Dinamika Relasi Indonesia dan Malaysia

Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Dinamika relasi Indonesia dan Malaysia ibarat Ipin dan Upin. Hidup serumpun namun sesekali beriak lewat konflik batas wilayah dan tenaga kerja.  Batas wilayah berhubungan dengan kedaulatan negara (souvergnity), sedangkan tenaga kerja bersentuhan dengan harga diri bangsa. Diantara semua rezim yang pernah berkuasa di Indonesia, Presiden Soekarno-lah yang berani menciutkan nyali negara separuh Kalimantan itu dengan slogan ganyang Malaysia. Pasca konfrontasi itu, Malaysia menjadi pengikut dan pembelajar setia di jaman Soeharto.  Mahatir Muhammad adalah contoh pemimpin asia yang memulai lawatan pertama sebagai Perdana Menteri Malaysia ke Indonesia dengan maksud sembah sungkem sekaligus belajar pada Soeharto tentang bagaimana membangun negara seluas Indonesia. Atas contoh itu maka beratus-ratus pelajar Malaysia dikirim ke berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia untuk menempa ilmu sebagaimana anjuran pemimpinnya.  Dengan modal itulah Malaysia kemudian membangun negaranya sekalipun tetap dalam konstruksi sistem pemerintahan Inggris.  Kini mereka yang pernah belajar di Unpadj, UI, ITB, IPB hingga UGM memasuki masa pensiun, sementara sebagian besar generasi Malaysia berikutnya justru menimba ilmu di barat.  Disinilah Masalahnya, dengan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang relatif stabil hasil konstruksi generasi lulusan Indonesia tempo hari, generasi Malaysia kini seperti melupakan semua kontribusi dimaksud, bahkan dengan kepercayaan diri yang tinggi (high confidence) mereka memandang Indonesia sebagai under developing country jauh di bawah mereka. Semua tekanan tersebut memperoleh momentum sejak runtuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang selama ini menjadi guru, kakak, dan saudara tua yang paling dihormati dilingkungan Asean (baca, Pak Harto, The Untold Stories, edisi kedua, 2012). Kini, dibawah kendali generasi Malaysia yang berkarakter western minded tadi Indonesia dipandang sebaliknya, anak murid, adik dan saudara bungsu yang baru lahir dari rahim reformasi pasca jatuhnya Soeharto. Saya pikir Malaysia kini berambisi menjadi pengganti posisi dominan Indonesia di kawasan Asean, bahkan ingin sederajat dengan Jepang di wilayah Asia. Sayangnya, jika Jepang sukses lewat restorasi Meiji yang mengadopsi kemajuan barat tanpa kehilangan identitas bangsanya, kini Malaysia menghadapi ancaman krisis identitas bangsa sebagaimana slogan yang mereka sebarkan dimana-mana, satu bahasa, satu bangsa dan satu negara. Dibandingkan dengan Indonesia, bahasa menjadi semacam tali penaut dari Sabang sampai Merauke sehingga identitas kebangsaan kita setidaknya terlihat dengan jelas.  Di Malaysia, mereka sibuk dengan berbagai seminar tentang budaya Melayu yang mulai terkikis lewat identitas bahasa yang tak menarik di kalangan generasi muda.  Ribuan generasi produk barat kini lebih doyan mengunyah kata dengan bahasa asing sambil mencampuradukkannya dengan bahasa Melayu sepotong-sepotong hingga kultur mereka seperti sedang diawetkan dalam museum. Sejumlah seminar dan simposium budaya berskala nasional dan international yang mereka gagas sebagai bentuk kekuatiran kurang mendapat respon dari berbagai kalangan, kecuali segelintir dosen bahasa dan budaya yang sekedar hadir untuk mendapatkan kredit bagi kepentingan guru besarnya. Sekali waktu mereka bertanya, mengapa seminar, konfrensi dan simposium di Indonesia banyak sekali pesertanya?  Saya hanya menjawab bahwa inilah indikasi dimana masa depan budaya Melayu hanya mungkin diselamatkan oleh bangsa Indonesia, bukan oleh Malaysia yang selama ini mengklaim sebagai proto-melayu (Melayu tua). Sebagai contoh, tanggungjawab menyelamatkan bahasa Melayu (baca: Bahasa Indonesia) jelas tercantum dalam konstitusi UUD 1945, demikian pula konsensus sebagai bahasa utama oleh Asean Community di samping bahasa Inggris. Hal itu bisa kita saksikan dalam Annual International Conference Islamic Studies (AICIS) ke 12 di IAIN Sunan Ampel Surabaya tanggal 5-8 November 2012, dimana lebih kurang 500 makalah dipresentasikan dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.  Melemahnya bahasa Melayu di kalangan generasi Malaysia dewasa ini sekaligus mendorong kepercayaan diri yang tinggi sebagai bangsa baru produk barat sekalipun disisi lain kekuatiran terlihat di raut wajah generasi tua yang mulai pensiun dari kancah pemerintahan. Lewat spirit itu generasi muda Malaysia tampak seperti kehilangan nilai ketika memandang Indonesia sebagai bangsa serumpun. Cara memandang atau berbicara yang mengesankan melecehkan tampak dari lafal indon saat menyebut warga Indonesia di Malaysia. Tentu saja secara psikis ini merupakan bentuk kekerasan terhadap harga diri bangsa yang pernah menjadi rujukan dan qiblat sebelum Malaysia seperti ini. Saya kira, kita membutuhkan kesadaran Malaysia guna menjaga relasi yang kuat dimasa akan datang. Hanya dengan cara itu kita dapat mempertahankan hubungan secara permanen kalau tak ingin memilih jalan konfrontasi selanjutnya. Jika Soekarno mampu memprovokasi nasionalisme kita terhadap perilaku Malaysia tempo hari, Soeharto dapat memaksa Perdana Menteri Lee Kuan Yew berlutut di pusara Usman dan Harun di Taman Makam Kalibata akibat hukuman gantung di Singapura, maka mengapakah kita tak sedikit berani menggertak kembali Malaysia agar sadar sebagai bangsa serumpun yang dapat hidup damai dan saling menghargai?  Malaysia seharusnya sadar bahwa Singapura adalah contoh dimana identitas kemelayuan mereka hampir punah hingga menjadi kelas ketiga setelah Inggris dan China. Bagi Singapura yang dulu bernama Tumasek dan hanya sebuah bandar kecil berbentuk rawa-rawa kini benar-benar menjadi milik bangsa asing setelah ditata rapi oleh Raffles.  Maka tak perlu heran jika simposium budaya Melayu hanya mungkin dilaksanakan di Malaysia dan Indonesia sebagai lokus bersemainya kebudayaan tersebut sebelum benar-benar punah di telan budaya asing.  Gejala tersebut terlihat jelas ketika kawan saya Michael dari Kuching yang pernah bersekolah di LAN Jakarta kebingungan menerjemahkan kata perkata bahasa Melayu pada anaknya yang sejak kecil tumbuh dan berkembang di London.  Keduanya adalah dosen komunikasi di Universitas Sultan Idris Malaysia yang mengundang saya dan kawan-kawan untuk mengikuti simposium Budaya Iban di Serawak tempo hari. Baginya yang pernah mengenyam pendidikan di Indonesia tak bisa melupakan bagaimana kontribusi Indonesia di bidang pendidikan terhadap generasi tua Malaysia.  Sebagai contoh pengakuan Muslim Malaysia, tak ada ulama kharismatik sekaliber Buya Hamka yang menjadi tandingan hingga kini. Untuk mengganti kerinduan tadi, Malaysia mengimport banyak Ustadz dari Indonesia lulusan Gontor sebagai penganjur agama sekaligus pengajar diberbagai universitas swasta dalam bidang studi Islam dengan upah tinggi. Kini para Muballiq asal Indonesia seperti Aa Gym menjadi rebutan sebagai dampak dari perseteruan politik antara partai pemerintah dan oposisi di Malaysia.  Bagi jamaah Malaysia, lebih baik mengambil Ustadz dari Indonesia yang netral daripada mengambil Ustadz dari salah satu pihak yang sedang bertikai guna menghindari konflik horisontal di tengah masyarakat Malaysia. Dalam konteks ini saya sejalan dengan pikiran Mahatir Muhammad minggu lalu dalam sebuah stadium general di Universitas Mercu Buana Jakarta, lebih baik Indonesia mengirim tenaga kerja terdidik yang dapat dihargai dan dihormati sebagaimana dosen dan penganjur agama daripada mengirim tenaga kerja yang terus menjadi bulan-bulanan generasi Malaysia yang mulai kehilangan identitasnya serta bergaya barat dalam melihat Indonesia sebagaimana kasus TKI yang di rogol (diperkosa) polisi diraja Malaysia di Mertajam bulan ini. Kalau ini tidak dilakukan, maka akumulasi kedongkolan bangsa di level akar rumput akan sampai pada titik ketidaksabaran yang dapat mempengaruhi hubungan kedua negara di kemudian hari. Harus disadari bahwa kita sedang menghadapi sebuah bangsa kecil yang sedang percaya diri di atas keberhasilan ekonominya sekalipun pada saat yang sama mulai menyadari ancaman krisis identitas bangsanya. Menurut saya ini adalah salah satu bagian dari tugas Menteri Muda Urusan Kebaikan Serawak yang kebetulan sempat berpose bersama sebelum simposium tersebut ditutup. (Serawak-Jakarta, 7 November 2012).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian