Mereparasi Kembali Mekanisme Pemilu
Oleh. Muhadam Labolo
Catatan kritis Chris Komari (2024), aktivis demokrasi dan mantan anggota parlemen di Amerika menarik dicermati. Gagasan perlunya mereparasi kembali mekanisme demokrasi dari level pusat hingga daerah. Setidaknya perlu dipertimbangkan pasca pemilu 2024. Gagasan itu tak lain guna meredam distrust atas hasil demokrasi yang dicapai bangsa ini.
Distrust hasil pemilu setidaknya berakumulasi pada indeks demokrasi. Hasilnya tetap stagnan di posisi cacat demokrasi (flawed democracy, 6,53). Demikian menurut EIU (2023). Nilai eksternal itu tentu saja di suntik oleh kelalaian tata kelola demokrasi internal. Dalam variabel tertentu kita boleh jadi mencengangkan. Ambil contoh tingkat partisipasi pemilih.
Ironisnya, partisipasi politik itu bersifat semu. Kosong, seperti amplop yang tak ada isinya. Orang hanya butuh isinya, bukan amplopnya. Demokrasi kita terpasung disitu. Di asesoris, bukan di jiwanya. Di periferal, bukan di sentrum gravitasinya. Di prosedur, bukan di substansinya. Realitas itu membuat demokrasi kita jalan di tempat, bahkan boleh jadi mundur ke titik awal dimana demokrasi diteriakkan (1998).
Selain mekanisme teknis penghitungan suara yang meragukan, pola pertanggungjawaban wakil rakyat jauh dari asa. Dinamika di grass root rasa-rasanya tak selaras dengan hujan interupsi di ruang parlemen. Rakyat berteriak turunkan sembako, di atas berbisik tentang bagaimana menaikkan dan mengimport. Aspirasi tampak berpapasan ketika pemilu, namun berseberangan di realitas.
Menimbang dua hal itu, Chris (2024) mengusulkan pertama, perlunya seperangkat mekanisme untuk mengevaluasi posisi wakil yang dipilih di eksekutif dan legislatif. Menyerahkan sepenuhnya pada anggota parlemen di tingkat lokal dan pusat sama berharap hujan turun di musim kemarau. Hanya mukjizat yang dapat mendorong lahirnya angket dan interpelasi. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tak dapat berbuat banyak.
Hak-hak eklusif itu hanya mungkin digunakan bila partai memiliki kesamaan untung dengan kelompok tertentu. Tanpa itu, hak-hak protokoler dewan sulit dipakai. Belum lagi perlunya negosiasi di level elit, transaksi, pengkhianatan, dan hasilnya yang unhappy ending. Dengan waktu panjang, pengguna hak angket, interpelasi, bahkan pansus, seringkali tak produktif. Hasilnya win-win solution.
Sebab itu, perlu di desain mekanisme baru sebagaimana praktek di negara-negara demokrasi. Ada mekanisme jalan tol yang boleh dilakukan oleh kelompok masyarakat pemilih dengan alasan ketidakpuasan atas kinerja wakilnya di eksekutif dan legislatif.
Di Amerika, kelompok masyarakat dapat menyebarkan angket pada sejumlah dapil dimana wakil direpresentasikan. Dengan jumlah minimal yang ditentukan oleh undang-undang, kelompok pengaju hak recall, dapat mengganti wakilnya di parlemen, termasuk gubernur, walikota dan bupati.
Jadi mekanisme recall tak hanya melulu melekat secara atributif pada wakil di parlemen, juga dapat digunakan langsung masyarakat. Dengan begitu wakil yang impoten dapat dengan cepat di koreksi tanpa harus menunggu pergantian 5 tahun berikutnya. Masyarakat sewaktu-waktu punya akses melakukan koreksi di tengah jalan.
Teknisnya semacam mencari suara publik (popular vote) untuk mengajukan diri sebagai calon anggota DPD RI. Bila terpenuhi pada batas minimum, maka mekanisme recall dilanjutkan pada tahap pemilu lokal yang cepat dan ringkas. Isinya hanya dua, yaitu setuju mengganti, dan siapa alternatif dari sekian calon yang akan di coblos. KPU setempat memfasilitasi.
Kedua, terhadap mekanisme penghitungan surat suara (ballot paper) yang lama dan panjang perlu didesentralisasikan. Dengan prinsip penghitungan selesai di tempat (TPS), maka perjalanan surat suara tak perlu mengalami pembajakan di level selanjutnya (kecamatan, kab/kota dan provinsi). Ini menghemat biaya pemilu yang mahal. Mekanisme itu sebenarnya praktek usang orde baru nirteknologi.
Lewat penghitungan di tempat, Formulir Plano C1 dapat langsung di input ke pusat tanpa harus mampir di tiga lokasi (kecamatan, Kab/kota, dan provinsi). Jadi perhitungan surat suara tamat di TPS. Tak ada rekap ulang di jenjang selanjutnya. Itu butuh waktu, biaya, serta berpotensi rusak atau sengaja dirusakkan oleh tangan jahil.
Migrasi rekap menjadikan surat suara rentan mengalami pemerkosaan, penjarahan, penggelembungan, pengubahan, serta upaya cocokologi menurut kepentingan tertentu. Mungkin ini yang dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya terstruktur, sistematis, dan masif. Kelemahan ini seharusnya tak perlu terulang di setiap perhelatan pesta demokrasi.
Kedua gagasan itu mungkin dapat dimulai dengan merevisi mekanisme pemilu lewat UU No.7/2017 dan mekanisme representasi wakil rakyat pada UU MD3 No.13/2019. Pengaturan lewat dua undang-undang itu setidaknya dapat menyederhanakan mekanisme penghitungan suara yang panjang, serta mendudukkan kembali makna kedaulatan rakyat secara konkrit. Tanpa itu, daulat rakyat terpasung oleh kekuatan partai dan oligarchi.
Komentar
Posting Komentar