Belajar Dari Reuni Putri Pasopati
Oleh. Muhadam Labolo
Saya diingatkan berkali-kali oleh Regina, Imelda, Siti Fatonah, dan Sukma untuk tidak lupa menyempatkan waktu di acara reuni putri Pasopati. Saya percepat ujian terbuka di Jakarta, menjajal kereta cepat pergi-pulang Halim-Padalarang, ngajar DPRD Sukabumi, dan akhirnya tiba di Hotel De Boekit Hambalang pukul 19.30. Aula kosong, lengang, tanpa peserta.
Rupanya peserta sedang persiapan. Saya japri Manguluang Mansur, jawabannya menggairahkan, "pak ketua takut di perkosa ya?" Dengan emotion tersenyum lebar. Saya jawab, "iya!" Karaeng Mansur mengusulkan ikut Subhan Rahman, yang katanya bisa jadi pawang. Rupanya beliau ada rapat. Untung Mas Eko Supriyanto dan Mas Burhan ada di TKP mendampingi istri. Selamat dari perkosaan berjamaah.
Pilihan reuni putri kali ini luar biasa. Lokasinya jauh dari kota, butuh waktu 1-2 jam dari Jakarta. Hasrul frustasi, batal. Putri rupanya serius reuni, bukan untuk hal lain. Suasananya sejuk, dingin, indah, lengkap dengan panorama Hambalang sambil duduk merenung di beranda kecil dekat kampung. Bungalow mereka unik, khas nusa tenggara. Mas Eko menikmati dengan rokok, secangkir kopi, dan tentu saja susu didalamnya.
Putri menyatu dengan alam. Alam yang selama ini kita tinggalkan dan hidup sombong di kota-kota sebagai abdi negara. Saya menunggu di pintu masuk ballroom. Rupanya tersedia menu makan lengkap dengan Kimchi Korea. Ini menu mahal yang dikolaborasi dengan tradisi, nasi dkk. Saya menikmati, walau putri mayoritas pilih karbo, musuh bebuyutan jelita.
Acara dibuka MC. Pengantar kata oleh tuan rumah Regina, welcome speech Imelda, dan laporan teknis keuangan Siti Fatonah. Saya di daulat sebagai pengurus lengkap dengan Nella dan Nuruning. Reuni kali ini mencatat sejarah. Bisa hadir hampir 70 orang. Jumlah yang langka untuk putri yang 100 orang dari 808 Pasopati. Wafat 4 orang, sisa 96. Artinya yang absen hanya 26 orang, seperti teman tapi mesra saya, Yuliane, Lenda, dan Rona Sule.
Saya konfirmasi, sakit, dan jadwal yang tak bisa diwakili. Semoga Tuhan menyembuhkan, dan meluangkan waktunya di kelak hari. Reuni semeriah ini rupanya disponsori para pejabat putra Pasopati. Dengan sedikit menginjak ujung kaki, Imelda dan Regina bisa merogoh 120an juta buat bahagia bersama. Pak Kadis Perizinan Kota Depok di paksa hadir supaya bisa mencicipi hibah dari pos pengeluaran tak terduga.
Seperti biasa, open ceremony berisi sambutan dan sambitan, pengecekan, schedulle, foto, dan sumbang suara. Malam pertama khusus intro, perkenalan dan happy. Saya tak ikut kegiatan off-road esok, pulang malam itu juga. Tapi malam kedua rasanya hanyut dalam keharuan yang menumpuk di bola mata. Seperti kata Roma, malam ini malam terakhir untuk kita. Satu persatu diminta curhat oleh Imelda selaku dirigent acara.
Ada Sherly, Mutiara, Sofia, Yulianti, Maulidah, dan Sundari yang lama tak bersua. Sherly bahkan hampir tiga dasawarsa tak ketemu. Mendatangkan beliau bukan mudah, dengan kompleksitas yang beliau alami. Syukur bisa reuni, bawa anak dan cucu, plus perkenan suaminya, Johanes di Maluku Tengah. Sambutan saya khusus menyapa beliau sebagai sahabat lama ketika madya praja. Beliau aktif di kelas bareng almarhum Desy, istri Kang Dadan. Semoga Tuhan merahmati keduanya.
Menikmati sharing session putri sungguh di luar perkiraan. Rasanya putri semakin kuat dan dewasa. Mau berbagi pengalaman soal derita yang dialami. Saya tak yakin putra mau berbagi derita di depan kawan-kawan, kecuali sukacita di media sosial. Padahal dukacita penting didengarkan agar kita dapat pelajaran tentang makna penting hidup sehat, kuat dan mandiri. Tak perlu menghadirkan motivator, cukup pengalaman kawan akan lebih meresap dalam benak kita.
Reuni putri tahun ini patut diapresiasi. Putra perlu belajar bagaimana putri dapat bertahan dari tekanan psikologis yang luar biasa. Mereka tak pernah curhat pada saya soal kesulitan hidup. Putri banyak diam, beda dengan putra. Sejak jadi ketua, yang banyak curhat putra, mulai isi dompet sampai berkurangnya kualitas testosteron yang minta dicarikan kanalisasinya. Ini parah, lama-lama bisa ketularan dan masuk pasal turut serta.
Saya sempatkan malam pertama mengenal satu-persatu. Kadang lupa nama untuk 1-3 putri, padahal sudah lebih dua kali jumpa, maklum semakin uzur, anggota PDI, penurunan daya ingat. Saya temukan kerinduan, pasion, dan ekspresi kebahagiaan di mata masing-masing. Reuni ini tempatnya, sesudah menggumuli suami dan anak sebagai istri, ibu dan teman di sumur, dapur, dan kasur. Begitu provokasi Imelda agar tak terpengaruh oleh deringan HP.
Saya merasakan kebahagiaan putri menyatu dalam alunan lagu. Saya paham dangdut bisa memicu, hingga keluar biduan Pasopati, Siti Raham, Reni, Linda, Lina Mayanti dan Sherly. Saya di paksa menjadi laki-laki penghibur setiap malam, lewat lagu. Saya mesti mengurangi rasa malu, agar tak berat kemaluan saat ke panggung. Kegembiraan seperti ini kadang sulit move on untuk dua pekan pertama pasca reuni. Putri menikmati rekaman peristiwa termasuk memeriksa fotonya sewaktu-waktu.
Selama apapun reuni tetap saja terasa singkat. Kuncinya ada pada daeng foto. Dia yang buat sejarah. Dia spesialis penyulap yang tua jadi mulus dan muda. Fotonya lux dan memuaskan untuk mereka yang tak percaya diri. Dia didatangkan khusus supaya mampu mempercantik putri agar kembali 10 tahun kebelakang lewat teknologi fotografer. Daeng foto jadi satu-satunya laki-laki yang dikerubungi lebah betina agar di jepret.
Reuni ini meriah, padat dan terlokalisir dengan baik. Tak ada yang bisa pergi kemana-mana, tak ada pilihan kecuali ikut kegiatan. Panitia pintar, semua di paksa joget, nyanyi, door prize, off road, makan enak, dan bertukar cinderamata. Begitulah kesibukan jelita, penuh sosialita dan sosial media. Semua berusaha on air via WA, FB, Instagram, dan tiktok. Pilihan warna pinky malam kedua mungkin supaya terang, optimis, berani, kontras, sekaligus menyembunyikan bobot dan usia agar tetap fresh.
Beberapa putri telah dan sedang melewati fase healing, termasuk Sekda Tangjungbalai, Nurmalini. Mereka berusaha kuat disamping kawan lain. Saya berharap dan berdoa semua sehat sampai Tuhan memanggil kita di kemudian hari. Tak ada yang abadi kecuali tautan silaturahmi yang di rawat dengan baik. Putri semakin wise, dari yang dulu kocak dan wild, kini lebih adem, sejuk, cool, dan penuh kendali. Waktu membentuk kita, seperti mba Eny, Emi, Bethi, Rufi, Diah, Ila, Ira, Lily, Ririn, dll.
Atas kemewahan waktu yang diberi Imelda, saya menyampaikan pertama, selalu optimistik agar muncul jalan keluar. Bila setiap bangun pagi yang ada hanya pesimistik, kita akan lebih mudah kalah. Mereka yang hidup dengan negatif thinking rasanya membuang banyak energi untuk berbuat banyak hal. Energi positif biasanya menerpa lingkungan, termasuk kita. Semakin banyak semakin bagus.
Kedua, lakukan semua hal dengan panduan Tuhan, sebagaimana doa yang dipanjatkan Dwi Budi di awal acara. Panduan universal itu agar kita berada dalam petunjukNya. Jalan Tuhan tentu maha luas, menembus yang nyata dan tak nyata. Bila yang nyata Dia berikan, tentu yang tak nyata di surgaNya akan lebih hebat lagi. Sebab itu kita terus bersyukur atas semua limpahan kasih yang tak ternilai, hidup gratis di duniaNya.
Ketiga, lakukan segala hal sebaik mungkin, agar kita tak menyesal soal sesuatu yang tak kunjung tuntas. Jangan meninggalkan beban untuk orang lain. Bila mungkin diselesaikan, selesaikan. Kurang lebihnya mohon dimaafkan, sebab kita semua manusia biasa, namun bagian terbaik kita telah dilakukan.
Keempat, lakukan pekerjaan besar jika mungkin agar menyejarah. Sebab kita diingat karena kerja-kerja besar yang menyentuh kepentingan orang banyak, minimal di sekeliling kita. Mendengarkan dan membantu orang lain walau sekecil apapun biasanya berdampak luas. Karena kita semua melayani orang banyak, peluang kita membuat sejarah lebih dari yang lain.
Kelima, lakukan sesuatu dengan tekun agar diperoleh hasil terbaik. Tak ada yang mustahil bila kita mau. Tak ada benteng yang tak dapat di tembus bila kita ingin. Tak ada gelombang yang tak dapat diseberangi bila kita berani. Kita hanya perlu fokus dengan keberanian secukupnya untuk sampai di tujuan. Bila anak kecil saja punya impian besar jadi presiden, mengapa kita tidak? Kita sudah mencobanya, jadi lurah, camat, kadis, sekda, dirjen, sekjen, wabup, pj kepala daerah, hingga guru besar. Tekuni dan raihlah.
Akhirnya, saya merasa mendapat banyak pikiran baru untuk reuni akbar tahun 2024 pasca pilkada. Ada banyak yang perlu dipersiapkan agar hidup yang pendek ini dapat dimanfaatkan sebaik mungkin, sebahagia mungkin, seberkualitas mungkin. Saya menangkap cahaya reuni ini untuk terus membangun semangat, agar terus hidup, terus menyembuh, terus peduli, terus membersamai dalam suka dan duka. Selamat dan sukses putri !
Komentar
Posting Komentar