Bongkar Kebiasaan Lama
Oleh. Muhadam Labolo
Menjelang transisi kepemimpinan di
lembaga pendidikan pamong satu-satunya di muka bumi ini, saya ingin menitipkan
empat agenda penting yang semestinya menjadi pekerjaan rumah siapapun yang akan
menjadi rektor di sekolah bergengsi namun keropos akibat gejala osteoporosis di akhir tua. Penyakit ini jamak di kaum hawa, namun bukan
mustahil menyerang sekelompok pria usia paruh baya akibat doyan daun muda. Tanpa agenda yang jelas,
lembaga akademik semacam ini tak lebih dari sekedar kantor satuan polisi pamong
praja, lengkap dengan atribut berikut kenderaan operasionalnya. Sekali lagi, tanpa
agenda jelas, semua kerja keras kita selama 23 tahun terakhir tak pernah
mencapai titik tertinggi dari peradaban pamongpraja, kecuali cacian dan umpatan
publik yang tak henti-hentinya. Meminjam penulis masyarakat prismatik Riggs
(1985), sebuah organisasi semakin tua seharusnya semakin adaptif terhadap
lingkungannya, dan bukan sebaliknya. Agenda pertama, perlunya otonomi
pemilihan rektor sebagaimana pernah dilakukan di kampus tertua Institut Ilmu
Pemerintahan. Lewat pemilihan rektor oleh senat akan jelas masa depan setiap
dosen. Setiap dosen akan berupaya menampilkan kinerja terbaik yang dimiliki
untuk meyakinkan setiap anggota senat bahwa dialah yang layak menjadi rektor,
dan bukan kader picisan. Pilihan senat akan menghasilkan dua kandidat yang
seterusnya ditetapkan salah satunya oleh Mendagri. Disini Mendagri tak
kehilangan hak prerogatifnya, sekaligus menjadikan pilihan kedua sebagai wakil
rektor. Jika sistem ini disepakati, maka dengan sendirinya menghindari masuknya
kandidat luar yang tak jelas ujung pangkalnya, sekaligus menghindari titipan
kilat yang muncul sewaktu-waktu. Kita membutuhkan rektor yang paham mengelola
kampus, bukan paham mengelola projek. Apabila sistem sekarang ini kita
pertahankan, maka mereka yang waras tak akan pernah muncul ke permukaan,
sebaliknya mereka yang tak waras berpeluang memimpin mereka yang waras.
Bukankah mereka yang sebelumnya waras suatu saat dipandang tak waras oleh
mereka yang tak waras? Sistem ini perlu dikembalikan oleh senat dengan mengubah
statuta dan permendagri. Cara ini dapat memperjelas kontinuitas kepemimpinan,
menghilangkan kecurigaan, menihilkan kemisteriusan, memadamkan gejala money politic, kolusi, nepotisme serta
meringankan Kemendagri dalam menetapkan rektor. Dengan demikian kemendagri akan
lebih fokus pada kebijakan makro dalam negeri, tak tersita pada urusan air
galon di barak hingga kebimbangan menemukan seorang rektor yang dipastikan
dapat di ajak bekerja sama. Agenda kedua berkaitan dengan otonomi
rektor dalam penyusunan anggota kabinet mulai dari pembantu rektor hingga
direktur regional selama lima tahun kedepan. Dalam hal ini Kemendagri juga tak
akan kehilangan peran begitu saja, sebab komposisi yang diusulkan tetap dapat
di intervensi pada skala yang dapat di tolerir. Sebagai contoh, pola karier
hari ini menunjukkan para pejabat yang semestinya mengisi jabatan struktural
akademik karena telah bertahun-tahun mengabdi di daerah justru tak memperoleh
promosi pada jabatan lebih tinggi. Beberapa jabatan direkturat justru di isi
oleh bekas pesakitan di daerah akibat
kasus-kasus tertentu. Rektor tampak tak berdaya, sebab lalu lintas pegawai di
kampus seperti tak melewati seleksi, semua loncat pagar. Jangan heran jika kita
gelisah melihat pegawai tak waras menjadi pengajar bagi sekelompok praja yang nota bene teramat waras untuk menjadi
bakal pemerintah. Bukankah suatu ketika kita dapat dikriminalkan karena
mengubah manusia waras menjadi manusia tak waras? Saya hanya kuatir jika publik
benar-benar curiga bahwa dengan sistem semacam itu kita dengan sengaja
memproduk birokrat dan pemerintah tak waras. Agenda ketiga berhubungan dengan
otonomi pengelolaan keuangan. Tanpa arah pengelolaan keuangan yang jelas kita
tak dapat memastikan pergerakan urat nadi pendidikan atas dua pertanyaan penting,
darimana dan berapa pemasukan kita, serta kemana dibelanjakan? Untuk pertanyaan
pertama jelas sudah, bahwa uang diatas 600 milyar setiap tahun yang kita terima
adalah hasil jerih payah rakyat, ditambah kontribusi pendapatan asli berupa
kerjasama pendidikan dan sekolah pasca sarjana. Karena uang tadi milik publik,
maka semua upaya yang mencoba memperkaya diri sendiri, menguntungkan orang lain
dan merugikan negara haruslah dipertanggungjawabkan dengan terang benderang,
bukan dibuang percuma dalam aktivitas program dan kegiatan yang sumir. Jika
kejujuran menjadi bakat alami, maka dengan uang sebanyak itu tak akan mungkin
keringat dosen, pelatih dan pengasuh dicicil setiap bulan, tak akan mungkin
gizi praja menyusut setiap hari, bahkan tak akan mungkin honor para pekerja
lapangan terbengkalai. Pembelanjaan yang sehat akan memberi dampak sistematis.
Kalau makanan praja bergizi, bukankah kesehatannya terjamin, dengan begitu
semua aktivitas diasumsikan berjalan relatif normal, praja pasti hadir di
kelas. Kalau honor pengajar, pelatih dan pengasuh lancar, bukankah semangat
kerja mereka juga berjalan normal, maknanya dosen hadir di kelas. Jika keduanya
hadir di kelas, bukankah interaksi belajar-mengajar diasumsikan berjalan
normal. Pendek kata jika pembelanjaan berjalan normal, maka semua aktivitas
diasumsikan berjalan normal pula. Kondisi ketidaksehatan belanja juga tampak
menimpa kampus regional, mereka seperti boneka yang dipajang dalam etalase. Praktis semua belanja di
kontrol sentralistik, dan bahkan sebagian hanyalah belanja titipan yang
sewaktu-waktu dapat diambil untuk kepentingan tertentu. Jelas sudah bahwa semua
celah itu mengundang selera besar Polisi, Jaksa dan KPK yang katanya sering
mondar-mandir di depan Cileunyi. Agenda keempat yang mesti dituntaskan siapapun
rektor adalah memisahkan jabatan Ketua Senat dari jabatan Rektor. Ini
memungkinkan terbentuknya chek and
balance system. Selama ini kedua jabatan tersebut bersifat ex-offocio, sehingga senat sebagai
institusi yang merepresentasikan kepentingan civitas akademika terlihat mandul
alias lemah syahwat. Semua kebijakan rektorat yang tak pro civitas bahkan merugikan seakan tak bisa dikoreksi. Senat
seharusnya berperan sebagaimana legislator. Fungsinya jelas, mengawasi
kebijakan rektor, alokasi anggaran yang tak berpihak pada visi dan misi
pendidikan, dan tentu saja mendesain kebijakan makro jangka panjang dan jangka
pendek. Selain fungsional senat kita haramkan memiliki hak suara sebagaimana
pernah dipraktekan dengan baik di IIP. Kepala biro dan jajarannya hanya pemberi
informasi, bukan pengambil keputusan. Dengan demikian keputusan senat tertinggi
memiliki wibawa hukum yang tak dapat ditawar untuk kemudian dieksekusi rektor
atau pada skala tertentu menjadi kebijakan Menteri Dalam Negeri. Sebagai
perbandingan, pada tahun 2000 di Kampus IIP terdapat kasus Mahasiswa asal Papua
yang kedapatan menyontek. Seingat saya yang bersangkutan diberhentikan sebagai
Mahasiswa Tugas Belajar lewat Keputusan Senat yang diajukan ke Mendagri Hari
Sabarno. Namun setelah ditelusuri
kembali ternyata dia bukan pelaku utama, namun korban yang sengaja didudukkan
oleh teman-temannya di kursi ujian sehingga dinilai berbuat curang oleh
pengawas. Setelah saya pelajari dia orang baik, polos dan jujur, juga kepala
suku di kampungnya. Sebagai Ketua Senat Mahasiswa saya bantu beliau untuk
menyampaikan masalah tersebut sejujur-jujurnya kepada Mendagri via Rektor,
Senat dan Sekjend. Tahun berikutnya yang bersangkutan direhabilitasi dan dipanggil
kembali untuk mengulang, dan alhamdulillah sekarang menjadi Kepala Distrik Terbaik
di Kabupaten Mapi Provinsi Papua. Maklum, di IIP punishment bagi Mahasiswa yang menyontek sangat keras dan hampir tak
kenal ampun. Tanpa memisahkan jabatan rektor dan ketua senat, maka rektor seakan-akan
primus interpares, mewakili macro cosmos (kemendagri) dan micro cosmos (civitas akademika) di alam
Jagad Raya Manglayang. Tanpa dualitas posisi tadi, maka prinsip manunggaling kawula gusti semakin
mendorong rektor menjadi manusia paling benar, dimana semua yang berbeda
pikiran adalah musuh yang nyata. Akhirnya, mengutip iklan coffe Iwan Fals, kini saatnya kita bongkar kebiasaan lama,……..
Komentar
Posting Komentar