greg, 2002. Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Equinox Pub

 

Bentham, Jeremy, 2001. Introduction to The Principle of Moral and Legislation. Ontario; Batoche Books Kitchener.

 

Bambang Purwoko, 2005, Isu-Isu Strategis Pilkada Langsung; Ekspresi Kedaulatan Untuk Kesejahteraan Rakyat, di dalam Jurnal Ilmu Politik dan Pembangunan, Volome 6 (1) FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

 

Boediono, 2007. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. UGM Press

 

Cahiers Vilfredo Pareto 6, no. 16/17 (1968). http://www.jstor.org/stable/40368892.

 

Eko, Sutoro, 2003.  Ilmu Pemerintahan Transformatif. Jurnal Transformasi, Vo. I Jogjakarta

 

Foucault, Michel. 2014. Sosiologi Pendidikan. Raja Grafindo Persada, Jakarta

 

Hamdi, Muchlis, 2001. Bunga Rampai Pemerintahan. Yarsif Watampone, Jakarta

 

Hobes, Thomas, 1651. Leviathan (The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and Civil), Guitenberg

 

Jowwet, B, 2001. Plato’s The Republic. Modern Library/Random House, New York
Kuru, Ahmet, 2020. Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim.  Cambridge University Press

 

Labolo, Muhadam, 2018. Memahami Ilmu Pemerintahan. Rajawali Press, Jakarta

 

Labolo, Muhadam, 2020. Dialektika Ilmu Pemerintahan. Ghalia, Jakarta

 

Labolo, Muhadam, 2021. Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia. Pustaka, Jakarta

 

Labolo, Muhadam, 2023. Butir Pemikiran Demokrasi, Religi, dan Otoritas. Eurika, Purbalingga

 

Lipset, Seymour Martin, 1981.  Political Man: The Social Bases of Politics. Johns Hopkins University Press.

 

McIver R.M. 1948. Web of Government (Jilid 1 dan 2). IIP Press

 

Mosca, Gaetano, 2017. The Ruling Class. Creative Media Partners LLC

 

Ndraha, Taliziduhu, 2002. Kybernologi (Jilid 1 dan 2). Rineka Cipta, Jakarta

 

Poelje, G.A.Van 1953.  Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (terj B. Mang Reng Say), Jakarta

 

Rasyid, Ryaas, 1999. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Sisi Etika. Yarsif Watampone, Jakarta

 

Rasyid, Ryaas, 2007. Pembangunan Pemerintahan Abad XXI. IIP Press, Jakarta

 

Rahman, Abd Musthafa, 2022. Mengapa Bangsa Arab Terpuruk. Kompas Media Nusantara Jakarta

 

Said, Salim, 2023. Kelelahan Demokrasi. Akbar Faisal Channel-Kompasiana, 9 Februari 2023

 

Yusdianto, Identifikasi Potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan Mekanisme Penyelesaiannya. Jurnal Konstitusi (2), November 2010

 

Zoelva, Hamdan, 2014. Pencegahan dan Penindakan Praktik Money Politic dalam Pemilu. Makalah, Yogyakarta

 

Zanini, & Gamel. 2020. Humanocracy: Creating Organizations as Amazing as the People Inside Them. Harvard Business Review Press.

 

 

 

https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2021

 

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230907140503-4-470379/penyebab-birmingham-inggris-bangkrut-utang-setinggi-gunung

 

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/02/14/peningkatan-skor-indeks-demokrasi-2021-tak-serta-merta-tandai-perbaikan-kualitas-demokrasi-indonesia

 

https://nasional.kompas.com/read/2021/04/15/16330381/sengketa-pilkada-sabu-raijua-mk-putuskan-diskualifikasi-pasangan-orient

 

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/04/demokrasi-indonesia-peringkat-ke-4-di-asia-tenggara

 

https://jabar.bps.go.id/indicator/156/745/1/-metode-baru-2021-indeks-demokrasi-indonesia-idi-menurut-indikator.html

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian