Piring Warisan Kubilai Khan
Oleh. Muhadam Labolo
Setahun pertama di Makassar, saya dan Samin Samad tinggal di rumah Yudi Indrajaya. Beliau keluarga aristokrat terpelajar. Walau begitu, tetap ketat dengan tradisi dari bangun pagi sampai tidur kembali. Sebenarnya saya punya keluarga di Jalan Tidung, namun terasa feodal. Dirumah Yudi lebih nyaman, walau harus tertib dan disiplin.
Setiap pagi saya bangun lebih awal. Sholat subuh, jerang air-panas, menyapu lantai, cuci mobil, beri makan ayam di kandang, dan tak lupa siapkan teh serta kopi di atas meja. Semua buat menyenangkan keluarganya. Setidaknya balas budi karena diberi tempat istrahat. Keluarganya telah berbaik hati menampung kami.
Ayahnya orang nomor satu di Direktorat Bangdes Provinsi Sulsel. Ibunya tawarkan kami di rumah. Bersyukur tak perlu kosan. Hemat biaya kontrak dan transportasi. Apalagi gaji masih proses pindah. Jujur, saya berhutang budi pada keluarga Yudi dan Rahaam. Khususnya enam bulan pertama di Makassar dan sebulan di Palopo.
Sebelum bertugas kami di sangu dan dijahitkan dua stel baju dinas. Satu keki, satu hansip. Saya berterima kasih, sekalian mohon maaf bila selama di rumah kurang baik. Ibu juga berterima kasih. Ayahnya sempat bercanda, "Muhadam seperti bukan lulusan STPDN ya, rajin di dapur." Saya senyum saja. Mendiang orang baik, termasuk Yudi, Adi, Erik dan Erni.
Bapak dan Ibu senang bila bangun pagi, tersedia sarapan roti, kopi susu dan teh. Suatu hari, Samin (Aco) berbisik, "Dam, kali ini biar saya yang siapkan sarapan bapak dan ibu sebelum kita tugas." Aco kebetulan dapat di Pinrang, saya di Palopo. Nasib Purna Sulsel ditentukan oleh goyangan kotak arisan.
Saya bilang, "silahkan, biar bapak dan ibu senang. Kita tak bisa balas budi baik mereka, hutang budi di bawa mati." Aco segera tidur agar tak kesiangan. Benar saja. Esoknya beliau bangun subuh, lalu menyapu, jerang air, cuci piring, dan ngelap mobil dinas. Persis seperti yang saban hari saya kerjakan.
Kegiatan rutin itu bukan saja pagi, juga sore sebelum dinner. Aco gembira mengerjakan semua itu sebagai bakti luhur di akhir waktu. Saking gembira menata piring di meja, Ia teledor hingga tertarik taplak ke lantai. Malang, piring khusus bapak dan ibu ikut terseret. Jatuh, pecah berkeping-keping.
Aco terperanjat bukan main. Ia gemetar dan berlari ke kamar. Melapor dan gelar perkara. Saya ikut cemas. Aco bersihkan pecahan piring dan masuk kamar lagi. Ia mondar-mandir gelisah sambil merokok. Entah apa yang dipikirkan. Stresnya melampaui menghadap Pak In. Dia minta advice.
Saya beri nasehat sambil mencoba mengubah suasana agar tak tegang. "Aco, baiknya menghadapki besok agar selesai masalata. Sampaikan saja apa adanya." Katanya, "ndak marahji puang aji besok itu?" Kata saya, "nassami itu." Saya tambahi, "ini kolo di kampus, samaji apel manggala kita berdua, gulung lengkap di Parade besok malam!"
Aco kian tegang. Rambutnya berdiri. Wajahnya berubah putih seperti kafan. Pipinya merah delima. Tarikan rokoknya menggumpal tebal. Berat rasanya masalah itu. Tiba-tiba Ia dapat ide. "Gimana kalo kita ke toko porselin?" Kata saya, "boleh, tapi susah didapatki, karena kalo ku lia-lia, ini piring peninggalan Dinasti Yuan, jaman Kubilai Khan Mongol." Coba menghibur.
Saya bercerita. "Seingat saya, Bangsa Mongol pernah menyerang Singosari. Waktu di usir, mereka meninggalkan porselin langka. Nah, salah satunya piring antik milik Puang Aji. Ini mungkin souvenir waktu mereka ke Jawa. Jadi susah didapat di semua toko porselin." Aco tak tersenyum. Ia merasa cerita itu hanya provokasi, menambah dosis derita. Rasanya ingin lari dari kenyataan pahit.
Stresnya meningkat. Katanya, "ahh jangko takut-takuti ka' lagi." Sa bilang, "Aco, ini masalah berat, karena yang kita hadapi bukan cuma Pak In, tapi Kasatwira Putri, Kapten Endang." Andai boleh menangis, Aco mungkin sudah meraung-raung di kamar. Bila bisa berangkat tugas malam itu, dia rental Panther langsung ke Pinrang.
Kata saya, "sebaiknya besok menghadap saja agar selesai. Sampaikan kronologisnya dengan jujur, tak sengaja. Okelah," katanya dengan berat hati. Ia tak tidur semalaman memikirkan apa yang akan terjadi esok. Saya juga tak lelap, mengingat akhir bakti yang unhappy ending. Setiap cerita saya dianggap hanya pattotoloiji.
Esok sore, sepulang kantor, Ibu dan Bapak duduk nonton TV. Seperti biasa, persiapan maghrib dan makan malam. Aco menghadap. Ia bergeser dari kamar seperti suster ngesot. Tiba tepat di kaki Puang Aji. Katanya, "Puang, tabe, saya mohon dimaafkan. Saya ndak sengaja,...." Belum selesai menjelaskan, Ibu memotong, "ndak sengaja apa Aco?" Kata Aco, "tabe Puang, saya ndak sengaja kasi jatuh piringta waktu siapkan makan malam kemaren sore, Puang."
Ibu terkejut, "Hahh? Kenapa bisa, Aco?" Kata Aco, mengulang kembali, "Iye Puang, saya ndak sengaja, Puang." Sebelum Ibu lanjut bicara, Aco menyambung agar tak putus, "begini Puang, sa sudah telpon orang tua di kampung, katanya biar ndak kena bala, nanti sa kasi makan ayam tiap subuh dan maghrib selama tujuh hari." Ibu tertegun dan batal marah. Ia diam sesaat.
Lanjutnya, "lain kali hati-hati Aco, itu piring peninggalan keluarga, warisan orang tua." Kata Aco, "iye Puang, saya minta maaf. Nanti sa cari gantinya besok Puang." Kata Ibu, "ya sudah, terserah kamu." Aco beringsut dari lantai. Ia mundur laksana punggawa usai menghadap Karaeng Galesong di Istana Gowa. Saya bisu menguping akhir perundingan Bongaya dari balik kamar. Puas, Aco jujur berterus-terang.
Kami segera tidur. Namun sebelum subuh terdengar sayup-sayup suara orang berkokok di pinggir jendela. Ternyata Aco sedang menjalankan ritual kuno. Memberi makan ayam sebelum subuh. Ayam-ayam itu merasa terganggu. Biasanya mereka yang bangunkan manusia, sekarang ayam dibangunkan Aco. Jelas mereka protes, merampas jam istrahat.
Sore hari Aco beri makan ayam di kandang belakang. Bila subuh khusus ayam di samping kamar tidur ibu. Meyakinkan ritual adat dijalankan sungguh-sungguh. Hari-hari itu saya tak dapat menahan geli melihat beliau bolak-balik membaca mantra. Tujuannya baik, menghindari musibah. Namun malang baginya, kesialan berikutnya menanti di depan mata.
Komentar
Posting Komentar