Mengatasi Krisis Negarawan dan Gejala Korupsi


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Sebagai salah satu narasumber dalam berbagai workshop tentang wawasan kebangsaan, dinamika demokrasi lokal dan politik pemerintahan, saya merasa perlu mempercakapkan kembali soal krisis negarawan dan gejala korupsi di tengah hari jadi Pancasila sebagai groundslaag berbangsa dan bernegara. Dibeberapa tempat digelar diskusi yang bertajuk merindukan seorang negarawan, sebagian lagi mengutip dan menjadikannya sebagai pengantar pidato. Sayangnya, perkara besar soal krisis negarawan tadi lahir dari pemikiran sejumlah civil society, bukan tumbuh dari kesadaran pemerintah. Gambaran demikian wajar saja, sebab tak ada pasien yang tau pasti apa jenis penyakitnya meskipun ia mungkin merasa kurang sehat kecuali selesai di diagnosa dokter. Itulah salah satu sebab mengapa saya berupaya hadir dalam berbagai undangan seminar berbau politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya, jawabannya hanya satu, untuk mengetahui pasti apa penyakit yang diderita pemerintah sehingga mudah meracik resep bagi tindakan penyembuhan dari yang ringan hingga paling kronis di jantung pemerintahan. Sebagai ilmuan pemerintahan kita ibarat dokter, tugas kita adalah mendeteksi dimana gejala tersebut dirasakan oleh segenap aktor pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Jika gejalanya hanya berlaku di bagian tertentu, maka terapi cukup dilakukan pada lingkup lokal saja agar tak menular kemana-mana. Yang parah kalau penyakit yang diidap tepat mengena di sentral syaraf kekuasaan, tentu saja kita membutuhkan peralatan extra canggih termasuk dokter spesialis berpengalaman, tak boleh sekedar diantar ke dukun apalagi hanya ditangani oleh tukang pijat refleksi bersertifikat dipinggiran jalan. Kalau kondisi pemerintahan kita kronis atau dalam istilah medik koma, mestinya ditangani serius dalam ruang gawat darurat, atau bukan mustahil mesti di amputasi agar tak menjalar kebagian yang tak bersalah. Pemerintahan adalah struktur organisasi paling konkrit dari sistem bernegara (Caporaso:1992). Sebagai sebuah organisme, maka pemerintahan dapat saja tumbuh, berkembang dan collaps dikemudian hari. Sebab itu, jika pemerintah merasa sedikit batuk dan pilek saat membangun komunikasi, maka sepatutnya dokter komunikasi pemerintahan perlu mendiagnosis mengapa pemerintah gagap dan ragu ketika bicara soal kebijakan bahan bakar atau apa saja yang menurutnya baik bagi kemaslahatan orang banyak. Bila pemerintah merasa semua kebijakannya mengalami resistensi kuat di level akar rumput, maka dokter kebijakan pemerintahan dan sosiologi pemerintahan selayaknya mengeluarkan catatan urgen agar kebijakan segera diformulasikan kembali atau dikonsultasikan kepada para pemetik manfaat di level terbawah yaitu masyarakat luas. Sekiranya pemerintah merasa demam di sekujur tubuh manajemennya, maka dokter manajemen pemerintahan perlu mengeluarkan memo supaya pola manajemen pemerintahan yang tampak kusut selama ini mesti diperbaiki melalui reformasi birokrasi yang konsisten. Kalau pemerintah merasa pusing-pusing di sekitar pelayanan administrasi, maka dokter administrasi pemerintahan perlu secepatnya mengamputasi jenjang pelayanan yang berbelit-belit agar efisien dan efektif dalam melayani kepentingan masyarakat. Jika pisau hukum pemerintah tajam kebawah namun tumpul keatas, maka perlu dokter hukum pemerintahan ditanya mengapa sistem bedah kita terasa kebal jika berhadapan dengan penyakit tertentu. Bila politik kita gagal menyemai kebaikan bagi rakyat banyak, maka dokter politik pemerintahan patut dipersoalkan cara kerjanya selama ini. Sekali lagi, semua gejala tadi perlu di diagnosis, dianalisis, bahkan diteliti serius dalam laboratorium pemerintahan agar resep dan formula yang dikeluarkan benar-benar paten bukan sekedar generik. Dengan begitu maka para dokter yang selama ini bermeditasi di kampus-kampus berlogo pemerintahan tak sekedar menjadi menara gading, rajin menguji seperangkat teori namun kehilangan kompatibilitas dengan patologi birokrasi dan pemerintahan yang menampilkan realitas buruk sehari-hari. Lewat penelitian, pengajaran dan pemikiran solutif diberbagai kesempatan maka secara moral akademik kita bertanggungjawab atas penderitaan yang dialami pemerintahan, bukan sekedar menikmati tunjangan dokter spesialis tiap bulan. Inilah yang di sentil J.E. Sahetapy (2012) sebagai dosen plat merah, kuning dan hitam. Apalagi jika hanya berdiam diri menunggu bertatap empat mata, tentu saja selemah-lemahnya iman. Jelasnya pemerintah dirugikan sekaligus kehilangan produktivitas negarawan. Dalam konteks inilah saya berpijak untuk mendiskusikan krisis negarawan kali ini. Sebagaimana pernah saya komunikasikan dengan beberapa kawan, negarawan adalah sosok yang memiliki pandangan jauh kedepan (visioner), berpikir dan bertindak menurut pertimbangan bangsa dan negara, serta rela menomorduakan kepentingan pribadi dan golongan demi kepentingan rakyat banyak. Negarawan tidaklah mesti lahir dari pejabat negara. Seorang negarawan lazimnya disebut setelah semua pengabdiannya dibuktikan semasa hidup tanpa diminta, kecuali kita sendiri yang menghargainya seusai tutup usia. Sebut saja di lingkup nasional antara lain  Soekarno, Hatta, Agus Salim, Hasyim Asary, Syahrir atau Jenderal Soedirman.  Dilingkup jagad ada Muhammad Saw dan sekian tokoh lainnya. Mereka yang berpikir luas tentang bagaimana mencapai kebaikan bagi semua unsur dalam negara bagi saya adalah negarawan sekalipun tak pernah meniti karier dari jabatan sekretaris lurah. Unsur negara yang dipikirkan berkaitan dengan kepentingan rakyat, pemerintah, tanah air dan kedaulatan alias harga diri bangsa ini. Dengan dasar itu saya berpendapat bahwa negarawan bisa lahir darimana saja. Kalau dia seorang guru, maka pikiran dan tindakannya pastilah mewujud kedalam upaya mengubah anak didiknya menjadi generasi yang tidak saja cerdas dan tangguh menghadapi realitas kehidupan, namun mampu memancarkan nilai-nilai luhur seperti berkeyakinan kepada Tuhan, memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, berkemampuan mempersatukan perpecahan, demokratis, serta berkeadilan sosial bagi lingkungannya.  Semua kecakapan dan nilai tadi diharapkan mampu menjadi modal dalam bermasyarakat, berpemerintahan, menjaga tanah air serta martabat bangsa dan negara. Jika ia seorang politisi, maka cara berpikir dan bertindak merefleksikan makna politik sebagaimana pemahaman Aristoteles, yaitu bagaimana semua aktivitas input dan output mampu menciptakan kebaikan bersama (common goods), bukan kebaikan bagi segelintir orang atau bahkan kejahatan kolektif yang direncanakan dalam bentuk projek untuk memperkaya diri seperti kita saksikan diberbagai media. Praktisnya, politisi cenderung memikirkan pemilu setiap lima tahun, sedangkan negarawan memikirkan masa depan bangsa (Mangunwijaya:1977). Manakala ia lahir sebagai seorang jenderal, maka cara berpikir dan bertindak bukanlah semata-mata menyelamatkan anak buah dan korpsnya, tetapi berorientasi penuh bagi keselamatan bangsa dan negara. Singkatnya, jika nilai tersebut kita letakkan pada posisi apapun yang kita geluti, apakah kasubag, kabag, karo, rektor, anggota dewan, kepala desa, kepala daerah, menteri, presiden, bahkan pengusaha yang sehari-hari mengurus projek di lembaga pemerintahan, maka gejala korupsi yang mengalami endemi saat ini pastilah luntur dengan sendirinya. Bukankah gejala korupsi merupakan indikasi yang paling mudah dipahami dari krisis negarawan sebagaimana kita kuatirkan akhir-akhir ini. Gejala korupsi tentu saja musuh bebuyutan dari sifat kenegarawanan, dimana cara berpikir dan bertindak terkesan berjarak sempit, elitik, egoistik, sektoralistik, konsumtif, eklusif, pragmatik dan individualistik, jauh dari cara berpikir dan bertindak bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Simpelnya, korupsi adalah cara berpikir dan bertindak pragmatis, bukan sebaliknya. Meskipun korupsi memiliki sisi positif dalam mengeratkan relasi patron-clien sebagaimana pikiran konservatif Huntington (1992), namun dalam tatanan sistem politik demokrasi sepertinya sisi tersebut tak mungkin kita toleransikan untuk tumbuh dan berkembang sejak runtuhnya politik otoritarian yang menjadi sarang bagi penyerbukan korupsi selama ini. Bagi saya, korupsi adalah gejala yang dapat tumbuh dimana-mana, apakah dalam sistem politik demokrasi, otoriter, lebih-lebih totaliter. Saya perlu mengingatkan bahwa korupsi bukanlah semata-mata milik sistem politik berdesain otoriter atau totaliter yang alergi pengawasan, pada sistem politik demokrasi boleh jadi korupsi menjadi semacam budaya yang terpelihara secara kolektif. Kalau ciri sistem otoriter bersifat orang-perorang, maka dalam sistem demokrasi bisa jadi tumbuh berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotong-royongan. Semakin lemah pengawasan kita terhadap gerak-gerik pemerintahan, semakin cepat pula ia tumbuh dan berkembangbiak menjadi penyakit yang susah disembuhkan. Catatan ini sekaligus menjadi blue print untuk mengkonfirmasi kembali makalah pemikir muda Yudi Latif yang disampaikan dalam orasi tunggal oleh MIPI Award, 26 Mei 2012 di Hotel Borobudur. Lalu, bagaimanakah cara mengatasi krisis negarawan dan gejala korupsi yang kini merambah hampir ke seluruh sum-sum tulang pemerintahan? Sepintas kita menyadari bahwa gejala korupsi secara tak langsung menghambat lahirnya negarawan. Atau mungkin sebaliknya, semakin tinggi beban korupsi disekeliling kita barangkali pertanda datangnya ratu adil sekalipun mesti menderita dulu selama masa yang tak ditentukan.  Bukankah demikian sejarah mengajarkan pada kita, bahwa kaum yang terdzolimi disuatu masa biasanya pasrah menunggu datangnya utusan Tuhan yang akan membawa mereka ke periode yang lebih baik.  Namun seberapa lamakah penantian itu mesti dilakukan? Didepan sejumlah peserta workshop saya selalu menjawab dengan optimisme bahwa sekalipun melahirkan negarawan membutuhkan waktu lama bahkan mungkin seratus tahun kemudian, namun lewat lembaga pendidikan berkualitas dimanapun kita berharap negarawan tadi dapat dilahirkan. Bukankah kita percaya bahwa negarawan dapat dilahirkan dan dibentuk (was born and created). Dilembaga dimana saya mengabdi, terlepas dari berbagai kekurangan yang disadari sepenuhnya, kami tidak saja mengasah kecerdasan sebagaimana dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi ternama, namun kami menyempurnakannya dengan pembentukan sikap dan keterampilan diatas nilai astabhrata. Kedelapan sendi kepemimpinan tadi kami aduk dalam sistem pengajaran, pelatihan dan pengasuhan yang diharapkan bermuara pada relasi vertikal dan horisontal sehingga berfaedah bagi dirinya dan lingkungan dimana mereka mengabdi. Ini setaraf dengan tujuan hakiki pendidikan sebagaimana kata Dewey (1992). Kami percaya bahwa dengan sedikit modal itu mereka mampu merawat dan mengembangkannya ketika bersentuhan dengan lokalitas dimana mereka menjalankan sebagian misi yang dipancarkan dari visi bangsa di titik pusat. Dengan modal itu pula kita semua berharap masyarakat dapat melakukan seleksi secara fairness agar mereka sungguh-sungguh menjauhi korupsi, serta menempa diri menjadi seorang negarawan sejati di kelak hari. (Hotel Jayakarta, 1 Juni 2012).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian