Kualifikasi Kepala Daerah Kita
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Dalam perspektif publik, berbagai
indikasi yang menunjukkan kinerja pemerintahan secara umum meningkat, tetap
atau bahkan menurun dapat ditanggapi lewat berbagai perilaku. Bagi kaum cerdik
pandai, capaian kinerja pemerintahan jamak dilihat dari sisi positif dan
negatif. Kalau positif dianggap wajar sebab itulah fungsi dan tugas pemerintah.
Mirisnya jika kinerja pemerintah mengalami degradasi pada periode tertentu. Bahkan
mereka yang lantang meneriakkan perbaikan disana-sini mendapat ruang apresiasi
publik dalam bentuk award di berbagai
kesempatan. Untuk kelompok pegawai yang
notabene adalah mesin birokrasi biasanya tak begitu acuh dengan opini yang
diputuskan badan pemeriksa keuangan, apakah wajar tanpa catatan maupun disclaimer. Mungkin yang tak wajar jika gaji dan
tunjangan mereka lupa dibayar, ini baru kurang ajar. Di tingkat lokal,
implikasi dari seluruh kekurangajaran tadi jelas dibebankan kepada Pemerintah
Daerah sebagai penanggungjawab seluruh masalah. Kalau saja kepala daerah tak
memiliki kemampuan mengatur lalu lintas anggaran, pendapatan serta belanja,
apalagi sibuk dengan urusan mengutak-atik keuntungan dari proses lelang barang
dan jasa, padat dengan jadwal bolak-balik Jakarta tanpa jelas agenda yang mesti
dituntaskan, maka jangan heran jika evaluasi Kemendagri dan BPK menunjukkan
fakta bahwa dari 530 daerah otonom terdapat 173 kepala daerah tersangkut
korupsi. Artinya, sepertiga dari total kepala
daerah di Indonesia mengidap penyakit yang menjadi musuh masyarakat, dimana 85%
berkaitan dengan tender pengadaan barang dan jasa (Rep. 29 Mei 2012). Di ranah paling bawah sebagai mayoritas lemah
yang diperintah tak begitu ambil pusing seberapa besar kinerja pemerintah dalam
mengatasi problem yang mereka hadapi. Cara mengukurnya sangat sederhana, yaitu
cukup makan sehari tiga kali, ke sekolah dan rumah sakit gratis, keamanan
terjamin serta lapangan pekerjaan terbuka dimana-mana. Kalau itu sudah terpenuhi
maka apapun kebijakan pemerintah bukan soal yang perlu diperbincangkan apalagi
sampai di demonstrasi. Ibarat iklan, apapun
makanannya, Teh Sosro minumannya. Semua gejala itu tampaknya sesuai dengan
kebutuhan hidup menurut Maslow (1978), dimana kelompok menengah keatas
cenderung mengejar aktualisasi dibanding pemenuhan sandang, pangan dan papan
yang masih menjadi kebutuhan primer masyarakat kebanyakan. Perbedaan kebutuhan tersebut mengakibatkan
cara menilai kinerja pemerintah sarat dengan berbagai muatan. Muatan politik biasanya berujung pada
gonjang-ganjing kekuasaan supaya kemaslahatan dapat dinikmati banyak orang.
Muatan hukum dan ekonomi lazimnya berkisar pada aspek proporsi keadilan agar
setiap orang dihargai sama dimata hukum dan memperoleh sedikit banyak kue
ekonomi dari dampak pembangunan pemerintah. Dalam konteks itu pemerintah pusat
dan daerah selayaknya membuat terobosan yang memastikan semua kepentingan
dimaksud tersentuh sekalipun pada batas yang paling minimal sebagaimana
kriteria Pareto (Pareto Criterion).
Sungguh memuaskan jika ia mampu mencapai kriteria Rawls atau
Kaldor-Hicks. Dalam kasus kebijakan pengalihan subsidi BBM tentu saja kita menggunakan kriteria Kaldor-Hicks, dimana
suatu keadaan
sosial adalah lebih baik dari yang lain apabila terdapat perolehan bersih dalam
efisiensi (manfaat total dikurangi biaya total) dan apabila mereka yang
beruntung memberikan kompensasi kepada yang tidak beruntung (memaksimalkan
kesejahteraan netto).
Sayangnya, para kepala daerah terkesan kehilangan kemampuan melakukan
inovasi dan kreativitas untuk mencapai kemandirian sebagaimana tujuan dan
fasilitas yang diberikan sejak otonomi. Kewenangan
yang diberikan terkesan salah kaprah, maka yang tampak bukan solusi namun
gesekan konflik kepentingan. Diantara kepala daerah tadi tentu saja terdapat
sosok yang memiliki kualifikasi diatas rata-rata sekalipun sisanya jauh dari
harapan publik. Sama halnya dengan kualifikasi seorang guru atau dosen sebagai
pengajar, mereka yang baru sebatas menyampaikan apa yang persis dibaca tanpa
kemampuan menerjemahkan, menginterpretasi atau mengimprovisasi pada murid atau
mahasiswanya kita namakan pengajar di kelas pemula. Ini bisa dinilai dari gaya
lisan maupun tulisan yang mengadopsi mentah-mentah tanpa heuristikasi dari
aspek historisitas, rasionalitas maupun aktualitas. Praktisnya semua firman dan hadits di kunyah
mentah-mentah tanpa pemikiran sungguh-sungguh (ijtihad) lewat tiga variabel diatas. Bisa dibayangkan jika semua murid dan
mahasiswa suatu ketika segera me-rental onta
untuk sampai di Masjidil Harom. Ini menyesatkan, sekaligus membunuh keluhuran
agama dan ilmu pengetahuan secara perlahan. Kelas kedua jika para pengajar
telah mampu menginterpretasi dan mengimprovisasikannya sesuai ruang dan waktu tanpa
kehilangan orisinalitasnya. Maknanya para pengajar sudah berada ditahapan
menghubungkan makna dengan realitas empirik sehingga murid atau mahasiswanya
yakin seyakin-yakinnya tentang konstruksi teori dan praktek yang digambarkan. Mereka
paham mana alam bawah sadar dan mana alam sadar. Kelas ketiga tentu saja para
pengajar yang secara mandiri telah mampu mengkonstruksi teori berdasarkan
otoritas pemikirannya. Inilah yang kita
sebut sebagai guru besar secara fungsional, bukan guru besar karena kumpulan
angka kredit semata. Setiap lisan dan tulisan mereka terasa berbobot,
berimplikasi luas dan dalam, serta berlaku secara general dalam ruang dan
waktu. Pendeknya, padat moral dan sarat
makna.
Lalu bagaimanakah kualifikasi kepada
daerah kita dewasa ini? Kualifikasi pertama adalah kepala daerah yang terperangkap
pada aturan, juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh pemerintah. Diskresi yang
diberikan lewat otonomi terkesan mubazir tanpa upaya serius mengubah nasib
masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Semua janji yang pernah ditebar sebelum dilantik seperti tersimpan rapi
dalam bentuk RPJMD tanpa program dan kegiatan yang membumi. Sepertinya kita keliru memilih pemimpin hanya
karena takut dengan segala bentuk Standar Operation Prosedure sehingga menutup kemampuan
interpretasi dan improvisasi sesuai kebutuhan daerah. Dampaknya, semua harapan
tentang datangnya pendidikan gratis, kesehatan gratis, jaminan keamanan dan
lapangan pekerjaan terpojok dipersimpangan jalan dalam bentuk Baliho tanpa
realisasi. Saya selalu mengatakan bahwa salah satu perbedaan antara pemimpin
dan bawahan adalah pemimpin memiliki sedikit banyak keberanian dibanding
bawahan. Kalau kepala daerah lebih takut dari bawahannya dalam mengambil
berbagai keputusan yang dinilai baik dan tak bertentangan dengan aturan,
bukankah lebih tepat kalau kita menukar posisi tersebut pada bawahan yang lebih
tinggi nyalinya. Kepala Daerah kelas kedua jika ia mampu menafsirkan semua
diskresi yang diberikan dalam bentuk otonomi sesuai kebutuhan daerahnya, bukan
paralel dengan kebutuhan pribadi, keluarga atau anggota tim suksesnya. Kepala
daerah demikian biasanya memiliki kemampuan mengkombinasikan aturan sekaligus
gagasan yang muncul dibenaknya. Ia mampu
menafsirkan, menginterpretasi dan mengimprovisasikannya diatas landasan aturan
yang tak saling bertabrakan. Disini
tentu saja membutuhkan kepala daerah yang memiliki sedikit pengalaman dalam
birokrasi atau setidaknya didukung oleh staf ahli yang paham tentang
seluk-beluk birokrasi. Kalau pasangan
kepala daerah sama-sama minus pengalaman, tak memiliki staf ahli yang berbobot,
serta segan bertanya karena merasa pernah menjadi semacam ‘orang besar’, maka
lengkap sudah penderitaan rakyat yang memilihnya. Kelas kepala daerah ketiga jika ia mampu
mendesain semua visi dari harapan masyarakat kelas bawah. Dia paham betul apa kebutuhan mereka,
sehingga indikasinya terlihat dari program dan kegiatan pada semua intrumen
satuan kerja pemerintah daerah.
Kualifikasi kepala daerah demikian sulit di peroleh, namun tidak susah
untuk ditemukan. Pengambilan keputusan dalam memecahkan problem di daerah
seringkali diluar jangkauan pikiran kita, semua dibangun diatas visi yang mampu
dibumikan, lepas dari bayang-bayang aturan yang menjadikan daerah selama ini
kering tanpa inovasi. Bahkan aturan yang bertentangan seringkali mereka
sisihkan demi mencapai visi kemaslahatan orang banyak. atau manusia luar biasa.
Mereka yang sedikit namun eksis dapat dilihat pada contoh Kepala Daerah
Bualemo, Jembrana, Tanah Datar, Solo, Sragen, Enrekang, Luwu Timur, Cimahi dan
sebagainya. Cara kerja mereka persis apa yang dilakukan Dahlan Iskan atau Jusuf
Kalla dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas, atau lebih cepat lebih
baik. Mereka seringkali di sebut manusia
up-normal, berjalan diluar koridor
namun tak menabrak koridor. Kini, bagaimanakah kualifikasi kepala daerah kita?
Jangan-jangan kita memang butuh kepala daerah yang sedikit ‘tak waras’ untuk
menyelesaikan beban pemerintahan yang semakin diluar kewarasan. Barangkali ini
jauh lebh baik daripada kepala daerah yang sesudah dilantik tak menampakkan
aktivitas apa-apa, kecuali duduk diam seperti mengidap gejala amnesia.
Komentar
Posting Komentar