Dimanakah Bakti Pamong Praja IPDN?


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Sebuah buku yang disarankan Gamawan Fauzi agar dibaca alumni pamongpraja pada sambutan IKPTK di Hotel Redtop pertengahan Desember 2012 patut dicari dan dipercakapkan jika ingin mendalami spirit dan wawasan kepamongprajaan dari Sabang hingga Merauke.  Buku dimaksud adalah Kenang-Kenangan Pangreh Praja 1920-1942, di sunting oleh Van Der Wal, cetakan Djambatan 2001 dengan pengantar jurnalis senior Rosihan Anwar. Buku ini tak diterbitkan lagi seperti juga buku Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van het Adat Recht) tulisan tangan Prof. C. Van Vollenhoven.  Bagi alumni pangrehpraja lulusan Universitas Leiden dan Utrecht pastilah sempat di ajar oleh guru besar sekelas Van Vollenhoven, Van Poelje, Van Braz, Snouck Hurgronje dan Terhaar. Kebanyakan mereka pakar di bidang ilmu sosiologi dan antropologi, khususnya mengenai Indologie. Di perpustakaan IIP buku-buku mereka juga banyak yang sudah raib, kecuali satu dua yang telah diterjemahkan oleh Mang Reng Say seperti Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan), atau catatan Van Braz yang diterjemahkan Djopari kedalam handbook Sosiologi Pemerintahan. Sayangnya, sejak buku Kenang-Kenangan Pangrehpraja tersebut diterbitkan oleh KITLV perwakilan Jakarta, tak ada satupun kisah tentang sepak terjang pamongpraja sampai dengan diterbitkannnya buku Pengabdian Pamong Praja Papua Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia oleh  Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey, penerbit Kompas tahun 2008.  Buku ini murni catatan tentang pengabdian pamongpraja alumni APDN Papua yang sebelumnya bernama KDC.  Kedua buku tersebut sebenarnya cukup mewakili dua entitas alumni pamongpraja luar negeri (Belanda) dan dalam negeri (Papua) ketika menduduki jabatan Binnelands Bestuur di Indonesia. Usianya rata-rata selepas Wasana Praja IPDN, antara 21-22 tahun. Pertanyaan yang menggelitik untuk saya adalah mengapa almamater IPDN tak menggagas sebuah projek besar untuk meng-collect satu dua pengabdian alumni STPDN dan IPDN dari Sabang sampai Merauke sejak angkatan pertama hingga dua puluh?  Dengan mengambil sampel dari masing-masing provinsi bukankah kita dapat membuat buku dengan judul Pengabdian Pamongpraja STPDN-IPDN, 1990-2012, Transisi Orde Baru ke Orde Reformasi? Ini dapat dimulai dari perencanaan di tingkat fakultas, prodi atau bagian alumni IPDN hingga menjadi buku pegangan wajib bagi praja ketika masuk IPDN (bukan hanya buku Ospek apalagi panduan Kemenwaan). Selain itu saya membayangkan buku tersebut dapat menjadi semacam dokumentasi atas pengabdian yang tulus pamongpraja, cermin bagi siapapun yang berprofesi sebagai pamongpraja, serta karya nyata untuk menghapus luka lama di pelupuk mata publik. Semestinya buku semacam itu di cetak khusus setiap tahun untuk diberikan percuma pada orang tua wisudawan saat menunggu presiden memasuki lapangan upacara. Untuk apa? Supaya publik mengerti apa yang telah dicapai oleh pamongpraja sejauh ini. Supaya publik paham dan menerima kita dengan lapang dada. Supaya publik tidak mencerca kita hanya lantaran seorang praja tewas akibat kelalaian pribadi. Supaya publik lambat laun memaafkan kita dari semua dosa dimasa lampau. Supaya kita dapat belajar dari pengalaman manis dan pahit dimanapun pamongpraja ditempatkan. Supaya publik kagum dan menghargai daya juang (fighting spirit) pamongpraja muda, dan supaya negara maklum bahwa anggaran sebesar 400 juta perpraja tak sia-sia dibelanjakan selama ini. Inti kedua buku diatas sebenarnya menyadarkan kita tentang tiga kompetensi utama IPDN yang pernah dipresentasikan oleh Sadu Wasitiono, yaitu kompetensi teoritik, legal dan empirik.  Dimasa lalu, kompetensi legalistik justru berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan masalah secara fungsional. Semua perkara tidak bisa diselesaikan menurut hukum positif sebagaimana kita bayangkan dewasa ini. Disini membutuhkan pemahaman mendalam tentang sosio-empirik dimana pamongpraja bertugas. Semakin cepat kita memahami masalah yang dihadapi, termasuk prosedure dan mekanisme hukum adat yang berlaku, semakin efektif pula masalah diselesaikan. Semua masalah yang diselesaikan secara adil, lambat laun membangun kepercayaan masyarakat tidak saja pada hukum itu sendiri, namun pada pribadi pamongpraja sebagai leader di tengah masyarakat. Sedangkan kompetensi teoritik berkaitan dengan wawasan tentang ilmu filsafat, sosiologi, antropologi, politik, hukum dan ekonomi yang dapat digunakan untuk memahami gejala pemerintahan sebagai satu sistem yang saling bertaut dan berkelindan. Kompetensi teoritik yang diperoleh pamongpraja entah di negeri Belanda, Papua, Jatinangor maupun Cilandak selayaknya di uji ketika memasuki ruang empirikal di ranah tugas. Karena itu setiap pamongpraja mesti sering melakukan tournee alias blusukan, supaya paham kondisi masalah di tingkat bawah, sekaligus mampu menyelesaikannya secara langsung, bukan mengawetkannya menjadi projek di kelak hari. Soeharto, SBY dan Jokowi sering melakukan hal semacam itu.  Tetapi jangan lupa, perilaku turun jalan seperti itu jauh lebih awal dipraktekan Umar Ibnu Khattab hingga menemukan seorang janda yang menanak batu bagi anak-anaknya sampai lelah dan tertidur pulas agar lepas dari ancaman kelaparan. Pamongpraja semestinya melakukan hal mulia demikian, bukan duduk dibelakang meja, apalagi tiba-tiba langsung berkantor di pusat pemerintahan. Jangan heran di suatu saat nanti yang tercipta adalah pamongpraja elitis, bukan pamongpraja yang memiliki kepadatan sosio-empirik sebagaimana pengalaman dalam dua buku tersebut. 
Semakin tinggi konflik horisontal yang terjadi akhir-akhir ini diberbagai pelosok daerah sebenarnya secara tidak langsung membutuhkan penyelesaian menurut sosio-cultural. Dalam konteks itu pemerintah membutuhkan kader IPDN yang memiliki kompetensi sosio-empiric untuk menyelesaikan masalah pada level terendah sebagai akar-akar pemerintahan. Lewat pemahaman itu maka kompetensi legal-fungsional dapat dimainkan untuk menjadi semacam hakim perdamaian (magistraat). Saya sering mempraktekan hal itu ketika menjabat Lurah di Kota Palopo. Saya dapat merasakan kepuasan terpancar dari masing-masing pihak yang bertikai saat mencapai keadilan dan kedamaian. Jika saja semua masalah sepele saya bawa kehadapan polisi, maka bisa dibayangkan selain penjara penuh dengan pesakitan, ruang tunggu tentu saja dipenuhi barang bukti semacam sandal, kakao, charger listrik, hingga puluhan saksi atas kasus perselingkuhan, kawin lari dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Disisi lain daerah otonom kini menghadapi masalah disfungsi perencanaan jangka panjang, menengah hingga jangka pendek. Perencanaan cenderung di desain berdasarkan insting dan bersifat refleks, bukan pertimbangan rasional dan reflektif sebagai akibat dari perilaku pragmatisme dan transaksional. Disini pamongpraja dibutuhkan untuk mampu mendesain perencanaan secara teknokratis agar tak dipecundangi oleh profesi lain yang relatif memiliki kompetensi teoritik dan konseptual yang memadai. Prinsip kerja yang berorientasi to do haruslah di perlebar menjadi to think jika ingin menjadi primus interpares. Tantangan terakhir daerah otonom kini berkaitan dengan ketidakmampuan menerjemahkan kaidah legalistik sehingga memandu pemerintahnya masuk ke jurang korupsi. Ratusan aparat eksekutif dan anggota legislatif kini berkubang kehinaan dibalik jeruji besi mungkin bukan berkeinginan mencuri hak rakyat, namun sedikit alpa hingga sukar membedakan mana pengguna anggaran, mana kuasa pengguna anggaran dan mana pelaksana teknis kegiatan dan anggaran. Kekosongan itu membutuhkan kehadiran pamongpraja lewat kompetensi legalistik agar mampu menjejali pemerintah daerah tentang mana urusan yang berkonsekuensi jabatan (hukum) dan mana perilaku yang berimplikasi pribadi (etik). Dengan keseluruhan kemampuan tadi, maka profesi pangrehpraja dan pagerbaya yang mengalami metamorfosa menjadi pamongpraja tak akan lekang oleh panas, dan tak akan lapuk karena hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian