Kebahagiaan dan Intoleransi Beragama


Oleh. Muhadam Labo

          Pergeseran ukuran pembangunan kini menekankan pada variabel, dimensi hingga indikator yang bersifat intangible. Semua hal yang bernuansa abstrak seperti kebahagiaan hidup menjadi parameter untuk menentukan apakah seseorang atau suatu negara mencapai kebahagiaan hakiki atau sebaliknya. Variabel kemakmuran kini tidaklah semata-mata diletakkan pada dimensi terpenuhinya kebutuhan fisik seperti sandang, pangan dan papan. Mereka yang tampak kaya secara ekonomi di pandang belum tentu memperoleh kebahagiaan dalam makna sesungguhnya. Seseorang yang mengidap obesitas sepintas memiliki investasi kemakmuran, namun pada saat yang sama mengandung seribu satu macam resiko dari keafiatan jasmani seperti serangan jantung, darah tinggi, kolesterol hingga asam urat. Bahkan mereka yang menerima remunerasi hingga senyam-senyum memburu finger setiap pagi dan petang tak selalu bahagia ketika akhirnya istri dan anaknya kedodoran di antar-jemput dipinggiran jalan. Bagi sebuah negara sehebat Amerika, kemapanan ekonomi pada sebagian besar masyarakatnya (dalam kondisi tak krisis), kekuatan militer, hingga kemajuan teknologinya tak serta merta menjadikannya negara paling bahagia di muka bumi. Sejauh ini, Bhutan sebagai negara kecil di Asia Selatan menjadi negara paling bahagia di tengah kehidupan rata-rata negara sebesar Indonesia sekalipun. Bhutan terletak di bawah pegunungan Himalaya, tanahnya tak subur, hasil tambangnya tak banyak dan pendapatan warganya tidak tinggi. Bhutan di sebut sebagai “Shangrilla di kaki gunung Himalaya” yang 97% rakyatnya menganggap dirinya sangat berbahagia, bukan kebahagiaan yang berasal dari pemuasan nafsu dunia fana, melainkan berasal dari iman dan konsep tahu-cukup. Bagi warga di Bhutan asalkan punya rumah dan sawah mereka sudah cukup puas. Orang Bhutan beranggapan kemiskinan yang sesungguhnya adalah apabila tak mampu beramal pada orang lain. Dikarenakan beragama Budha, mereka tidak membunuh makhluk berjiwa. Itulah sebabnya mereka mengimpor daging dari India. Namun demikian di atas meja makan jarang terlihat jenis daging, melainkan makan sayur-sayuran atau produk dari susu yang membuat mereka puas. Pengalaman kebahagiaan Bhutan berasal dari Jigme Singye Wangchuck IV, sang mantan raja yang tak mendahulukan perkembangan ekonomi melainkan mendirikan negara yang berbahagia sebagai amanah jabatannya, dengan kesetaraan, kepedulian dan konsep ekologi. Versi lain tentang negara paling bahagia menempatkan Costa Rika dan Denmark. Demikian pula Indonesia, meski harus sabar di urutan kesekian. Apakah makna kebahagiaan menurut kita? Kebahagiaan bagi saya adalah suatu kondisi yang menentramkan hati dan pikiran sebagai wujud dari kesyukuran atas semua yang diperoleh secara adil dan proporsional. Adil menunjuk pada cara memperoleh dan menikmati semua hal menurut spiritualitas yang saya yakini. Memperoleh dan menikmati sesuatu di luar kehendak Tuhan tentu akan menciptakan kegalauan yang menjauhkan diri dari spirit kebahagiaan. Proporsional menekankan pada segala hal yang diperoleh dan dinikmati sesuai kadar kita tanpa merasa berlebih atau kekurangan. Memperoleh dan menikmati segal hal melampaui atau kurang dari hal itu relatif membuat gelisah hingga mengurangi kadar kebahagiaan itu sendiri. Itulah mengapa permintaan umat Muslim selalu melingkupi satu kesatuan kebahagiaan di dunia dan akhirat (rabbana aatina fiddunnya hasanah, wa fil akhirati hasanah waqina adzabannar). Bagi negara sesederhana Bhutan, lewat analisis Todaro tentang three object of development (1977), sekalipun mungkin derajat kehidupan (levels living) tak menunjukkan perubahan signifikan, namun dua aspek lain yaitu tingkat kepercayaan diri (self esteem) dan kebebasan individu (freedom/democracy) paling tidak memperlihatkan gejala dominan dalam kerangka hubungan antar individu dalam masyarakat, bahkan dalam kerangka hubungan antara pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Self esteem adalah adalah kepercayaan diri yang memungkinkan setiap orang dapat melakukan segala hal dalam kerangka hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kepercayaan diri yang tinggi seseorang berani menyediakan dirinya sebagai pemimpin atau memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk memimpin dirinya dan orang lain. Lewat kepercayaan diri pula seseorang berani menyatakan pikiran dan sikapnya tentang berbagai hal yang disetujui maupun sebaliknya. Kepercayaan diri dapat mengantarkan setiap orang atau negara pada kemandirian, sekalipun kondisinya terbatas dalam banyak hal. Kepercayaan diri juga mendorong lahirnya competitiveness dalam mencapai berbagai tujuan, bahkan terkadang mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan. Jika modal kepercayaan diri meningkat, maka kebebasan individu (freedom) sebagai basis nilai demokrasi terdorong untuk berkumpul dan berserikat, mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam kelompok kecil hingga memposisikan diri dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Apablia partisipasi masyarakat meningkat, maka dukungan dalam konteks berpemerintahan efektif memberi peluang bagi pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan yang diperlukan. Jika Bhutan sebagai negara kecil yang tak memiliki banyak sumber daya namun mampu mencapai tingkat kebahagiaan tertinggi, bukankah self actualization dapat dipenuhi tanpa mesti memperbesar kebutuhan primer sebagaimana tesis Abraham Maslow (1960). Maslow menekankan perlunya kebutuhan primer sebagai tahapan dasar tetapi tak berarti berlebihan. Sejauh seseorang mampu memenuhinya sampai pada batas tertentu maka tahapan selanjutnya bukanlah masalah yang berarti. Dalam realitas perpolitikan kita, nafsu meraup kekuasaan mendadak melesat tak terkendali disebabkan tahapan kebutuhan pada tingkat pertama tak dapat dipenuhi secara permanen. Seseorang dalam keadaan lapar tiba-tiba saja memegang amanah menjalankan pemerintahan dengan modal 400-600 milyar setahun di daerah. Tak heran jika yang muncul bukan kepala daerah mendadak berprestasi atau mendadak dangdut, namun mendadak korup.  Angka korupsi Indonesia pada akhirnya menjadi raport paling merah di antara sejumlah penilaian atas perkembangan pembangunan hingga akhir tahun 2012 yang membuat kita gelisah sekaligus sulit menggapai kabahagiaan. Mudah-mudahan kita bukan negara yang paling bahagia dengan tingginya jumlah koruptor.
Dalam praktek pemerintahan, upaya mendorong tercapainya kebahagiaan warga baik instan maupun permanen di injeksi oleh berbagai instansi seperti departemen agama, pariwisata, hingga pertahanan dan keamanan. Di level pemerintah daerah, dinas pariwisata, keagamaan, kesbangpol hingga kepolisian daerah berperan aktif menjamin terpenuhinya situasi dan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kebahagiaan bagi warganya. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dan menjamin warganya agar mampu menumbuhkan kebahagiaan itu sendiri, bukan di paksa bahagia sebagaimana nama kawan saya Bahagia Ginting. Menyiapkan karnaval akhir tahun semalam suntuk di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin Jakarta adalah salah satu cara memfasilitasi warga untuk memperoleh kebahagiaan kendatipun semu sifatnya. Bagi mereka yang tak menyukai keramaian sebagai cara memperoleh kebahagiaan dapat bergabung di Masjid At-Tin misalnya untuk berdzikir dan mendengarkan petuah agama agar kebahagiaan dapat dipertahankan terus-menerus. Ini urusan kementrian agama. Maklum, kebahagiaan biasanya bersifat up and down, bergantung sentimen situasi dan kondisi. Bagi mereka yang tak memilih keduanya dapat mencari alternatif di Taman Lokasari Jakarta agar semampunya berteriak dalam ruangan karaoke, music live hingga nonton bareng di Twenty One. Ini tugas kementrian pariwisata. Bagi mereka yang juga tak memilih apa-apa kecuali mengurung diri di rumah, pemerintah patut memberikan jaminan bagi tercapainya kebahagiaan sejak tidur hingga bangun esok hari. Ini tugas bagian keamanan dan ketertiban umum. Lebih dari itu pemerintah berkewajiban memfasilitasi tumbuhnya kepercayaan diantara sesamanya. Gejala dimana Indonesia menjadi negara yang memiliki raport buruk dalam hal intoleransi disebabkan hilangnya kepercayaan inter dan antar umat beragama (LSI, Maret 2010). Ketakutan yang berlebihan terhadap mereka yang berbeda keyakinan menjadikan kita saling curiga hingga tak rela hanya untuk menyampaikan selamat tahun baru. Menyampaikan apresiasi demikian seakan-akan merontokkan iman kita seketika atau takut dikatakan murtad. Naif, dangkal dan sungguh menggelikan, sekaligus menjadikan bangsa ini semakin intoleran dan eklusif, jauh dari sikap inklusif sebagaimana harapan foundhing fathers dan mungkin juga founding mothers saat mendirikan rumah bernama Indonesia. Apakah ketika bintang film sekelas Christina Hakim memainkan peran sebagai pahlawan Islam bersejarah Cut Nyak Dien lantas menggugurkan keimanannya dari Kristiani menjadi Muslim? Apakah seorang muslim yang berperan sebagai Nabi Isa dalam sebuah drama teatrikal tentang penderitaan Isa as seketika mengubah keimanannya menjadi kristen? Saya pikir ini tak relevan, kecuali kita menyimpulkannya dengan semangat intoleransi yang kian berpotensi menciptakan ketegangan bagi sesama anak bangsa. Saya mengajak kepada kita kiranya perlu merenungkan kembali pernyataan almarhum Frans Seda, seorang mantan Ketua Umum Partai Katolik pengganti J. Kasimo sekaligus mantan menteri perkebunan, keuangan dan perhubungan yang anti komunis serta bersih korupsi di era Soekarno dan Soeharto dalam konteks toleransi beragama dihadapan penganut katolik, “anda tak perlu takut bertemu dengan setiap muslim, sebab setiap anda bertemu dengan 10 orang Indonesia, pasti 8 diantaranya adalah muslim. Dan jika anda takut bertemu dengan mereka, jangan jadi orang Katolik dan Indonesia, yang penting bagi kita adalah bagaimana membangun komunikasi antar umat beragama”. Saya membayangkan jika saya sebagai muslim minoritas di tengah-tengah mayoritas masyarakat Bali dan Flores, maka sebagai warga yang baik saya tak perlu takut bertemu dengan 10 orang non muslim yang mungkin hanya satu diantaranya beragama Islam. Dalam konteks etnis saya tentu tak perlu takut bertemu orang Jawa, sebab setiap anda bertemu 10 orang Indonesia, kemungkinan hanya 3 orang bukan Jawa. Itulah realitas kemajemukan yang harus kita terima jika kita memang bersedia keukeuh hidup dalam rumah yang kita cintai semacam ini. Bagi saya, memperoleh pemimpin yang mampu memahami dan menyadarkan umatnya atas kemajemukan Indonesia sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri, sebab dengan semua itu menunjukkan bahwa proporsi toleransi sekaligus demokrasi di negara seluas ini setidaknya mampu kita tingkatkan di tengah konflik horisontal yang kini menjadi bahaya latent di kampung-kampung dan sulit diatasi. Akhirnya, inilah yang sering membuat kerisauan bagi saya, sekaligus menjauhkan jarak kebahagiaan hari demi hari. Kini tugas berat bagi generasi kita adalah mendesain ukuran-ukuran kemakmuran daerah dalam konteks kebahagiaan masyarakatnya, bukan sekedar kemakmuran ekonominya. Bagi wilayah semisal NTT mungkin saja jauh dari gemerlap sumber daya ekonomi, tetapi dengan semua kerukunan dan kesahajaan itu merekalah yang paling bahagia dibanding Jakarta yang padat dengan kompleksitas masalah. Saya dan mungkin warga Jakarta lainnya termasuk yang paling tak bisa bahagia ketika berhadapan dengan macet, banjir dan kriminalitas yang kini melanda rumah Si Doel Anak Betawi. (Penajam Pasir Utara, Januari 2013).

Komentar

  1. Excuse me, i want to copy all of your paper in this blog. in order that i can read it in offline mode. Thank you sir.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian