Tantangan Desentralisasi Asimetrik di Indonesia
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Pendahuluan
Desentralisasi
asimetrik merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi simetrik.[2] Dalam
kasus Indonesia, pengecualian pengaturan desentralisasi adalah wujud dari
pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan khusus dan istimewa
sebagaimana amanah konstitusi pasal 18B ayat (1). Secara historis-normatif, satuan-satuan khusus dan istimewa tersebut
diakui dan dihormati berdasarkan pertimbangan tertentu seperti sejarah,
politik, administrasi, ekonomi dan sosial budaya. Faktor-faktor semacam itu
seringkali tidak berdiri sendiri, namun terkait satu sama lain sehingga
membentuk keunikan dan pertimbangan dalam penentuan daerah khusus. Faktor
sejarah menempatkan daerah seperti Jogjakarta dan Jakarta sebagai gravitasi
politik, administrasi, ekonomi dan sosial budaya secara kumulatif. Jakarta
sendiri secara faktual mewakili hampir semua faktor diatas, dimana secara
politik merupakan sentral dinamika politik, secara administrasi merupakan pusat
pelayanan dan ibukota negara, secara ekonomi menjadi sentral pertumbuhan
investasi terbesar dibanding daerah di Indonesia, secara historis adalah titik
pertumbuhan dan perkembangan pemerintahan, serta secara sosial budaya merupakan
entitas yang paling kompleks mewakili semua heterogenitas Indonesia. Akumulasi dari
pertimbangan itu memposisikan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia. Sekalipun demikian ukuran kekhususan Jakarta secara
normatif tak lebih luas dan banyak dibanding daerah dalam status asimetrik lain.
Disisi lain Jogjakarta secara historis merupakan entitas yang mewakili kerajaan
besar di Jawa serta pernah menjadi basis ibukota pemerintahan kedua setelah
Jakarta. Dalam masa itu persekutuan antara Raja Jawa dan aktivis pergerakan
kemerdekaan Indonesia menjadi titik ikat sejarah sehingga melibatkan sang raja
dalam konfigurasi politik pemerintahan pasca kemerdekaan sampai menguatnya
tuntutan penegasan kembali keistimewaan Jogjakarta akhir tahun 2012. Diluar itu
dalam hal kebijakan asimetrik Aceh dan Papua, sekalipun tekanan undang-undang
mencerminkan apresiasi terhadap faktor keunikan sejarah dan sosial budaya
(agama dan masyarakatnya), namun fakta diluar itu harus diakui lebih merupakan
respon terhadap dinamika politik dan ekonomi. Aceh memperoleh keistimewaan
tidak saja sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan negara dalam penerapan
Syariat Islam, termasuk konsesi terhadap sumber daya yang diharapkan. Asimetrikal
Aceh sebenarnya relatif mirip dengan Papua dan Papua Barat, bahkan sering disebut
kakak-adik beda idiologi. Papua
secara keseluruhan menerima pengakuan dan penghormatan negara atas keunikan
sosiologisnya, namun secara politik dan ekonomi tak dapat disangkal merupakan
kompromi yang panjang terhadap berbagai ketimpangan dan pengelolaan sumber daya
dalam kerangka otonomi khusus plus. Jika
asimetrik Papua terletak pada aspek sosiologis masyarakatnya, maka kekhususan
Jogjakarta justru bertumpu pada elit lokalnya. Diakui atau tidak pendekatan
asimetrik sebagai strategi penguatan integrasi nasional dilakukan melalui dua
aspek dominan, yaitu politik dan administrasi.
Diluar
pengaturan asimetrik terhadap Jakarta, Jogjakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat,
demam mengubah sejumlah wilayah sebagai daerah khusus kini berkecambah
dimana-mana. Tuntutan untuk mengubah daerah tertentu dari status simetrik
menjadi asimetrik dapat dilihat dari usulan sejumlah daerah seperti Provinsi
Bali, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan hingga Kalimantan Tengah.
Persoalannya, apakah sebab yang mendorong lahirnya tuntutan kebijakan asimetrik?
Serta bagaimanakah peluang sekaligus tantangan kebijakan asimetrik jika
pemerintah memberikan diskresi yang memungkinkan dengan mudah terbentuknya
daerah khusus di Indonesia? Tulisan ini akan menggambarkan secara singkat sebab
lahirnya kebijakan asimetrik baik historis maupun normatif. Selain itu akan
melihat sejauhmana alternatif pilihan kebijakan desentralisasi untuk
mengendalikan tuntutan daerah khusus yang bermunculan dimana-mana.
Sebab
Munculnya Kebijakan Asimetrik
Sebab
munculnya kebijakan asimetrik diberbagai negara relatif hampir sama. Lahirnya
tuntutan dalam bentuk pengaturan yang bersifat tak seragam (asimetrik,
lex specialis) dari yang seragam (simetrik, lex
generalis) terjadi akibat pengaruh demokratisasi.
Arus kuat demokratisasi diberbagai negara memasuki ruang individu hingga
kelompok yang bersifat homogen untuk memperjuangkan identitas eklusif dalam
suatu negara yang kompleks dan majemuk. Gelombang demokratisasi mengakibatkan negara
dengan sistem politik totaliter dan otoriter berangsur-angsur mengubah status
sebagai negara berlabel demokrasi. Negara dalam semangat tersebut suka atau
tidak berusaha merespon dan mengakomodasi berbagai tuntutan dalam bentuk kebijakan
politik untuk mempertahankan legitimasi, stabilitas dan integrasi dalam batas
teritorial kekuasaannya. Konsekuensi pilihan bagi negara adalah mengakui
realitas perbedaan yang ada dengan prasyarat utama tetap dalam kerangka
kesatuan wilayah (kesatuan- desentralisasi). Alternatif lain adalah negara mengakui
perbedaan yang nyata sekaligus membentuk entitas pemerintahan yang berdaulat
namun tetap dalam kerangka pemerintahan nasional (semacam federal-negara bagian).
Pilihan paling ekstrem adalah melepas perbedaan tadi untuk membentuk entitas pemerintahan
yang berdaulat tanpa hubungan lagi dengan pemerintahan nasional (disintegrasi).
Bagi negara otoriter, skenario yang sering dilakukan adalah melalui hegemoni negara
untuk memaksakan realitas perbedaan pada komunitas minoritas kedalam masyarakat
dominan sehingga dalam jangka panjang menjadi bagian dari identitas nasional negara.
Kasus ini dapat dilihat sebagaimana ketegangan komunitas Rohingya dan
Pemerintah Myanmar.[3]
Secara teoritik, Tarlton
(dalam Jaweng) melihat model
desentralisasi teridentifikasi dalam desentralisasi simetris dan desentralisasi
asimetris.[4]
Model desentralisasi simetris ditandai kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah
dengan sistem politik nasional, pemerintah pusat maupun antar daerah. Model
desentralisasi asimetris memiliki
ciri sebaliknya, suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola hubungan berbeda
dan tak lazim dibanding daerah
lain, khususnya relasi daerah dan pusat, relasi
dengan daerah sekitar dan pengaturan internal daerah itu sendiri.
Lebih
lanjut Tarlton menandaskan bahwa subyek utamanya adalah soal kewenangan. Dasar
pemberian dan isi kewenangan khusus/istimewa mempresentasikan alasan unik.
Subyek kewenangan yang kemudian menentukan
bangunan relasi daerah khusus/istimewa dengan pusat atau daerah lain maupun
arah kebijakan internal dan tata kelola pemerintahannya.[5]
Dasar pemberlakuan
desentralisasi asimetris pada sebagian negara bertolak dari political reason seperti respons atas keberagaman karakter regional
atau primordial, bahkan ketegangan etnis, sebagian lain dilandasi efficiency reasons, yakni bertujuan
untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan administrasi pemerintahan.[6]
Negara-negara dalam
status transisi dari sistem otoriter ke posisi demokrasi memberikan cukup
pilihan bagi komunitas tertentu untuk mengembangkan karakteristik yang diyakini
mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi diluar perlakuan sama bagi daerah
lain. Upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas khusus dalam konteks itu
seringkali melalui berbagai negosiasi panjang hingga tak urung berakhir konflik
antar komunitas versus negara. Bagi sebagian
negara demokrasi, pendekatan lewat desentralisasi asimetrik (otonomi khusus)
menjadi resep yang paling dipercaya dapat menyelesaikan desakan kuat dari
entitas lokal dibawah pemerintah nasional. Dalam hal ini setidaknya terdapat
sejumlah pertimbangan yang lazim mendorong lahirnya kebijakan asimetrik yaitu;
pertama, adanya konsensus historis yang dituangkan dalam konstitusi
sehingga menciptakan daerah-daerah khusus dan istimewa, termasuk hak khusus bagi
elit tertentu dalam aspek politik. Konsensus historis adalah puncak kesepakatan
yang biasanya dicapai oleh founding
fathers dalam pembentukan sebuah negara. Konsensus historis biasanya
didasarkan pada kesepakatan terhadap tradisi yang bersifat unik dan berbeda secara
umum, selain konsesi tertentu dalam sejarah panjang terbentuknya sebuah negara. Jakarta dan Jogjakarta merupakan
kenyataan atas konsensus dimasa lalu. Jakarta memiliki keunikan dalam status
ketatanegaraan sebagai Ibukota Negara. Status semacam ini dapat berubah jika
ibukota negara berpindah ke daerah lain. Sedangkan Jogjakarta merupakan produk
sistem monarkhi yang secara traditional masih bertahan hingga kemerdekaan
Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya Aceh memperoleh diskresi dalam hal
penerapan Syariat Islam. Jika Jogjakarta secara historis menyatakan secara
tertulis bergabung dengan NKRI serta menjadikan lokasinya sebagai Ibukota
Negara kedua setelah Jakarta, Aceh memberikan sejumlah kontribusi penting di
tengah sulitnya Indonesia berhadapan dengan penjajah. Diluar hal itu konsensus
historis juga seringkali meluas dalam konteks pengakuan entitas mikro seperti
desa-desa adat di Indonesia yang memperoleh pengakuan dan penghormatan khusus
oleh negara. Sedangkan hak khusus dapat dilihat dalam kasus di Inggris, dimana sebagian
kursi parlemen menjadi milik kaum elite monarkhi tanpa proses pemilihan umum
biasa (affirmative positive). Alokasi
khusus untuk kursi parlemen juga pernah dipraktekan di Indonesia, dimana
konstitusi lama memberikan diskresi bagi utusan golongan dalam keanggotaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Utusan Golongan.[7] Kedua,
kebijakan asimetrik merupakan pendekatan politik negara dalam meredam
berkembangnya bibit ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap kebijakan
pemerintah. Pendekatan politik dimaksudkan untuk mengendalikan tekanan ekstrem kelompok
masyarakat lewat ide separatisme yang berlarut-larut. Represi negara seringkali
menimbulkan konsekuensi luas yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Baik negara yang bersifat otoriter-sentralistik maupun demokrasi
kebanyakan menerapkan pendekatan semacam ini. China misalnya memberikan otonomi
khusus pada sebagian wilayah Muslim Uighur, atau pola otonomi khusus bagi
daerah Mindanao di Philipina, Quebec di Perancis, Basquedi Spanyol, Sammi di Norwegia. Dalam kasus Indonesia, melemahnya komitmen pemerintah
terhadap konsensus historis menimbulkan ketegangan panjang antara pemerintah
dengan kelompok separatis di Aceh dan Papua. Demikian pula tuntutan keadilan
terhadap sejumlah pendekatan represif pemerintah menimbulkan respon kuat dari
masyarakat hingga mempercepat terbentuknya daerah otonomi khusus. Ketegangan
yang melelahkan antara negara dan masyarakat pada akhirnya membuka peluang bagi
masuknya pihak lain sebagai mediator perdamaian. Masuknya pihak lain dapat
menjadi peluang bagi terciptanya kompromi untuk memulihkan relasi antara pihak
yang bertikai melalui berbagai alternatif kebijakan seperti otonomi khusus
maupun referendum. Lepasnya Timor-Timor adalah contoh bagaimana mekanisme dalam
pendekatan politik tak selalu menggunakan pilihan desentralisasi asimetrik. Jika
ini dilakukan dengan serius kemungkinan pemerintah dapat menjaga jarak ideal
dengan pemerintahan lokal yang semakin dinamis tuntutannya. Ketiga,
motivasi atas kebijakan asimetrik merupakan salah satu strategi
keseimbangan sumber daya ekonomi untuk menjawab persoalan di daerah selain
tantangan negara secara nasional. Dalam hal pengelolaan ekonomi, China
menjadikan Hongkong dan Macau sebagai sumber utama ekonomi nasional.
Daerah-daerah khusus semacam itu pada akhirnya terbukti mampu mendongkrak
pertumbuhan ekonomi China secara keseluruhan. Di Indonesia, konsep serupa
sejauh ini diterapkan dalam kasus pengembangan Kota Batam dan Kota Sabang lewat
Badan Otorita. Lewat perlakuan khusus pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
semacam itu, pemerintah secara langsung mendistribusikan pertumbuhan ekonomi
secara berkeadilan kepada masyarakat. Dengan demikian sekalipun Jakarta juga
menjadi pusat gravitasi ekonomi utama, namun setidaknya perlakuan khusus di
daerah lain dapat mengurangi terpusatnya daya tarik Jakarta sebagai Daerah
Khusus Ibukota Negara. Kota Surabaya, Makassar, Semarang dan Medan misalnya,
dapat menjadi alternatif bagi pengembangan sentra pertumbuhan ekonomi dimasa
akan datang. Demikian pula daerah-daerah yang berada di jalur perbatasan antar
negara yang dengan pertimbangan tertentu dapat menyedot sumber devisa bagi
negara diperlukan pendekatan yang bersifat khusus. Konsekuensi semacam itu menjadi
penyebab bagi pemerintah untuk memberikan diskresi dalam bentuk kebijakan
asimetrik non politik.
Mitos Desentralisasi
Asimetrik
Kebijakan desentralisasi
asimetrik Indonesia setidaknya didasarkan pada konsensus historis yang
dituangkan dalam amanah konstitusi UUD 1945 pasal 18A ayat (1) dan pasal 18B
ayat (1). Klausul pertama memerintahkan perlunya pengaturan hubungan kewenangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan
kota, dan antara pemerintahan provinsi dengan pemerintahan kabupaten dan kota
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Pasal kedua mewajibkan negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang. Menurut Surbakti (2013:22), terdapat paling tidak dua
konsekuensi logis dari kedua pasal tersebut, yaitu tidak hanya pasal pertama yang
dapat mengakibatkan munculnya urusan pemerintahan yang bersifat tak seragam,
demikian pula pasal kedua. Selain itu desentralisasi asimetrik tidak hanya
berlaku untuk pemerintah daerah provinsi, tetapi juga berlaku untuk
pemerintahan daerah kabupaten dan kota. Sejauh ini implementasi desentralisasi
asimetrik Indonesia diletakkan di level provinsi sebagaimana halnya Provinsi
DKI Jakarta, Daerah Istimewa Jogjakarta, Nanggroeh Aceh Darussalam, serta
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Tingginya tuntutan tentang perlunya
penerapan desentralisasi asimetrik bagi daerah lain melahirkan pertanyaan
apakah terdapat perubahan signifikan sebagai mitos positif sekaligus daya tarik
bagi daerah-daerah simetrik untuk mengubah statusnya menjadi semacam wilayah translocal yang berciri khusus atau
istimewa.
Jika dilihat dari
indeks tata kelola pemerintahan, demokrasi dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, sepintas daerah-daerah
yang menerapkan kebijakan desentralisasi asimetrik sebenarnya relatif tak
memperlihatkan relevansi signifikan dibanding daerah-daerah yang berada dalam
status desentralisasi simetrik. Berdasarkan Indonesian
Governance Indeks (IGI:2012) menunjukkan kecuali Jogjakarta dan Jakarta,
Provinsi Aceh, Papua serta Papua Barat masih berada di level terbawah dalam hal
pencapain tata kelola pemerintahan yang baik.[8]
Dalam hal Indeks Demokrasi Indonesia,
kecuali Jakarta dan Jogjakarta, Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat juga masih
berada di level terendah.[9]
Demikian pula menurut Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(EKPPD:2013), menempatkan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan
sebagai daerah-daerah yang menerapkan desentralisasi simetrik lebih baik
dibanding daerah dengan status asimetrik.[10] Harus
diakui bahwa untuk Citra Pelayanan Prima terbaik masih di dominasi oleh dua
daerah yang menerapkan desentralisasi simetrik yaitu Provinsi Jawa Timur dan
Jawa Tengah.[11] Jika diperhatikan lebih
jauh hanya dua daerah asimetrik yang selalu berada di peringkat 5 sd 10 besar
dari sejumlah aspek penilaian dalam lima tahun terakhir, hal ini kemungkinan disebabkan
oleh dukungan dua variabel penting yaitu tingkat pendidikan dan pendapatan
masyarakat. Tingkat pendidikan setidaknya berkorelasi dengan kesadaran
masyarakat terhadap kekhususan di wilayah Jakarta dan Jogjakarta. Kesadaran
dimaksud berkaitan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, kesadaran
berdemokrasi serta peningkatan kinerja pelayanan sektor publik. Sementara aspek
pendapatan juga mendukung dalam konteks mendorong kualitas pelayanan terbaik,
mekanisme berdemokrasi yang berkualitas, serta meningkatnya akuntabilitas
publik yang bermutu. Dengan menggunakan variabel pendidikan, kesehatan dan
pendapatan sebagai ukuran paling sederhana, daerah khusus Jakarta dan Jogjakarta
relatif lebih adaptif dari sisi kebijakan. Hal ini dapat dilihat lewat program kesehatan
dan pendidikan gratis serta upaya pemerintah daerah mengurangi angka
pengangguran di wilayah perkotaan. Jumlah pendapatan rata-rata DKI Jakarta
tentu saja jauh lebih baik disebabkan pusat pertumbuhan ekonomi, sementara
kualitas hidup sehat di Jogjakarta jauh lebih baik jika dilihat dari angka usia
harapan hidup yang lebih tinggi di seluruh Indonesia.[12]
Persoalannya apakah kondisi demikian memiliki korelasi kuat dengan kekhususan
dan keistimewaan yang diemban oleh kedua provinsi? Sementara tiga provinsi lain
dalam status asimetrik yaitu Aceh, Papua dan Papua Barat secara umum tak
memperlihatkan perubahan signifikan kecuali beberapa daerah kabupaten
berprestasi di Aceh dan Papua yang bersifat kasuistik. Jika aspek yang
digunakan sebagai parameter adalah sama dan sebangun (simetrik), kemungkinan
angka pendidikan, kesehatan dan pendapatan di ketiga provinsi tersebut berada
dibawah rata-rata jika dibanding dengan provinsi dalam status desentralisasi
simetrik. Artinya, dengan menggunakan sedikit data sederhana sebagai pembanding
dapat dikatakan bahwa desentralisasi asimetrik pada lima provinsi tersebut
sebenarnya tidaklah berpengaruh signifikan kecuali terdapat faktor kuat yang
mendukung tercapainya berbagai kemajuan seperti pendapatan asli daerah yang
lebih memadai, selain tingkat pendidikan masyarakat yang mendukung kesadaran
sebagai daerah otonomi khusus. Terlepas dari itu pengaruh kepemimpinan kepala
daerah juga menentukan dalam mendorong perubahan. Semakin tinggi trust masyarakat pada pemerintah,
semakin tinggi pula kinerja pemerintah dalam melakukan perubahan dalam
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Jika Jogjakarta memiliki
Sultan Hamengkubuwono sebagai sentral kepemimpinan traditional yang mampu
menciptakan tata kelola pemerintahan, stabilitas demokrasi, kinerja dan
akuntabilitas pelayanan publik yang baik, maka Jakarta setidaknya memiliki Joko
Widodo sebagai sentral perubahan di Ibukota Negara.[13]
Tuntutan terhadap
perubahan status daerah simetrik menjadi asimetrik dewasa ini terus mengemuka
sebagaimana diinginkan oleh Provinsi Bali, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan dan Kalimantan Tengah. Beberapa diantaranya layu sebelum berkembang
sekalipun dapat muncul sewaktu-waktu sebagai respon terhadap berbagai
ketimpangan pemerintah dimasa datang. Dengan alasan yang sama kemauan mengubah
status desentralisasi simetrik menjadi asimetrik terus dibicarakan oleh kelompok
elite lokal atas nama rakyat. Tuntutan yang semakin vulgar terkait ketimpangan
pembangunan, ketidakadilan dalam pembagian sumber daya, serta keinginan untuk
diakui dan dihormati sebagai suatu identitas yang khas dalam hal sejarah dan
kontribusi terhadap negara menekan pemerintah untuk meredesain pengaturan
tentang kebijakan asimetrik dalam undang-undang pemerintahan daerah. Kesenjangan
pembangunan dengan sumber daya yang dimiliki sebagaimana dirasakan oleh
Provinsi Kalimantan Timur dan Tengah kini menggumpal menjadi daya dorong yang
semakin kencang. Dalam konteks ini misalnya, pemerintah lokal merasa bahwa
sumber daya yang terkuras ke pusat tak berbanding lurus dengan perubahan
pembangunan yang ada. Dengan membandingkan perubahan pada daerah-daerah
disekitarnya (Kalimantan secara umum) yang memiliki sumber daya sama namun
kecepatan pembangunan yang relatif dinikmati dengan baik, hal itu memicu
kegelisahan bagi masyarakat lokal untuk meminta perhatian khusus. Kasus
Kalimantan Tengah sekalipun belum membesar sebagai suatu gejala kekecewaan
namun perlu diperhatikan lewat paling tidak dalam empat skenario utama yaitu
melanjutkan rencana besar pemerintah untuk merelokasi pusat ibukota negara dari
Jakarta ke Palangkaraya, merespon secepatnya tuntutan laten dalam bentuk
desentralisasi asimetrik, mengubah pola dalam jalur otorita seperti kasus
Batam, atau mengembangkan secara luas dan nyata urusan pilihan. Pilihan pertama tidak saja dapat menjawab
masalah ketimpangan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat Kalimantan
Tengah, sekaligus menyelesaikan masalah nasional dalam konteks penetapan
alternatif Ibukota Negara dimasa mendatang. Dengan demikian Jakarta dapat
menjadi lokus desentralisasi asimetrik dengan titik berat pada pengembangan
ekonomi semata. Diluar itu Provinsi Kalimantan Tengah dapat menjadi lokasi
asimetrik selanjutnya dengan status khusus sebagai Ibukota Negara. Alternatif
kedua menjawab tuntutan perubahan status simetrik menjadi asimetrik. Namun jika
pilihan ini dilakukan, pemerintah akan kebanjiran tuntutan yang sama tanpa alas
regulasi sebagai kendali yang secara khusus mengatur syarat-syarat perubahan
status dari desentralisasi simetrik menjadi asimetrik. Pilihan ketiga adalah
menentukan area yang akan dijadikan fokus perubahan guna memicu pertumbuhan
ekonomi dilingkungan sekitarnya. Model ini akan mengubah status daerah menjadi
semacam area Otorita Batam yang akan dikerjakan secara top down oleh pemerintah melalui badan yang dibentuk secara khusus.
Maknanya, tuntutan mungkin saja dapat terjawab secara objektif melalui
konsensus bersama, namun daerah tak berpeluang untuk mengutip alokasi keuangan
bahkan dengan alasan menyelesaikan urusan rumah tangganya sendiri. Pilihan
terakhir yang mungkin adalah pemerintah memberikan jaminan bagi pengembangan
urusan pilihan dengan konsekuensi menyiapkan biaya tambahan. Selama ini urusan pilihan hanyalah komplemen
dibanding urusan wajib sebagai suplemen dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Jika pilihan ini disepakati maka untuk semua daerah yang mengklaim “khusus”
dengan sendirinya berhak mengembangkan
diri sesuai kemampuan pembiayaan yang disepakati melalui regulasi pemerintahan
daerah.
Urusan
Pilihan dan Kekosongan Regulasi Khusus
Mencermati gejala diatas, pemerintah setidaknya
menciptakan skenario jangka panjang melalui pengaturan pemerintahan daerah.
Skenario pertama adalah menjadikan urusan pilihan sebagai primadona yang patut
dikembangkan. Selama ini fokus disiplin urusan pemerintah daerah yang selalu
ditekankan oleh pemerintah pusat adalah urusan wajib. Akibatnya pengelolaan
urusan pilihan menjadi terbengkalai, sementara pada saat yang sama tuntutan
daerah bergerak pada soal-soal urusan pilihan yang dikemas secara politik dalam
bentuk proposal desentralisasi asimetrik. Harus diakui bahwa dalam sepuluh tahun
terakhir penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui mekanisme pemilihan
langsung setidaknya memicu tanggungjawab moril sebagian besar kepala daerah
untuk menjawab tuntutan dasar masyarakat dalam hal pemenuhan bidang pendidikan,
kesehatan dan pendapatan. Hampir dapat dipastikan bahwa semua kampanye kepala
daerah relatif menggaransi gratis pengeluaran masyarakat dibidang pendidikan,
kesehatan dan peningkatan pendapatan. Tumbuhnya kesadaran politis tersebut menciptakan
efek domino pada hampir semua pemerintah daerah, termasuk daerah yang berstatus
asimetrik seperti Jakarta. Kebijakan dalam skala lokal semacam itu serta
dampaknya yang terus meluas pada akhirnya mendorong pemerintah untuk kemudian
secara populis dan sentralistik menjadikannya sebagai kebijakan nasional.
Lahirnya kebijakan jaminan kesehatan bagi masyarakat di semua kelas dan
tingkatan menunjukkan bagaimana itikad baik pemerintah terbentuk setelah dipicu
oleh kebijakan pemerintah daerah yang awalnya bersifat kasuistik. Dengan
demikian maka tanggungjawab pemerintah daerah terhadap sebagian urusan wajib
yang selama ini menjadi fokus penilaian secara otomatis menjadi tanggungjawab
nasional. Akhirnya pemerintah daerah harus berpaling dan fokus dalam
pengelolaan urusan pilihan yang selama ini memang tak terurus serius, sekaligus
menjadi daya tawar baru dalam kemasan desentralisasi asimetrik.
Urusan
pilihan yang selama ini sekaligus menjadi kekhususan di wilayah asimetrik
Jakarta, Jogja, Aceh, Papua dan Papua Barat secara umum bukan tanpa masalah. Semua
urusan pilihan yang menjadi khusus tampak mengalami kendala di tingkat
implementasi, kalau tidak pada aspek regulasi di level daerah masing-masing. Sejauh
ini kekhususan DKI Jakarta berkenaan dengan pengembangan lintas area provinsi
berhadapan dengan sekat-sekat otonomi daerah lain, diluar persoalan tumpang
tindih dan sedikit banyak inkonsistensi kewenangan pemerintah. Dalam hal
keistimewaan Jogjakarta tampak begitu sulit mengembangkan pada tingkat teknis
disebabkan ketatnya tradisi kesultanan untuk bersikap lentur dalam hal
pengembangan budaya (pikiran, rasa dan karsa masyarakat). Keinginan kuat
mengejewantahkan nilai-nilai budaya dalam masyarakat melalui kebijakan yang
konkrit berhadapan langsung dengan nilai demokrasi yang relatif berjarak dengan
keraton. Akibatnya daya magis keistimewaan Jogjakarta hanya berjarak pendek,
sulit menyentuh wilayah-wilayah yang semakin jauh dari kontrol keraton dengan
alasan otonomi.
Dalam kasus Aceh,
asimetrikasi mungkin saja mampu menciptakan aturan teknis hingga hukuman cambuk
bagi pelanggar khalwat.[14]
Namun demikian problem selanjutnya adalah ketidakmampuan Pemerintah Aceh
menciptakan stabilitas keamanan internal melalui integrasi faksi-faksi yang
bertikai sebagaimana tujuan politik pemberian otonomi khusus. Disisi lain
masalah krusial yang masih tersisa adalah sejumlah produk regulasi di tingkat
lokal (Qonun) tak begitu harmonis
dengan undang-undang sebagai payung hukum generalis.[15] Dari
tiga tekanan asimetrik Aceh berupa kewenangan pengelolaan migas, partai lokal
dan syariat Islam, tampak semuanya tersamar oleh ketegangan kreatif antara
daerah dan pusat lewat simbol bendera Aceh yang tak substansial. Redistribusi
migas dalam bentuk bagi hasil tampak jauh dari evaluasi yang mensejahterakan
sekalipun telah diterima dengan lapang dada. Partai lokal Aceh sekalipun tumbuh
dan berkembang hingga relatif dapat meredam cara berkompetisi dalam perebutan
kekuasaan di tingkal lokal, namun konflik internal masih menyimpan luka untuk
diterapi dalam jangka panjang. Sementara penerapan syariat Islam belum efektif menciptakan
efek jera terhadap pelanggar susila yang tampak terus meningkat di level
generasi muda sekalipun hukuman rajam telah diaplikasikan.
Pada kasus Papua
dan Papua Barat, problem penting yang dihadapi relatif sama, yaitu kegagalan
mencairkan makna otonomi khusus kedalam regulasi teknis berupa peraturan daerah
khusus (Perdasus), selain sulitnya pemerintah daerah menciptakan stabilitas
keamanan dan ketertiban di wilayah tersebut. Keruwetan agenda akibat rendahnya
kualitas sumber daya manusia dan berkurangnya kontrol pemerintah menimbulkan
semacam perasaan frustasi yang berujung pada upaya untuk mengembangkan derajat
otonomi Papua ke peringkat tertentu (Otonomi
Plus). Ditengah kegagalan menerjemahkan otonomi khusus dengan hanya
mengubah simbol-simbol lembaga pemerintahan seperti kecamatan menjadi distrik,
dan menambah lembaga sosial budaya seperti Majelis Rakyat Papua (MRP),
kewenangan yang luas serta konsekuensi keuangan yang besar sejak tahun 2002 pada
akhirnya tak mengubah kekhususan sebagai pilihan awal menjadi berkah yang
dinantikan yaitu mensejahterakan masyarakat asli pada khususnya, kecuali secara
politis menekankan perlunya perubahan status menjadi otonomi plus-plus. Disini otonomi khusus kehilangan tujuan idealnya,
kecuali sekedar upaya meredakan gejolak yang terus menganga sebagai kompromi
politik yang paling realistis. Mengingat kesamaan dasar antara Papua dan Aceh,
maka patut diduga sebagian strategi pengembangan kearah otonomi plus hanyalah
bentuk copy paste dari asimetrik
Aceh. Satu-satunya perbedaan mendasar hanyalah mengenyampingkan urusan Syariat
Islam yang mungkin saja berubah menjadi semacam urusan tukar guling (ruislagh) dalam bentuk lain.
Kealpaan pengaturan desentralisasi asimetrik menimbulkan dorongan
kuat bagi tidak saja sejumlah daerah yang merasa telah terjadi ketimpangan real
dalam hal pembagian sumber daya oleh pemerintah, demikian pula daerah yang
selama ini mengklaim khusus atau istimewa untuk menggandakan posisi tawar dalam
hal redistribusi keuangan yang menjanjikan. Diluar argumentasi itu tentu saja secara
psikologis meningkatkan status daerah simetrik menjadi eklusif dibanding daerah
lain. Kekosongan regulasi tidak saja memicu kreativitas daerah dalam mengubah
status simetrik menjadi daerah asimetrik, lebih dari itu wilayah yang dalam
status asimetrik sekalipun menjadi asimetrik
plus-plus. Dengan logika yang sama, jika satuan khusus semacam desa adat
dipandang secara yuridis sebagai entitas yang memiliki kekhususan, maka penting
menciptakan pengaturan yang berbeda dalam hal daerah biasa dan daerah khusus. Pengaturan
daerah khusus merupakan bagian dari upaya penataan pemerintah daerah yang
meliputi pembentukan, penggabungan dan penghapusan daerah khusus. Kasus
asimetrik yang tak begitu banyak jumlahnya seperti Quebec di Kanada diatur
khusus dalam undang-undang dan konstitusi. Bagi negara seperti Indonesia dengan
jumlah daerah yang beragam dari berbagai karakteristik membutuhkan penataan
yang bertujuan tidak saja membatasi keinginan daerah dalam status simetrik,
demikian pula daerah dalam status asimetrik menjadi lebih esktrem. Pengaturan
yang ketat bukan saja bermaksud membatasi perkembangan daerah khusus, namun
setidaknya mengurangi beban pemerintah dalam mengimbangi perlakuan istimewa
dengan sumber daya yang semakin terbatas. Pelonggaran terhadap perubahan status
simetrik menjadi asimetrik pada saat yang sama dapat mengurangi kepercayaan
masyarakat pada pemerintah disebabkan kegagalan memenuhi tuntutan yang semakin
ekslusif dan berlipat ganda. Pengaturan daerah khusus sebetulnya bermakna
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sejumlah urusan
pilihan yang memungkinkan daerah dapat berkembang secara ekonomi, politik dan
sosial budaya diatas keunggulan yang dimiliki masing-masing. Bagi pemerintah
sendiri, kegamangan mengatur daerah khusus sama halnya menyimpan bom waktu yang dapat meledak setiap saat
dengan alasan kesenjangan keadilan. Bagi perspektif daerah, membiarkan
ketimpangan akibat kegagalan kebijakan dan pendekatan yang bersifat seragam
sama halnya dengan proses pemiskinan yang dalam waktu tertentu memicu
perlawanan yang bermakna separatis. Keduanya membutuhkan pengendalian melalui
pengaturan regulasi khusus bagi daerah khusus dan istimewa guna menyeimbangkan
kepentingan nasional dan tuntutan masyarakat lokal.
Recovery Asimetrik
Tantangan
desentralisasi asimetrik di Indonesia dapat dijawab dengan mencermati
sebab-sebab keinginan mengubah status desentralisasi simetrik menjadi
asimetrik. Secara umum perubahan tersebut didorong oleh faktor-faktor amanah
konstitusi, sejarah, konsensus, konflik, ketimpangan sumber daya ekonomi,
problem khusus serta penguatan simbol-simbol lokal. Dalam kasus Indonesia, pola
pendekatan pemerintah dalam membentuk daerah asimetrik dilakukan lewat
pendekatan politik dan administrasi. Pendekatan politik dilakukan untuk meredam
meluasnya eskalasi konflik akibat menguatnya tuntutan lokal sebagai refleksi
atas kegagalan sharing pengelolaan
sumber daya. Pendekatan administratif dilakukan untuk menjawab perkembangan
daerah tertentu dalam hal pelayanan publik serta sebagai episentrum entitas
pemerintahan baik politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Terhadap
faktor-faktor tersebut diperlukan recovery
jangka pendek dan jangka panjang. Terdapat peluang bagi pemerintah untuk
mengembangkan skenario jangka pendek seperti mengidentifikasi problem setiap
daerah asimetrik untuk merespon cepat masalah-masalah yang dihadapi.[16] Sekalipun
karakteristik wilayah asimetrik tak sama dan tak sebangun sebagaimana Jakarta,
Jogjakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat, namun masalah pokok yang dihadapi
adalah kegagalan pemerintah daerah khusus dalam menerjemahkan kekhususan yang
melekat kedalam implementasi konkrit yang dapat dirasakan langsung bagi komunitas
setempat. Disamping itu skenario jangka panjang perlunya mendesain rancangan
undang-undang khusus sebagai batasan untuk mengendalikan luapan tuntutan daerah
akibat faktor-faktor diatas, selain menyudahi perluasan kekhususan yang semakin
ekslusif dan ekstrem dikemudian hari. Jika pilihan ini terlalu sulit,
pemerintah perlu mengelaborasi dan menetapkan urusan pilihan sebagai urusan
khusus daerah masing-masing. Dengan demikian pemerintah cukup menyeimbangkan
alokasi pembiayaan dari urusan wajib ke urusan pilihan yang kemudian menjadi
urusan khusus. Pergeseran ini perlu
dilakukan mengingat urusan wajib yang selama ini menjadi kewajiban pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota pada akhirnya mengalami generalisasi urusan
pemerintah secara nasional seperti bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Peluang ini lebih mungkin dan realistik lewat revisi fundamental undang-undang
pemerintahan daerah yang sedang bergulir saat ini.
Daftar Referensi Pilihan;
C. Smith, B, 2012. Desentralisasi, Dimensi
Teritorial suatu Negara (Terj.) MIPI, Jakarta
Haris, Syamsuddin, 2013. Dimensi Politik Desentralisasi Asimteris: Solusi atau Problem? Jurnal
Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 42, Jakarta
Isra, Saldi, 2013. Desentralisasi Asimetris di Indonesia, Kajian dari Aspek Konstitusi, Jurnal
Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 42, Jakarta
Labolo, Muhadam, 2013. Derajat Desentralisasi Asimetrik Papua, Makalah Prosiding ICONPO I,
IPDN, Jatinangor
Labolo, Muhadam, 2013. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Pers, Jakarta
Maksum, Irfan Ridwan, 2013. Desentralisasi Asimetris dan Otonomi Khusus di Indonesia, Jurnal
Ilmu Pemerintahan, MIPI, Edisi 42,
Jakarta
Ndraha, Taliduhu, 2013. Kybernology, Rineka Cipta, Jakarta
Ramses, Andy, 2013. Otonomi Khusus Papua dan Masalahnya, Jurnal Ilmu Pemerintahan,
MIPI, Edisi 42, Jakarta
Santoso, Purwo, 2013. Keniscayaan Tatanan Asimetris: Refleksi Metodologis Penataan
Pemerintahan Indonesia, Jurnal Ilmu
Pemerintahan, MIPI, Edisi 42, Jakarta
Syarif Indrawan, La Ode dan Zulfikar, 2014. Quo
Vadis
Otonomi Khusus Aceh Peluang, Tatangan dan Redesain, Makalah, IPDN
Ahmad Oktabri Widyananda & La Ode
Buzyali, 2014, Otonomi Khusus Daerah
Istimewa Yogyakarta, Dilema Eksistensi dan Perubahan, Makalah, IPDN
Singgih Usman Fuadi &
Nurhakim Ramdani, 2014. Kritik Otonomi Khusus Provinsi DKI Jakarta,
Makalah, IPDN
J.A.Maulidan dkk, 2014. Realitas Otonomi Khusus
Papua Selama 13 Tahun Berjalan, Makalah, IPDN
Kajian Evaluasi Kebijakan Desentralisasi Asimetrik,
2013, LIPI, Jakarta
[1] Makalah disampaikan dalam
Seminar Terbatas bersama Pusat Kajian Strategis Kementrian Dalam Negeri di Htl
Accacia Jakarta, Selasa, 29 April 2014.
[2] Penggunaan terminologi simetrik
dan asimetrik dalam praktek sesungguhnya terkesan kabur. Jika istilah simetrik
diartikan sama dan sebangun, maka logika desentralisasi asimetrik berarti tidak
sama dan tidak sebangun. Persoalannya, ditingkat implementasi kita mengalami
kesukaran untuk mengidentifikasi semua hal yang bersifat tak sama dan tak
sebangun. Terlepas dari itu kedua istilah ini selanjutnya akan mewakili suatu
perlakuan dalam kebijakan politik terhadap sebagian besar daerah yang secara
umum relatif diatur seragam dan beberapa diantaranya diatur secara tak seragam.
[3] Hingga awal tahun 2014, sebuah
badan hak asasi manusia (Fortify Rights)
melaporkan bagaimana kebijakan Pemerintah Myanmar secara masif dan terencana
dilakukan untuk membatasi komunitas etnik Muslim Rohingya agar tak menjadi
ancaman bagi populasi mayoritas Budha Myanmar. Organisasi
ini mengatakan beberapa dokumen pemerintah yang dibocorkan mengungkapkan
pelanggaran HAM yang parah terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine (Myanmar
Utara), termasuk pembatasan kebebasan bergerak, pernikahan, dan kelahiran anak.
Sekalipun disangkal, gejala
ini menunjukkan bagaimana respon ekstrem pemerintah otoriter tanpa membuka
kesempatan untuk memberikan otonomi yang cukup bagi kelompok minoritas di
Myanmar. (Voice of
Amerika, Berita Dunia, Jumat, 28 Februari 2014).
[4] Robert Endi Jaweng, Anomali Desentralisasi Asimetris, Suara
Pembaruan, Selasa, 21 Desember 2010, hlm. 5.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7] Dampak dari hasil amandemen ke4
UUD 1945 melahirkan model MPR baru yang bersifat bikameral sistem, yaitu DPR
dan DPD melalui suatu mekanisme pemilihan umum. Kondisi ini semakin menjauhkan
akses bagi kelompok minoritas sebagai golongan tertentu untuk mewakili entitas
mikronya dalam artikulasi kepentingan politik yang lebih luas. Utusan golongan
yang dimaksud setidaknya merepresentasikan realitas perbedaan dalam masyarakat.
Pikiran Prof.Soepomo soal itu mendorong ide Soekarno dikemudian hari untuk
membentuk kelompok fungsional yang terdiri dari utusan golongan-golongan dalam
parlemen sebagaimana dipraktekan China dan Yugoslavia. Sayangnya ide tersebut
mengalami dekonstruksi dimasa Soeharto berkuasa dengan lahirnya golongan
fungsional bernama Golongan Karya. Untuk catatan sepintas ini lihat Pengantar
David Reeve dalam Golkar, Sejarah yang
Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika, Komunitas Bambu, 2013, hal.xiii-xxvii.
[8] Menurut Direktur IGI nilai
paling tinggi terhadap tata kelola dan pembangunan daerah hanya di angka 6.8
yakni DI Jogjakarta. DKI Jakarta berada diurutan ketiga dengan indeks 6.37.
Aceh hanya berada diurutan ke 18 dengan indeks 5,8, sedangkan Papua berada
diurutan 29 dengan indeks 4,88, menyusul Papua Barat diurutan ke 32 dengan
indeks 4,48. Peringkat IGI didasarkan pada aspek pemerintahan, birokrasi,
masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Banyak hal yang dilihat yakni prinsip
partisipasi, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektivitas dan keadilan. Kompas.Com. peringkat. Indonesia.
Governance. Indeks, 2012, diakses tgl 24 Maret 2014.
[9] Lihat hasil survei Indeks
Demokrasi Indonesia Tahun 2012, terdapat 5 daerah paling demokratis yaitu DKI
Jakarta (77,72), Sulawesi Utara (76,50), Sumatera Selatan (73,17), DI Jogjakarta
(71,96), serta NTT (72,67). Secara umum Indeks Demokrasi Indonesia turun
menjadi 62.63 (2012) dibanding tahun 2009 (67.30). Nilai dengan skala 1-100.
Sumber: Kemenpolhukam dalam Republika, Des 2013.
[10] Sumber; Dirjend Otda dalam HUT
OTDA se-Indonesia Tahun 2013, Hotel Bidakara, Jakarta
[11] Sumber; Deputi Bidang Pelayanan
Publik, Kemenpan, 2013.
[12] Statistik
DKI Jakarta 2013 menunjukkan daya tarik lain yang mengundang
orang untuk datang dan mengadu nasib di Jakarta adalah nilai Upah Minimum
Provinsi (UMP) yang lebih tinggi bila dibandingkan provinsi lain di Jawa. Pada
tahun 2012, UMP DKI Jakarta sudah mencapai Rp 2,2 juta sementara provinsi lain
di Jawa masih berada dibawah 1 jt. Lihat statistik DKI Jakarta (2013:30),
bandingkan juga dengan data statistik Jogjakarta tahun yang sama untuk
rata-rata usia harapan hidup disejumlah kabupaten seperti Sleman dan Bantul
yang dapat mencapai diatas 70 tahun.
[13] Catatan ini tidaklah
menggeneralisasi keberhasilan Jokowi yang baru 1,5 tahun menjadi Gubernur di
Jakarta. Namun demikian harus diakui secara politik Jokowi tetap diterima
masyarakat luas setidaknya dari hasil survei berbagai lembaga di Indonesia.
[14] Khalwat dalam makna agama dimaknai sebagai perbuatan berdua-duan
bagi laki-laki dan perempuan diluar ikatan nikah (bukan muhrim). Perbuatan
demikian dipandang sebagai pelanggaran atas qonun
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Aceh.
[15] Lihat kasus Qanun Jinayat yang
menjadi isu kontroversial dan masalah penetapan bendera Aceh sebagai lambang
daerah yang dinilai bertentangan dengan simbol-simbol negara bahkan melanggar
konsensus Helzinsky.
[16] Lihat Kajian desentralisasi asimetris dan otonomi
khusus di Indonesia, Studi
kasus Provinsi Bali dan Provinsi Kepulauan Riau, Ari Dwipayana & Aan Eko Widiarto.
Komentar
Posting Komentar