Tragedi Sekolah Binatang, Sebuah Renungan

Oleh. Muhadam Labolo

Tulisan singkat seorang kawan dosen di kampung halaman tentang kebiasaan mahasiswa mencari nilai dan bukan ilmu cukup menggelitik bagi sesama profesi di bidang pendidikan. Catatan tersebut mengandung idealisme seorang dosen yang saya kira mulai langka ditemukan diberbagai perguruan tinggi dewasa ini. Maklum, banyak dosen dan guru kehilangan idealisme dan bersikap pragmatis di tengah dilema pilihan hidup yang semakin sulit. Raibnya idealisme membuat sebagian dosen dan guru tak malu melepas kesejatiannya sebagai pahlawan tanpa jasa yang mulia nan agung. Menjadi dosen dan guru merupakan pilihan yang tak berbeda dengan profesi lainnya, sekalipun ia memiliki kekhususan sebagaimana makna yang terkandung didalamnya. Guru, dalam bahasa sanskerta merupakan paduan kata ‘gu’dan ‘ru. Yang pertama merujuk pada kegelapan (darkness), dan yang terakhir bermakna terang (light). Artinya, seorang guru berkewajiban mengantarkan siswanya dari ketidaktahuan menjadi kepahaman, atau dalam bahasa sederhana mengubah siapapun yang diajarnya keluar dari penyakit kebodohan menjadi manusia yang berakal sehat, dan bukan sebaliknya. Terlepas dari itu, guru dan dosen pada akhirnya menjadi laboratorium terakhir tentang perilaku yang memungkinkan siswanya mengadopsi keadaban dari perilaku sebaliknya. Inilah yang menjadikan jabatan dosen atau guru adalah profesi paling prestisius kedua diantara pekerjaan lain menurut sebuah survei di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Dosen dan guru menjadi sosok idealisme ilmu sekaligus kamus berjalan untuk digugu dan ditiru, bukan sumber konflik, apalagi jika sampai menjadi sumber pemberitaan negatif dimana-mana. Seorang dosen dan guru memang tak selalu menjadi orang kaya, logikanya sepanjang hidupnya ia hanya mengumpulkan ilmu pengetahuan, bukan harta. Kecuali ia memiliki usaha lain yang sah untuk menutupi kekurangan disana-sini. Kalau guru dan dosen lebih mementingkan nilai kuantitatif daripada ilmu yang diajarkan, kita yakin yang akan dihasilkan hanyalah kumpulan manusia penuh gelar di kanan-kiri nama, namun jauh dari kompetensi yang diharapkan. Ironisnya, mereka yang penuh gelar tadi justru mendapatkan kepercayaan tampil di ruang tertentu tanpa tanggungjawab moral akademik. Kita kuatir, jika kebanyakan isi lembaga pendidikan adalah dosen dan guru yang tak kompeten, maka bukan saja ia menjadi ancaman bagi masyarakat dan pemerintah, sekaligus menggerogoti lembaga pendidikan itu sendiri secara internal.  Tanpa menutup mata, semua gejala tersebut kini menerpa tidak saja pada lembaga pendidikan dimana saya mengabdikan diri, bahkan universitas sekelas UI saja harus mengintropeksi diri ketika BPK (2012) menemukan 41 Milyar dana pendidikan yang tak jelas alokasinya. Kalau ini terjadi terus-menerus, kita hanya menunggu kapan lembaga pendidikan semacam itu menunggu dibubarkan sebagaimana tragedi sekolah binatang yang diceritakan Jansen Sinamo, seorang guru etos Indonesia dalam buku sederhana tentang Sains, Etika dan Keluhuran (Inspirasi dan Trilogi Pemikiran, 2011:156).
       Suatu ketika dimasa lalu, bangsa binatang sakit hati karena dilecehkan bangsa manusia. Rasa direndahkan ini muncul setelah datang laporan dari kucing, anjing, babi dan sapi, yang sebagai ternak peliharaan setiap hari mendengar umpatan, makian dan sumpah serapah manusia dengan menggunakan nama-nama mereka dan dengan nada sangat emosional.  Untuk membuktikan sebaliknya, bangsa binatang bertekad meningkatkan peradaban mereka. Komite sekolahpun dibentuk.  Setiap suku hewan diwakili oleh seekor tetua yang dianggap paling bijak dalam komunitasnya.
      Pada saat mereka membahas kurikulum, suku burung mengusulkan pelajaran terbang harus ada. Suku kelelawar menghendaki niscayanya pelajaran teknik tidur dengan kepala dibawah.  Adapun suku cicak menekankan perlunya pelajaran merayap di langit-langit.  Begitulah, dalam kurikulum sekolah binatang itu, terdapat mata pelajaran yang sangat menarik; berkicau, berkotek, berenang, mendesis, mematuk, menerkam, melenguh, mengaum, menyelam, dan melompat.  Semua ini digolongkan dalam kelompok pelajaran dasar.  Ditingkat menengah, terdapat berbagai pelajaran yang lebih canggih; teknik pura-pura mati, kiat kreatif berganti kulit, menukik tanpa bunyi, dan membelit mangsa tanpa gejolak.  Ditingkat lanjut pelajaran mencakup ilmu-ilmu yang lebih hebat; pedoman bermetamorfosis, teknik menyembunyikan diri sendiri, jurus kawin sambil terbang, dan rahasia bernafas dalam lumpur kental.  Juga diputuskan, jika putra-putri binatang itu tamat, setiap lulusan tingkat dasar akan mendapat gelar Pr (singkatan dari Prigel), alumni tingkat menengah diberi gelar Tr (singkatan dari Trengginas), dan tamatan tingkat lanjut berhak memakai gelar Pw (singkatan dari Piawai).  Mereka berharap nama binatang sekolahan akan lebih bergengsi, misalnya Bebek Peking Pr, Ular Beludak Tr, atau Tupai Pedidit Pw. Mereka tak mau kalah dengan anak manusia yang sangat bangga dengan gelar-gelar sekolah seperti BA, MA, atau Ph.D. Dan seperti manusia, mereka juga percaya bahwa bergelar berarti sukses. Binatang sungguh ingin setara dengan manusia dan dihargai penuh martabat.  
      Tetapi sesudah meluluskan 10 angkatan, sekolah binatang itu akhirnya dibubarkan.  Sebab utamanya; sekolah binatang dinilai gagal total.  Gelar-gelar yang sempat diberikanpun dicabut semua.  Gelar Pr, Tr, dan Pw dianggap hanya banyolan gombal.  Apa gerangan sebab sejatinya? Binatang tidak sanggup mengevaluasi.  Pokoknya, sekolah dibubarkan karena hasilnya jelek.  Begitu saja.  Namun, karena bangsa manusia suka meneliti, maka diturunkanlah satgas pencari fakta.  Tim inilah yang akhirnya berhasil menemukan sebab fundamental kegagalan itu.
      Kesimpulan terpenting; sekolah binatang itu gagal karena semua mata pelajaran setiap murid mendapat nilai minimum C. Kesimpulan ini diperoleh sesudah menganalisis sejumlah fakta yang aneh.  Ditemukan, misalnya, dalam pelajaran berenangpun Ikan hanya mendapat nilai C.  Dalam pelajaran terbangpun Burung juga dinilai C. Demikian pula nilai Rusa dalam berlari dihargai dengan C saja.  Pokoknya setiap binatang cuma mendapat C dalam kompetensi alamiah masing-masing. Yang paling aneh, meskipun nilai mereka C di rapor, ketika ujian dilapangan, kompetensi itu hanya pantas mendapat nilai F, alias tidak kompeten sama sekali.  Bagaimana mungkin persekolahan merusak kompetensi alamiah anak-anak binatang itu?  Rupanya, saat praktikum  berenang sayap Burung rusak parah, sehingga saat dipakai dalam praktikum terbang, sayap itu tak berguna lagi.  Namun burung mendapat C juga dalam terbang maupun berenang karena ia tidak pernah absen dan suka menolong teman. Ketika praktikum bernafas dalam lumpur berlangsung sayap Kelelawar berpatahan, sehingga saat ia harus praktikum terbang malam, arahnya jadi ngawur dan suka menabrak pohon.  Namun Kelelawar mendapat C dalam keduanya karena ia selalu bersikap sungguh-sungguh dan hormat pada guru.  Pokoknya, semua anak binatang cuma mendapat C dalam setiap mata pelajaran, bukan karena kompetensinya memang lumayan, tetapi karena soal-soal diluarnya.
      Fakta dibalik rapor dan ijazah, semua lulusan sekolah binatang ternyata sama sekali tidak kompeten.  Mereka seharusnya diberi nilai E dan F saja.  Salah satu buktinya, ketika lowongan kerja untuk penerbang dibuka, dari 10 ribu burung yang melamar yang diterima cuma 12 ekor saja.  Sesudah diterimapun, statusnya cuma pegawai honorer dengan gaji ala kadarnya untuk sekadar hidup dari bulan ke bulan.  Inilah tragedi sekolah binatang sehingga dibubarkan pada akhirnya. Bagaimanakah nasib sekolah kita? Mungkin kita perlu banyak waktu untuk memperbaikinya,...
     

Komentar

  1. izin pak, tulisan yang sangat menggelitik nurani kami, memang jika pendidikan hanya berorientasikan kepada "nilai" maka yang dihasilkan juga tidak lebih dari robot pengejar "a,b, dan c" naasnya lagi apabila nilai yang diberikanpun tidak bersandarkan kepada standart kompetensi yg seharusnya dipersaratkan. Seakan pendidikan hanya sekedar rutinitas menjemukan yang harus dikerjakan dan diselesaikan, tanpa ada keinsafan untuk memahami dan menyadari bahwa seharusnya pendidikan itu mampu memberikan mereka transfer pengetahuan, karakter dan budi pekerti luhur.

    bukankah Rasulullah SAW telah mewanti-wanti kita semua, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.
    jgn sampai menjadi seperti bebek peking Pr, atau tupai pendidit Pw. yang terjebak menjadi "sarjana palsu" ala Ayu ting-ting.

    www.catatanpamong.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Ya, trima kasih komentarnya Zul. Kompetensi lahir karena pendidikan dan pengalaman. Kebanyakan pendidikan di evaluasi lewat nilai, namun pengalaman harus ditunjukkan melalui praktikum (apakah lewat praktek lapangan atau skill yg dpt dinilai). Tujuan pendidikan sebenarnya adalah membangun kesadaran. Simpelnya kesadaran untuk mengubah diri dan lingkungannya (Jhon Dewey).

    BalasHapus
  3. Izin kak...
    Dari sana saya lihat, jadi ada sebuah pertanyaan klasik yang timbul di pikiran saya, apakah sebuah generalis akan merusak kemampuan spesialis, contohnya dari SD-SMA kita belajar yang umum semuanya dan alhasil pada saat ujian banyak yang ngerpek dan menyontek.
    Apakah budaya pendidikan kita perlu di samakan dengan pola di luar negara kita yang menganut spesialis, sehingga bakat yang ada di diri itu, itulah yang akan di gali terus sehingga melahirkan orang-orang hebat dibidangnya, karean seperti di atas tadi seekor burungpun yang lihai untuk terbang bahkan mendapat nilai C karena ada hal lain yang menuntutut untuk di pelajari dan bahkan hal itu hanya mengejar nilai dan gelar semata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam konteks pendidikan di IPDN memang tdk diarahkan menjadi sangat spesialis. Pola pendidikan kita secara turun temurun beorientasi pada specialist-generalis, tau sedikit tentang banyak hal. Sebab dengan orientasi semacam itu dimungkinkan kepemimpinan dalam pemerintahan mampu menjawab semua masalah. Dengan pengetahuan generalis tadi, setiap pamong diharapkan mampu menggunakan seluruh sumber daya yang ada untuk menggerakkan ataupun mempengaruhi lingkungannya dalam mencapai tujuan pemerintahan itu sendiri. Itulah mengapa spesialisasi kita justru mengarah pada generalisasi, yang berbeda dengan perguruan tinggi lain. Semakin general (jenderal) semakin abstrak, semakin abstrak semakin pemimpin. Sebaliknya, semakin teknis (spesialis) semakin kuli,semakin kuli semakin bawahan (Nurchlish Madjid). Tentu saja sebelum jadi pemimpin, jadilah bawahan dulu, sehingga kita membutuhkan pengetahuan yang sifatnya teknis hingga pengetahuan yang lebih general (luas) untuk menjadi pemimpin....

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian