Baju Polpra Ukim Sumantri

Oleh. Muhadam Labolo

Kami berharap hari-hari terakhir di Sungguminasa berjalan baik. Setidaknya dapat meninggalkan kesan positif bagi keluarga Yudi. Kemana-mana selalu bersama. Termasuk keluar rumah, semobil. Mengingat jarak kediaman ke kota cukup jauh. Kendati ada motor, hanya Yudi yang sering gunakan. Aco sekali-kali pinjam. Saya tak berani. Tak paham seluk-beluk jalan di Makassar.

Daripada nganggur, Aco usulkan kecilkan baju dinas pemberian Ibu. Saya setuju. Saya titip satu stel baju keki dan linmas. Aco ambil miliknya ditumpukan baju kering. Ia rupanya ikut cucian baju dinas bersama keluarga Yudi. Numpang di mesin cuci. Di tumpuk setelah kering di atas dipan. Karena buru-buru, Ia ambil begitu saja baju Linmas-Hansip yang menyembul.
 
Aco pergi dengan motor Yudi. Melesat ke Jalan Landak Baru-Bontolangkasa. Dekat Kantor PMD. Ia segera mengecilkan baju dinas saya dan miliknya. Waktu berangkat beliau sempat tanya, "Dam, ukuran bajumu bagaimana?" Jawab saya spontan setengah berteriak, "Ukim Sumantri!" Maksudnya, ukuran perut kecilkan saja seperti Polpra Ukim, sisanya ikut badan Aco. "Oke," katanya.

Sepulang mengecilkan baju, Ia serahkan semua untuk di test kembali. Saya pakai dan apresiasi, "mantap, pas! Gimana punyata?" Aco coba mencocokkan kembali di depan saya. Sama, pas. Terlihat rapi, apalagi ukuran perutnya lebih kecil. Tapi saya mulai curiga, kok warna baju linmasnya beda. Lebih tua dan kusam.

Saya tanya, "Aco, kenapa tidak sama warna bajuta dengan punyaku, na samaji dikasi ibu?" Kata Aco, "ahh masa?" Kata saya, "cobaki liat ulang, jan-jangan saya yang salah." Aco segera memeriksa ulang warna baju Linmas. Membandingkan dengan punyaku. Perlahan Ia mulai sadar dan ragu. "Iye', punya siapa ini di'? Pikirannya mulai kacau. Rokoknya dimatikan. Matanya menyala.

Ia berlari kedalam. Menanyakan ke kakak tertua Yudi. Adi menjawab, "ini baju bapakku." Nyali Aco langsung ciut. Ia setengah berlari ke Yudi, mengkonfirmasi kepemilikan baju itu. Jawaban Yudi lebih jelas lagi, "ini punya bapakku!' Jawaban itu seperti petir di siang bolong. Lututnya mulai goyah. Seperti biasa, rambutnya tumbuh berdiri, pucat, dan pipi mulai merah. 

Bila Aco stres, saya mencari cara agar tak terlalu tegang. Sebenarnya ikut terbawa stres. Hanya dibawa bergurau. Walau dianggap pattotoloi. Sekali lagi Aco memastikan status baju itu ke Erni. Hasilnya sama. Positif. Baju linmas itu milik bapaknya. Aco merasa seperti mendapati hasil tes kehamilan yang tak dikehendaki. Butuh pertanggungjawaban.

Beliau datang ke saya. Minta pendapat. Saya kehabisan akal. Andai ukuran lingkar perut baju linmas itu masih seluas Polpra Aksan, tentu bukan soal. Artinya masih mungkin dibesarkan kembali. Masalahnya, lingkar perut baju itu benar-benar ukuran Ukim. Segitiga sama kaki. Piramidal terbalik. Tak ada nat lagi untuk dilonggarkan. Kalau di bongkar pasti rusak.

Lingkar perut Pak Kakan tentu tiga kali ukuran perut Aco waktu itu. Perlu nambah kain sekitar 10-15 centi. Mustahil di sambung. Ketahuan. Cara satu-satunya bikin baru. Saya sarankan Itu ke Aco. Beliau cari info alamat penjahit Pak Kakan ke sopirnya. Dapat. Di Jalan Cendrawasih. Sekitar APDN lama.

Aco ke penjahit hari minggu. Ia paksa tukang jahit menyelesaikan stelan linmas hari itu juga. Tukang jahit tak sanggup. Tapi Ia beri bonus supaya diusahakan. Tukang jahit akhirnya menyerah. Mungkin pertimbangan lain yang datang potongan cepak. Andai ada pistol, mungkin diletakkan di kepala sang Tukang Jahit.

Tukang jahit pasrah. Ia seperti Sangkuriang yang di paksa menyelesaikan kota dan perahu dalam semalam. Akhirnya selesai juga sebelum maghrib. Lengkap dengan atribut disana-sini. Aco senang. Rokoknya kembali mengepul tebal. Melayang membentuk i love you. Mission completed. Hanya baju linmas itu terlalu baru kelihatannya.

Pak Kakan pasti curiga bila senin dipakai. Saya sarankan agar di rendam dulu supaya kelihatan tidak baru. Aco setuju. Ia rendam pakai rinso. Agar kusam, Ia banting-banting, dan injak-injak hingga kancingnya pecah. Ini bukan proses kusam alami, tapi proses perusakan baju dalam tempo singkat. Syukur tidak robek.

Malamnya dianginkan, lalu di setrika rapi. Aco letakkan di ruang pakaian. Siap digunakan besok senin. Ternyata Pak Kakan tak jadi pakai. Ia pakai stelan safari lengan pendek. Aco selamat. Ia ambil kembali baju itu. Di rendam dan perlakukan seperti buruh pelabuhan. Di tindas agar menua paksa. Andai baju itu boleh hidup, Ia pasti bawa Aco ke pengadilan HAM. Penyiksaan berencana menuju genoside.

Beruntungnya, hingga kami tugas, kasus itu tak pernah di gelar. Aco bernafas lega. Saya juga tutup mulut. Biarlah baju itu ditemukan sendiri. Pokoknya, Aco telah memperlihatkan itikad baik. Ia sangat bertanggungjawab. Ia memang sering teledor. Tapi Ia punya nilai penting, yaitu menyelesaikan masalah sampai tuntas. Apapun resikonya. Nanti belakangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian