Biografi dan Semangat Kepahlawanan

Oleh. Dr. Muhadam Labolo

            Lewat spirit Gerard Way kita diingatkan kembali tentang makna pahlawan dalam arti luas, yakni orang biasa yang menjadikan dirinya sebagai sosok yang luar biasa.  Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati hingga Soesilo Bambang Yudhoyono dahulu hanyalah orang biasa yang kemudian bermetamorfosis menjadi seseorang yang luar biasa (from nothing to be something). Tentu saja berbeda dengan saya yang biasa di luar. Dengan semangat itu saya menyadari sepenuhnya bahwa makna pahlawan kiranya menyentuh semua aspek kehidupan. Maklum, berpuluh tahun lalu semasa di sekolah benak saya dipenuhi simbol pahlawan dengan senjata bambu runcing hingga senjata M-16 sebagaimana pernah tersandang waktu Latsarmenjurit di STPDN tahun 1992. Pahlawan sejati rupanya juga tak membutuhkan SK sebagai bentuk pengakuan bahwa seseorang adalah pahlawan. Mereka yang pernah mempertaruhkan hidup dan mati untuk orang banyak seperti Soekarno dan Hatta faktanya tetap hidup dalam sanubari rakyat Indonesia sekalipun SK-nya baru ditandatangani bulan lalu. Sama halnya jika pahlawan ada di hati, maka seorang guru besar yang sesungguhnya ada dalam pikiran, bukan di SK. Lihatlah bagaimana Buya Hamka mendapatkan predikat guru besar setelah menghasilkan kitab terjemahan Al-Azhar yang populer di manca negara. SK pada kenyataannya hanyalah dasar pembayaran tunjangan bagi pahlawan dan guru besar, bukan alat untuk menyelamatkan hidup orang banyak, apalagi sampai dipakai untuk menjawab masalah akademik. Ketika membaca biografi Pak Harto, The Untold Stories, (636 hal.), Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi (612 hal.) dan Ben Mboi, Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja (569 hal.), saya merasakan semangat kepahlawan menjelajahi ketiga tokoh tersebut dalam konteksnya masing-masing. Jika ketiganya mewakili sosok militer, maka sosok sipil lain yang menjadi pribadi luar biasa pekan ini dapat dibaca lewat biografi Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Karni Ilyas Lahir Sebagai Wartawan, atau Moerdiono Sang Konseptor, sosok setengah sipil separuh militer (Pamong Praja APDN Bandung plus wajib militer). Pak Harto dengan semua beban sejarah yang ditimpakan kepadanya selama ini ternyata memiliki banyak cerita yang tak diketahui publik luas. Sebagai anak bangsa, semua cerita dan pengakuan sejumlah pelaku sejarah dalam dan luar negeri membuat saya merasa berhutang budi kepadanya. Biografi yang dideskripsikan oleh lima orang penulis handal tersebut membuat kita terkadang ikut hanyut dalam suasana kebanggaan, kesedihan, keharuan, kecemasan, penyesalan hingga kelucuan yang tak tertahankan seperti diakui Maftuh Basyuni dalam potongan kisah Makan Siang Berlauk Emping di halaman 90. Pantaslah jika buku itu menjadi best seller hingga bulan ini. Saya yakin suatu ketika nanti Soeharto akan bernasib sama dengan kedua proklamator yang baru ditasbihkan sebagai pahlawan nasional, ia akan diakui, diterima dan dimaafkan atas segala kelebihan dan kekurangannya. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna sebagaimana kita memahami biografi Soekarno, Hatta, Sultan Hasanuddin maupun Imam Bonjol. Mereka semua memiliki sisi kelam yang mengundang kontroversi namun pada akhirnya dapat dipahami menurut latarnya masing-masing. Biografi kedua yang di tulis Ramadhan K.H tentang Ali Sadikin sengaja saya baca untuk memahami latar sosiologis dan masalah pemerintahan Jakarta tempo dulu. Sayang saya tak sempat baca buku sebelumnya tentang Kuantar Ke Gerbang yang katanya lebih mengesankan. Saya ingin memahami Jakarta lebih jauh sebelum sampai pada kepemimpinan Jokowi yang tentu saja buku biografinya bertaburan dimana-mana. Selama ini pula skripsi, tesis hingga disertasi saya mengambil Jakarta sebagai lokus penelitian. Kini saya bisa memahami mengapa Soekarno memaksa Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta waktu itu. Dalam sambutan pelantikan Ali Sadikin (1966), Soekarno mengandaikan Jakarta sebagai bandar pelabuhan yang hanya mungkin dinakhodai oleh seorang pemimpin berlatar belakang marinir untuk melayani masyarakat kota yang baru melahap kemerdekaan serta puluhan diplomat yang mengambil posisi sebagai perwakilan negara asing. Menurut Soekarno, hanya pemimpin yang memiliki karakter keras kepala (Belanda; koppig) yang dapat membenahi Jakarta dengan seribu satu macam masalahnya. Dengan modal 66 juta rupiah Ali Sadikin mulai membenahi Jakarta menjadi kota yang lebih manusiawi. Saya sebagai alumni patut berbesar hati, sebab sekda Pak Djumadjitih Sasmitadipradja yang dibanggakan Ali Sadikin waktu itu adalah seorang pamong yang berpengalaman dan berpengetahuan luas di bidang pemerintahan. Saya percaya bahwa sosok besar semacam Ali Sadikin tak mungkin akan menjadi tokoh yang akan dikenang dikemudian hari tanpa peran pamong senior semacam Djumadjitih.  Dengan semua pesan Soekarno serta kemampuan menyelesaikan masalah pelik selama dua rezim berkuasa, Jakarta kemudian berubah signifikan menjadi kota yang diperhitungkan sejajar dengan kota-kota lain di Asia. Biografi ketiga yang menjadi kebanggaan saya adalah memoar Ben Mboi dalam tiga karakter utama, yaitu sebagai prajurit, dokter dan pamong.  Sebagai prajurit tentu saja saya tak terlalu jauh mendalaminya sekalipun menarik membaca bagaimana Ben Mboi meyakinkan para jenderal termasuk Soeharto untuk menggolkan berbagai kebijakan lokal dalam sistem yang bersifat sentralistik. Saya cukup membayangkan bagaimana saya pernah bersentuhan dengan militer selama tiga tahun di masa STPDN di pimpin oleh Brigjen Sartono Hadisumarto (1990-1996), seorang ketua STPDN pertama yang memiliki ketegasan, ketekunan, disiplin, keteguhan, kebapakan dan kejujuran yang tinggi. Ben Mboi sebagai dokter saya pun tak terlalu lama membacanya, namun saya mengambil nilai penting pada sisi kemanusiaan dan konsistensinya terhadap etika kedokteran (code of conduct). Disini sisi militer dengan sapta marganya yang ketat dilenturkan oleh sisi kemanusiaannya sebagai dokter. Pada bagian akhir yang menarik adalah bagaimana Ben Mboi mengajarkan pada kita tentang korelasi pemerintahan praktis dan teori yang dipelajarinya di Belanda. Sintesis yang sempurna tadi meyakinkan saya tentang teori dan konsep desentralisasi bukanlah sesuatu yang sederhana sebagaimana yang kita pahami selama ini. Ben Mboi mencoba mengintegrasikan konsep dan norma desentralisasi kedalam pola yang disusun sebagai hasil dari praktek pemerintahan. Saya ingat hal ini pernah dikemukakan dalam kuliah satu semester untuk mata kuliah pengantar ilmu pemerintahan di IIP tahun 1999. Dengan kritik konstruktif terhadap pola pembelajaran di Institut Ilmu Pemerintahan beliau mengetengahkan pikiran-pikiran tentang perbedaan ilmu pemerintahan, ilmu-ilmu pemerintahan dan ilmu pemerintahan sebagai terapan. Sayangnya, pikiran-pikiran beliau tak menimbulkan respon akademik yang perlu didiskusikan hanya karena status beliau sebagai dosen luar biasa pada masa itu. Komitmen beliau yang tinggi terhadap penciptaan pemerintahan yang baik selama dua periode tentu menjadi pengalaman sekaligus pengetahuan berharga bagi siapapun yang bersungguh-sungguh ingin menjadi pamong praja. Melewati dua generasi terkini yang menjadi sosok luar biasa di depan publik lewat iklan dan acara Lawyer Club (Chairul Tanjung dan Karni Ilyas), saya condong untuk mengetahui lebih jauh tentang kelebihan Moerdiono sebagai Mensesneg dimasa Orde Baru.  Bagi saya sebagai alumni, Moerdiono adalah representasi pamong yang unik dan komplit. Unik karena mampu beradaptasi serta memiliki kemampuan lebih dalam mencerna pikiran Soeharto lewat naskah pidato yang luar biasa. Secara faktual Moerdiono bukanlah pembicara yang baik, namun dengan alasan kehati-hatian dalam memberikan komentar dan penjelasan kepada publik, beliau mampu menuangkannya lebih sempurna sebagai konseptor yang ulung. Dualitas latar belakang pendidikan menjadikannya sebagai sosok yang komplit, elit sipil sekaligus elit militer yang diperhitungkan. Lewat peran Soeharto, Ali Sadikin dan Ben Mboi kita dapat memahami dinamika pemerintahan pusat dan daerah. Dari catatan Moerdiono kita paham seluk beluk administrasi dan percakapan formal di Istana. Dan melalui sepak terjang Chairul Tanjung dan Karni Ilyas kita mengetahui bagaimana representasi civil society mampu melakukan kontrol terhadap dinamika pemerintahan yang diwakili oleh ketiga sosok di atas. Inilah sebagian kecil dari banyak pahlawan yang dapat kita tiru untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik (Hotel Daima Prasanthi, Padang, Nov 2012).    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian