Revolusi Mental Versus Pemimpin NPWP
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Siklus
pembuahan pemimpin baru saja berlalu dan diikuti lebih kurang 185 juta penduduk
Indonesia. Untuk melahirkan 560 kursi di parlemen kita menyediakan 15 partai
politik sebagai induk petelur. Kepada mereka kita berharap mampu menetaskan
calon legislatif yang rajin mengartikulasikan kepentingan masyarakat tak
terkecuali. Seleksi ketat pasca masa inkubasi lima tahun setidaknya cukup
memberi jarak dan waktu bagi lahirnya anggota legislatif bermutu. Harapan ideal
semacam itu bukan tanpa alasan, sebab problem yang dihadapi bangsa ini bukan
semata derasnya aliran Kali Ciliwung, namun lebih dari itu menyangkut Nation and Character Building. Pokok
soal yang menjulang tinggi itu merupakan gagasan historis Bung Karno yang kini
dititipkan pada Bung Jokowi sebagai
maskot partai pemenang pemilu tahun ini. Kini gagasan lampau itu diramu kembali
oleh Jokowi dalam bentuk Jamu Gendong bernama Revolusi Mental (Kompas, Mei, 2014). Intinya adalah
kemandirian, kemandirian dari aspek politik, ekonomi dan sosial budaya. Korupsi
adalah salah satu petunjuk lemahnya kemandirian politik. Penyakit itu sudah
semakin jamak dalam penglihatan kita sehari-hari. Hampir tak ada berita hangat
kecuali gambar tangkap tangan oleh penyidik KPK, Jaksa hingga Polisi terhadap
pelaku berkelas elit. Tapi jangan salah, korupsi bukan lagi hak prerogatif anggota legislatif, eksekutif
dan yudikatif, kini mewabah menjadi bagian dari perilaku masyarakat luas.
Mungkin pernyataan itu agak lebai,
namun saya tak mau dibilang alai
sekiranya sebagian besar anggota penyelenggara pemilu di tingkat Desa, Kelurahan,
Kecamatan hingga Kabupaten/Kota tak ikut bermain curang dalam pemilu legislatif
kali ini. Saya boleh jadi galau, tapi
mereka jelas jablai dari berbagai upaya
membangun kesadaran selaku wasit yang adil. Pencurian suara, money politics, penghilangan berita
acara hingga transaksi jual-beli kursi adalah petunjuk dimana masyarakat tak
kuasa menolak rezeki instan. Hilangnya kuasa pengelolaan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya adalah indikasi lenyapnya kemandirian ekonomi. Untuk
melepas dahaga kita mesti izin ke Danone
Aqua di Perancis, untuk menikmati BBM kita mesti berbagi rugi dengan
sejumlah negara pintar penggali sumur di sepanjang lepas pantai Indonesia,
untuk melewati ruang angkasa kita mesti punten
pada Singapura, untuk membuat bibir sedikit pedas agar lancar berbicara kita
harus mengimpor cabe (kecuali terong-terongan,
bahkan cabe-cabean dari China). Untuk
menikmati kilauan emas buat istri dirumah yang suka mengoleksi cincin, kalung,
gelang hingga gigi emas kita terpaksa harus berbagi dengan Freeport Amerika. Seandainya emas menjadi prasyarat aqad nikah dan suatu saat semakin
langka, saya kuatir pernikahan harus ditunda lantaran menunggu pemesanan,
persetujuan dan pengiriman dari negeri Adikuasa itu. Tentu saja ini akan
menggelisahkan kedua mempelai yang sudah kadung
ingin melepas lajang. Kita benar-benar diambang ketergantungan ekonomi justru
ditengah lahan, hutan, tambang, hingga lautan yang tak kuasa dimanfaatkan secara
maksimal dan berkesinambungan. Semua kita serahkan mentah-mentah pada bangsa
lain sambil menikmati coffe morning
di kedai sudut kota. Sementara kenikmatan melahap Hoka-Hoka Bento, KFC, MicDonald, Pizza Hut, bahkan kebiasaan
memuja-muji dan bangga akan kebudayaan bangsa lain adalah gejala lunturnya
kemandirian sosial budaya. Pada aspek ini bukan saja secara batiniah kita
kehilangan spirit sebagai anak bangsa, namun lebih dari itu kebudayaan kita
dirampas hingga keakar-akarnya. Untuk ketiga fokus masalah itu Jokowi tentu
saja membutuhkan dukungan anggota parlemen yang tidak saja mayoritas dari sisi
kuantitas, demikian pula mayoritas dari sudut kualitas. Kualitas tadi
berhubungan dengan pemahaman visi dan misi yang mendalam soal falsafah
kemandirian, demikian pula kemampuan mengejawantahkannya dalam realitas
kehidupan yang sesungguhnya. Tanpa kesadaran itu Jokowi hanya akan dipermainkan
oleh segerombolan anggota legislatif yang sejak hari pertama dilantik hanya
memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal secepat-cepatnya pasca pemilu
legislatif. Inilah salah satu hukum politik-ekonomi dalam mekanisme
proporsional terbuka. Maklum, mereka yang terpilih dari hasil eraman partai
politik marak diberitakan karena kemampuan memperjelas identitas NPWP (Nomer Piro, Wani Piro). Disinilah
pangkal masalahnya, jika masyarakat korup secara masif, terstruktur dan
terencana dalam memproduk anggota legislatif korup, maka dapat dibayangkan
bahwasanya isi pemerintahan juga setali
tiga uang, korup. Apabila mentalitas pemerintah korup, maka tiap-tiap
kebijakan kemungkinan terbuka untuk rawan dikorup. Pada ujungnya semua
kebijakan tadi akan jatuh pula pada masyarakat yang bermental korup. Simpulnya,
pemerintah korup pastilah diproduk oleh sistem dan masyarakat yang korup. Inilah
siklus mentalitas korup yang coba dilenyapkan Jokowi dalam wacana Revolusi
Mental dalam lima tahun kedepan. Bagi saya, ide klasik itu sebenarnya cukup
menemukan relevansinya dalam konteks kekinian. Persoalan selanjutnya adalah
bagaimana mengkonstruksi action plan membumi
sehingga kekuasaan yang diperoleh susah payah tadi secara berjenjang dapat
menjawab realitas masalah dilapangan. Jika saya sebelumnya menyinggung soal
sistem dan masyarakat yang korup, itu berarti kita membutuhkan political will pemerintah untuk mengubah
sistem sekaligus mengubah kultur dalam jangka panjang. Namun apakah harapan
kita soal perubahan sistem dapat terjadi di tengah isi ruang parlemen sebagai
penghasil sistem diduduki oleh sebagian besar anggota legislatif hasil bombardir dan serangan fajar? Ini tantangan berat buat Jokowi, dimana asa tentang
kemandirian bangsa dipertaruhkan di depan anggota parlemen produk NPWP yang
jelas-jelas tak membawa spirit revolusi mental, bahkan bukan mustahil eksis
dengan status quo. Praktisnya, mereka
adalah bagian dari peta masalah revolusi mental sebelum melaju ke daratan
masyarakat nun jauh di pelosok desa. Pertarungan sengit di parlemen tentu akan
terjadi ditengah ketidakseimbangan antara sedikit pemerintah bersih dengan
banyak perwakilan pemerintah korup. Payahnya, ketika demokrasi mengalami
ketersendatan, suara terbanyaklah yang menjadi harapan, one man one vote. Dalam situasi dilematis itu, kendatipun
pemerintah menang lewat lorong kompromi yang padat kepentingan, jelas telah
mengurangi kadar dua puluh empat karat
dari semangat ‘45. Akhirnya pupus sudah gagasan kemandirian yang dicita-citakan
pemerintah. Pada aras kultur, Pemerintahan Jokowi perlu mendesain suatu
tindakan nyata guna membangun kesadaran sebagai manusia Indonesia selayaknya,
bukan manusia Timur Tengah yang suka berdebat di tengah teriknya matahari gurun
pasir, atau bahkan Bangsa Barat yang suka bertelanjang menikmati terik matahari
di lepas pantai. Perilaku kita kini semakin kabur dari identitas sebagai orang
Indonesia Asli, kebudayaan kita semakin buram akibat asimilasi yang dangkal.
Kekerasan sesama misalnya sebagai suatu perangai yang distandarisasi oleh
ukuran ilmu, etika dan estetika memiliki jarak yang jauh dari toleransi, kini
relatif diterima sebagai suatu kewajaran baik dilingkungan masyarakat maupun
lingkungan pendidikan. Akhirnya, ketergantungan politik, ekonomi dan
sosial budaya itu rasa-rasanya merupakan hasil dari proses pendidikan yang
mengalami kematian (the death of
education). Maka dari sinilah semestinya Jokowi mesti mengayuh bahteranya,
tanpa melepas begitu saja tanggungjawab kemandirian pada masing-masing individu
selaku warga negara (Banda Aceh, 13 Mei
2014).
Komentar
Posting Komentar