Sterilisasi Desa dari Birokrasi Weber
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Dalam sepinya dialog tentang
rekonstruksi undang-undang pemerintahan desa, kita tiba-tiba disodorkan draft
yang menelikung eksistensi desa dari jaman Sriwijaya, Majapahit hingga desa modern setelah 700 tahun kemudian. Meminjam
sedikit lirik lagu Armada, mau dibawa
kemana desa dalam konstruksi undang-undang itu? Soal desa sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum saya selalu merujuk pada aspek sosiologi hukum adat
sebagaimana ditulis Ter Haar, Soepomo dan Van Vollenhoven. Karenanya, saya
cenderung melihat desa sebagai satuan masyarakat sosial budaya daripada
kesatuan masyarakat hukum sebagaimana tergambar dalam rancangan itu. Ter Haar
membagi desa dalam kategorial desa geneologis, teritorial dan campuran
keduanya. Desa geneologis lahir karena homogenitas sekumpulan individu dalam
bentuk marga, serumpunan, sekeluarga atau semacamnya. Desa teritorial lahir
menurut batas-batas administratif yang ditentukan oleh negara. Sedangkan
kategori terakhir terbentuk secara transisional dari keduanya. Perbedaan atribut
desa geneologis lewat nama maupun urusan didalamnya menjadikan dasar pijakan
Belanda untuk mengeluarkan aturan IGO/IGOB sebagai omnibus regulation tanpa memaksa semua unit paguyuban tadi menyatu
dalam nama desa. Rezim Soeharto-lah melalui UU 5/1979 yang membajak semua unit
terendah tadi menjadi desa sekaligus entitas bagi seluruh aspek kehidupan politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya dan pemerintahan. Faktanya semua paguyuban tadi
secara terpaksa mengalami uniformisme
(penyeragaman) yang merenggut keperawanan sistem sosial dan struktur sosial
masyarakat. Bagaimana mungkin tanah di kampung saya yang lurus dipaksa
menyisihkan sebagian menjadi tanah bengkok buat pengurus desa sebagaimana sistem
nilai di Jawa. Bagaimana mungkin struktur sosial di Maluku dan Papua dimana
kepala desa diangkat berdasarkan silsilah raja-raja dipaksa untuk dipilih
laiknya Presiden Barack Obama. Ironisnya, Sultan Hamengkubuwono sebagai Raja
Jawa sampai detik ini diangkat dan dipertahankan berdasarkan sistem nilai yang
diyakini sejak ribuan tahun silam (political
appointed), namun pengaturan soal sirkulasi kepala desa di wilayah
Indonesia Timur di atur menurut style
Amerika (public eleted system).
Disini terjadi semacam pencerabutan akar-akar sosial yang tumbuh dan berkembang
mendahului negara diproklamasikan. Apa akibatnya? Semua aktivitas masyarakat di
unit terendah tadi berubah menjadi birokrasi. Negara yang berkarakter formal
pada asalnya lahir dari entitas desa yang bersifat fungsional. Negara kemudian bertumbuh
dan berkembang kian kompleks hingga berjalan secara formalistik. Asasinya negara
tak lahir dari entitas formal, namun tumbuh dari entitas non formal yang
mengalami evolusi karena kesamaan tujuan dan cita-cita. Ketika desa di sulap
menjadi birokrasi (pemerintahan desa), maka perilaku desa mengalami semacam
halusinasi antara menikmati keaslian otonomi atau menunggu kucuran otonomi
berian. Dilema itu mengingatkan kita pada pertanyaan Ndraha (2000), apakah
otonomi desa berada dalam kerangka otonomi daerah, ataukah otonomi dalam
otonomi desa? Faktanya disatu sisi diakui sebagai entitas yang memiliki otonomi
bawaan (asli), disisi lain terjerat oleh berbagai intervensi negara lewat
prinsip hirarkhi, formalisasi, spesialisasi dan impersonalitas yang di desain
lewat instrumen birokrasi. Pembentukan struktur pemerintahan desa, pemakaian
baju dinas aparatur negara, penempatan sekretaris desa dari pegawai negeri
sipil hingga rencana mengkonversi aparat desa menjadi PNS murni merupakan
indikasi kuat dimana negara sebenarnya telah menihilkan desa sebagai entitas
budaya yang sesungguhnya. Jika desa didandani menurut logika birokrasi Maxi
Weber, maka secara faktual prinsip hirarkhi bukanlah nilai yang tepat bagi
nagari di Sumatera Barat yang cenderung bersifat equality. Jika di Jawa kepemimpinan pada umumnya bersifat tunggal-sentralistik, maka di sebagian
lain bersifat kolegial-desentralistik.
Ketunggalan kekuasaan berkecenderungan menciptakan hierarkhi yang ketat,
sedangkan kolegialitas melahirkan kesetaraan demokratis. Prinsip formalitas
tentu tak akan mendapatkan tempat yang layak dilingkungan desa, sebab semua
masalah di desa diselesaikan secara non
formal. Sepanjang masa orde baru,
desa diajarkan menyelesaikan masalah menurut aturan birokrasi sehingga seluruh
tatanan asli yang selama ini menopang sistem sosial desa buyar berantakan
menjadi museum dan heritage tanpa
makna. Sebagai indikasi dari gejala itu adalah hilangnya kemampuan struktur
sosial desa dalam menyelesaikan masalah sepele di desa semisal kehilangan
sandal, buah kakao, kelapa dan sebagainya. Semua perkara di lingkungan desa
dianggap tindakan kriminal pidana yang mesti dituntaskan lewat hukum positif
yang justru tak berdaya (powerless).
Muara dari kesenjangan itu dengan sadar ketika kita nikmati berupa konflik
Poso, Ambon, Sampit, Cipasung, Bima, Lampung hingga Papua tak kunjung beres
hingga ke akar-akarnya, karena akar-akar itu sendiri yang selama ini menjadi
penunjang mengalami pelemahan secara sistematik. Prinsip spesialisasi juga tak realistik
diterapkan jika desa dipaksa menjadi bagian dari birokrasi negara. Semua
pengurus desa dituntut masyarakatnya agar mampu menyelesaikan masalah secara umum
(general), tak penting apakah dia
kepala desa, carik atau pengurus biasa, semua mesti rela menyelesaikan perkara dari
lahir hingga mati, dan dari fajar hingga fajar kembali. Semakin tinggi general competensi pengurus desa,
semakin adaptif mereka dihadapan masyarakatnya. Ini jelas beda ketika kita
berada dalam lingkup birokrasi modern yang membutuhkan spesialisasi. Jika anda
dalam sekali jalan dapat menyelesaikan perkara orang mati, lahir, nikah,
khitanan, khotbah, atau mempimpin doa, menjadi imam, menjadi hakim pendamai dan
mewakili keluarga pengantin dalam berbagai sambutan seremoni, dijamin andalah
yang paling mungkin dipilih menjadi pengurus desa bahkan untuk masa jabatan seumur
hidup. Inilah hasil observasi lapangan
saya lewat Laboratorium Desa, PPL, PKL dan BKP selama tiga tahun di Desa
Tanjung Sari Sumedang antara tahun 1992-1995. Prinsip terakhir birokrasi yang
tak mungkin adaptif adalah impersonalitas. Jika birokrasi modern bertanya
tentang apa yang hendak dilayani, dan bukan tentang siapa yang sedang dilayani,
maka karakteristik desa justru mempersoalkan keduanya, sebab desa selalu
melihat apa masalahnya sekaligus mempertanyakan siapa yang sedang bermasalah.
Dalam konteks ini desa tampak humanistik, sementara prinsip birokrasi Weber
cenderung mengalami dehumanisasi.
Sebenarnya, gagasan Soepomo yang
dituangkan lewat pasal 18B UUD 1945 secara normatif cukup menjadi titik pijak
dalam pengaturan desa sebagai entitas yang khas. Lewat kesadaran itu serta
upaya pertobatan atas kegagalan pengaturan desa di masa lalu, semangat UU
22/1999 dan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah sengaja menihilkan desa dengan
maksud men-stelirisasi dan men-deregulasi desa dari kooptasi negara,
supaya desa tumbuh berdasarkan otonomi aslinya. Sayangnya, otonomi desa meringkuk
dalam penjara otonomi daerah sehingga tak berkutik memainkan perannya lewat
peraturan desa. Semua kewenangannya mengalami penyusutan dan ludes di mangsa
peraturan daerah, sementara subsidi desa bergantung dari kontrak politik dengan
senayan dan kandidat kepala daerah. Parahnya, intervensi negara semakin jauh
memasuki sum-sum tulang paling dalam
ketika sekretaris desa diangkat dari pegawai negeri sipil. Di tengah kegalauan
itu muncullah keinginan sebagian kepala desa di Jawa agar desa di atur kembali
sebagaimana rezim orde baru. Kini kita dihadapkan pada dilema dalam pengaturan
kembali soal desa, jika dulu kekuatan sentrifugal
yang mengubah wajah desa menjadi birokrasi, kini kekuatan sentripetal-lah yang seakan mendorong desa kembali berpraktek
birokrasi. Desa yang semestinya steril dan berperan sebagai warung bagi terpeliharanya nilai hakiki
demokrasi, kini sedang diasapi menjadi ruang birokrasi sekaligus sarana bagi
pertaruhan politik tingkat tinggi menuju stabilitas kemenangan di tahun 2014.
Komentar
Posting Komentar