Kearifan Lokal Sebagai Benteng Kultural
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Catatan
Zainal Majdi (Gubernur NTB) dalam opini Republika,
21 Januari 2013 tentang Membangun Benteng
Kultural menarik untuk didiskusikan. Selain konten masalah ini pernah saya
presentasikan di Provinsi Papua tempo hari, juga menjadi konkrit ketika Wahana
Bina Praja menggagasnya dalam seminar terbatas berjudul Aktualisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Good Governance,
Sabtu, 26 Januari 2013, pukul 09.00-11.00 di Aula Zamhier Islamy IPDN
Cilandak. Saya pada dasarnya
mendukung sepenuhnya aktivitas praja sekalipun paham mesti berhadapan dengan
ketatnya lika-liku birokrasi. Seandainya lembaga ini benar-benar rela bertumpu
pada aspek fungsionalnya, saya pikir banyak aktivitas positif yang dapat
dilaksanakan praja tanpa terperangkap pada instalasi struktural dari pintu ke
pintu. Misalkan saja, kreativitas senat
praja yang tulus melaksanakan seminar terbatas lewat pikiran dan modal tiga
setengah juta rupiah, merupakan kerja akademik yang mesti diberi apresiasi. Syukurlah
semua terselenggara dengan baik, bahkan memperoleh apresiasi tinggi dari Teras
Narang selaku Presiden Asosiasi Masyarakat Adat Dayak. Selain saya, narasumber
lain yang berpartisipasi memenuhi undangan Senat Praja IPDN Cilandak adalah rekan
Empi Muslichon (DPD RI) dan Abu Hasan Asary (Dosen Filsafat IPDN sekaligus
anggota Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia). Semua mereka laksanakan dengan
bahu-membahu, wasana dan nindya, plus pengasuh yang kompak. Seyogjanya kedepan mereka tinggal diarahkan
untuk melaksanakan agenda besar lain seperti seminar tentang Studi Kelayakan Relokasi Pusat Pemerintahan
di Indonesia. Saya kira, kalau idealisme mereka di support dengan baik, untuk praja di Cilandak yang memang
dititkberatkan pada aspek knowledge, saya
pikir tak sulit jika hanya ingin menghadirkan tokoh-tokoh nasional sekelas
Ketua KPK, Ketua MK, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua BPK, Kapolri, Gubernur DKI
Jakarta, Ketua Umum PBNU, Ketua Umum Muhammadiyah, Ketua PGI, Habibie, Jusuf
Kalla, para Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Lembaga Non Departemen
saban bulan sekali. Ternyata mereka tak
butuh uang banyak, kecuali persetujuan pimpinan yang didampingi para pengasuh
agar muncul kepercayaan diri yang tinggi, mengenal masalah pemerintahan
nasional, serta memahami perspektif luar dalam melihat problem pemerintahan.
Harus diakui selama ini praja terpenjara oleh masalah teknis pemerintahan di
tingkat kelurahan dan kecamatan yang berstandar strukturalistik, tanpa paham
bagaimana masalah-masalah pemerintahan menjadi semakin kompleks dan bersifat
kulturalistik. Dengan kegiatan semacam itu kita berharap praja semakin berkembang
otaknya, bukan memperbesar ototnya lewat kegiatan fisik yang beresiko
menimbulkan kematian mendadak. Lewat seminar semacam itu kita mampu membangun image positif dihadapan publik dan para
tokoh nasional, sekaligus menghapus raport merah selama ini.
Kembali ke masalah kita, benteng
kultural dimaksud adalah kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masing-masing
daerah sebagai heritage yang tak
ternilai harganya. Kearifan lokal adalah budaya luhur yang diciptakan nenek
moyang lewat pengalaman yang berubah menjadi pola-pola tertentu dan kaidah.
Walaupun ia bukan sebuah ilmu pengetahuan, namun relatif menjadi sumber bagi
ilmu pengetahuan modern dalam menyusun teori, konsep dan dalil-dalil secara
logika. Lewat tiga etnik besar di NTB, Zainal Majdi menyerap sejumlah ungkapan
(lawas) lokal yang mewakili ketiganya
yaitu Samawa, Mbojo dan Sasak. Tampak bahwa ungkapan-ungkapan yang tumbuh dalam
masyarakat lokal merupakan kompleksitas nilai yang bertekstur universal. Intinya
soal persaudaraan dan kemanusiaan sejati. Kearifan lokal tadi semestinya
menjadi benteng pertahanan paling efektif atas rapuhnya rasa kesebangsaan yang kian
menyusut. Dengan modal itu kita tak akan mendengar konflik antara Densus 88 lewat
hard power untuk memotong jalur
perkembangbiakan radikalisasi agama (clear
cut) dengan kelompok HAM yang menggunakan soft power sebagai pilihan paling lunak. Dengan menumbuhkan
kearifan lokal sebagaimana pula dikatakan Teras Narang, kita mampu melupakan
perbedaan yang menjadi sumber perselisihan bangsa selama ini. Dengan
menggunakan konsep rumah adat (huma
betang) sebagai payung bagi semua anak bangsa, maka hukum, keadilan,
persamaan, keharmonisan dan kesejahteraan dapat dicapai secara bersama-sama.
Jika konsep kemanusiaan sebagai kearifan lokal yang dikembangkan Zainal Majdi
serta rumah adat sebagai payung perlindungan kolektif sebagaimana diutarakan Teras
Narang terintegrasikan, maka landai Indonesia yang multikulturalis semacam ini menjadi
mudah membumikan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Secara historis, semua
konsep kearifan lokal kita lahir jauh sebelum Indonesia merdeka sebagaimana
dikatakan Empi Muslichon, seorang ahli perencanaan wilayah lulusan Perancis,
alumni IPDN tahun 1998. Wilayah-wilayah di Indonesia merupakan entitas yang memiliki
kekhasan masing-masing. Semua nilai itu kita tinggalkan secara tak sadar serta
mengalami adaptasi akibat tekanan internal maupun eksternal. Kritik konstruktif
beliau dalam konteks kebijakan adalah sulit mewujudkan good governance jika kepala daerah sendiri tak menyadari kebijakan
yang dibuat justru melalaikan kepentingan masyarakat, apalagi sampai berpihak
pada kelompok kapitalistik. Sebagai
pembahas, Abu Hasan memberi apresiasi tentang apa yang telah dicapai Provinsi
Kalimantan Tengah berkenaan dengan kepemilikan dua puluh persen minimal atas hak
pengelolaan tanah ulayat. Ini menunjukkan bahwa pemda cukup serius dalam
mengejawantahkan amanat konstitusi pasal 18B UUD 1945, sekalipun menurutnya
pemerintah sendiri absen dalam pengaturan tentang hukum adat. Puluhan praja
berkompetisi untuk berdialog pada sesi pertama yang dibuka oleh Asrihadi selaku
moderator yang memiliki jam terbang paling tinggi sepanjang pengetahuan saya
sebagai kolega. Saya sendiri terpaksa menahan diri untuk memberi kesempatan
yang seluas-luasnya bagi praja. Saya hanya menyumbang makalah pada panitia,
sebab posisi saya tiba-tiba di daulat memberi sambutan seadanya. Saya kira ini
peran yang mesti saya bagi untuk memberi ruang pada orang lain, sekaligus
mempertahankan spirit panitia seminar agar tak gampang patah arang. Satu pertanyaan dari Wasana Praja Ali Akbar Velayati
Rafsanjani asal Selayar tentang konsistensi Teras Narang dalam menerapkan nilai
kearifan lokal menjadi sebuah pertanyaan serius dan kritis, membuat penyaji
merasa pantas mereka terpilih sebagai kelas
kopasus yang belajar di Cilandak. Ali Akbar adalah salah satu praja kelas
bilingual yang lulus untuk membawakan makalah tentang Penguatan Peran
Kesbangpol dalam Manajemen Konflik di Indonesia, Studi Kasus FPI dan FBR, dalam
seminar international di Universitas Ngurah Rai tanggal 21 Februari 2013.
Pertanyaan lain diborong Wasana Wanita Praja tanpa menyisakan sedikitpun buat
Nindya Praja. Moderator tampaknya kesulitan membagi waktu yang terlalu singkat,
sehingga menjadi panggung khusus buat penyaji dan wasana praja. Kiranya saya tak perlu menggambarkan akhir
seminar yang luar biasa itu, sebab moderator pada akhirnya membahagiakan semua
praja dengan berfoto bersama Teras Narang, dilanjutkan lunch lengkap dengan panitia Wahana Bina Praja, kandidat dosen plus
pengasuh yang sangat proaktif. Seminar ini merupakan salah satu metode
pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi intelektual, legalitas dan
empirikal yang selama ini menjadi duduk persoalan kita. Lewat diskusi kiranya mampu
merangsang intelektual praja. Dengan aspek legalitas mereka paham bagaimana
dilema ketika konsep demikian bermuara di tingkat implementasi. Dan dengan semua deskripsi penyaji sebagai
orang yang bersentuhan langsung dengan problem lokal, sepertinya praja sedang
diajak untuk memahami sekaligus menyelesaikan masalah empirik-sosio kultural.
Saya mengatakan pada penyaji bahwa kesulitan Jokowi bukan soal struktural,
sebab APBD Jakarta lebih dari cukup, pemerintah pusat dekat serta tenaga ahli
tersedia dimana-mana. Masalah Jakarta adalah masalah kultural, seperti
bagaimana mengubah pola pikir masyarakat yang nekat hidup dipinggiran Daerah
Aliran Sungai Ciliwung, familiar hidup di samping rel kereta api, serta
kesenangan membuang sampah di sembarang tempat.
Sekali lagi ini persoalan kultural, bukan semata soal struktural. Sayangnya,
semua kebijakan dominan di drive oleh
kepentingan, bukan oleh pengetahuan yang selama ini kita pahami. Demikian kata Juergen
Habermas, seorang pemikir politik modern. (Hotel Purnama,
Puncak Bogor, 2013)
Komentar
Posting Komentar